JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

50
(FIVE YEARS 20)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By UIN Sumatera Utara Medan

2580-8311

2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 226
Author(s):  
Arik Dwijayanto ◽  
Yusmicha Ulya Afif

<p><em>This article explores the concept of a religious state proposed by two Muslim leaders: Hasyim Asyari (1871-1947), an Indonesian Muslim leader and Muhammad Iqbal (1873-1938), an Indian Muslim leader. Both of them represented the early generation when the emerging revolution for the independence of Indonesia (1945) from the Dutch colonialism and India-Pakistan (1947) from the British Imperialism. In doing so, they argued that the religious state is compatible with the plural nation that has diverse cultures, faiths, and ethnicities. They also argued that Islam as religion should involve the establishment of a nation-state. But under certain circumstances, they changed their thinking. Hasyim changed his thought that Islam in Indonesia should not be dominated by a single religion and state ideology. Hasyim regarded religiosity in Indonesia as vital in nation-building within a multi-religious society. While Iqbal changed from Indian loyalist to Islamist loyalist after he studied and lived in the West. The desire of Iqbal to establish the own state for the Indian Muslims separated from Hindus was first promulgated in 1930 when he was a President of the Muslim League. Iqbal expressed the hope of seeing Punjab, the North West province, Sind and Balukhistan being one in a single state, having self-government outside the British empire. In particular, the two Muslim leaders used religious legitimacy to establish political identity. By using historical approach (intellectual history), the relationship between religion, state, and nationalism based on the thinking of the two Muslim leaders can be concluded that Hasyim Asyari more prioritizes Islam as the ethical value to build state ideology and nationalism otherwise Muhammad Iqbal tends to make Islam as the main principle in establishment of state ideology and nationalism.</em></p><em>Keywords: Hasyim Asyari, Muhammad Iqbal, religion, state, nationalism.</em>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 213
Author(s):  
Adeni Adeni ◽  
Wiji Lestari

<p>Artikel ini bertujuan memberikan kritik terhadap konstruksi sejarah Islam yang umumnya didominasi oleh sejarah politik. Selama ini, kekuasaan politik dianggap sebagai titik sentral bagi peradaban suatu bangsa. Islam, sebagaimana dinilai oleh Harun Nasution (2005), bisa berkembang karena kekuasaan politik. Karena itu, dibutuhkan penggalian dan penulisan sejarah Islam secara utuh dengan tidak mengkategorikan sejarah Islam berdasarkan periode perpindahan kekuasaan politik dari satu dinasti ke dinasti lain, sementara melupakan pendalaman terhadap aspek sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan, seni, arsitektur, pola interaksi dan pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian masyarakat, dan sebagainya. Melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan <em>The New History</em> dari Robenson (2002), artikel ini menegaskan bahwa sejarah Islam tidak hanya tentang sejarah politik, tetapi juga mencakup sejarah sosial-budaya yang menyentuh segala sisi kehidupan umat Islam.</p>Kata Kunci: Sejarah Islam, sejarah politik, sejarah sosial, <em>The New History</em>.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 204
Author(s):  
Surma Hayani ◽  
Nurhasanah Bakhtiar
Keyword(s):  

<p>Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Khalifah Abdul Malik pada tahun 23H-86H, yaitu memajukan dan mengembangkan pemerintahan Arab dengan menyebarkan syariat-syariat Islam. Tetapi pada masa itu juga Abdul Malik bin Marwan mengalami kesulitan karena ada yang menentangnya dalam menguasai negara Arab, yang bernama Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, mereka memperebutkan kekuasaan negara dan bangsa, tetapi yang berhasil dalam perebutan ini ialah Abdul Malik bin Marwan. Oleh sebab itu tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis pemerintahan Islam yang dikembangkan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan serta peristiwa penting dan kebijakan dalam kepemimpinan Dinasti Umayyah. Selanjutnya jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (<em>library research</em>), dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan <em>histories</em>. Hasil dari penelitian ini adalah khalifah Abdul Malik bin Marwan menjadikan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, mengganti mata uang, pembaharuan ragam tulisan bahasa Arab, pembaharuan bidang perpajakan, pengembangan sistem pos, kerajinan dan lain-lain.</p><p>Kata Kunci: pemerintahan Islam, kemajuan, perkembangan, Abdul Malik bin Marwan.</p>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 158
Author(s):  
Iswantoro Iswantoro

<p>Tulisan ini menjelaskan tentang peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam menegakkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Di masa kemerdekaan Sultan dengan pemerintahan di Yogyakarta senantiasa mendukung Pemerintahan RI seperti mengirim surat ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta sehari setelah proklamasi kemerdekaan dan  tahun 1946  ibukota Negara di pindah ke Yogyakarta karena suasana yang tidak menentu di Jakarta akibat serbuan tentara Belanda. Kantor dan gedung milik kesultanan dipinjamkan untuk kantor Pemerintahan RI tempat tinggal jawatan pemerintahan. Sultan juga membuka kas kerajaan untuk membiayai Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta itu. Pada tanggal 1 Maret 1949 Sultan menjadi salah satu tokoh sehingga serangan tersebut bisa terwujud menguasai ibukota RI di Yogyakarta sehingga membuktikan bahwa pemerintah RI masih efektif.</p>Kata Kunci: Hamengku Buwono IX, peranan, kemerdekaan.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 182
Author(s):  
Yusliani Noor ◽  
Rabini Sayyidati

<p>Sasaran penelitian ini dikhususkan pada Muslim Tionghoa dan perdagangannya di Banjarmasin sejak abad ke-13 hingga abad ke-19. Mengetahui sejarah awal Muslim Tionghoa dan perkembangannya di Kesultanan Banjarmasin sejak abad ke-13 sampai dengan abad ke-19. Selain itu, perdagangan dan dakwah Muslim Tionghoa di Banjarmasin Kalimantan Selatan dan untuk mengetahui keunggulan pola perdagangan lada Muslim Tionghoa di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan adalah Historiografi, sebuah penulisan sejarah yang terdiri dari tahapan heuristik, kritik, interpretasi, historiografi. Sebuah fenomena unik dalam penerimaan masyarakat Banjarmasin terhadap etnis Tionghoa adalah menerima mereka sebagai pedagang sekaligus mereka dapat menduduki jabatan dalam birokrasi Kesultanan Banjarmasin. Etnis Tionghoa yang Muslim bersedia kawin dengan Ulama Banjar, dan anak-anak keturunan mereka menjadi Ulama (Tuan Guru) yang tersebar di Kalimantan Selatan. Tionghoa yang Muslim yang telah bergaul lama dalam masyarakat Banjar, kemudian menjadi Ulama, baik karena perkawinan maupun hubungan kepentingan perdagangan, kemudian menyebut identitasnya sebagai orang Banjar.</p>Kata Kunci: Tionghoa Muslim, perdagangan, sejarah Banjarmasin.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 195
Author(s):  
Miftahul Khoiri

<p>Dalam artikel ini, bertujuan untuk mendeskripsikan sejarah masjid Al-Ikhlas, budaya-budaya keagamaan yang ada di masjid Al-Ikhlas yang di jalankan oleh masyarakat Tempel, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY, dan juga menganalisis pendirian dari masjid Al-Ikhlas. Dengan pendekatan kualitatif, deskriptif, analitis sebagai penelitian lapangan, tulisan ini menyimpulkan bahwa masjid Al-Ikhlas berdiri tahun 06 September 1988 M, atas keinginan masyarakat, tokoh agama. Dan ada beberapa budaya keagamaan di masjid Al-Ikhlas ini, yaitu: Seni budaya Islam, meliputi Seni pembelajaran baca Al-Qur’an atau TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Seni pelatihan Hadroh atau Banjari. Majelis Ta’lim meliputi, Pengajian Kamis Wage, Pengajian Amanah, dan Poliklinik. Sedangkan alasan pendiriannya, karena masyarakat memang tidak memiliki tempat ibadah pada saat itu, sehingga harus dibangun sebuah masjid untuk ibadah dan aktivitas yang lainnya.</p>Kata Kunci: masjid, pusat kebudayaan Islam, Tempel.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 93
Author(s):  
Nunzairina Nunzairina

<p class="Default">Dalam literatur sejarah Islam, Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban Islam, baik dalam bidang sains, budaya dan sastra. Kemajuan peradaban ini menghadirkan Baghdad sebagai kota para intelektual, tidak hanya orang arab yang hadir, bangsa Eropa, Persia, Cina, India serta Afrika turut hadir mengisi atmosfer pengetahuan disini. Masa kekhalifahan Abbasiyah ini lah yang dikenal berkembang pesatnya pengetahuan. Pada masa ini banyak sekali bermunculan intelektual-intelektual muslim baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ilmu agama. Dalam masa kekhalifahan Abbasiyah keadaaan sosial ekonomi pun berkembang dengan baik. Seperti halnya dalam bidang pertanian maupun perdagangan. Masyarakat pada masa itu mampu mengatur tatanan kehidupannya dengan baik, hingga dikenal sebagai negeri masyhur dan makmur. Pada masa kerajaan Abbasiyah kekuasaan Islam bertambah luas. Masyarakat dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok khusus dan kelompok umum, kelompok umum terdiri dari Seniman, ulama, fuqoha, pujangga, saudagar, pengusaha kaum buruh, dan para petani sedangkan kelompok khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah, para bangsawan, dan petugas-petugas Negara. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, para khalifah banyak mendukung perkembangan tersebut, terlihat dari banyaknya buku-buku bahasa asing yang diterjemahkan kedalam bahasa arab, dan lahirnya para kaum intelektual.</p><p> Kata Kunci: Dinasti Abbasiyah, Baghdad, Kaum Intelektual.</p>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 142
Author(s):  
Adif Fahrizal Arifyadiputra

<p><em>The main problem studied in this study is how the process of Islamization and Christianization took place in Surakarta in the New Order, who are the actors, and what the impact this process. Also how identities take root by this process gave a way for the competition and suspicion between those communities.</em><em> </em><em>This article concluded that the socio-political context surrounding Islamization and Christianization in Surakarta and social background of the actors involved in this process have great influence on religious identities that developed and competed in Surakarta.</em></p>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 104
Author(s):  
Ilhamudin Ilhamudin

<p><em>The Ogan Ilir community is passionate about working together. The process of Islamization and development of Islam in Ogan Ilir was spread by Mr. Umar Baginda Saleh (1575-1600). Mr. Umar broadcasts Islam in the Tanjung Atap area. The jam and Pangeran Sido Ing Rajek, precisely Sakatiga Village. Sakatiga village as a refuge for Prince Sido Ing Rajek when the Dutch attacked and burned the Kuto Gawang Palace in 1659. Early in the 19th century there were several great scholars in Ogan Ilir, especially in Sakatiga. Among them are Kyai Bahri bin Bunga, Kyai Harun Sakatiga who has the title Sayyidina Harun, Kiai Ishak Bahsin. Period 1918-1942 Kyai Ishak Bahsin. In 1932 an Islamic Madrasa was established called Madrasah Nurul Islam Sribandung. In 1950 also officially established Sakatiga Raudhatul Ulum Islamic Boarding School which is one of the famous and famous pesantren among the people of the province of South Sumatra. Then on July 10, 1967 the Al-Ittifaqiah Upper Middle School (MMA) Madrasah was officially established in Indralaya, Culture in Ogan Ilir in the form of Islamic boarding schools / learning buildings for the students. in Ogan Ilir there are three oldest Islamic boarding schools namely Nurul Islam Islamic Boarding School in Sribandung, Raudhatul Ulum Islamic Boarding School in Sakatiga and Al-Ittifaqiah Islamic Boarding School in Indralaya. In addition there are several mosques built long ago including: Jami 'Darussholihin Mosque Meranjat Village, Al-Qubro Indralaya Mosque, and Al-Falah Mosque.</em></p><p><strong><em>Keywords: History, Islamic culture.</em></strong></p>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 124
Author(s):  
Rahmat Hidayat ◽  
Suwanto Suwanto

<p>Dewasa ini, para elite politis massif melancarkan propaganda politik negetif baik di dunia nyata maupun maya. Persoalannya, ambisi politik yang berlebihan seringkali menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik, seperti dengan <em>money politic</em>, <em>hoax</em>, dan <em>hatesp</em><em>e</em><em>ech</em>. Berpolitik yang tidak etis ini berdampak pada instabilitas sosial yang menuai konflik dalam masyarakat. Selain itu, Machiavelisme politik menumbalkan moralitas publik dan mencoreng etika politik yang dijunjung tinggi oleh Pancasila dan ajaran Islam. Studi artikel ini yaitu kualitatif-deskriptif dengan pendekatan sejarah yang diintegrasi-interkoneksikan. Studi ini berusaha mengeksplorasi nilai etika politik Nabi Muhammad SAW periode Madinah di tahun politik Indonesia yaitu dengan merefleksikan nilai-nilai kepemimpinan Nabi Muhammad SAW Periode Madinah, seperti <em>ukhuwah islamiah</em>, persatuan, musyawarah, <em>at-ta’awun</em>, dan keadilan. Aktualisasi nilai-nilai etika politik Islam ini tentu sangat relevan guna mewujudkan kehidupan demokratis yang sehat, bersih, dan santun. Artinya, etika politik Nabi Muhammad SAW periode Madinah dapat diteladani dalam lingkup perpolitikan nasional menuju masyarakat madani menjunjung persatuan-kesatuan dalam kebhinnekaan.</p><p>Kata Kunci: Etika politik Islam, politik Indonesia. </p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document