Animal cruelty is an immoral crime that usurps animal rights, while exploitation of endangered animals is an act that has the potential to kill biodiversity in its country. The purpose of this article is to evaluate law enforcement against animal cruelty in Indonesia and its obstacles. The methodology used in this research is normative legal research which focused on secondary data approach. Although laws that regulate these criminal acts exist, such as Article 302 Criminal Code which explains the prohibition of actions that are detrimental to animal health, Law 5/1990 concerning conservation of the living natural resources and its ecosystem, added with Law18/2009 concerning husbandry and animal health, criminal cases regarding maltreatment and exploitation of circus animals, also abuse to killing pets and hunting of protected wildlife are still rampant. This could happen because of weak law enforcement that prevents deterrence. Criminal sanctions given to the perpetrators of animal cruelty are considered very light and justice for animal welfare is almost non existent. Factors that cause weak law enforcement are unsupportive constitutions, law enforcers, law facilities, its country community, and the legal culture factor. In order to overcome this matter, formulation of appropriate law to ensure legal certainty, a supportive constitution, education about biodiversity to the community, a proper surveillance system, assertiveness in law enforcement officers, and availability of adequate facilities are needed. Penganiayaan terhadap hewan merupakan suatu tindak kejahatan asusila yang merampas hak hewan. Sementara eksploitasi satwa langka adalah suatu tindakan yang berpotensi mematikan keanekaragaman hayati dalam negara. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku penganiayaan hewan dan eksploitasi satwa langka di Indonesia, serta faktor penghambatnya. Metode penelitian yang digunakan untuk menyusun artikel ini adalah metode penelitian hukum normatif yang berfokus pengumpulan data sekunder. Walau sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana tersebut, seperti pada Pasal 302 KUHP yang membahas mengenai larangan perbuatan yang merugikan kesehatan hewan, UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ditambah dengan UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kasus-kasus seperti penganiayaan dan eksploitasi hewan sirkus, juga penganiayaan hingga pembunuhan terhadap hewan peliharaan dan perburuan satwa liar yang dilindungi masih saja marak terjadi. Hal ini diakibatkan oleh penegakan hukum yang lemah sehingga efek jera gagal dimunculkan. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dinilai sangat ringan dan eksistensi keadilan bagi kesejahteraan hewan hampir tidak ada. Penegakan hukum yang lemah disebabkan oleh faktor Undang-Undang, penegak hukum, sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor budaya hukum. Dibutuhkan perumusan suatu aturan yang menjamin kepastian hukum untuk mendongkrak efektivitas hukum, penyuluhan masyarakat, sistem pengawasan yang memadai, ketegasan dari para aparat penegak hukum, dan ketersediaan fasilitas dan sarana yang memadai.