scholarly journals Koping Berfokus Emosi dan Harapan terhadap Kesejahteraan Subjektif pada Remaja dengan Orangtua yang Bercerai

2021 ◽  
Vol 9 (3) ◽  
pp. 646
Author(s):  
Indah Laila Ba’diah ◽  
Diah Rahayu ◽  
Elda Trialisa Putri

Perceraian memiliki dampak bagi anak seusia remaja. Reaksi remaja atas perceraian memengaruhi kesejahteraan diri, cara mengatasi masalah dan pencapaian target masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik ada atau tidaknya pengaruh koping berfokus emosi dan harapan terhadap kesejahteraan subjektif remaja dengan orangtua bercerai di Kota Samarinda. Subjek penelitian ini adalah 150 remaja dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini Satisfication with Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) untuk mengukur variabel kesejahteraan subjektif, skala koping berfokus emosi, dan skala harapan. Teknik analisa data menggunakan uji regresi model berganda menghasilkan  nilai F hitung = 517.902 > F tabel = 3.09, adjust R square = 0.914, dan p = 0.000. Hasil tersebut menunjukkan terdapat pengaruh antara koping berfokus emosi dan harapan terhadap kesejahteraan subjektif pada remaja dengan orangtua bercerai di Kota Samarinda. Divorce has its own impact on adolescent. Adolescent reactions to parental divorce affect their inner well-being, how to deal with problems and affect the archievement of future targets. This study aims to empirically examine whether or not there is an effect of emotional d=focused coping and hope on the subjective well-being of adolescent with divorced parents in Samarinda City. The subjects of this study were 150 adolescents with divorce parents in the city of Samarinda selected using purposive sampling terchnique. The measuring instrument used in this study the  Satisfication with Life Scale (SWLS) and the Positive and Negative Affect Schedule (HOT) to measure subjective well-being variables, the coping scale focused on emotions, and the Hope scale to measure the expectation variable.Data analysis technique using multiple model regression test resulted in calculated F value = 517.902 > F table = 3.09, adjust R square = 0.914, and p = 0.000. These result indicate that there is a significant influence between emotional focused coping and hope on the subjective well-being of adolescents with divorced parents in Samarinda City.

2021 ◽  
Vol 9 (3) ◽  
pp. 566
Author(s):  
Fira Ayu Yustia ◽  
Hairani Lubis ◽  
Elda Trialisa Putri

Perceraian orangtua berdampak negatif bagi subjective well-being pada remaja yang menjadi korban dari perceraian tersebut, oleh karena itu perlu adanya sense of humor agar remaja mampu kembali merasakan kebahagiaan dan mencapai kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik ada atau tidaknya hubungan antara sense of humor dengan subjective well-being pada remaja dengan orangtua yang bercerai di Kota Samarinda. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 150 orang remaja yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Satisfication with Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) untuk mengukur variabel subjective well-being dan skala sense of humor kemudian dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment menghasilkan nilai r hitung = -0.159 dan p=0.052>0.05. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan tidak adanya hubungan antara sense of humor dengan subjective well-being pada remaja dengan orangtua bercerai di Kota Samarinda. Parents divorce has a negative impact on subjective well-being in adolescents who are victims of the divorce, an adolescents need to have a sense of humor that able to feel happiness and prosperity. This study aims to empirically examine relationship between sense of humor and subjective well-being in adolescents with divorced parents in Samarinda. The subjects in this study were 150 teenagers who were selected using purposive sampling technique. The measuring instruments used in this study are Satisfication with Life Scale (SWLS) and Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) to measure subjective well-being and sense of humor scales and then analyzed using the Pearson Product Moment correlation test resulting in the value of r = - 0.159 and p = 0.052 > 0.05. The results of these calculations indicate that there is no relationship between sense of humor and subjective well-being in adolescents with divorced parents in Samarinda.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
Author(s):  
Eka Septarianda ◽  
Mohammad Nursalim Malay ◽  
Khoiriyah Ulfah

ABSTRACT: RELATIONSHIP BETWEEN FORGIVENESS AND SUBJECTIVE WELL BEING AMONG ORPHANAGE ADOLESCENTSThis study aims to determine the relationship between forgiveness and subjective well-being in adolescents who are in the orphanage, through the three components contained in it, i.e. life satisfaction, positive affect and negative affect. The subjects of this study were 58 adolescents in the Budi Mulya Muhammadiyah Sukarame orphanage. Data collection method using three scales, those are Heartland Forgiveness Scale (HFS), Satisfaction with Life Scale (SWLS) and Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS). The data analysis technique used is the product moment correlation. The results of the analysis of this study explain that there is a positive relationship between forgiveness and subjective well-being through the three components in SWB. The results of this study have implications about the importance of forgiveness in increasing subjective well being in orphanage adolescent.Keywords: Forgiveness, Subjective Well-Being, Orphanage AdolescentPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan forgiveness dengan subjective well-being pada remaja yang berada di panti asuhan, melalui tiga komponen yang terdapat di dalamnya, yaitu life satisfaction, positive affect dan negative affect. Subjek penelitian ini adalah 58 remaja panti asuhan Budi Mulya Muhammadiyah Sukarame. Metode pengumpulan data menggunakan tiga skala, yaitu Heartland Forgiveness Scale (HFS), Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS). Data dianalisis dengan korelasi product moment. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara forgiveness dengan subjective well-being melalui tiga komponen dalam SWB. Hasil penelitian ini memberi implikasi tentang pentingnya forgiveness dalam meningkatkan subjective well being pada remaja dipanti asuhan.Kata Kunci: Forgiveness, Subjective Well Being, Remaja Panti Asuhan 


2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 24
Author(s):  
Annissa Fitriasri ◽  
M. Noor Rahman Hadjam

Abstrak. Penelitian ini merupakan kajian psikologi positif yang bertujuan untuk mengetahui kesejahteraan subjektif ditinjau dari pemaafan dan coping proaktif pada ibu tunggal karena perceraian yang bekerja sebagai PNS pada Pemerintah Provinsi Jateng. Subjek penelitian ini berjumlah 34 orang yang dipilih teknik purposive sampling, dengan karakteristik berusia 25 s.d 45 tahun, pendidikan terakhir minimal setingkat SMU, memiliki anak yang diasuhnya, lamanya menjadi ibu tunggal adalah lebih dari 1 sampai dengan 4 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan adalah adaptasi dari Satisfaction With Life Scale (SWLS) oleh Diener, Emmons, Larsen dan Griffin, Positive Affect and Negative Affect Scales (PANAS) oleh Watson, Clark dan Tellegen, Heartland Forgiveness Scale (HFS) oleh Thompson dan Snyder serta Proactive Coping Inventory oleh Greenglass, Schwarzer dan Taubret. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis regresi dengan menggunakan program SPSS for windows versi 16.0. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pemaafan dan coping berperan positif dan 2signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (F= 19,515; p < 0.00; R=0.747 and R 2= 0.557), (2) sumbangan prediktor (R) pemaafan dan coping proaktif adalah 55,7 %, (3) pemaafan memiliki peran positif dan signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (B = 1,320, p < 0.05, dan sumbangan efektif = 31,4 %), (4) coping proaktif memiliki peran positif dan signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (B = 0,288, p < 0.05, dan sumbangan efektif= 24,3 %).Kata kunci: coping proaktif, kesejahteraan subjektif, ibu tunggal karena perceraian, pemaafan. 


2020 ◽  
Vol 11 ◽  
Author(s):  
Félix Neto ◽  
Etienne Mullet

Abstract Saudade is a psychological reaction to the absence of significant others or familiar places. The correlates of the experience of saudade were examined using a sample of Portuguese adults. Two hundred and twenty-seven participants of both genders, aged 20–65, were presented with (a) the Satisfaction with Life Scale (SWLS), (b) the Positive and Negative Affect Schedules (PANAS), (c) the brief Loneliness Scale (ULS-6), (d) the Neo Five-Factor Personality Inventory (NEO-FFI), and (e) an experience of saudade two-item scale. Experience of saudade was more often reported by females than by males, and positively correlated with negative affect, loneliness, and neuroticism.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 12
Author(s):  
Elzza Priscania Raissachelva ◽  
Eko Handayani

  Perpisahan dalam jangka panjang yang dialami oleh remaja dan orang tua yang merupakan pekerja migran dapat membuat kualitas hubungan yang terjalin mengalami perubahan dan tidak lagi menjadi dekat. Ketika remaja tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua, mereka mulai menjalin kedekatan dengan teman sebagai gantinya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kelekatan pada orang tua dan teman sebaya dengan subjective well-being (SWB) remaja yang ditinggalkan orang tua bekerja sebagai pekerja migran. Partisipan penelitian terdiri dari 42 remaja berusia 12 - 15 tahun. Kedekatan dengan orang tua dan teman diukur menggunakan alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment, sementara subjective well-being diukur menggunakan alat ukur Satisfaction with Life Scale, Positive and Negative Affect Schedule, dan Subjective Happiness Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan serta hubungan negatif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan afek negatif. Selain itu terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ibu dengan komponen afek positif dan hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada teman sebaya dengan kebahagiaan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin secure kelekatan dengan ayah membuat remaja semakin puas dan bahagia serta membuat semakin rendahnya afek negatif yang dirasakan. Semakin secure kelekatan dengan ibu juga membuat remaja memiliki afek positif yang tinggi dan semakin secure kelekatan dengan teman sebaya membuat remaja semakin bahagia.


Author(s):  
Richelle Valdez ◽  
Ghazal Aarabi ◽  
Kristin Spinler ◽  
Carolin Walther ◽  
Udo Seedorf ◽  
...  

The relationship between subjective well-being (SWB) and frequent attendance is understudied. This study used data from a large German sample of non-institutionalized individuals aged 40+ in 2014 (n = 7264). SWB was measured using the Satisfaction with Life Scale (SWLS) and the Positive and Negative Affect Schedule (PANAS). Number of self-reported dental visits in the past twelve months was used to measure the utilization frequency of dental services. Individuals with at least four dental visits in the preceding year (highest decile) were defined as frequent dental visits. Robustness checks were performed using alternative cut-offs to define frequent dental visits. Multiple logistic regressions showed that frequent dental visits (highest decile) were associated with less satisfaction with life [OR: 0.89, 95%-CI: 0.80–0.99] and higher negative affect [OR: 1.41, 95%-CI: 1.22–1.64], whereas it was not significantly associated with positive affect. Both associations depended on the cut-off chosen to define frequent dental visits. The present study highlights the association between SWB (particularly negative affect and low life satisfaction) and frequent dental visits. Further studies evaluating patients’ motivation for high dental service use are necessary to check the robustness of our findings.


PSYCHE 165 ◽  
2020 ◽  
pp. 258-262
Author(s):  
Iqhsan Eko Setiawan ◽  
M Ridwan Saputra ◽  
Arsepta Kurnia Sandra

This study aimed to examine the relationship between personeel income beetwean subjective well-being on military personeel. A quantitative survey was performed on a sample of personeels (N = 43) TNI AU in City X and study documents is used to measure how impact of  personeel income to personeel’s SWB. The subjective well-being as an independent variable and to measure how subjective well-being correlated each other, this study has used  Satisfaction With Life Scale (Diener, 2006) and Positive Affect and Negative Affect Experience (Diener, 2009). Result showed that personeel income is significantly correlate with subjective well-being (p =  0.036, sig. < 0.05). New finding also shows that high and low income are significantly correlate with subjective well-being, limited and recommendation are discussed.


2017 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Ajeng Sista Anindya ◽  
Christiana Hari Soetjiningsih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif yang signifikan antara kepuasan perkawinan dengan kesejahteraan subjektif pada guru SD perempuan di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan, Kota Surakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala yang diadaptasi oleh penulis berdasarkan Marriage Satisfacton Scale (α=.941) dan skala kedua yaitu skala kesejahteraan subjektif yang diadaptasi oleh penulis berdasarkan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS-SF) dan Satisfaction With Life Scale (SWLS) (α=.941). Partisipan dalam penelitian ini adalah 59 guru SD perempuan di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan Kota Surakarta dan menggunakan teknik Purposive Sampling. Pengujian hipotesis dan korelasi antara kepuasan perkawinan dengan  kesejahteraan subjektif guru SD perempuan di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan Kota Surakarta menggunakan uji korelasi Pearson’s Product Moment Correlation. Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan positif yang signifikan antara kepuasan perkawinan dan kesejahteraan subjektif guru SD perempuan di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan Kota Surakarta (r=.970; p<.05).


2017 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 12
Author(s):  
Setyani Alfinuha ◽  
Fathul Lubabin Nuqul

<p class="IABSTRAK"><strong>Abstract: </strong>Subjective well-being is people’s evaluation of they life. It includes evaluation about cognitive and affective. People have higher subjective well-being, they have a more positive affective or good feelings and satisfied with the life they have. Contrary, people who have lower subjective well-being tend to overcome negative feelings in him. Therefore, subjective well-being is very important in the life of every individual is no exception to the new students. There are many factors that influence the subjective well-being such as sex, religion, education, intelligence emotion regulation and self efficacy. This study focused on the influence of self efficacy and regulasi emosi toward subjective well-being. This study aims to look at the effects of self-efficacy and emotion regulation towards students’s subjective well-being. The study involved 107 new students majoring in engineering architecture that consists of 51 men and 56 women This study uses a quantitative approach which is measured using four scales that is Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS) and Satisfaction with Life Scale (SWLS), General Self efficacy (GSE), and Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) to measure emotion regulation. The results show that there is the influence of self-efficacy and emotion regulation on subjective well-being. Simultanously, self-efficacy and regulation of emotions influence subjective well-being of 32.5% to the subjective well-being. But partialy, self efficacy more has contribute to subjective well-being, than emotion regulation.</p><div class="Section1"><p class="IABSTRAK"><strong>Abstrak:</strong> <em>Subjective well-being</em> merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan afeksi. Individu dikatakan memiliki <em>subjective well-being</em> tinggi jika mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan puas atas kehidupan yang dimiliki. Sebaliknya, orang yang memiliki <em>subjective well-being</em> rendah cenderung diliputi perasaan-perasaan negatif dalam dirinya. Oleh sebab itu, <em>subjective well-being</em> sangat penting dalam kehidupan setiap individu tidak terkecuali pada mahasiswa baru. Ada banyak faktor yang mempengaruhi <em>subjective well-being</em> antara lain jenis kelamin, religiusitas, pendidikan, kecerdasan, regulasi emosi dan <em>self efficacy</em>. Penelitian ini mem­focus­kan tentang pengaruh efikasi diri dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being. </em>Penelitian ini melibatkan 107 orang mahasiswa baru jurusan teknik arsitektur yang terdiri dari 51 orang laki-laki dan 56 orang perempuan Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang diukur menggunakan empat skala yaitu <em>Possitive and Negative Affect Schedule</em> (PANAS), <em>Satisfaction with Life Scale</em> (SWLS), General <em>Self efficacy</em> (GSE) dan <em>Emotion Regulation Questionnaire</em> (ERQ). Analisis yang dilakukan adalah analisis deskripsi dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara bersama-sama, <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi mempengaruhi <em>subjective well-being</em> sebesar 32,5%terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara terpisah, <em>self efficacy</em> memberikan sumbangan sebanyak 21,62% dan regulasi emosi sebanyak 3,53% terhadap <em>subjective well-being</em>.</p></div>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document