Jurnal Konstitusi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

250
(FIVE YEARS 100)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Constitutional Court Of The Republic Of Indonesia

2548-1657, 1829-7706

2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 138
Author(s):  
Hamid Chalid ◽  
Arief Ainul Yaqin

Isu mengenai pernikahan sesama jenis adalah isu internasional yang sangat kontroversial dewasa ini. Isu ini telah menggiring masyarakat dunia yang berasal dari berbagai lingkungan budaya, agama, dan negara ke dalam perdebatan yang membelah pemikiran dan sikap mereka; apakah pernikahan sesama jenis harus dilegalkan atau justru dilarang? Mengenai hal itu negara-negara di dunia berbeda sikap antara yang satu dengan yang lainnya, ada yang melegalkannya, ada yang melarang dan mengkriminalisasikannya, dan ada juga negara yang tidak memiliki hukum yang tegas dan spesifik apakah melegalkan atau melarangnya. Oleh karena terdapat pandangan yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dalam menyikapi fenomena pernikahan sesama jenis maka penelitian ini akan mencari jawaban dan kesimpulan atas pertanyaan krusial berikut ini: apakah pernikahan sesama jenis merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal sehingga semua negara harus mengakui dan melegalkannya?


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 022
Author(s):  
Mohamad Rifan ◽  
Liavita Rahmawati
Keyword(s):  

Herman Heller memaknai bahwa Konstitusi hakikatnya mengalami 3 (tiga) tahap: yakni konstitusi sebagai kenyataan; konstitusi dalam proses abstraksi; dan konstitusi dalam kodifikasi. Suatu konstitusi yang telah melewati siklus kodifikasi merupakan cermin bahwa ia telah menemukan wujud dan posisinya sebagai suatu kenyataan kehidupan sosial-politik dalam masyarakat, atau setidaknya konstitusi tersebut dapat menggambarkan konsep fundamental dari sebuah negara atas mapannya pemikiran masyarakat. Memaknai pemahaman tersebut, konteks perumusan konstitsusi sebagai abstraksi daripada nilai yang hidup dinamis di masyarakat (hukum dan perubahan masyarakat), khususnya masyarakat desa pada masa reformasi yang mengalami pergeseran signifikan karena kesalahan abstraksi pada konstitusi. Memposisikan desa sebagai salah satu sub-sistem pemerintahan yang telah eksis dimasa Negara Nusantara (sebelum Indoensia), tercetus menjadikan desa telah memposisikan konstitusi pada masa tersebut tanpa melewati tahap abstraksi hingga kodifikasi. Sehingga bentuk konstitusi sebagai hukum yang terdapat didalamnya bersandar pada ketentuan ketuhanan (hukum alam) jauh dari presepsi nilai yang dibangun pada skema rasionalitas dan logika peraturan. Melalui metode penelitian yuridis normative dan 3 (tiga) pendekatan: sejarah (Historical approach), konseptual (conseptual approach), dan perundang-undangan (statue approach), Tujuan penelitian ini adalah untuk menelusuri makna konstitusi desa sebagai satu kesatuan kenyataan masyarakat desa dengan menganalisis konteks kesejarahan serta hal-hal yang melatarbelakangi kecenderungan presepsi masyarakat desa sebelum konstitusi melewati tahap kodifikasi dan eksistensi dari konstitusi desa itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan yang tercermin dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 091
Author(s):  
King Faisal Sulaiman

Riset ini mengkaji pertama, aspek pembentukan UU No.2/2012. Kedua, tafsir makna pembangunan untuk kepentingan umum. Ketiga, proses ganti kerugian pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan. Terakhir, polemik putusan MK No. 50/PUU-X/2012. Temuan riset menunjukan, aspek prosedural pembentukan UU No. 2/2012, belum sesuai kaidah pembentukan peraturan perundangan yang berlaku. Begitu pula, konsepsi makna kepentingan umum  dan proses ganti rugi atas tanah masih jauh dari spirit UUPA Jo Pasal 33 UUD 1945. Pasca putusan MK, perlu legislatif review UU No. 2/2012, untuk mendekonstruksi makna “fungsi sosial tanah” agar sesuai falsafah Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA. DPR harus segera menyelesaikan RUU Pembaruan dan Penataan Struktur Agraria, RUU Penyelesaian Konflik Agraria, dan RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam, sebagai amanat  Tap MPR No. IX/2001 Jo Tap MPR No. V/2003. Pembangunan untuk kepentingan umum, harus diletakkan dalam spirit fungsi sosial tanah dan reformasi agraria demi mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 112
Author(s):  
Made Oka Cahyadi Wiguna

Today there are still many problems with the existence and traditional rights of indigenous and tribal peoples. These problems tend to place the indigenous and tribal peoples in a weak and marginalized position. Not without reason, it is due to the unequal perception of all related parties, in positioning customary land and indigenious peoples in the context of national and state life based on Pancasila and the Constitution. The issue that will be discussed in this paper is about how to realize progressive legal protection of the existence of indigenous and tribal peoples to realize their welfare. This paper will use the conceptual approach method, namely the Pancasila concept as a source of ideas in providing legal protection to indigenous and tribal peoples. Furthermore, it also uses a conceptual approach from thought of progressive law. The existence of the status quo in providing legal protection to indigenous and tribal peoples which tends to be static, conditional and legalistic which has been done so far. Legal protection is more concerned with how the criteria regarding indigenous and tribal peoples will be recognized. The state should have dared to make policy and legal breakthroughs to provide legal protection based on guidance and empowerment. These policy and legal breakthroughs can refer to thougt of progressive law, which positions the law for humans with the aim of providing justice, welfare and happiness for indigenous and tribal peoples based on Pancasila and the Constitution.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 168
Author(s):  
Yunita Nurwulantari ◽  
Anna Erliyana
Keyword(s):  

Pengujian keputusan pejabat publik di Indonesia yang selama ini menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) seharusnya dapat dilakukan melalui mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang ditambahkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Hal ini disebabkan semua pejabat publik berpotensi untuk melakukan perbuatan yang melanggar atau merugikan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penambahan kewenangan untuk menguji dan memutus perkara pengaduan konstitusional ini seharusnya dimungkinkan dalam rangka menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi sebagaimana diimplementasikan pada negara-negara yang menerapkan prinsip supremasi konstitusi, salah satunya adalah sebagaimana yang diterapkan dalam Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Sekalipun Korea Selatan memiliki peradilan administrasi yang juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian keputusan pejabat publik, namun Korea Selatan masih membuka ruang bagi warga negaranya untuk melakukan pengaduan konstitusional di Mahkamah Konstitusi Korea manakala terdapat keputusan pejabat publik yang dinilai merugikan dan melanggar hak konstitusional warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi. Dengan demikian, manakala seluruh upaya hukum (legal remedy) atas pelanggaran hak konstitusional akibat dikeluarkannya suatu keputusan pejabat publik, telah dilakukan (exhausted), namun pelanggaran tetap terjadi, maka adanya mekanisme pengaduan konstitusional menjadi kebutuhan untuk memberikan perlindungan yang maksimum atas hak konstitusional warga negara. Oleh karenanya, penambahan kewenangan untuk mengadili dan memutus perkara pengaduan konstitusional itupun juga tidak dapat dipisahkan dari kewenangan Mahkamah Konstitusi.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 219
Author(s):  
Lisnawaty W Badu ◽  
Julisa Aprilia Kaluku ◽  
Abas Kaluku

Problematika terhadap masyarakat adat yang ada di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo sering terjadi, terutama pada pemberian sanksi adat. Pemberian sanksi adat tanpa disertai regulasi yang jelas akan menimbulkan akibat hukum dikemudian hari. Padahal pemenuhan hak-hak konstutisional terhadap masyarakat adat sudah diberikan oleh negara sepenuhnya, sebagaimana yang terkandung dalam pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dimana aturan ini merupakan amanat dari negara yang diberikan kepada daerah. Ketentuan tersebut yang paling sering dirujuk ketika membicarakan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai subjek penyandang hak yang menjadi isu sentral dalam pelaksanaan perlindungan hak konstitusional masyarakat adat yang ada di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan hukum masyarakat adat serta pemenuhan hak-hak konstitusional terhadap sanksi adat khususnya yang terdapat di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo yang diberikan oleh negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sumber data utamanya adalah data sekunder, dengan menggunakan 2 metode pendekatan, yaitu statute approach dan case approach. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum adat berserta sanksi adatnya masihlah utuh dan teguh dipertahankan masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi perhatian negara terutama untuk memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat adat. Namun, sanksi adat yang diberlakukan oleh desa ini, tidak diperkuat dalam sebuah peraturan daerah, sehingga hak-hak konstitusional yang harusnya menjadi semangat otonomi suatu daerah, untuk memberikan suatu keadilan dalam sebuah peradilan hanya diselesaikan dengan jalan musyawarah, yang tentunya tidak mendapatkan kepuasaan dari Sebagian pihak yang bertikai. 


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 001
Author(s):  
Idul Rishan
Keyword(s):  

Studi ini difokuskan pada konsep pengujian formil undang-undang di mahkamah konstitusi. Riset ini bertujuan untuk memperoleh dua hal. Pertama, alasan kebutuhan uji formil di mahkamah konstitusi. Kedua, menawarkan konsep pengujian formil undang-undang di mahkamah konstitusi. Metode riset merupakan penelitian hukum doktriner dengan basis data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan; (1) tiga hal yang menjadi alasan faktual kebutuhan uji formil dalam praktik pengujian di Mahkamah Konstitusi. Pertama, alasan konsepsi pengujian, kedua, perkembangan demokrasi dan ketiga, kebutuhan praksis.(2) Hasil penelitian ini membantah persepsi yang menyatakan bahwa uji formil tidak memiliki titik koordinat yang jelas dalam undang-undang dasar. Dengan menggunakan analisis Rubenfeld memperlihatkan bahwa, konstitusi juga mengakomodir perlindungan hak konstitusional warga negara dalam dueprocess of law making.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 044
Author(s):  
Alboin Pasaribu ◽  
Intan Permata Putri

Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap UUD 1945 merupakan pengujian norma yang bersifat abstrak, berbeda dengan karakteristik perkara yang lain Provisi dalam PUU merupakan ketidaklaziman. Provisi melekat pada perkara yang bersifat penerapan norma konkret. Melihat Putusan No 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian UU KPK, mahkamah mengabulkan permohonan provisi dan mengambil langkah progresif untuk menjamin keadilan. Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan konseptual, yang ingin mencari model dari putusan provisi dalam pengujian Undang-Undang serta mencari kriteria permohonan provisi dikabulkan. Simpulan dari tulisan ini adalah terdapat 3 model dari putusan provisi yakni: a.Putusan provisi yang dijatuhkan tatkala proses pemeriksaan perkara sedang berlangsung dan dituangkan secara tertulis sebelum menjatuhkan putusan akhir; b. Putusan provisi yang diucapkan secara lisan di dalam persidangan ketika proses pemeriksaan perkara sedang berlangsung dan ditegaskan kembali secara tertulis dalam putusan akhir; dan c. Putusan provisi yang diputus secara bersamaan dengan pokok permohonan di dalam putusan akhir. Sedangkan untuk kriteria diambilnya putusan provisi merujuk pada ketentuan hukum acara dan perkara-perkara yang permohonan provisinya diterima oleh MK sebagaimana dikemukakan di atas, maka dasar diajukannya permohonan provisi dalam perkara pengujian undang-undang dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Terdapat dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; b. Melindungi hak-hak konstitusional pemohon yang sangat terancam dan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir; dan c. Mendesaknya waktu untuk segera mendapatkan putusan hakim, khususnya berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 066
Author(s):  
Mohamad Mova Al'afghani ◽  
Bisariyadi Bisariyadi
Keyword(s):  

Undang-Undang Cipta Kerja menekankan pada kemudahan untuk melakukan usaha. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah penyederhanaan perizinan berusaha. Konsep Regulasi Berbasis Risiko menarik bagi program penyederhanaan perizinan karena diasumsikan bahwa penerapannya dapat mengurangi jumlah perizinan. Namun, penerapan analisis resiko untuk menapis izin merupakan sesuatu yang berbeda dengan penerapan konsep Regulasi Berbasis Risiko di negara-negara lain.  Selain itu, penerapan regulasi berbasis risiko juga perlu memperhatikan kritik yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang. Tulisan ini menjabarkan 4 (empat) kritik atas penerapan regulasi berbasis risiko dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu (i) format omnibus merancukan penilaian risiko, (ii) risiko volatilitas belum dipertimbangkan, (iii) risiko sistemik belum dipertimbangkan serta (iv) potensi “regulatory capture”. Secara konseptual, penerapan regulasi berbasis risiko memantik diskursus akademik mengenai pengertian regulasi secara luas yang telah jauh berkembang dari pemaknaan sempit dalam wacana akademik di Indonesia yang mendefinisikannya sebatas peraturan perundang-undangan semata.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 195
Author(s):  
Ahmad Gelora Mahardika

One of the goals of the formation of the omnibus law is to increase the index of ease of doing business in Indonesia, which is currently far behind other countries. One effort that was then carried out by the government was to cut down a number of permits, one of which was an environmental permit, namely the obligation to complete EIA and UKL-UPL documents. However, this regulation is actually contradictory to the spirit of sustainable development (SDGs) which development must be in line with environmental protection. The action also has the potential to violate Article 28H paragraph (1) of the 1945 Constitution which requires the state to ensure the protection of citizens' constitutional rights to a clean and healthy environment. Especially in countries that have the highest business ease indexes, such as Denmark, South Korea and the United States, the issuance of EIA documents is mandatory and is carried out strictly. Therefore this article will try to look at the implications of the omnibus law for citizens' constitutional rights to a clean and healthy environment.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document