scholarly journals Association between Subjective Well-Being and Frequent Dental Visits in the German Ageing Survey

Author(s):  
Richelle Valdez ◽  
Ghazal Aarabi ◽  
Kristin Spinler ◽  
Carolin Walther ◽  
Udo Seedorf ◽  
...  

The relationship between subjective well-being (SWB) and frequent attendance is understudied. This study used data from a large German sample of non-institutionalized individuals aged 40+ in 2014 (n = 7264). SWB was measured using the Satisfaction with Life Scale (SWLS) and the Positive and Negative Affect Schedule (PANAS). Number of self-reported dental visits in the past twelve months was used to measure the utilization frequency of dental services. Individuals with at least four dental visits in the preceding year (highest decile) were defined as frequent dental visits. Robustness checks were performed using alternative cut-offs to define frequent dental visits. Multiple logistic regressions showed that frequent dental visits (highest decile) were associated with less satisfaction with life [OR: 0.89, 95%-CI: 0.80–0.99] and higher negative affect [OR: 1.41, 95%-CI: 1.22–1.64], whereas it was not significantly associated with positive affect. Both associations depended on the cut-off chosen to define frequent dental visits. The present study highlights the association between SWB (particularly negative affect and low life satisfaction) and frequent dental visits. Further studies evaluating patients’ motivation for high dental service use are necessary to check the robustness of our findings.

2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
Author(s):  
Eka Septarianda ◽  
Mohammad Nursalim Malay ◽  
Khoiriyah Ulfah

ABSTRACT: RELATIONSHIP BETWEEN FORGIVENESS AND SUBJECTIVE WELL BEING AMONG ORPHANAGE ADOLESCENTSThis study aims to determine the relationship between forgiveness and subjective well-being in adolescents who are in the orphanage, through the three components contained in it, i.e. life satisfaction, positive affect and negative affect. The subjects of this study were 58 adolescents in the Budi Mulya Muhammadiyah Sukarame orphanage. Data collection method using three scales, those are Heartland Forgiveness Scale (HFS), Satisfaction with Life Scale (SWLS) and Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS). The data analysis technique used is the product moment correlation. The results of the analysis of this study explain that there is a positive relationship between forgiveness and subjective well-being through the three components in SWB. The results of this study have implications about the importance of forgiveness in increasing subjective well being in orphanage adolescent.Keywords: Forgiveness, Subjective Well-Being, Orphanage AdolescentPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan forgiveness dengan subjective well-being pada remaja yang berada di panti asuhan, melalui tiga komponen yang terdapat di dalamnya, yaitu life satisfaction, positive affect dan negative affect. Subjek penelitian ini adalah 58 remaja panti asuhan Budi Mulya Muhammadiyah Sukarame. Metode pengumpulan data menggunakan tiga skala, yaitu Heartland Forgiveness Scale (HFS), Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS). Data dianalisis dengan korelasi product moment. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara forgiveness dengan subjective well-being melalui tiga komponen dalam SWB. Hasil penelitian ini memberi implikasi tentang pentingnya forgiveness dalam meningkatkan subjective well being pada remaja dipanti asuhan.Kata Kunci: Forgiveness, Subjective Well Being, Remaja Panti Asuhan 


PSYCHE 165 ◽  
2020 ◽  
pp. 258-262
Author(s):  
Iqhsan Eko Setiawan ◽  
M Ridwan Saputra ◽  
Arsepta Kurnia Sandra

This study aimed to examine the relationship between personeel income beetwean subjective well-being on military personeel. A quantitative survey was performed on a sample of personeels (N = 43) TNI AU in City X and study documents is used to measure how impact of  personeel income to personeel’s SWB. The subjective well-being as an independent variable and to measure how subjective well-being correlated each other, this study has used  Satisfaction With Life Scale (Diener, 2006) and Positive Affect and Negative Affect Experience (Diener, 2009). Result showed that personeel income is significantly correlate with subjective well-being (p =  0.036, sig. < 0.05). New finding also shows that high and low income are significantly correlate with subjective well-being, limited and recommendation are discussed.


2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 24
Author(s):  
Annissa Fitriasri ◽  
M. Noor Rahman Hadjam

Abstrak. Penelitian ini merupakan kajian psikologi positif yang bertujuan untuk mengetahui kesejahteraan subjektif ditinjau dari pemaafan dan coping proaktif pada ibu tunggal karena perceraian yang bekerja sebagai PNS pada Pemerintah Provinsi Jateng. Subjek penelitian ini berjumlah 34 orang yang dipilih teknik purposive sampling, dengan karakteristik berusia 25 s.d 45 tahun, pendidikan terakhir minimal setingkat SMU, memiliki anak yang diasuhnya, lamanya menjadi ibu tunggal adalah lebih dari 1 sampai dengan 4 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan adalah adaptasi dari Satisfaction With Life Scale (SWLS) oleh Diener, Emmons, Larsen dan Griffin, Positive Affect and Negative Affect Scales (PANAS) oleh Watson, Clark dan Tellegen, Heartland Forgiveness Scale (HFS) oleh Thompson dan Snyder serta Proactive Coping Inventory oleh Greenglass, Schwarzer dan Taubret. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis regresi dengan menggunakan program SPSS for windows versi 16.0. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pemaafan dan coping berperan positif dan 2signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (F= 19,515; p < 0.00; R=0.747 and R 2= 0.557), (2) sumbangan prediktor (R) pemaafan dan coping proaktif adalah 55,7 %, (3) pemaafan memiliki peran positif dan signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (B = 1,320, p < 0.05, dan sumbangan efektif = 31,4 %), (4) coping proaktif memiliki peran positif dan signifikan terhadap kesejahteraan subjektif (B = 0,288, p < 0.05, dan sumbangan efektif= 24,3 %).Kata kunci: coping proaktif, kesejahteraan subjektif, ibu tunggal karena perceraian, pemaafan. 


2017 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 12
Author(s):  
Setyani Alfinuha ◽  
Fathul Lubabin Nuqul

<p class="IABSTRAK"><strong>Abstract: </strong>Subjective well-being is people’s evaluation of they life. It includes evaluation about cognitive and affective. People have higher subjective well-being, they have a more positive affective or good feelings and satisfied with the life they have. Contrary, people who have lower subjective well-being tend to overcome negative feelings in him. Therefore, subjective well-being is very important in the life of every individual is no exception to the new students. There are many factors that influence the subjective well-being such as sex, religion, education, intelligence emotion regulation and self efficacy. This study focused on the influence of self efficacy and regulasi emosi toward subjective well-being. This study aims to look at the effects of self-efficacy and emotion regulation towards students’s subjective well-being. The study involved 107 new students majoring in engineering architecture that consists of 51 men and 56 women This study uses a quantitative approach which is measured using four scales that is Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS) and Satisfaction with Life Scale (SWLS), General Self efficacy (GSE), and Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) to measure emotion regulation. The results show that there is the influence of self-efficacy and emotion regulation on subjective well-being. Simultanously, self-efficacy and regulation of emotions influence subjective well-being of 32.5% to the subjective well-being. But partialy, self efficacy more has contribute to subjective well-being, than emotion regulation.</p><div class="Section1"><p class="IABSTRAK"><strong>Abstrak:</strong> <em>Subjective well-being</em> merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan afeksi. Individu dikatakan memiliki <em>subjective well-being</em> tinggi jika mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan puas atas kehidupan yang dimiliki. Sebaliknya, orang yang memiliki <em>subjective well-being</em> rendah cenderung diliputi perasaan-perasaan negatif dalam dirinya. Oleh sebab itu, <em>subjective well-being</em> sangat penting dalam kehidupan setiap individu tidak terkecuali pada mahasiswa baru. Ada banyak faktor yang mempengaruhi <em>subjective well-being</em> antara lain jenis kelamin, religiusitas, pendidikan, kecerdasan, regulasi emosi dan <em>self efficacy</em>. Penelitian ini mem­focus­kan tentang pengaruh efikasi diri dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being. </em>Penelitian ini melibatkan 107 orang mahasiswa baru jurusan teknik arsitektur yang terdiri dari 51 orang laki-laki dan 56 orang perempuan Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang diukur menggunakan empat skala yaitu <em>Possitive and Negative Affect Schedule</em> (PANAS), <em>Satisfaction with Life Scale</em> (SWLS), General <em>Self efficacy</em> (GSE) dan <em>Emotion Regulation Questionnaire</em> (ERQ). Analisis yang dilakukan adalah analisis deskripsi dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara bersama-sama, <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi mempengaruhi <em>subjective well-being</em> sebesar 32,5%terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara terpisah, <em>self efficacy</em> memberikan sumbangan sebanyak 21,62% dan regulasi emosi sebanyak 3,53% terhadap <em>subjective well-being</em>.</p></div>


2020 ◽  
Vol 11 ◽  
Author(s):  
Félix Neto ◽  
Etienne Mullet

Abstract Saudade is a psychological reaction to the absence of significant others or familiar places. The correlates of the experience of saudade were examined using a sample of Portuguese adults. Two hundred and twenty-seven participants of both genders, aged 20–65, were presented with (a) the Satisfaction with Life Scale (SWLS), (b) the Positive and Negative Affect Schedules (PANAS), (c) the brief Loneliness Scale (ULS-6), (d) the Neo Five-Factor Personality Inventory (NEO-FFI), and (e) an experience of saudade two-item scale. Experience of saudade was more often reported by females than by males, and positively correlated with negative affect, loneliness, and neuroticism.


2021 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 152-165
Author(s):  
Nureyzwan Sabani ◽  
Daliman

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas penguatan kebersyukuran melalui intervensi menulis surat syukur terhadap peningkatan subjective well being siswa dalam interaksi sosial. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan desain penelitian eksperimen. Subjek penelitian ini adalah 20 siswa SD, masing-masing adalah 10 siswa untuk kelompok eksperimen dan 10 siswa untuk kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan menulis surat syukur. Pengumpulan data menggunakan skala Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Positive Affect and Negative Affect Scale (PANAS) untuk mengukur subjective well-being, sementara Gratitude, Resentment Appréciation Test-Short Form (GRAT-Short Form) digunakan untuk mengukur kebersyukuran siswa. Teknik analisis data menggunakan paired sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan penguatan kebersyukuran melalui intervensi menulis surat syukur memberikan bukti dapat meningkatkan subjective well-being siswa khususnya dalam dua komponen utama subjective well-being (kepuasan hidup dan afek positif). Siswa yang mendapatkan intervensi menulis surat syukur menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat subjective well-being daripada siswa yang tidak menulis surat syukur.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 12
Author(s):  
Elzza Priscania Raissachelva ◽  
Eko Handayani

  Perpisahan dalam jangka panjang yang dialami oleh remaja dan orang tua yang merupakan pekerja migran dapat membuat kualitas hubungan yang terjalin mengalami perubahan dan tidak lagi menjadi dekat. Ketika remaja tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua, mereka mulai menjalin kedekatan dengan teman sebagai gantinya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kelekatan pada orang tua dan teman sebaya dengan subjective well-being (SWB) remaja yang ditinggalkan orang tua bekerja sebagai pekerja migran. Partisipan penelitian terdiri dari 42 remaja berusia 12 - 15 tahun. Kedekatan dengan orang tua dan teman diukur menggunakan alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment, sementara subjective well-being diukur menggunakan alat ukur Satisfaction with Life Scale, Positive and Negative Affect Schedule, dan Subjective Happiness Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan serta hubungan negatif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan afek negatif. Selain itu terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ibu dengan komponen afek positif dan hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada teman sebaya dengan kebahagiaan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin secure kelekatan dengan ayah membuat remaja semakin puas dan bahagia serta membuat semakin rendahnya afek negatif yang dirasakan. Semakin secure kelekatan dengan ibu juga membuat remaja memiliki afek positif yang tinggi dan semakin secure kelekatan dengan teman sebaya membuat remaja semakin bahagia.


2021 ◽  
Vol 12 ◽  
Author(s):  
Xiaomei Chao ◽  
Yuliang Gu

This study examined the mediating role of altruistic tendency in the association between labor values and subjective well-being (SWB). About 2,691 Chinese students (1,504 males and 1,187 females) completed the labor values scale (LVS), the Positive Affect and Negative Affect Scale, the Satisfaction With Life Scale, and the altruistic tendency scale. Results demonstrated that labor values were positively associated with life satisfaction and positive affect, while negatively with negative affect. The altruistic tendency was positively correlated with labor values, and positive affect, while negatively correlated with negative affect. Furthermore, altruistic tendency served as a mediator linking labor values and positive/negative affect. These results confirmed the relationship between labor values and SWB and revealed the mechanism of altruism tendency between the two.


2018 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 96
Author(s):  
Nina Fitriana

Mahasiswa memiliki beragam tanggung jawab baik secara akademis maupun non akademis yang harus dijalani. Kesuksesan menjalankan berbagai peran tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia dapat menikmati dan merasa bahagia dengan proses yang dijalani. Kebahagiaan atau sering diistilahkan dengan subjective well being menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi kesuksesan mahasiswa dalam menjalani kehidupannya. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi subjective well being, diantaranya adalah perilaku makan. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan perilaku makan dengan subjective well being. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara perilaku makan dan subjective well being. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 65 mahasiswa. Metode pengumpulan data menggunakan skala Subjective Well Being dan Eating Habit Questionnaire. Skala Subjective Well Being terdiri dari 3 sub skala, yaitu Satisfaction With Life Scale dengan 5 aitem, Positive Affect dengan 9 aitem, dan Negative Affect dengan 9 aitem. Sedangkan skala Eating Habit Questionnaire terdiri dari 21 aitem. Teknik analisis korelasi product moment digunakan untuk mengetahui hubungan tersebut . Hasil penelitian dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku makan dengan subjective well being.


2016 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
Author(s):  
Ms. Anjali Sahai ◽  
Prof. (Dr). Abha Singh

Organizational Justice has the potential to create major impact on organizations and employees alike. These include greater commitment, trust, enhanced job performance, more citizenship behaviors and less number of conflicts. It has been reported that employees seem to have a universal concern for Justice that transcends the self and that many are subject to biases at various point of time in their work life. Sometimes these biases lead to adverse outcomes including decreased level of subjective well-being. Subjective well-being is a broad category that includes life satisfaction, positive affect, and low negative affect, such as anger, sadness and fear. Thus to study the relationship between Organizational justice and subjective well-being, a sample of 88 employees working in Private Universities of NCR region were examined. For this purpose, the Organizational Justice scales consisting of Measure of Procedural & Interactional Justice and Distributive Justice Index scale by Moorman, Blakely & Niehoff (1998) and Subjective Wellbeing Scales inclusive of the Satisfaction with Life Scale(SWLS),Scale of Positive and Negative Experience(SPANE) and Flourishing Scale (FS) by Ed Diener (2004)were used. Results indicate significant relationship between the three types of Organizational justice and subjective well-being of employees.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document