Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

5
(FIVE YEARS 5)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Islam Bandung (Unisba)

2798-5350

2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 21-26
Author(s):  
Mochamad Adrian Pranata ◽  
Neneng Nurhasanah ◽  
Muhammad Yunus

Abstract. Islamic law emphasizes that "marriage is a form of muqayyah worship. Its validity lies in its terms and harmony. Therefore it requires / requires the presence of contracted parties, meanwhile with the development of technology, the marriage contract through the media of video calls is not considered valid if the terms and conditions are not met. The pillars or essential elements are consent and qabul. The problem points formulated in this study are How Marriage via video call media according to Islamic Law, How is the validity of the Marriage Contract through video call according to Islamic Law.The research method used is the normative juridical method. which is the object of Marriage Contract Research through video call media according to Islamic Law. The purpose of this research: To know marriage through video call media according to Islamic law, to know the validity of the marriage contract through video call media according to Islamic law.The results of the study concluded that: Marriage via video call is a consent statement uttered by the female guardian which is then answered by the male, based on technological advances through the internet media. The marriage contract through legal video call media fulfills the requirements and harmonious marriage, does not contradict Islamic law, such as a prospective husband and a female marriage guardian, two witnesses and a consent of Kabul. This is confirmed by the provisions of Article 27 to 29 Compilation of Islamic Law, among others, not intermittent, carried out directly by the guardian of marriage concerned and pronounced directly by the groom through a video call, then fulfilled, among others, harmonious, legal requirements, conditions of marriage. Abstrak. Hukum Islam menegaskan bahwa “perkawinan dinyatakan bentuk ibadah muqayyah keabsahannya terletak pada syarat dan rukunnya. Oleh karena itu mengharuskan/mensyaratkan hadirnya pihak-pihak yang berakad, sementara itu dengan perkembangan teknologi maka akad nikah melalui media video call, tidak dianggap sah jika syarat dan rukunnya ada yang tidak terpenuhi. Rukun-rukun atau unsur-unsur esensialnya adalah ijab dan qabul. Poin masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pernikahan melalui media video call menurut Hukum Islam, Bagaimana Keabsahan Akad Nikah melalui media video call menurut Hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. yang menjadi Objek Penelitian Akad Nikah melalui media video call menurut Hukum Islam. Tujuan penelitian ini : Untuk mengetahui Pernikahan melalui media Video call menurut Hukum Islam, Untuk mengetahui Keabsahan Akad nikah melalui media Video call menurut Hukum Islam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: Pernikahan melalui media video call merupakan pernyataan ijab yang diucapkan oleh wali pihak perempuan yang kemudian dijawab oleh pihak laki-laki, berdasarkan kemajuan teknologi melalui media internet. Akad nikah melalui media video call sah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, tidak bertentangan dengan hukum islam, seperti adanya calon suami dan, wali nikah pihak perempuan, dua orang saksi dan ijab kabul. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan pasal 27sampai dengan 29 Kompilasi Hukum Islam antara lain tidak berselang waktu, dilakukan langsung oleh wali nikah yang bersangkutan dan diucapkan langsung oleh mempelai laki-laki melalui video call, Kemudian terpenuhi antara lain rukun, syarat sah, syarat-syarat perkawinan.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 1-5
Author(s):  
Annisa Sherin Millenia ◽  
Maman Abdurrahman ◽  
Ilham Mujahid

Abstract. Research in this thesis is a type of descriptive research. The data used in this study is secondary data with primary legal material in the form of Al-Qur'anul Karim, Compilation of Islamic Law, Law No. 1 of 1974, Law No. 48 of 2009 on the Power of Justice. While the approach the author uses is juridical normative. The author uses data collection techniques or library research in accordance with PERMA No. 1 Year 2019 on The Administration of Cases and Hearings in the Court conducted electronically, however, the facts that occurred, the absence of the respondent at the court on the grounds that the existence of PSBB, although the call has been made officially and appropriately. In the examination of the Respondent from the attorney general the applicant submits an application to the panel of judges to continue the trial and examine the respondent via video call. The results of this study showed that the discretion of the Judge in deciding the divorce lawsuit through a video call in the Brass Religious Court, the judge prioritized the principle of justice and efficacy for the community, especially to the litigants. Abstrak. Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan bahan hukum primer berupa Al-Qur’anul Karim, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sementara pendekatan yang penulis gunakan adalah yuridis normatif. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data atau library research Sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Adminsitrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan dilakukan secara elektronik, Namun, Fakta yang terjadi, ketidakhadiran dari termohon di persidangan dengan alasan saat itu adanya PSBB, meskipun telah dilakukan panggilan secara resmi dan patut. Dalam pemeriksaan Termohon dari kuasa hukum pemohon mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk tetap melanjutkan persidangan dan memeriksa pihak termohon melalui video call. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diskresi Hakim dalam memutus perkara gugatan cerai talak melalui video call di Pengadilan Agama Kuningan, hakim mengutamakan asas keadilan dan kemanfatan bagi masyarakat, khususnya kepada pihak yang berperkara.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 16-20
Author(s):  
Mira Safira Fratiwi

Abstract. Inheritance assets are all assets left by the heir due to his death, which have been free from religious and mundane obligations such as medical expenses when the heir is sick until his death, the cost of managing the corpse, zakat, donations or waqf that he has ever declared, or debts, ransoms and so on. . However, based on the author's research, there is a legal product, namely Law Number 20 of 2000 concerning Amendments to Law Number 21 of 1997 concerning Fees for Acquiring Rights on Land and Buildings (BPHTB). One of the provisions that has just been regulated in the Law is regarding the object of inheritance as stated in Article 2 paragraph (2). Based on the description, the problem points are how the tax concept in Islamic law and positive law, and how to analyze Islamic law on Article 2 paragraph (2) of Law Number 20 of 2000 concerning BPHTB. This research is a qualitative literature research with descriptive-analysis data processing techniques. The results of the research are that in Islamic law there is no term inherited property as a provision for tax objects, and according to Islamic law taxes are allowed to be levied on condition that the collection must be temporary if a state or Baitul Mal is experiencing a vacuum. Abstrak. Harta waris merupakan semua harta yang ditinggalkan pewaris karena wafatnya, yang telah bersih dari kewajiban-kewajiban keagamaan dan keduniaan seperti biaya keperluan pengobatan ketika pewaris sakit hingga wafatnya, biaya pengurusan jenazah, zakat, infak atau wakaf yang pernah dinyatakannya, atau hutang, tebusan dan sebagainya. Namun berdasarkan hasil penelitian penulis, terdapat produk hukum yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Salah satu ketentuan yang baru diatur di dalam Undang-Undang tersebut adalah mengenai objyek warisan yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (2). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana konsep pajak dalam hukum Islam dan Hukum Positif, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap Pajak Waris dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan dengan Teknik pengolahan data deskriptif-analisis. Adapun hasil penelitiannya adalah bahwa di dalam hukum Islam tidak ada istilah harta warisan dijadikan sebagai ketentuan obyek pajak, dan menurut hukum Islam pajak diperbolehkan untuk di pungut dengan syarat pemungutannya harus bersifat temporer jika keadaan suatu negara atau Baitul Mal sedang mengalami kekosongan. Kata Kunci: Waris, Hukum Islam 


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 11-15
Author(s):  
M Wildan Firdaus ◽  
Neneng Nurhasanah ◽  
Siska Lis Sulistiani

Abstract. Waqf is a legal act of wakif to give up part of his property to be used forever or for a certain period of time. PC Persis Pangalengan District is a religious organization and has an organizational management structure that deals specifically with waqf issues. At PC Persis Pangalengan Subdistrict, the waqf pledge pledged Rp. 65,000,000 in cash waqf funds for the purchase of an ambulance, but because PC Persis Pangalengan received a grant of 1 ambulance from PD Persis Bandung Regency, the allocation of waqf funds was diverted to clinic renovation. The purpose of this study was to determine the transfer of waqf assets in the Pangalengan Islamic Union PC according to Islamic Law and Law no. 41 of 2004 concerning Waqf. This research method uses a qualitative approach. Data collection was done by means of literature study and interviews. It can be concluded that according to Islamic law it states that the majority allow the transfer of waqf assets with a note that it is intended for the general benefit. And according to Law No.41 of 2004 it is permissible because there are more articles that allow the transfer of waqf assets than articles that do not allow the transfer of waqf assets. According to Islamic law, the transfer of waqf assets is permitted with the aim of the usefulness of the object or waqf objects being sustainable even though they are exchanged, sold or converted, as long as they are based on the general benefit. As for according to Law no. 41 of 2004 concerning waqf the transfer of waqf assets is permitted provided that nadzir reports it to BWI. Abstrak. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu. PC Persis Kecamatan Pangalengan merupakan sebuah organisasi keagamaan dan memiliki struktur kepengurusan organisasi yang khusus menangani masalah perwakafan. Di PC Persis Kecamatan Pangalengan,pada ikrar wakaf pihak wakif mengikrarkan dana wakaf uang senilai Rp.65.000.000 untuk pembelian mobil ambulance,namun dikarenakan PC Persis Pangalengan mendapatkan hibah 1 buah mobil ambulance dari PD Persis Kabupaten Bandung,maka alokasi dana wakaf tersebut dialihkan untuk renovasi klinik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalihan aset wakaf di PC Persatuan Islam Pangalengan menurut Hukum Islam dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Studi Kepustakaan, dan Wawancara. Dapat disimpulkan menurut hukum Islam menyatakan bahwa mayoritas membolehkan pengalihan aset wakaf dengan catatan bertujuan untuk kemaslahatan umum.Dan menurut Undang-Undang No.41 Tahun 2004 itu dibolehkan karena lebih banyak Pasal yang membolehkan pengalihan aset wakaf dari pada Pasal yang tidak memperbolehkan pengalihan aset wakaf. Menurut hukum Islam pengalihan aset wakaf diperbolehkan dengan tujuan nilai kemanfaatan dari objek atau benda wakaf tersebut dapat berkesinambungan meskipun dengan cara ditukar, dijual atau dialih-fungsikan, selama didasarkan pada kemaslahatan umum. Adapun menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf pengalihan aset wakaf itu diperbolehkan dengan catatan nadzir melaporkan kepada pihak BWI.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 6-10
Author(s):  
Ai Pebrianti Purwa Delimas ◽  
Siska Lis Sulistiani ◽  
Ilham Mujahid

Abstract. Marriage that will bring peace and spirituality, must have the same religious beliefs, must not be of different religions, in accordance with the Word of Allah, Surat Al-Baqarah: 221 and encouraged by Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, with this type of qualitative research. In the case of interfaith marriages, which are manifested in related books, journals, theses, articles, do not forget the Al-Qur'an and Sunnah in accordance with this theme. The purpose of this research is to look in depth about interfaith marriage according to Islamic law and according to the Marriage Law. What are the views of these two sources and the location of the similarities or similarities of Islamic law and the law on interfaith customary marriages. The result of this research is that in Islamic law it is not allowed because of a new breakthrough in faith. Therefore, inter-religious marriages, for various reasons such as better than allowing cohabitation. There is also the opinion that this may have been her match and is a human right. This reason cannot be accounted for, both in Islamic law and in state law, because in law, marriage will be said to be valid according to the law of each religion, it is said to be valid, because marriage will be accounted for before Allah SWT as a creator who has worked with all His perfection. Abstrak. Perkawinan yang akan membawa ketenangan lahiriyah dan bathiniyah itu, harus sama keyakinan agamanya, tidak boleh berbeda agama, sesuai dengan Firman Allah Surat Al-Baqarah : 221 dan di dorong dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan jenis penelitian kualititif yaitu menelusuri terhadap pelaku terjadinya perkawinan beda agama dan dihubungkan dengan buku-buku yang terkait, jurnal, skripsi, artikel tidak lupa Al-Qur’an dan sunnah yang sesuai dengan tema ini. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui secara mendalam tentang pernikahan beda adat beda agama menurut hukum Islam dan menurut Undang-Undang Perkawinan. Bagaimana pandangan dari dua sumber tersebut serta letak perbedaan atau persamaan dari hukum Islam dan Undang-undang mengenai perkawinan adat beda agama. Hasil dari penelitian ini bahwa dalam hukum Islam tidak diperbolehkan karena menyangkut perbedaan iman. Oleh sebab itu, perkawinan antar penganut agama, dengan berbagai macam alasannya seperti lebih baik dari pada membiarkan kumpul kebo. Ada juga beranggapan bahwa ini mungkin sudah jodohnya dan merupakan hak asasi manusia. Alasan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum Islam maupun hukum negara, karena dalam undang-undang pun perkawinan akan dikatakan sah apabila menurut hukum masing-masing agama nya dikatakan sah, karena perkawinan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT sebagai pencipta yang telah mengatur kehidupan dengan segala kesempurnaan-Nya.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document