scholarly journals PERTUMBUHAN JAMUR Purpureocillium lilacinum (Syn. Paecilomyces lilacinus) ISOLAT TANGGAMUS PADA MEDIA CAMPURAN KULIT UBI UBIKAYU DAN BONGGOL PISANG

2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 321
Author(s):  
Oded Saputra ◽  
I Gede Swibawa ◽  
Solikhin Solikhin ◽  
Yuyun Fitriana

Limbah pertanian berupa kulit ubi dan bonggol pisang dalam budidaya ubikayu dan pisang di Lampung melimpah. Limbah tersebut  dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembawa dalam pembuatan bionematisida berbahan aktif jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan jamur Purpureocillium lilacinum (Syn. Paecilomyces lilacinus) isolat B01TG berasal dari Tanggamus pada media campuran kulit ubi ubikayu dan bonggol pisang. Penelitian dilaksanakan bulan Januari - Juni 2019 di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Dalam penelitian ini dilakukan dua percobaan yaitu percobaan pertumbuhan jamur pada media ekstrak limbah pertanian dan percobaan pertumbuhan jamur pada media limbah pertanian padat. Limbah pertanian yang dicobakan meliputi bonggol pisang, kulit ubi ubikayu, beras dan kulit udang. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan percobaan kedua menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Percobaan pertama dan kedua masing-masing terdiri atas 6 perlakuan dan 5 ulangan. Pertumbuhan jamur P. lilacinum (Syn. P. lilacinus) pada media agar dan ekstrak limbah pertanian campuran beras dan kulit udang tertinggi mencapai 84,4%, sedangkan pertumbuhan jamur yang tertinggi pada media padat mencapai 96,4% terjadi pada campuran bonggol pisang, kulit ubi ubikayu, beras dan kulit udang. Kerapatan spora tertinggi mencapai 2,058 x 107 spora/ml pada suspensi pengenceran 10-3 dihasilkan oleh media campuran bonggol pisang, beras dan kulit udang.

2019 ◽  
Vol 12 (4) ◽  
pp. e228645 ◽  
Author(s):  
Mariana Almeida Oliveira ◽  
Analia Carmo ◽  
Andreia Rosa ◽  
Joaquim Murta

We report a case of a 41-year-old woman, wearer of contact lenses who was presented to the emergency room with a 2-month history of pain and red eye. She presented with a severe keratitis refractory to quinolones, fortified antibiotics and clotrimazole. Due to the risk of perforation, a tectonic penetrating keratoplasty (PK) was performed. Clinical signs of keratitis recurrence were observed and cultures were positive for Purpureocillium lilacinum (former Paecilomyces lilacinus). The patient did not improve on topical amphotericin B and intracameral voriconazole. Worsening of clinical condition required a new PK. Oral posaconazole was initiated postoperatively and suspended at the fourth postoperative month. The cornea remains clear until the last follow-up visit, 12 months after the second graft. To our knowledge, this is the second case report that documents the effectiveness of oral posaconazole in a refractory P. lilacinus keratitis, resistant to other second-generation triazoles and conventional antifungals.


2021 ◽  
Vol 9 (3) ◽  
pp. 397
Author(s):  
Maruf Kurniawan ◽  
I Gede Swibawa ◽  
Solikhin Solikhin ◽  
Yuyun Fitriana

Pengaruh Media Limbah Pertanian Padat terhadap Pertumbuhan Jamur Purpureocillium lilacinum (Syn. Paecilomyces lilacinus). Jamur P. lilacinum (Syn. P. lilacinus) adalah jamur parasit telur nematoda puru akar (Meloidogyne spp.). Selain  sebagai musuh alami nematoda, jamur P. lilacinum (Syn. P. lilacinus) juga berperan sebagai dekomposer bahan organik. Limbah pertanian banyak yang digunakan untuk menumbuhkan jamur, sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan pembawa pembuatan bionematisida berbahan aktif jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan jamur P. lilacinum (Syn. P. lilacinus) pada limbah pertanian padat kulit ubi ubikayu, bonggol pisang, beras dan campurannya. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 ulangan diterapkan dalam percobaan menggunakan jamur isolat dengan kode B4100. Data dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan pemisahan nilai tengah menggunakan uji BNT pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat P. lilacinum (Syn. P. lilacinus) tumbuh pada media limbah pertanian padat yang derajat keasamannya dimodifikasi dan nutrisinya ditambah. Pertumbuhan jamur yang paling baik dengan produksi spora yang paling tinggi terjadi pada media beras


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 189
Author(s):  
Ambar Fiandani ◽  
I Gede Swibawa ◽  
Yuyun Fitriana ◽  
Purnomo Purnomo

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis bionematisida jamur Purpurecilum lilacinum (Syn. Paecilomyces lilacinus) isolat B01TG berbahan pembawa limbah pertanian terhadap keefektifannya untuk mengendalikan serangan nematoda puru akar  Meloidogyne spp.  Percobaan yang berlangsung bulan Februari - Juni 2019 di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 5 perlakuan  tingkat dosis bionematisida dan 5 ulangan.  Dosis bionematisida yang diuji yaitu 0 g,  5 g, 10 g, 20 g dan 40 g per tanaman.  Bionematiaida diaplikasikan 3 hari sebelum tanaman tomat ditransplanting.  Satu minggu setelah transplanting, tanaman tomat kemudian  diinfestasi 2000 telur nematoda puru akar.  Data pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot biomassa basah dan produksi, serta tingkat kerusakan akar dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan pemisahan nilai tengah menggunakan uji BNT pada taraf nyata 5%.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis bionematisida mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan kerusakan akar. Pertumbuhan tanaman yang diberi perlakuan 40 g bionematisida lebih baik daripada pertumbuhan tanaman yang diberi  bionematiaida dengan dosis yang lebih rendah. Kerusakan akar tanaman tomat akibat serangan Meloidogyne spp. lebih rendah pada tanaman tomat yang diberikan perlakuan 20 g dan 40 g  daripada kerusakan akar tanaman yang diberi perlakuan bionematisida dengan dosis yang lebih rendah.


2013 ◽  
Author(s):  
◽  
Ivana Alejandra Cavello

Actualmente las proteasas alcalinas son ampliamente utilizadas en la industria del cuero, en distintas formulaciones de detergentes, también en el proceso de recuperación de plata, y en la producción de hidrolizados de proteínas. Comúnmente, todas estas proteasas se obtienen de fuentes microbianas que crecen en sustrato relativamente caros. Muchos estudios demuestran que cerca del 40% del costo de producción de estas enzimas está relacionada con la composición del medio de cultivo. Para reducir el costo de producción es importante la búsqueda de microorganismos capaces de crecer y de producir suficiente cantidad de la enzima usando sustratos baratos. En este sentido desechos de naturaleza queratínica tienen un enorme potencial para ser utilizacos como sustrato para la producción de un grupo de enzimas proteolíticas llamado queratinasas, las cuales presentan la capacidad de hidrolizar la queratina, proteína sumamente resistente a la degradación por su estructura y por la presencia en su molécula de puentes disulfuro. En el presente trabajo de tesis seis cepas de hongos no patógenos aislados de suelos alcalinos de la provincia de Buenos Aires, Argentina, (Acremonium murorum, Aspergillus sidowii, Cladosporium cladosporioides, Neurospora tetrasperma, Purpureocillium lilacinum (ex Paecilomyces lilacinus) y Westerdikella dispersa) fueron evaluados de acuerdo a su capacidad de producir enzimas queratinolíticas. Entre estas cepas, P. lilacinum resultó ser el hongo con mayor producción de actividad proteolítica y queratinolítica, tanto en fermentación en sustrato solido como en sumergido, siendo seleccionado para continuar con este trabajo. Se establecieron las condiciones óptimas de cultivo para la producción enzimática utilizando diseños experimentales y la metodología de superficie de respuesta. Las condiciones óptimas fueron: 7,10 g/l de glucosa; 0.0065 mg/l de CaCl<SUB>2</SUB> y pH inicial de 5.60; en estas condiciones de cultivo, el rendimiento máximo para la producción de queratinasas predijo por el modelo fue de 26,7 U azo/ml. La validación del modelo demostró que, tanto el polinomio como las correspondientes superficies de respuesta obtenidas describen adecuadamente la influencia de la concentración de glucosa, de calcio y el pH inicial en la producción de queratinasas. Luego de la optimización del medio de cultivo se procedió a la purificación de la enzima, las etapas involucradas en la purificación fueron la precipitación con sulfato de amonio y distintas técnicas cromatográficas de intercambio iónico y permeación en gel, con un factor de purificación de 19.8 veces y una actividad específica de 1430 U/mg de proteína. El peso molecular de la enzima, determinado por SDS-PAGE, fue de 37 kDa. La queratinasa extracelular de P. lilacinum se caracteriza por su apreciable estabilidad en un amplio intervalo de pH (4.0 a 9.0), y hasta 65°C. La inhibición que presenta frente a PMSF (98,2% de la inhibición) sugiere su naturaleza serínica. La enzima es activa y estable en presencia de solventes orgánicos tales como dimetilsulfóxido, metanol, e isopropanol; ciertos tensioactivos como Triton X-100, dodecilsulfato de sodio, y Tween 85, y agentes oxidante como el peróxido de hidrógeno. Sus parámetros cinéticos de inactivación térmica fueron estimados bajo diferentes condiciones y fue posible observar cómo afectan calcio, el glicerol y el propilenglicol a la estabilidad térmica de la enzima. Se investigó la inmovilización covalente de la queratinasa pura sobre un soporte de quitosán, optimizando la concentración de los agentes entrecruzantes glutaraldehído y genipina, así como también el tiempo de activación. La enzima inmovilizada presentó mayor estabilidad frente a pH y temperaturas extremas en comparación con la enzima libre, además retiene 61.37 % de la actividad enzimática inicial después de cinco ciclos de hidrolisis. Se estudiaron las potenciales aplicaciones biotecnológicas del extracto enzimático, entre ellas se estudió por su compatibilidad y estabilidad frente a detergentes comerciales (7 mg/ml) como Ariel y Skip, observándose que éste retiene más de 70 % de su actividad proteolítica inicial después de 1 h de incubación a 40ºC. La simulación de lavado reveló que el extracto era capaz de eliminar eficazmente las manchas de sangre. Se estudió también la posibilidad de utilizar este extracto enzimático en la recuperación de plata a partir de placas radiográficas usadas. En dosis de enzima de 6,9 U azoc/ml y a 60ºC, la eliminación completa de la capa de gelatina con la liberación completa de las partículas de plata se alcanzó en 6 min a pH 9.0. Por último, P. lilacinum además de producir enzimas queratinolíticas con la producción de paralela de amonio, mostró la capacidad producir sideróforos y ácido indolacético (IAA) al crecer con residuo pelo como sustrato en presencia de Trp y baja concentración de hierro. Se realizaron ensayos a nivel de invernadero con plantas de tomate, encontrándose que, en términos de peso seco, el hidrolizado mostró un efecto similar al del fertilizante de referencia. Además, el hidrolizado demostró poseer actividad antifúngica contra varios patógenos de las plantas. Estos resultados indican el potencial biotecnológico tanto del extracto enzimático como el de la enzima pura de P. lilacinum siendo interesante además la capacidad del hongo de producir esta enzima utilizando un como sustrato un residuo de valor nulo, con lo cual sería de esperar que su costo de producción resulte relativamente bajo.


Author(s):  
Rosanne Sprute ◽  
Jon Salmanton-García ◽  
Ertan Sal ◽  
Xhorxha Malaj ◽  
Zdeněk Ráčil ◽  
...  

Abstract Objectives To provide a basis for clinical management decisions in Purpureocillium lilacinum infection. Methods Unpublished cases of invasive P. lilacinum infection from the FungiScope® registry and all cases reported in the literature were analysed. Results We identified 101 cases with invasive P. lilacinum infection. Main predisposing factors were haematological and oncological diseases in 31 cases (30.7%), steroid treatment in 27 cases (26.7%), solid organ transplant in 26 cases (25.7%), and diabetes mellitus in 19 cases (18.8%). The most prevalent infection sites were skin (n = 37/101, 36.6%) and lungs (n = 26/101, 25.7%). Dissemination occurred in 22 cases (21.8%). Pain and fever were the most frequent symptoms (n = 40/101, 39.6% and n = 34/101, 33.7%, respectively). Diagnosis was established by culture in 98 cases (97.0%). P. lilacinum caused breakthrough infection in 10 patients (9.9%). Clinical isolates were frequently resistant to amphotericin B, whereas posaconazole and voriconazole showed good in vitro activity. Susceptibility to echinocandins varied considerably. Systemic antifungal treatment was administered in 90 patients (89.1%). Frequently employed antifungals were voriconazole in 51 (56.7%) and itraconazole in 26 patients (28.9%). Amphotericin B treatment was significantly associated with high mortality rates (n = 13/33, 39.4%, P = &lt;0.001). Overall mortality was 21.8% (n = 22/101) and death was attributed to P. lilacinum infection in 45.5% (n = 10/22). Conclusions P. lilacinum mainly presents as soft-tissue, pulmonary or disseminated infection in immunocompromised patients. Owing to intrinsic resistance, accurate species identification and susceptibility testing are vital. Outcome is better in patients treated with triazoles compared with amphotericin B formulations.


2015 ◽  
Vol 1 (4) ◽  
pp. 169-171 ◽  
Author(s):  
John M. Evans ◽  
Apphia L. Wang ◽  
Boni E. Elewski

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document