Jurnal Rekonstruksi dan Estetik
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

41
(FIVE YEARS 41)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Airlangga

2774-6062, 2301-7937

2021 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 65
Author(s):  
Naufal Agus Isamahendra ◽  
Lynda Hariani ◽  
Dwi Murtiastutik

Latar Belakang: Luka bakar adalah cedera pada kulit atau jaringan organik lainnya yang disebabkan oleh panas, radiasi, zat radioaktif, listrik, gesekan atau kontak dengan bahan kimia. Cedera pada saluran pernapasan akibat inhalasi asap, juga dianggap sebagai luka bakar (WHO, 2018). Bagian tubuh yang mengalami luka bakar akan vasodilatasi akibat adanya stimulus mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel endotel, platelet dan leukosit yang rusak, mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran kapiler. Keadaan ini membuat cairan dan elektrolit di intravaskuler keluar ke ekstravaskuler. Albumin juga ikut keluar ke ekstraseluler pada proses ini, sehingga terjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia adalah kondisi dimana kadar albumin dalam darah berada dibawah 3,5 g/dl, sedangkan kadar normal albumin normal dalam darah adalah 3,8-5,0 g/dl. Berdasarkan Formularium Nasional sesuai Kepmenkes 2017 perihal pembatasan pemberian albumin infus yang didukung oleh JKN-KIS, ditetapkan bahwa pasien luka bakar diberikan transfusi human albumin bila kadar albumin kurang 2,5 g/dl. Diperlukan adanya solusi untuk peningkatan kadar albumin selain melalui transfusi, dengan syarat alternatif transfusi albumin ini diharapkan lebih hemat dan efisien dibandingkan dengan albumin transfusi yang terkenal mahal. Ekstrak Channa striata merupakan sebuah produk baru yang diharapkan dapat menjadi alternatif albumin transfusi ini. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah pemberian kapsul ekstrak Channa striata dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah pada kasus luka bakar. Metode: Metode penelitian ini menggunakan metode systematical review dengan mengambil jurnal melalui Google Scholer, PubMed dan ScienceDirect. Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah kapsul ekstrak Channa striata dapat meningkatkan kadar albumin dalam tubuh serta mempercepat penyembuhan luka pasien luka bakar. Kapsul ekstrak Channa striata biasanya diberikan sebagai suplementasi bersama bahan lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien. Penelitian yang saya temukan selain membuktikan efek kapsul ekstrak Channa striata terhadap kadar albumin juga memberikan hasil lain mengenai pemberian ekstrak Channa striata pada luka bakar yaitu penurunan kadar MDA serum dan meningkatkan balans nitrogen ke arah positif.


2021 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 56
Author(s):  
Fonny Josh ◽  
Asrul Mappiwali ◽  
Tommy Hermawan Sukamto

Latar belakang : Karsinoma Sel Basal atau Basal Cell Carcinoma (BCC) merupakan keganasan kulit yang paling sering pada manusia. Keganasan ini menyumbang sekitar 75% dari semua kanker kulit non melanoma (NMSCs). Terdapat sekitar satu juta kasus baru terdiagnosis setiap tahun dengan lebih dari 10.000 kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasis kasus karsinoma sel basal di Makassar. Methode : Penelitian bersifat deskriptif retrospektif dengan mengevaluasi kasus karsinoma sel basal dari Januari 2017 sampai Desember 2019. Data diperoleh dari rekam medis pasien di RS Wahidin sudirohusodo, Universitas Hasanuddin dan Ibnu Sina, Makassar. Digunakan metode total sampling. Data kemudian dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hasil : Dari 49 kasus karsinoma sel basal (BCC) mayoritas terjadi pada perempuan (67,3%). Rata-rata usia pasien adalah 60 tahun. Insiden terbanyak pada kelompok usia 41 - 60 tahun (51%). Predileksi tersering di daerah nasal (30,6%) dan tipe histopatologi terbanyak adalah tipe nodular (53,1%) dan yang paling sedikit adalah tipe morpheaform (2,4%). Mayoritas pasien menjalani bedah eksisi (85,7%). Kasus metastasis jarang terjadi, hanya diamati pada lima kasus. Dua kasus (4,1%) bermetastasis ke paru dan satu kasus (2%) bermetastasi ke hepar. Kebanyakan kasus karsinoma sel basal tidak rekuren (81,6%). Kesimpulan : Predileksi karsinoma sel basal tersering adalah di daerah nasal dengan tipe histopatologi terbanyak adalah tipe nodular. Mayoritas pasien menjalani bedah eksisi. Kasus metastasis jarang terjadi dan kebanyakan kasus karsinoma sel basal tidak rekuren.


2021 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 51
Author(s):  
Iswinarno Doso Saputro
Keyword(s):  

Macrostomia adalah kelainan kongenital yang jarang terjadi, biasanya disertai kelainan lain. Kelainan ini diperkirakan terjadi pada 1 dari 80.000 kelahiran. Beberapa literatur telah menjelaskan tehnik operasi rekontruksi macrostomia, meski emikian belum ada satu standart operasi yang rekomendasikan, setiap tehnik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis melaporkan satu kasus operasi rekontruksi macrostomia dengan menggunakan tehnik Kaplan untuk comisuroplaty, otot dijahitkan secara overlapping serta menggunakan Zplasty untuk penutupan kulit


2021 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 43
Author(s):  
Ardea Perdanakusuma ◽  
Ariani Primawati ◽  
Budiman Dr

Latar Belakang: Teknik Microautologous Fat Transplantation (MAFT) merupakan sebuah metode yang relatif baru untuk memindahkan lemak dari lokasi tubuh tertentu ke lokasi tubuh yang diinginkan dengan suatu alat khusus. Teknik transfer lemak sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1893 namun terkendala dengan masih banyaknya lemak yang diresorpsi sehingga memerlukan beberapa kali tindakan ulangan. Teknik Microatutologus Fat Transplantation menggunakan MAFT Gun pertama kali dilakukan oleh Lin et al. pada tahun 2006. Teknik ini telah menunjukkan hasil yang baik dalam bidang estetik maupun rekonstruksi menggantikan teknik dermofat graft yang bersifat lebih invasive. Deformitas pada wajah akibat dari hilangnya sejumlah volume lemak dapat diatasi dengan MAFT Gun yang bersifat minimal invasif. Pada tulisan ini dilaporkan satu kasus penanganan deformitas maksilofasial pasca reposisi dan fiksasi fraktur tulang wajah dengan Microautologous Fat Transplantation sebagai salah satu modalitas. Pasien dan Metode: Jaringan lemak diambil dengan spuit 60 cc tekanan negatif kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan komponen lemak dan plasma. Lapisan lemak murni selanjutnya ditransplantasikan pada area wajah menggunakan MAFT Gun di bawah mata 3.5 ml, pipi 20.5 ml, dagu 3 ml, dan pelipis 1 ml. Hasil: Lama tindakan 2 jam 30 menit, prosedur anestesi sedasi sedang dan blok nervus infraorbitalis, nervus mentalis, dan nervus supraorbitalis, dan nervus supratrochealis ipsilateral. Deformitas dapat teratasi, longterm follow up 3 bulan pasca operasi tidak banyak jaringan lemak yang diresorpsi, sehingga penampilan masih baik. Kesimpulan: Teknik MAFT Gun merupakan prosedur yang efektif untuk memperbaiki kontur wajah, peremajaan wajah, memperbaiki area yang cekung, dan mengembalikan volume termasuk mengoreksi deformitas wajah akibat fraktur maksilofasial pasca reposisi fraktur maksilofasial yang kurang sempurna. Prosedur yang dilakukan relatif tidak invasif. Jaringan lemak dapat diambil dari berbagai area tubuh yang memiliki jaringan lemak berlebih. Menggunakan MAFT Gun yang telah tersertifikasi, proses transfer lemak dapat dilakukan secara akurat dan konsisten. Hasil MAFT cukup memuaskan bagi pasien, sehingga memungkinkan prosedur MAFT menjadi alternatif solusi untuk mengoreksi deformitas maksilofasial pasca reposisi dan fiksasi yang mungkin hanya memerlukan tindakan touch up satu sampai dua kali saja


2021 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 72
Author(s):  
Jilvientasia Godive Lilihata ◽  
Iswinarno Doso Saputro ◽  
Lynda Hariani

Latar Belakang: Laryngotracheal stenosis (LTS) terjadi pada 24-53% pasien pasca trauma inhalasi1. Insiden komplikasi pasca pembedahan LTS adalah 33- 34% dan mortalitas pasca pembedahan adalah 1,5-2%2. SGS sering terjadi pada cedera inhalasi pasca intubasi1. Laporan Kasus: Pasien dengan luka bakar pada area wajah dan keempat ekstremitas, akibat ledakan tabung gas pada ruangan tertutup. Sembilan jam pasca trauma, pasien mengeluhkan kesulitan bernapas. Pasien diintubasi selama 2 hari pasca trauma dan 5 kali intubasi lainnya dengan ETT cuff 6,5 mm untuk tindakan operasi. Tidak ada data tekanan cuff pasien. Hari ke-38 perawatan di rumah sakit, pasien mengeluh suaranya serak dan terkadang merasa sulit bernapas. Hasil fiber optic laryngoscopy (FOL) pasien menunjukan 30% penyempitan pada subglotis. Pasien didiagnosis dengan SGS stadium 1. Pasien tidak membutuhkan tindakan pembedahan dan hanya diobservasi. Diskusi: Evaluasi FOL perlu dilakukan sejak awal cedera inhalasi3. Evaluasi FOL pada pasien kami baru dilakukan setelah muncul gejala SGS. Risiko LTS meningkat sesuai dengan keparahan cedera inhalasi, keparahan reaksi inflamasi, durasi intubasi (lebih dari 10 hari), ukuran ETT yang besar, dan intubasi berulang. Tekanan cuff pada ETT dapat mengakibatkan pembentukan skar dan stenosis pada subglotis1. Tekanan cuff yang direkomendasikan adalah 20-30 cmH2O. Tekanan cuff perlu diukur dan disesuaikan tiap 4-12 jam4. Pasien kami diintubasi sebanyak 6 kali, tanpa pengukuran tekanan cuff. Stadium SGS yang sering digunakan adalah Cotton Meyer staging. Stadium 1 SGS tidak membutuhkan tindakan pembedahan5. Kesimpulan: Sekuel cedera inhalasi pada subglotis dapat dicegah dengan melakukan intubasi sesuai indikasi dan menggunakan ETT ukuran kecil dengan tekanan cuff yang tidak terlalu tinggi.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 20
Author(s):  
Aldy Setya ◽  
Iswinarno Saputro ◽  
Magda Hutagalung ◽  
Sitti Rizaliyana

Sindrom Romberg yang juga memiliki sinonim dengan Sindrom Parry-Romberg (juga dikenal sebagai atrofi hemifasial progresif) adalah penyakit langka yang ditandai oleh penyusutan yang progresif serta degenerasi jaringan di bawah kulit, biasanya penyakit ini terjadi pada satu sisi wajah (atrofi hemifasial) tetapi kadang-kadang meluas ke bagian lain dari tubuh. Sebuah mekanisme autoimun dicurigai menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini, dan sindrom ini diduga merupakan varian dari skleroderma lokal, untuk penyebab pasti patogenesis dari penyakit yang didapat ini hingga saat ini masih belum dapat ditentukan.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 58
Author(s):  
Williams Mesang ◽  
Agus Santoso Budi ◽  
Magda Hutagalung

Abstract: Complex syndactyly in Apert syndrome, especially complicated with synonychia and synostosis, is a surgical challenge. The incidence of Apert Syndrome is reported to be approximately 1 per 100.000 to 160.000 live births and its incidence in Indonesia is not yet known. It is practically symmetrical causing significant dysfunction and infection if not treated properly. The goals in the treatment are separation of independent digits without disturbing function and growth, creation of a lined commissure, provision of skin cover for the denuded nail edge and exposed bone, and to create aesthetically pleasing individual fingertips with proper nails, nail folds and adequate pulp fullness. Many variations of surgical release of the first web space and of the remaining syndactyly have been described. Various approaches to the bony deformity of the thumb have also been described. All previously described techniques advocate releasing a single side of a digit at any given surgery to maintain the vascularity of that digit. This is due to the unreliability of the vascular branching pattern to the digits. In this serial case, we reported 5 cases of Apert syndrome. We described the clinical findings, incision design, immediate and post-surgery follow ups. The results were uneventful, with satisfying function and aesthetic appearance.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 52
Author(s):  
Marelno Zakanito ◽  
Iswinarno Saputro

Introduction: Klebsiella pneumoniae necrotizing fasciitis is an uncommon soft tissue infection characterized by rapidly progressing necrosis involving the skin, subcutaneous tissue, and fascia. This condition may result in gross morbidity and mortality if not treated in its early stages. In fact, the mortality rate of this condition is high, ranging from 25 to 35%. We present a case of 7-month-old male with K. pneumoniae necrotizing fasciitis of the lower extremity. Materials and Methods: A 7-month-old male presented with large areas over both left and right inferior side of the lower limbs to the emergency department of Dr. Soetomo Academic Medical Center Hospital, Surabaya, Indonesia. Physical examination revealed elevated heart rate of 136 times per minute and increased body temperature of 38oC. The large areas on both lower limbs were darkened, sloughed off, and very tender to palpation. A small area over the right hand was erythematous and sloughed off. Laboratory evaluation demonstrated decreased hemoglobin of 6.2 g/dL and elevated leukocyte of 28,850 g/dL. Blood cultures demonstrated that K. pneumoniae was present. Discussion: NF is usually hard to diagnose during the initial period. The findings of NF can overlap with other soft tissue infections including cellulitis, abscess or even compartment syndrome. However, pain out of proportion to the degree of skin involvement and signs of systemic shock should alert the clinical to the possibility of NF. The clinical manifestations of NF start around a week after the initiating event, with induration and edema, followed by 24 to 48 hours later by erythema or purple discoloration and increasing local fever In the next 48 to 72 hours, the skin turns smooth, bright, and serous, or hemorrhagic blisters develop. If unproperly treated, necrosis develops, and by the fifth or sixth day, the lesion turns black with a necrotic crust. Conclusions: K. pneumoniae necrotizing fasciitis is a rare but lifethreatening disease. A high index of suspicion is required for early diagnosis and treatment of this condition


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 34
Author(s):  
Ulfa Elfiah ◽  
Kushariyadi ◽  
Septa Wahyudi

Latar Belakang: Angka kejadian sumbing bibir dan langit-langit masih tinggi di Indonesia sedangkan proses penatalaksanaannya masih belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kejadian sumbing bibir dan langit-langit berdasarkan tinjauan geografis sehingga dapat menemukan model penanganan yang tepat untuk mengurangi angka kejadian sumbing bibir dan langit-langit.Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan data rekam medis di salah satu rumah sakit di provinsi Jawa Timur Indonesia. Data yang digunakan adalah data penderita sumbing bibir dan langit-langit antara tahun 2017-2020. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan wilayah asal penderita yang kemudian dituangkan dalam sebuah peta untuk memberikan gambaran penyebaran penderita sumbing bibir dan langit-langit. Sedangkan karakteristik penderita seperti angka prevalensi, jenis kelainan dan pekerjaan orang tua ditampilkan dalam bentuk tabel.Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa kejadian kelainan sumbing bibir dan langit-langit hampir merata di seluruh wilayah Jember bahkan terdapat sepuluh wilayah yang memiliki angka kejadian lebih dari 5 penderita. Tingginya angka kejadian ini kemungkinan berhubungan dengan faktor-faktor risiko seperti pekerja orang tua sebagai petani, penggunaan pestisida dan pencemaran logam berat yang banyak ditemukan di wilayah Jember yang secara geografis merupakan daerah perkebunan dan pertanian sebagai penyebab kejadian kelainan kongenital ini. Kesimpulan: Pemetaan penderita secara geografis akan memudahkan dalam menentukan prediksi angka kejadian dan faktor resiko terjadinya kelainan sumbing bibir dan langit-langit serta memudahkan dalam membuat sistem penanganan penderita sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing penderita.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Ephora Wulandari ◽  
Lynda Hariani ◽  
Agus Santoso Budi

Background : From collective data from 2014 – 2018 from Burn Centre in Dr. Soetomo Hospital, the rate of failed skin graft was 26%. This high number became a concerned because skin graft was the main procedure to close large burn wound. This event is affected by many problems, one of them is electrolyte imbalance. Hypernatremia was seen in major burn patients that causes the disruption of wound healing process of skin graft. Methods: A cross sectional study of patients with burns admitted to the Burn Centre of Dr. Soetomo Hospital between January 2014 and December 2018 were evaluated. Results : 143 subjects were involved in this study. 44 subjects are female (31%) and 99 subjects are male (69%). 66% of the burn injuries are caused by fire (93 subjects), 14% caused by electricity (20 subjects), 8% caused by scald (12 subjects), 6% caused by boiled oil (8 subjects), 4% caused by chemical agent (6 subjects) and 2% caused by blast injury (1 subject). 77% of all subjects (110 subjects) underwent split thickness skin graft less than 10% while 23% (33 subjects) underwent the procedure 10% or more than it. Hypernatremia is found in 16% of all subjects (23 subjects), 19% with hyponatremia (28 subjects) and majority of it, 65%, with normonatremia (92 subjects). From the study, it was found that the risk of failed skin graft was higher on hypernatremia subjects than normonatremia subjects, the relative risk was 6,06 to fail. This number was higher if the skin graft procedure took more than 10%. But, it was found the risk was higher on hyponatremia subjects than the rest of subjects, with the relative risk was 7,75 to fail. Conclusions: Hypernatremia caused high risk of failed skin graft on major burn patients


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document