Journal of Psychological Science and Profession
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

108
(FIVE YEARS 75)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Padjadjaran

2598-3075, 2614-2279

2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 258
Author(s):  
Cut Helena ◽  
Melok Kinanthi

Keluarga dengan orang tua tunggal rentan mengalami tekanan atau situasi sulit. Agar dapat beradaptasi secara optimal, perlu dipastikan keluarga resilien. Dengan demikian, penting untuk mengetahui faktor yang berkontribusi terhadap resiliensi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran koherensi diri terhadap resiliensi keluarga dengan orang tua tunggal, yakni ibu. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan desain asosiatif. Partisipan yang terlibat dalam penelitian sebanyak 104 orang, yakni ibu yang merupakan orang tua tunggal, yang dipilih melalui convenience sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Sense of Coherence 13 (Antonovsky & Sourani, 1988) untuk mengukur koherensi diri dan Walsh Family Resilience Questionnaire (Walsh, 2012) untuk mengukur resiliensi keluarga. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji regresi. Temuan penelitian ini menunjukkan koherensi diri berkontribusi secara signifikan dan positif terhadap resiliensi keluarga dengan orang tua tunggal, dengan kontribusi sebesar 58,2%. Temuan ini mengindikasikan pendekatan berbasis penguatan personal maupun keluarga dapat dipertimbangkan dalam memberdayakan keluarga dengan orang tua tunggal.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 192
Author(s):  
Vida Jessica Yosefina ◽  
Megawati Batubara

Perbedaan generasi dalam lingkungan kerja yang sama dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan, tetapi di saat yang sama juga dapat menghadirkan tantangan bagi organisasi karena setiap generasi memiliki karakteristik khas yang berbeda satu sama lain. Fenomena ini terjadi di PT. TI, dimana saat ini karyawan aktif disana terdiri dari empat generasi berbeda. Ketika seluruh generasi diharuskan untuk bekerja dalam lingkungan kerja yang sama, maka dapat terbentuk intergenerational climate. Perbedaan karakteristik masing-masing generasi diasumsikan akan menyebabkan intergenerational climate yang dipersepsikan oleh tiap-tiap generasi pun dapat beragam. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan intergenerational climate menurut generasi X dan generasi Y. Rancangan penelitian ini adalah non-eksperimental kuantitatif, dengan metode studi deskriptif. Penelitian ini dilakukan pada 80 orang karyawan generasi X dan 65 orang karyawan generasi Y dengan teknik pengambilan sampel cluster sampling. Intergenerational climate diukur menggunakan WICS (King & Bryant, 2017) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi terkait intergenerational climate yang tercipta baik itu menurut generasi X ataupun generasi Y pada karyawan PT. TI, dimana mayoritas responden dari kedua generasi mempersepsikan intergenerational climate yang tercipta favorable. Temuan ini membuktikan bahwa walaupun terdapat perbedaan karakteristik pada generasi yang berbeda, namun dinamika kerja antargenerasi yang tercipta dapat dipersepsikan secara sama, yaitu dipersepsikan menyenangkan, oleh mayoritas karyawannya. Ditemukan pula bahwa terdapat pengaruh subskala intergenerational climate terhadap intergenerational climate yang tercipta dan subskala yang memiliki kontribusi terbesar dalam penelitian ini adalah subskala intergenerational contact.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 203
Author(s):  
Ismi Putri Herianda ◽  
Esti Wungu ◽  
Rintana Dewi

Kesepian adalah kondisi yang tidak menyenangkan, subjektif, dan terjadi saat interaksi jika adanya kebutuhan dalam hubungan sosial yang tidak terpenuhi. Kesepian terbagi ke dalam dua jenis, yaitu kesepian sosial (terjadi karena hubungan pertemanan) dan kesepian emosional (terjadi karena hubungan keluarga dan hubungan percintaan). Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang hanya mengambil mata kuliah skripsi mengalami perubahan interaksi sosial, seperti jarang bertemu dan perbedaan topik pembicaraan dengan teman yang sudah lulus maupun belum lulus, merasa tertekan oleh keluarga, dan perubahan dalam hubungan percintaan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran empiris mengenai kondisi kesepian yang dilihat dari kondisi kesepian sosial dan kondisi kesepian emosional pada mahasiswa tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 330 mahasiswa Universitas Padjadjaran dengan karakteristik angkatan 2013-2015 yang hanya mengambil mata kuliah skripsi menggunakan teknik proporsional stratified random sampling. Peneliti menggunakan rancangan non- eksperimental dengan metode penelitian deskriptif dan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner SELSA (Social Loneliness Scale For Adults) secara daring. Hasil penelitian memperlihatkan mayoritas mahasiswa memiliki kondisi kesepian (n = 272), kesepian sosial (n = 271), dan kesepian emosional (n = 233) pada tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kesendirian dan sudah dapat mengatasi kesepian yang dirasakan saat sedang sendirian.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 177
Author(s):  
Rahmi Lubis ◽  
Zahrotur Rusyda Hinduan ◽  
Ratna Jatnika ◽  
Hendriati Agustiani

Perilaku seksual dini menimbulkan dampak yang merugikan bagi remaja. Perilaku seksual remaja dapat diprediksi melalui intensi seksual. Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi seksual remaja adalah keyakinan mengenai hubungan seksual yang bersumber dari pengetahuan, pengalaman, dan ketersediaan sarana di lingkungan. Namun, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi seksual remaja dan membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor demografi dan perilaku yang membentuk intensi seksual pada 1,006 siswa SMA di Medan. Penelitian ini menggunakan Skala Intensi Seksual Remaja Indonesia untuk mengukur intensi seksual remaja dan uji beda non- parametrik Kruskall-Wallis dan Mann Whitney U sebagai teknik analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, pengalaman seks pertama, pengalaman seksual, status hubungan romantis, dan sumber informasi seksual menyebabkan perbedaan intensi seksual. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menyusun program pencegahan dan penanganan masalah hubungan seksual dini yang diarahkan pada pemberian edukasi seksual sedini mungkin, pelibatan teman sebaya dan media dalam komunikasi seksual yang sehat, serta penguatan fungsi pengawasan orang tua.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 213
Author(s):  
I Made Ari Nugraha Saputra ◽  
Diah Widiawati Retnoningtyas ◽  
I Rai Rahardika

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara resiliensi dengan infertility-related stress. Resiliensi adalah kualitas diri individu untuk bangkit atau bertahan dalam situasi sulit, sedangkan infertility-related stress atau stres infertilitas adalah stres yang muncul sebagai akibat dari infertilitas yang dialami. Tipe penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode uji korelasional. Partisipan dalam penelitian ini adalah wanita yang mengalami infertilitas dan bertempat tinggal di Bali (n = 119) yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel resiliensi adalah Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC), sedangkan untuk mengukur variabel infertility-related stress menggunakan Copenhagen Multi Central Psychosocial Infertility-Fertility Problem Stress Scale (COMPI-FPSS). Kedua alat ukur tersebut telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia, masing-masing memiliki nilai reliabilitas sebesar .923 untuk CD-RISC dan .938 untuk COMPI-FPSS. Hasil dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara resiliensi dengan infertility-related stress dengan nilai signifikansi .012 (p < .05) dengan koefisien korelasi menunjukkan arah hubungan negatif dan kekuatan hubungan yang lemah (-.229). Hasil tersebut memiliki arti bahwa makin tinggi tingkat resiliensi yang dimiliki, maka makin rendah tingkat stres infertilitas yang dirasakan dan begitu pula sebaliknya.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 248
Author(s):  
David Paulus ◽  
Eva Septiana

Salah satu proses evaluasi yang dilakukan untuk menentukan kelulusan siswa SMA di Indonesia adalah melalui Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN). UN maupun USBN tidak terlepas dari berbagai kecurangan akademik. Dari berbagai penelitian terdahulu, sebagian besar siswa pernah melakukan kecurangan akademik dalam berbagai bentuk. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi perilaku kecurangan akademik, di antaranya adalah academic self-efficacy dan takut akan kegagalan. Academic self-efficacy memiliki hubungan negatif dengan kecurangan akademik dan di sisi lain, takut akan kegagalan memiliki hubungan positif dengan perilaku kecurangan akademik. Beberapa penelitian menunjukkan keduanya merupakan faktor dominan dalam perilaku kecurangan akademik sehingga salah satu tujuan penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh kedua variabel terhadap kecurangan akademik ketika keduanya dalam kategori tinggi. Populasi partisipan penelitian merupakan siswa SMA kelas 12. Pengumpulan data menggunakan kuesioner daring dengan teknik convenience sampling. Partisipan dalam penelitian berjumlah 875 siswa dari 146 sekolah, 56 kota dan 22 provinsi di Indonesia. Analisis dilakukan dengan uji multiple regression dan factorial anova. Hasil penelitian menunjukkan academic self-efficacy dan takut akan kegagalan memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku kecurangan akademik. Makin tinggi academic self-efficacy dan makin rendah takut akan kegagalan berpengaruh terhadap kecurangan akademik yang makin rendah dan begitu pula sebaliknya. Namun demikian, kecurangan akademik berada dalam kategori tinggi jika derajat takut akan kegagalan tinggi meskipun dengan academic self-efficacy yang tinggi. Pengaruh keduanya terhadap kecurangan akademik dapat memberikan umpan balik kepada stakeholder untuk meningkatkan academic self- efficacy dan menurunkan takut akan kegagalan dalam upaya mengurangi perilaku kecurangan akademik yang terjadi.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 236
Author(s):  
Ihsana Sabriani Borualogo

Pandemi COVID-19 telah memasuki tahun kedua dan membatasi relasi sosial anak dan remaja dengan teman- temannya. Penelitian ini bertujuan menguji persepsi anak dan remaja mengenai relasinya dengan teman di masa pandemi terhadap subjective well-being (SWB) serta menguji mode komunikasi yang digunakan oleh anak dan remaja untuk berinteraksi dengan teman yang berperan terhadap SWB. Partisipan penelitian ini (N = 1,657; 45.1% perempuan; 54.9% laki-laki) adalah anak dan remaja usia 10-18 tahun (M = 14.85) di Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan secara dalam jaringan (daring) menggunakan Google Form dengan teknik sampling convenience. SWB diukur menggunakan Children’s Worlds Subjective Well-Being Scale 5 items (CW-SWBS5), sedangkan persepsi mengenai relasi dengan teman diukur menggunakan alat ukur relasi dengan teman dari Children’s Worlds. Data dianalisis menggunakan regresi linear berganda dan analisis deskriptif menggunakan ANOVA. Hasil menunjukkan persepsi anak bahwa mereka memiliki teman yang cukup, teman yang biasanya baik, dan teman yang memberikan dukungan saat anak memiliki masalah, berkontribusi positif terhadap SWB anak, di mana skor SWB secara signifikan lebih tinggi dibandingkan skor SWB anak yang mempersepsi tidak memiliki cukup teman, teman biasanya tidak baik, dan teman tidak memberikan dukungan saat anak memiliki masalah. Penggunaan mode komunikasi voice call, Twitter, video call, dan Instagram yang digunakan untuk berinteraksi dengan teman pada tahun kedua pandemi dapat memprediksi SWB anak dan remaja. Guna mempertahankan tingkat SWB anak dan remaja di masa pandemi, hendaknya orang tua mengizinkan anak tetap menjalin relasi sosial dengan teman-temannya menggunakan mode komunikasi daring di masa pembatasan jarak sosial di bawah supervisi orang tua.


2021 ◽  
Vol 5 (3) ◽  
pp. 224
Author(s):  
Azka Amalina ◽  
Eva Septiana

Sejak adanya pandemi COVID-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menginstruksikan sekolah untuk menerapkan sistem Belajar Dari Rumah (BDR). Pembelajaran dan penilaian yang tidak dilakukan secara langsung tidak terlepas dari adanya isu kecurangan akademik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dari faktor kecurangan akademik, yaitu achievement goal orientation dan norma subjektif dalam memprediksi kecurangan akademik yang dilakukan peserta didik jenjang pendidikan menengah atas selama BDR. Partisipan pada penelitian ini terdiri dari 183 orang peserta didik jenjang pendidikan menengah atas yang melaksanakan BDR. Partisipan dipilih dengan convenience sampling dan snowball sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Academic Dishonesty Scale, Achievement Goal Questionnaire, dan bagian Norma Subjektif dari The Perception and Attitudes toward Cheating among Engineering Students Survey, version 2 yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia serta disesuaikan dengan pembelajaran BDR dan populasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe achievement goal orientation dan norma subjektif secara bersama-sama signifikan dalam memprediksi kecurangan akademik, namun jika dilihat lebih lanjut, hanya norma subjektif yang secara signifikan memprediksi kecurangan akademik. Sementara itu, tipe achievement goal orientation tidak memiliki peran yang signifikan dalam memprediksi kecurangan akademik. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam melakukan kecurangan akademik, siswa jenjang pendidikan menengah atas lebih dipengaruhi oleh persepsinya terhadap teman sebaya dibandingkan dengan tujuan belajarnya. Oleh karena itu, dalam melakukan penanganan dan pencegahan terkait kecurangan akademik selama BDR, perlu dilakukan intervensi yang bersifat sistemik dibandingkan dengan intervensi individual.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 80
Author(s):  
Mutiara Tioni Asprilia ◽  
Zainal Abidin

Gangguan attachment merupakan efek yang paling jelas terlihat pada anak-anak yang dibesarkan di suatu institusi seperti panti asuhan. Attachment anak dengan pengasuh di usia dini merupakan hal yang penting karena dapat terkait dengan kesehatan emosional, self-esteem, rasa percaya diri, dan kemampuan interaksi sosial yang baik kelak pada saat anak menginjak usia remaja. Meskipun telah dilakukan usaha untuk menjadikan panti asuhan sebagai tempat yang dapat menggantikan peran keluarga biologis, tinggal di panti asuhan menghilangkan kesempatan anak untuk mengalami kehidupan keluarga yang penting bagi anak dalam mengembangkan hubungan sosial yang sehat. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pola attachment dan kualitas hubungan sosial berdasarkan Social Relations Model (SRM) pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Hasil dari penemuan ini dapat dijadikan landasan untuk penelitian lanjutan yang hendak meneliti hubungan sosial anak di panti asuhan. Metode campuran digunakan untuk memperoleh gambaran yang luas mengenai SRM remaja. Data diperoleh melalui wawancara dan kuesioner. Remaja yang tinggal di panti asuhan (N=3) diminta mengikuti proses wawancara. Data kuantitatif dijabarkan dalam bentuk tabel, dan data kualitatif dijelaskan menggunakan analisis SRM dengan pendekatan fenomenologis. Pada penelitian ini, dua orang responden menunjukkan pola secure attachment dan satu orang dengan pola dismissive attachment. Berdasarkan tipe attachment, terlihat perbedaan pola hubungan sosial. Tipe secure attachment dapat mengekspresikan emosinya dengan mudah dan memandang pengasuh sebagai sosok yang afektif. Tipe dismissive attachment cenderung tidak mudah mengekspresikan emosinya dan tidak memandang pengasuh sebagai sosok yang afektif. 


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 93
Author(s):  
Yohanes Ari Setiawan

PT. X mengalami penurunan target penjualan yang salah satunya disebabkan oleh tingginya tingkat turnover pada karyawan mereka dalam kurun waktu tiga tahun. Hasil exit interview PT. X menunjukkan bahwa alasan-alasan mereka yang keluar meliputi tidak cocok dengan atasan, administrasi perusahaan yang terlalu rumit dan bertele-tele, dukungan organisasi yang kurang dari perusahaan, kurangnya keamanan dan keuntungan yang didapat di perusahaan, peran ganda antara keluarga kerja, serta adanya peluang karier di luar PT. X. Alasan tersebut termasuk ke dalam dimensi kualitas kehidupan kerja, work-family conflict, dan persepsi peluang kerja. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menganalisis peran kualitas kehidupan kerja, work-family conflict, dan persepsi peluang kerja terhadap intensi pindah kerja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan total populasi 62 karyawan PT. X. Data dianalisis dengan menggunakan regresi linear ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peran kualitas kehidupan kerja dengan nilai R2 = 0,297 (p < 0,05), peran work-family conflict dengan nilai R2 = 0,138 (p < 0,05), dan persepsi peluang kerja dengan nilai R2 = 0,233 (p < 0,05) terhadap intensi pindah kerja. Diperolehnya nilai F = 12,411 (p < 0,05) dan nilai R2 = 0,391 menunjukkan bahwa terdapat peran kualitas kehidupan kerja, work-family conflict, dan persepsi peluang kerja terhadap intensi pindah kerja karyawan PT. X dengan kontribusi sebesar 39,1%. Dengan demikian, ketiga variabel tersebut secara bersama-sama memengaruhi intensi pindah kerja karyawan PT. X.  


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document