scholarly journals Resistensi Antibiotik Pada Pengobatan Akne Vulgaris

2019 ◽  
Vol 45 (2) ◽  
Author(s):  
Satya Wydya Yenny

Akne vulgaris merupakan inflamasi kronis pada unit pilosebasea, terutama terjadi pada masa pubertas dengan penyebab multifaktor. Selama ini, penggunaan antibiotik melawan Propionibacterium acnes (P. acnes) telah menjadi pilihan pada terapi akne vulgaris derajat sedang hingga berat. Efek penting antibiotik sebagai anti bakteri dan anti inflamasi pada akne vulgaris masih belum jelas. Penggunaan antibiotik jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya resistensi, khususnya golongan makrolid. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan resistensi di antaranya pemberian obat yang tidak rasional, monitoring terbatas, kesalahan pemakaian antibiotik, dan transmisi komunitas. Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan resistensi antibiotik adalah pembentukan biofilm yang dihasilkan oleh bakteri, sehingga peranannya pada akne vulgaris perlu diketahui. Untuk mencegah meningkatnya resistensi terhadap antibiotik pada pasien akne vulgaris perlu dilakukan berbagai upaya. Berdasarkan The global alliance to improve outcomes in acne, penggunaan antibiotik oral dan topikal tidak dianjurkan secara monoterapi atau bersamaan. Pemberian terapi kombinasi dengan retinoid topikal dan anti mikroba lain (misalnya benzoil peroksida) dianjurkan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan akne vulgaris derajat sedang dan berat.Kata kunci: akne vulgaris, antibiotik, resisten.

e-CliniC ◽  
2019 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
Author(s):  
Fifin R. T. Sole ◽  
Pieter L. Suling ◽  
Tara S. Kairupan

Abstract: Acne vulgaris is a chronic skin condition involving inflammation of the pilosebaceous follicle. The highest prevalence of acne vulgaris is at the age of 16-17 years. Pathogenic factors contributing to the development of acne vulgaris include increased sebum production, pilosebaceous follicular blockage, and increased colonization of Propionibacterium acnes. Personal hygiene is suggested as an important factor that needs to be maintained in acne prevention. Males tend to lack of awareness to seek information and health services in dealing with acne problems. This study was aimed to evaluate the relationship between facial washing and the incidence of acne vulgaris in adolescent males in Manado. This was an analytical and observational study using a cross-sectional design. Subjects were male students of 3rd grade at SMA Negeri 9 Manado, aged 16-19 years old, and met the inclusion and exclusion criteria, with a total number of 95 students. Subjects who washed their faces 2-3 times a day were 38 students (40%) while those who washed their faces less than twice or more than thrice a day were 57 students (60%). Subjects with no or mild acne vulgaris were 39 students (41.1%), while those with moderate to severe acne vulgaris were 56 students (58.9%). The chi-square showed a p-value of 0.004 for the relationship between the frequency of facial washing and the incidence of acne vulgaris. In conclusion, there was a significant relationship between facial washing and the incidence of acne vulgaris in adolescent males in Manado.Keywords: facial washing, acne vulgaris Abstrak: Akne vulgaris merupakan peradangan kronis folikel pilosebasea dengan prevalensi tertinggi pada usia 16-17 tahun. Faktor yang memengaruhi terjadinya akne vulgaris antara lain peningkatan produksi sebum, penyumbatan folikel pilosebasea, dan peningkatan kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes. Kebersihan diri merupakan faktor penting yang perlu dijaga sebagai salah satu usaha untuk mencegah timbulnya akne. Laki-laki cenderung kurang memiliki kesadaran untuk mencari informasi dan pelayanan kesehatan dalam menangani masalah akne. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris pada remaja laki-laki di Manado. Jenis penelitian ialah observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian ialah siswa laki-laki kelas 3 di SMA Negeri 9 Manado, usia 16-19 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan jumlah total 95 siswa. Subjek yang mencuci wajah 2-3 kali sehari sebanyak 38 siswa (40%) sedangkan yang mencuci wajah kurang dari 2 kali atau lebih dari 3 kali sehari sebanyak 57 siswa (60%). Subjek tanpa akne vulgaris atau akne derajat ringan sebanyak 39 siswa (41,1%) sedangkan yang dengan akne vulgaris derajat sedang sampai berat sebanyak 56 siswa (58,9%). Uji chi-square memperlihatkan nilai p=0.004 terhadap hubungan antara frekuensi mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris. Simpulan penelitian ini ialah terdapat hubungan bermakna antara mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris pada remaja laki-laki di Manado.Kata kunci: mencuci wajah, akne vulgaris


2019 ◽  
Vol 46 (2) ◽  
Author(s):  
Alida Widiawaty ◽  
Dessi Indah Sari ◽  
Sysca Priastiwi

Akne vulgaris merupakan penyakit radang kronik folikel pilosebasea yang banyak terjadi pada remaja. Manifestasi klinis berupa komedo, papul, pustul, nodus dan kista. Akne vulgaris merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan, hormon, stres, makanan, trauma, kosmetik, obat, serta defisiensi mineral misalnya seng. Kadar seng berpengaruh pada proses inflamasi, aktivitas Propionibacterium acnes, hiperproliferasi unit pilosebasea, dan produksi sebum yang merupakan patogenesis akne vulgaris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar seng plasma dengan derajat akne vulgaris pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau berjumlah 35 orang berusia > 18 tahun. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji statistik kadar seng plasma dengan derajat akne vulgaris menunjukkan hubungan bermakna (p=0,003) dengan kekuatan korelasi sedang (r=-0,490) antara kadar seng plasma dengan derajat akne vulgaris. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin rendah kadar seng plasma maka semakin berat derajat akne vulgaris yang dialami.Kata kunci: Akne vulgaris, derajat akne vulgaris, kadar seng


2019 ◽  
Vol 20 (3) ◽  
pp. 160
Author(s):  
Halimatus Zahrah ◽  
Arifa Mustika ◽  
Kartuti Debora

AbstrakPenatalaksanaan utama pada masalah akne vulgaris adalah penggunaaan antibotik baik topikal maupun oral. Akan tetapi penggunaan antibiotik dinilai telah menimbulkan dugaan resistensi terhadap P. acnes sebagai agent penyebab akne sehingga mendorong berbagai pihak untuk mengembangkan preparat antiinflamasi yang dapat diberikan topical ataupun sistemik. Curcuma xanthorrhiza Roxb. memiliki senyawa utama xanthorrizol yang dinilai potensial untuk dikembangan sebagai antibakteri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum serta perubahan struktur dinding sel dari Curcuma xanthorrhiza Roxb. terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes. Desain penelitian yang di gunakan adalah eksperimen dengan sampel P. acnes berupa isolate stock culture (ATCC® 11827™) yang selanjutnya ditumbuhkan pada media MHA. Jumlah replikasi yang digunakan sebanyak 4 ulangan. Konsentrasi ekstrak Curcuma xanthorrhiza Roxb. masing-masing 6,25 µg/ml, 12,5 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml dan 100 µg/ml. Pengukuran aktivitas antibakteri didasrkan pada KHM, KBM dan pengamatan struktur dinding sel bakteri melalui metode Microscop Electron Screening (MES). Pemberian ekstrak Curcuma xanthorrhiza Roxb. memiliki efek antibakteri terhadap bakteri P. acnes secara in vitro. Konsentrasi ekstrak 25 µg/ml merupakan kadar minimum yang mampu menghambat pertumbuhan P.acnes melalui dilusi cair, sedangkan konsentrasi minimal yang mampu membunuh P.acnes adalah 50 µg/ml. Bakteri P. acnes yang dipapar dengan ekstrak etanol Curcuma xanthorrhiza Roxb. mengalami perubahan morfologi berupa timbulnya dinding sel kasar kasar akibat penyusutan serta adanya dinding sel yang hancur sehingga sitoplasma keluar dan tampak seperti meleleh. Respon daya hambat pertumbuhan bakteri yang dihasilkan Curcuma xanthorrhiza Roxb. dipengaruhi oleh senyawa aktif yang terkandung didalamnya seperti minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin, kurkuminoid dan terpenoid. Kandungan xanthorrizol yang dimiliki mampu menghambat pertumbuhan P.acnes mampu merusak aktivitas enzim sel, selain itu kandungan Curcuminoid turut berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mendenaturasi dan merusak membran sel sehingga proses metabolisme sel terganggu  Kata Kunci: Antibakteri, Akne vulgaris, Curcuma xanthorriza Roxb., MES


e-CliniC ◽  
2019 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
Author(s):  
Fifin R. T. Sole ◽  
Pieter L. Suling ◽  
Tara S. Kairupan

Abstract: Acne vulgaris is a chronic skin condition involving inflammation of the pilosebaceous follicle. The highest prevalence of acne vulgaris is at the age of 16-17 years. Pathogenic factors contributing to the development of acne vulgaris include increased sebum production, pilosebaceous follicular blockage, and increased colonization of Propionibacterium acnes. Personal hygiene is suggested as an important factor that needs to be maintained in acne prevention. Males tend to lack of awareness to seek information and health services in dealing with acne problems. This study was aimed to evaluate the relationship between facial washing and the incidence of acne vulgaris in adolescent males in Manado. This was an analytical and observational study using a cross-sectional design. Subjects were male students of 3rd grade at SMA Negeri 9 Manado, aged 16-19 years old, and met the inclusion and exclusion criteria, with a total number of 95 students. Subjects who washed their faces 2-3 times a day were 38 students (40%) while those who washed their faces less than twice or more than thrice a day were 57 students (60%). Subjects with no or mild acne vulgaris were 39 students (41.1%), while those with moderate to severe acne vulgaris were 56 students (58.9%). The chi-square showed a p-value of 0.004 for the relationship between the frequency of facial washing and the incidence of acne vulgaris. In conclusion, there was a significant relationship between facial washing and the incidence of acne vulgaris in adolescent males in Manado.Keywords: facial washing, acne vulgaris Abstrak: Akne vulgaris merupakan peradangan kronis folikel pilosebasea dengan prevalensi tertinggi pada usia 16-17 tahun. Faktor yang memengaruhi terjadinya akne vulgaris antara lain peningkatan produksi sebum, penyumbatan folikel pilosebasea, dan peningkatan kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes. Kebersihan diri merupakan faktor penting yang perlu dijaga sebagai salah satu usaha untuk mencegah timbulnya akne. Laki-laki cenderung kurang memiliki kesadaran untuk mencari informasi dan pelayanan kesehatan dalam menangani masalah akne. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris pada remaja laki-laki di Manado. Jenis penelitian ialah observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian ialah siswa laki-laki kelas 3 di SMA Negeri 9 Manado, usia 16-19 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan jumlah total 95 siswa. Subjek yang mencuci wajah 2-3 kali sehari sebanyak 38 siswa (40%) sedangkan yang mencuci wajah kurang dari 2 kali atau lebih dari 3 kali sehari sebanyak 57 siswa (60%). Subjek tanpa akne vulgaris atau akne derajat ringan sebanyak 39 siswa (41,1%) sedangkan yang dengan akne vulgaris derajat sedang sampai berat sebanyak 56 siswa (58,9%). Uji chi-square memperlihatkan nilai p=0.004 terhadap hubungan antara frekuensi mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris. Simpulan penelitian ini ialah terdapat hubungan bermakna antara mencuci wajah dengan kejadian akne vulgaris pada remaja laki-laki di Manado.Kata kunci: mencuci wajah, akne vulgaris


Author(s):  
Sayu Putu Yuni Paryati ◽  
Henny Juliastuti ◽  
Dandi Fery Gunawan

Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang pernah diderita oleh 80 – 100% orang di dunia. Akne vulgaris dapat timbul karena adanya peradangan oleh bakteri Propionibacterium acnes. Bahan alam yang bersifat sebagai antibakteri salah satunya adalah daun brokoli (Brassica oleracea var. italica). Daun brokoli mengandung sejumlah senyawa aktif berupa flavonoid, saponin, alkaloid, dan steroid. Tujuan dari penelitian ini untuk membuktikan efek antibakteri ekstrak etanol daun brokoli (B. oleracea var. italica) terhadap pertumbuhan P. acnes secara in vitro. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. Objek penelitian berupa bakteri P. acnes ATCC 11827 dan daun brokoli yang dibuat menjadi ekstrak etanol daun brokoli dengan konsentrasi 10%, 30%, 50%, 70%, 90%, dan 100%. Kontrol positif pada penelitian ini menggunakan klindamisin 10 µg/disk dan DMSO 4% sebagai kontrol negatif. Berdasarkan rumus Federer pengulangan uji untuk setiap konsentrasi dan kontrol dilakukan sebanyak 4 kali. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun brokoli tidak menghasilkan daya hambat pada seluruh konsentrasi dan sebanding dengan kontrol negatif yaitu 0 mm. Faktor yang memengaruhi hasil uji pada penelitian ini dapat berupa faktor dari ekstrak, yaitu suhu dan waktu penyimpanan, paparan cahaya, dan kadar senyawa aktif pada ekstrak. Kepekaan bakteri P. acnes terhadap ekstrak etanol daun brokoli juga dapat memengaruhi hasil penelitian. Faktor lainnya adalah faktor teknis berupa jumlah bakteri yang diinokulasikan, pemilihan media, dan antibiotic carryover. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun brokoli tidak memiliki efek antibakteri terhadap pertumbuhan P. acnes secara in vitro.


2020 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 95-102
Author(s):  
Ayu Wulandari ◽  
Dwi Indria Anggraini

Pendahulan: Akne vulgaris (jerawat) merupakan kondisi kulit non-infeksi yang sangat umum terjadi dan sering datang dalam praktik dermatologis. Karena akne seringkali munculnya kronis dan dapat bertahan selama bertahun-tahun, terapi jangka panjang yang aman dan efektif sangat diperlukan. Mengingat semakin seringnya bakteri resisten antibiotik dan beratnya konsekuensi jika terjadi resisten, maka diperlukan dermatologis untuk memaksimalkan penggunaan terapi non-antimikroba ketika merawat pasien dengan jerawat. Tujuan: Untuk mengetahui obat oral non-antibiotik apa saja yang dapat untuk menjadi terapi akne vulgaris Metode: Artikel disusun menggunakan metode literature review, melibatkan 32 literatur bersumber dari buku dan jurnal. Hasil: Munculnya dan potensi transfer resistensi antibiotik dalam mikroorganisme kulit menjadi perhatian saat ini dalam pengobatan terutama dalam konteks dermatologi di mana pengobatan jangka panjang dengan antibiotik. Hebatnya, terapi non-antibiotik dalam bentuk isotretinoin - retinoid non-antimikroba efektif dalam mengurangi atau memberantas anaerob Propionibacterium acnes yang secara kausal terlibat dalam patogenesis kompleks Akne vulgaris. Pembahasan: Dalam ulasan literatur ini kami menyajikan data mengenai efek dari penggunaan yang tepat terapi non-antimikroba untuk jerawat. Ada berbagai pilihan pengobatan topikal dan oral yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tingkat keparahan dan respons terapeutik pasien. Perawatan non-antimikroba bisa sangat baik dalam mengendalikan jerawat, terutama ketika digunakan sebagai terapi pemeliharaan. Sementara antibiotik memiliki peran dalam pengobatan jerawat, mereka tidak boleh digunakan sebagai monoterapi, dan penggunaan antibiotik yang lama tidak dianjurkan. Simpulan: Beberapa obat yang mekanismenya hormonal dapat menjadi obat oral non-antimikroba pada tatalaksana akne vulgaris.   Kata kunci: Akne, Antibiotik, Isotretinoin, Spironolakton, Subantimikrobial


2018 ◽  
Vol 02 (04) ◽  
pp. 290-294
Author(s):  
Judith Schreiber ◽  
Bernd Kaufmann ◽  
Michael Rauschmann ◽  
Kirsten de Groot

ZusammenfassungDas SAPHO-Syndrom ist eine seltene entzündliche Autoimmunerkrankung mit Befall von Haut, Gelenken und Knochen. Klassische Charakteristika der Erkrankung sind Gelenkentzündungen und Enthesitiden am axialen Skelett, an der ventralen Thoraxwand mit Enthesitis der Ligamenta costoclaviculares und Arthritiden der Sternocostalgelenke, Entzündungen von Wirbelkörpern und -gelenken, auch Bandscheiben und Iliosakralgelenken zusammen mit neutrophilen Dermatosen in Form von Acne conglobata, palmoplantarer Pustulose, Pyoderma gangraenosum u. a. Dazu können auch eine Osteitis und Osteomyelitis der Röhrenknochen (meist Femur oder Tibia) und Mono- oder Oligoarthritiden der unteren Extremitäten auftreten. Differenzialdiagnostisch sind Spondarthritiden und die chronisch rekurrierende multifokale Osteomyelitis nicht immer abzugrenzen.Radiologisch sind nach längerem Krankheitsverlauf Hyperostosen an betroffenen Gelenken, Wirbelkörpern und Röhrenknochen nachweisbar. Wie auch bei HLA-B27-assoziierten Spondylarthritiden kann es zu ankylosierenden Veränderungen der Iliosakralgelenke oder Wirbelsäule kommen. Für die Krankheitsentstehung spielen offenbar infektiöse Triggerfaktoren wie z. B. das Propionibacterium acnes eine Rolle, die zu einer überschießenden Immunantwort mit erhöhten Konzentrationen von IL-8, IL-18 und TNF-alpha i. S. führen. Die Entzündungen manifestieren sich dann in Form von sterilen Pseudoabszessen mit Infiltraten neutrophiler Granulozyten hauptsächlich im Bereich der Haut, am axialen Bewegungsapparat und z. T. an den unteren Extremitäten. Zur Diagnostik können im Frühstadium (Krankheitsbeginn < 3 Monate) MRT, Skelettszintigrafie und Gelenksonografie eingesetzt werden. In späteren Stadien finden sich typische Hyperostosen und Sklerosierungen in konventionellen Röntgenaufnahmen. Therapeutisch werden in erster Linie NSAR, bei längerfristig aktiven Arthritiden auch Colchicin oder klassische synthetische DMARDS wie Methotrexat, Sulfasalazin und Leflunomid eingesetzt. In der Behandlung der Osteitis sind gute Erfolge mit Bisphosphonaten erzielt worden. Des Weiteren haben sich TNF-alpha-Inhibitoren als längerfristig gut wirksam auf Haut- und Gelenkmanifestationen erwiesen.


2019 ◽  
Vol 46 (2) ◽  
Author(s):  
Firmina Kus Setianingrum ◽  
Tantari SHW ◽  
Arif Widiatmoko
Keyword(s):  
Post Hoc ◽  

Hormon testosteron merupakan prekursor adrenal poten yang menyebabkan peningkatan ukuran, sekresi, serta fungsi kelenjar sebasea dengan mengikat reseptor adrenal, peningkatan proliferasi keratinosit folikuler yang dapat menyumbat kanal pilosebasea dan mengakibatkan obstruksi aliran sebum, sehingga terjadi pembentukan mikrokomedo, sebagai lesi awal akne vulgaris (AV).Tujuan penelitian menentukan kadar testosteron serum dan uji beda kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV. Metode penelitian secara potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien AV laki-laki umur 13-30 tahun di instalasi rawat jalan (IRJ) Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Jumlah subyek 63 orang, terdiri dari AV derajat ringan, sedang, dan berat masing-masing berjumlah 21 orang.Hasil penelitian didapatkan rerata kadar testosteron serum AV ringan 6,66 ng/mL, AV sedang 8,11 ng/mL, dan AV berat 8,97 ng.mL. Komparasi rerata kadar testosteron serum ketiga derajat keparahan AV tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Demikian pula hasil uji post hoc untuk mengetahui perbedaan kadar testosteron serum pada masing-masing derajat keparahan AV, yaitu AV ringan dengan sedang, ringan dengan berat dan sedang dengan berat menunjukkan hasil perbedaan tidak bermakna (p>0,05), walaupun nilai rerata pada masing-masing derajat keparahan AV lebih tinggi dibandingkan nilai normal.Disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna kadar testosteron serum pada berbagai derajat keparahan AV.Kata kunci: hormon testosteron, akne vulgaris, laki-laki


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document