VIDYA SAMHITA : Jurnal Penelitian Agama
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

15
(FIVE YEARS 15)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

2460-4445, 2460-3376

2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Ni Nyoman Suastini ◽  
Ni Putu Suparwati

<p>Hari Kasih sayang atau lebih dikenal dengan istilah Valentine Day adalah hari yang jatuh tanggal 14 Februari tiap tahunnya. Hari yang tidak asing lagi didengar di telinga kaum milenial saat ini. Hari tersebut dirayakan sebagai perwujudan cinta kasih seseorang baik diantara pasangan, saudara, keluarga, lingkungan bahkan kepada Sang Maha Pencipta. Di Bali tepatnya hari Sabtu Kliwon wuku Krulut digadang-gadang sebagai hari <em>Valentine </em>Versi Hindu Bali. Hal tersebut dikarenakan Krulut berasal dari kata Lulut yang artinya senang atau cinta, bemakna jalinan atau rangkaian kasih sayang. Kasih sayang yang diberikan bertujuan untuk mengharmoniskan kehidupan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitar. Pengharmonisan ketiga aspek ini disebut dengan Tri Hita Karana. Apabila antara manusia, lingkungan sekitar, dan Sang Pencipta sudah harmonis, maka kehidupan di dunia ini akan tentram, seimbang, dan bahagia.</p><p>Kata Kunci : <em>Kasih Sayang, Valentine day, Tumpek Krulut </em></p><p><em> </em></p>


2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
I Made Adi Surya Pradnya

<p>Pura Batu Meringgit memiliki kepercayaan bernuansa multikultural, namun konstruk positif dari kepercayaan tersebut belum dipahami secara maksimal. Terbukti, keyakinan multikultural hanya dipahami sebagai keunikan semata yang terjadi wilayah kehidupan beragama Hindu.  Secara naratif, penelitian ini mencoba memberikan eksplorasi tentang refleksi positif dalam bingkai sosial religius, yang lahir dari teologi multikultural di Pura Batu Meringgit. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, studi dokumen, studi kepustakaan, serta dibahas dengan teori multikultur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa refleksi teologi multikultural di Pura Batu Meringgit adalah sebagai berikut:   <em>Pertama</em>, teologi multikultural menstimulus terbentuknya kehidupan beragama yang berudaya. Difrensiasi dari system penghayatan terhadap Tuhan di Pura Batu Meringgit, sejatinya telah menjadi landasan utama bagi terbentuknya interaksi kehidupan beragama dengan nilai etika, kebersamaan, integrasi yang kesemuanya sebagai wajah budaya dalam ruang kehidupan beragama. <em>Kedua</em>, teologi multikultural disatu sisi telah berhasil membentuk kerukunan umat beragama. Perbedaan beragama yang disatukan jejak historis, sejatinya telah menumbuhkan kedekatan secara psikologis dan social dalam menumbuhkan kerukunan umat beragama.<em>  Ketiga</em>, teologi multikultural mengintensipkan dialog antar umat beragama. Persatuan dalam perbedaan keyakinan yang ada di internal pura, telah  menggiring umat berbeda agama untuk menjalin interaksi dan komunikasi secara aktif sehingga terbengun dialog intensif antar umat beragama di Pura Batu Meringgit. <em>Keempat</em>, teologi multikultural memberikat penguatan bagi upaya untuk menanamkan pendidikan multikultur bagi umat. Pendidikan multikultural, tidak dapat dilakukan hanya dengan bertumpu pada teori dan pembelajaran di sekolah formal.Namun, disatu sisi memerlukan contoh nyata yang dalam  hal ini ditunjukan dengan fenomena multikultural di  Pura Batu Meringgit.</p>


2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Nyoman Wiraadi Tria Ariani

<p class="JW31text">Pendidikan Anak Usia Dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak pada usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Penguatan nilai agama sebaiknya dikembangkan sejak dini agar saat dewasa anak dapat menghadapi dilema kehidupan dan dapat menjaga keseimbangan hidup. Agama mencakup keyakinan atau kepercayaan, pemujaan terhadap apa yang diyakini, dan aturan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem ibadah. Tertanamnya  nilai  moral  yang  mapan  pada  anak-anak  akan  membuatnya  mampu berperilaku sopan dan santun kepada siapa pun, dan mampu menghormati orang lain. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka. Penguatan nilai agama tercermin dalam perkembangan moral anak sehingga anak menjadi tahu yang baik dan buruk, benar maupun salah. Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral dapat diberikan kepada anak sesuai dengan usianya menggunakan metode keteladanan, diskusi, bermain peran, outbond, bernyanyi, karyawisata, pembiasaan, bermain, dan bercerita.</p><p class="JW18keywords"><strong>Kata Kunci: </strong>nilai agama, perkembangan moral, anak usia dini</p>


2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Ketut Susiani

<p>Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia, menyebabkan melemahnya beberapa dimensi kehidupan masyarakat. Ini mengakibatkan pemerintah memberikan upaya mencegah penyebaran Covid-19 secara klinis, dan mengatasi lumpuhnya dimensi kehidupan pasca pandemi. Upaya-upaya tersebut tercermin dari adanya program bantuan maupun kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah RI. Kebijakan yang harus dipatuhi masyarakat bersifat mengikat. Sehingga, memicu berbagai respond pertentangan antara pro dan kontra dari masyarakat. Keadaan masyarakat yang mulai lelah terhadap kebijakan-kebijakan dan program bantuan yang diberlakukan pemerintah, tidak mendapatkan hasil yang sesuai target. Kondisi ini disebut sebagai Pandemi Fatigue, artinya masyarakat yang mulai merasa lelah akan ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana masyarakat menyiasati Pandemi Fatigue melalui Tri Hita Karana dalam kehidupan social budayanya. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Diantaranya, metode penelitian tersebut adalah metode kuesioner, observasi, wawancara, dan studi literature. Subjek untuk sampel penelitian yang menjadi sasarannya adalah kalangan orang dewasa yang masih kuliah, bekerja, dengan berada pada kawasan Singaraja, Karangasem, Badung, dan Gianyar. Dari hasil wawancara, observasi, dan juga studi literatur yang dilakukan didapatkan bahwa sebagaian besar responden mengamali kecemasan akibat dampak pandemi, namun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk tetap melakukan Yadnya dengan alasan utama untuk melakukan ajaran agama. Namun tanpa disadari hal tersebut juga menciptakan keharmonisan bagi alam semesta. Sehingga dapat disimpulkan Yadnya menjadi kegiatan yang tanpa disadari oleh masyarakat sebagai upaya untuk mengatasi kecemasan akibat pandemi dan juga memberikan hubungan yang harmonis antara manusia, lingkungan dan Tuhan atau yang disebut dengan Tri Hita Karana.</p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Putu Agus Windu Yasa Bukian

<pre><em>Jejaitan, Banten and Upakara are three things that cannot be separated in Balinese culture. Women play an important role in maintaining the consistency of these three things. The era of revolution 4.0 with a technology basis tends to break the focus of Balinese women, they must be able to adapt themselves well without reducing the cultural meaning that has been attached to Balinese society. Share the challenges and obstacles faced by Balinese women to maintain a culture that is very closely related to religious life in Bali. This study was designed qualitatively with an explanatory approach through a brief survey with the help of Google Form media on 172 Balinese Hindu women in the Kubuaddan Village area, Buleleng Regency. The data obtained were analyzed with Nvivo 12 Plus. The results of this study resulted in four main themes, namely the meaning of jejaitan, the role of women, the burden or yadnya and learning efforts. The four themes that were produced overall show that women have a very important role. help and important bridge in the effort to maintain the culture of jejaitan, offerings and ceremonies in Bali. These three elements are part of the yadnya that is sincere to Ida Sang Hyang Widhi Wasa, this concept can defend Balinese culture from the abrasion of times and existing technology.</em><em></em></pre>


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 20
Author(s):  
Ni Kadek Surpi ◽  
Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari ◽  
I Made Gami Sandi Untara

<p>Penemuan Arca<em> Śiva Triśirah</em> di Kompleks Percandian Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Indonesia mengungkapkan hal baru dalam konstruksi Teologi Hindu Nusantara di masa lampau.  Bahwa konsep pemujaan <em>Śivaistik </em>mencapai titik kematangan teologinya dengan pemujaan atribut suci yang menuntun para pemuja menuju keberadaan Tuhan Tertinggi, yakni Siva yang melampaui waktu dan keadaan, melampaui semua nama Dewa. Konsep ini juga disebut <em>Nir-Saguna Brahman</em> dalam kontruksi Teologi Hindu Nusantara. Sebagai “Kota Imam” sejumlah simbol dan atribut ilahi yang dijadikan sebagai media pemujaan. Dataran Tinggi Dieng dianggap titik suci utama dan pertama di pulau Jawa dan Nusantara. Dieng disebut sebagai Poros Dunia, Poros Kosmik, memiliki banyak tanda-tanda suci. Dalam sejarahnya yang Panjang, Dieng merupakan titik sentral Peradaban Hindu, tempat para <em>Ṛṣi</em> mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan, memohon kesejahteraan bagi Raja Raja Hindu pada berbagai Jaman di Tanah Jawa dan Nusantara. Kompleks Candi Dieng ini memiliki usia yang sudah sangat tua karena pembangunannya telah dimulai pada abad ke- 7 dan ke-8, bahkan diyakini lebih tua lagi. sejumlah catatan menyatakan bahwa Dieng masih sebagai kompleks pemujaan Hindu pada abad ke-14 bahkan hingga abad ke-19. Awalnya Candi-Candi di Dataran Tinggi Dieng berjumlah 400 candi, namun saat ini yang tersisa hanya delapan kompleks candi.  Candi di Dataran Tinggi Dieng diberi nama tokoh-tokoh  <em>Māhābharata</em> versi pewayangan Jawa seperti Candi Arjuna, Semar, Srikandi,  Sembadra, Puntadeva, Ghatotkaca,  Setyaki, Candi Nakula dan Sadewa, Dwarawati, Pandu, Margasari, dan Candi Parikesit. Konsep Ketuhanan di dataran Tinggi Dieng bercorak <em>Śiva</em>istik dengan pemujaan Tri <strong>Mūrti. </strong>Dewa <em>Śiva Triśirah</em>, yakni <em>Śiva</em> dengan tiga wajah dan empat tangan, merupakan Dewa Tertinggi.  Namun demikian, terdapat sejumlah simbol dan atribut ilahi yang menjadi media pemujaan sebagai upaya terhubung dengan keilahian. Pemujaan atas simbol dan stribut suci ini menghidupkan fakta baru tentang kematangan konsep Teologi Hindu di Nusantara.</p><p> </p>


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 10
Author(s):  
Anak Agung Ayu Alit Widyawati ◽  
Hari Harsananda

<p>Masyarakat Indonesia apabila mendengar kata Hindu, pasti akan diidentikkan dengan ritual atau upacara-upacara keagamaan. Umat Hindu melaksanakan <em>Panca Yajña </em>yaitu lima macam <em>yajña</em> merupakan suatu kewajiban bagi umat Hindu dalam rangka membayar tiga hutang (Tri Rna) serta sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan kehidupan manusia serta alam semesta. Salah satu dari sekian banyak upacara keagamaan yang ada yakni Upacara<em> Posa </em>di Pura Dalem<em> </em>yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa <em>Pakraman</em> Bantang, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan suatu Upacara yang  unik yang merupakan tradisi keagamaan yang diterapkan oleh para leluhur terdahulu.</p><p>Prosesi upacara<em> Posa </em>dibagi menjadi tiga tahap yakni : (1) Tahap Perencanaan atau persiapan upacara; (2) Tahap Pelaksanaan dengan berbagai prosesinya; (3) Tahap Akhir dengan membagikan <em>titrha</em> <em>wangsuh pada,</em> <em>surudan</em> atau <em>lungsuran</em> bertempat di pura Bale Agung. Upacara Posa memiliki fungsi (1) Fungsi Religius yaitu sebagai permohonan keseimbangan alam kehadapan <em>Sang Hyang Widi Wasa; (2) </em>Fungsi Pelestarian Budaya yaitu upacara <em>Posa</em> diwariskan atau dialih turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (3) Fungsi Sosial yaitu mengintegrasikan seluruh masyarakat Desa <em>Pakraman</em> Bantang dalam suatu semangat kebersamaan <em>ngayah.</em> Adapun  Konsep <em>Śiwaistik</em> yang terkandung dalam pelaksanaan  upacara<em> Posa </em>lima aktivitas <em>Śiwa</em> yaitu : (1)<em> </em>Penciptaan<em> (Srsti);</em>(2) Pemelihara<em> (Sthiti</em>); (3) <em>Samhara</em> (penghancur); (4) Menutupi/pengaburan<em> (Tirobhawa);</em> dan (5) Karunia (<em>Anugraha)</em></p>


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 37
Author(s):  
Ni Wayan Budiasih

<p>Pandemi Covid-19 banyak merubah tatanan kehidupan, salah satunya tatanan pendidikan itu ditunjukkan dengan upaya Kemendikbud meluncurkan program “belajar dari rumah” sebagai alternative belajar di tengah pandemic virus Corona-19). Melihat kondisi ini, pemerintah bergerak cepat dan berusaha mensosialisasikan pembelajaran jarak jauh dan direspon positif oleh sekolah-sekolah dengan melakukan kegiatan pelatihan dalam mengembangkan kompetensi guru dalam mengoptimalkan pembelajaran daring atau online learning sebagai solusi pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan perangkat komputer atau gadget dimana guru dan siswa berkomunikasi secara interaktif dengan memanfaatkan media komunikasi dan informasi.</p>


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 86
Author(s):  
Waluyo Waluyo
Keyword(s):  

<p>Penelitian ini didasarkan pada permasalahan utama yaitu belum adanya gambaran secara komprehensif mengenai integrasi sosial umat Buddha wilayah Tangerang Pesisir yang memiliki karakteristik unik sekaligus memiliki potensi dalam upaya pencegahan konflik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan integrasi sosial umat Buddha Tangerang Pesisir. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis deskriptif. Data dikumpulkan melalui teknik nontes, menggunakan instrumen angket yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Sampel sejumlah 294 dipilih dari populasi sekitar 1.000 responden. Instrumen angket telah memenuhi validitas isi dengan <em>expert judgment </em>dan validitas empiris menggunakan rumus <em>product moment</em>. Reliabilitas angket diuji dengan rumus alpha Cronbach. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) tingkat integrasi sosial umat Buddha Tangerang Pesisir sebesar 71% (baik), dengan kategori tinggi sebesar 20%, sedang 69%, dan rendah 11%; (b) proporsi integrasi sosial umat Buddha Tangerang Pesisir berdasarkan dimensi variabel, yaitu 1,00 : 1,14 : 1,19 : 1,11; dengan rincian persentase masing-masing sebagai berikut: (a) proses integrasi sebesar 63%, (b) bentuk integrasi sebesar 72%, (c) faktor integrasi sebesar 75%, dan (d) solidaritas sosial sebesar 70%; (c) proses integrasi umat Buddha Tangerang Pesisir yang terdiri dari indikator asimilasi dan akulturasi memiliki tingkat sebesar 63% (cukup), dengan kategori tinggi sebesar 17%, sedang 78%, dan tinggi 5%; (d) bentuk integrasi umat Buddha Tangerang Pesisir yang terdiri dari indikator normatif, fungsional, dan koersif memiliki tingkat sebesar 72% (baik), dengan kategori tinggi sebesar 20%, sedang 67%, dan tinggi 13%; (e) faktor integrasi umat Buddha Tangerang Pesisir yang terdiri dari indikator internal dan eksternal memiliki tingkat sebesar 75% (baik), dengan kategori tinggi sebesar 17%, sedang 72%, dan tinggi 11%; (f) solidaritas sosial umat Buddha Tangerang Pesisir yang terdiri dari indikator mekanis dan organis memiliki tingkat sebesar 70% (baik), dengan kategori tinggi sebesar 19%, sedang 70%, dan rendah 11%.</p><p> </p><p>Kata kunci: Tangerang Pesisir, umat Buddha, Integrasi sosial.</p>


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 114
Author(s):  
Ni Wayan Silawati Silawati

<p align="center"><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p><p><em>Problems occured not only because of people selfishness or greediness, but also the lack of understanding about Tri Hita Karana concept in the community. According to Decision of Minister of Religion No. 516 the role of adviser of awareness-raising program to guide and foster community in the religious way. It is notable for the adviser of such program to understand the existing problems by providing education and better understanding of Tri Hita Karana Concept. Nonetheless the understanding and practice of Tri Hita Karan for the adviser of Hindu Religion? This issue is raised so we have visibility about the understanding and practice of Tri Hita Karan by adviser of Hindu Religion. The topic had been researched using qualitative method, gathering data by interview with the source, located in Ministry of Religion Tabanan Regency. Based on the research result, it was stated that the method which used to explain the concept of Tri Hita Karana is not good enough. The Adviser is recommended to improve the competency of advising, especially the method and strategy of advising. Therefore, according to KMA No. 516, Religious Training Centre have a duty to give training to advisers.</em></p><p><em> </em></p><p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Tri Hita Karana, Hinduism Counsellor.</em></p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document