Jurnal Arsitektur TERRACOTTA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

36
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Institut Teknologi Nasional, Bandung

2716-4667

2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Ardhiana Muhsin

Building Information Modelling atau BIM menjadi topik pembicaraan bagi pelaku industri konstruksi yang diyakini dapat menambah efisisensi waktu pengerjaan proyek serta menghemat biaya proyek. Keberadaan konsep BIM ini juga semakin kuat dengan adanya peraturan dari Kementerian PUPR Nomor 22/PRT/M/2018 yang mensyaratkan penggunaan BIM dalam tender perencanaan diatas 2000 m2. Sejumlah pertanyaan muncul atas keraguan terhadap konsep BIM yang ditawarkan misalnya sejauh mana peningkatan efisiensi waktu pada proses perancangan dan juga tahap konstruksi. Konsep BIM yang juga mencakup tahapan renovasi sebagai bagian dari kegiatan pengelolaan bangunan turut menjadi pembahasan yang sering dibandingkan dengan alur kerja CAD tanpa menggunakan BIM. Selama ini dalam kegiatan renovasi, arsitek terkadang tidak memiliki data yang lengkap tentang bangunan yang akan dikerjakannya. Informasi yang hilang ini tidak jarang menuntun arsitek dan pemilik pada keputusan yang salah seperti mengganti ulang bahan penutup lantai karena kesulitan mendapatkan bahan yang sama atau bahkan lebih fatal lagi menyebabkan runtuhnya sebagian bangunan karena kesalahan dalam pembongkaran. Atas dasar hal tersebut, penelitian ini disusun dan menitikberatkan pada alur kerja tahapan renovasi dengan komparasi penggambaran digital dengan CAD yang tanpa BIM maupun menggunakan konsep BIM. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban apakah konsep BIM dapat dipahami dan terlihat manfaatnya secara nyata


2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Fahrul Rozi ◽  
Iwan Purnama

ABSTRAKKota Cirebon memiliki kawasan yang sangat erat kaitannya dengan bangunan kolonial yang ada di Kecamatan Lemah Wungkuk yaitu gedung SMP 16 Kota Cirebon. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 1933 yang merupakan bekas asrama tentara Belanda. Bangunan ini memiliki fasad kolonial yang khas pada bagian muka bangunan yang menjadikan peneliti studi kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fasad bangunan SMPN 16 kota Cirebon. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan melakukan survei langsung ke lapangan dan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, kemudian disajikan dalam bentuk uraian setiap elemen pada bangunan tersebut. Semoga penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang bangunan kolonial khususnya di kawasan Kota Cirebon.Kata kunci : fasade, arsitektur kolonial, kota cirebonABSTRACTCirebon City has an area that is closely related to colonial buildings in the Lemah Wungkuk sub-district, namely the SMP 16 Kota Cirebon building. This building was estimated to be built in 1933 which was a former Dutch army dormitory. This building has a typical colonial facade on the face of the building which makes the case study investigator. The purpose of this study is to reveal what are the characteristics of the building facade of SMPN 16 kota Cirebon. The method in this research uses descriptive method by surveying directly to the field and collecting data needed, then presented in the form of a description of each element in the building. Hopefully this research can add knowledge and insight about colonial buildings, especially in the Cirebon City area.Key words: facade, colonial architecture, Cirebon city 


2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Tedy Hartino Runny ◽  
Farhatul Mutiah

ABSTRAKJalan Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu daerah pusat aktivitas kegiatan masyarakat Kota Cirebon, letaknya strategis pada pusat kota sehingga menjadi jalur utama lalu lintas di Kota Cirebon. Namun, ada beberapa elemen kota yang pemanfaatannya kurang sesuai sehingga fungsi elemen kota yang ada di daerah tersebut kurang maksimal dan menimbulkan ketidaknyamanan oleh masyarakat yang beraktivitas atau melintasi di jalan tersebut. Dengan adanya persepsi masyarakat terhadap elemen fisik kota yang ada di koridor jalan tersebut, maka penelitian ini menggunakan teori Hamid Shirvani, teori ini yaitu teori yang menjelaskan tentang 8 elemen fisik pembentuk kota, elemen tersebut antara lain : penggunaan lahan (Land Use), bentuk dan massa bangunan (Building Form and Massing), sirkulasi dan parking (Circulation and Parking), ruang terbuka (Open Space), jalur pejalan kaki (Pedestrian Ways), papan penanda (Signages), pendukung aktivitas (Activity Support), preservasi (Preservation). Dari indikator 8 elemen fisik pembentuk kota maka metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode kualitatif dengan pengambilan data kuesioner online kepada 116 responden yang diambil secara random sampling. Maksud pengambilan sampling kepada responden tersebut yaitu giuna untuk mendapatkan data kesimpulan tentang persepsi masyarakat pada kesesuaian dan kurang kesesuaian terhadap 8 elemen fisik pembenetuk kota yang ada di koridor Jalan Cipto Mangunkusumo, diantara persepsi masyarakat pada elemen fisik kota yang sudah sesuai antara lain : penggunaan lahan, bentuk dan massa bangunan, jalur pejalan kaki, papan penanda, preservasi, dan persepsi masyarakat pada elemen fisik kota yang kurang sesuai antara lain : Sirkulasi dan area parkir, Ruang terbuka, Ruang pendukung aktivitas.Kata kunci : elemen fisik kota, kenyamanan kota, koridor jalan.ABSTRACTJalan Cipto Mangunkusumo is one of the central areas for community activities in Cirebon City. It is strategically located in the city center so that it becomes the main traffic lane in Cirebon City. However, there are some elements of the city whose utilization is not suitable so that the function of the urban elements in the area is not optimal and causes inconvenience to people who are active or crossing the road. With the public perception of the physical elements of the city in the corridor of the road, this study uses Hamid Shirvani's theory, this theory is a theory that explains the 8 physical elements that make up a city, these elements include: land use, shape and building mass (Building Form and Massing), circulation and parking (Circulation and Parking), open space (Open Space), pedestrian paths (Pedestrian Ways), signages (Signages), activity support (Activity Support), preservation (Preservation) . From the indicators of 8 physical elements that make up the city, the method used in this study is to use qualitative methods by taking online questionnaire data to 116 respondents who were taken by random sampling. The purpose of taking sampling of these respondents is to obtain conclusion data about people's perceptions of suitability and lack of conformity to the 8 physical elements that make up the city in the corridor of Jalan Cipto Mangunkusumo, among community perceptions on the physical elements of the city that are appropriate, among others: land use, the shape and mass of buildings, pedestrian paths, signboards, preservation, and people's perceptions of the physical elements of the city that are not suitable, including: circulation and parking areas, open spaces, space to support activities.Keywords : physical elements of the city, city convenience, road corridors.


2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Theresia Pynkyawati ◽  
Azibanyu Tresna ◽  
M Fajari ◽  
Indra Pratama

ABSTRAKGereja merupakan salah satu bangunan peribadatan yang dapat dijumpai di Indonesia. Bangunan ini merupakan wadah kegiatan spiritual umat kristiani yang mulai didirikan pada era pemerintah kolonial Belanda. Gereja mudah dikenali dari keberadaan menara dan bentuk geometri bangunannya. Sejalan dengan perkembangan zaman, berbagai bentuk gereja bermunculan sehingga bentuk gereja menjadi makin variatif. Gereja St. Yusuf Cirebon merupakan salah satu Gereja Katolik tertua di Jawa Barat yang didirikan pada era kolonial Belanda. Bangunan ini telah mengalami perubahan; ada tambahan massa bangunan untuk menampung lebih banyak jemaat meskipun demikian bentuk asli bangunan tidak berubahan. Oleh karenanya menarik untuk diteliti lebih dalam mengenai konsep bentuk dasar arsitektural dan elemen-elemen dasar yang diterapkan pada Gereja St. Yusuf Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep dasar bangunan secara arsitektural dan bagaimana Gereja St. Yusuf Cirebon menambah kapasitas ruang ibadah tanpa merubah tampilan fisik bangunannnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan cara mengumpulkan data hasil survey lapangan yang meliputi kondisi gereja sebelum dan setelah pengembangan sampai kondisi saat ini. Hasil analisa menunjukkan bahwa Gereja St. Yusuf Cirebon sebagai bangunan cagar budaya, mengalami berbagai perubahan baik pada ruang-luar maupun ruang-dalam, proporsi fasad bangunan tetapi tetap mempertahankan bentuk dan elemen-elemen dasar sebuah gereja eks kolonial. Kata kunci: Konsep Dasar Arsitektur, Bangunan Peribadatan, Ruang-luar dan Ruang-dalam.ABSTRACTThe Church is one of the religious buildings that can be found in Indonesia. This building is a spiritual activity place for Christians that began to established in the era of Dutch colonial goverment. The church is easily recognized by the existence of minaret and the geometric shape of the building. In line with the times, various design of church have emerged so that the shape of church has become more and more varied. The St Yusuf Cirebon church is the oldest Catholic church in West Java that was established in Dutch colonial era. This building had been changed, there is an additional building mass to accommodate more congregations, although the original building shape has not changed. Therefore it is interesting to study more deeply about the architectural basic concept and basic elements that are applied to the St Yusuf Cirebon church. This study aims to understand the architectural building concept and how the St Yusuf Cirebon church increases the capacity of prayer room without changing the physical appearance of the building. The analysis was conducted using qualitative and quantitative descriptive approach by collecting field survey’s data covering the condition of the church before and after the development to its current condition. The analysist shows that the St Yusuf Cirebon church as a cultural heritage building, has esperienced various changes both in the outer and inner room, the proportions of building facades but still maintains the shape and basic elements of an ex-colonial church.Keyword: Basic Architecture Concepts, Religious Building, Outer and Inner room.


2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Bambang Subekti

AbstrakKaidah struktur seringkali merupakan penghambat proses kreativitas arsitek dalam merancang bentuk bangunan. Banyak karya arsitektur yang hanya bermain pada kemasan saja, tanpa mempertimbangkan efisiensi struktur terutama pada rancangan gedung besar, baik gedung tinggi, maupun bentang lebar. Umumnya gedung tinggi walaupun fungsi dan tampilannya berbeda menggunakan struktur yang sama, yaitu struktur inti dan rangka (core and frames), yang dibedakan dari bentuk (aditif, substraktif, rotasi, repetisi), warna, jenis material, sehingga ketidakteraturan struktur disembunyikan demi mengejar bentuk bangunannya. Hal ini dikarenakan transformasi bentuk sebagai langkah eksplorasi arsitek dalam mewujudkan desainnya tidak menyertakan pertimbangan estetika struktur sebagai bagian dari proses kreatifnya. Pendekatan struktur masih terkesan penuh dengan rumus dan angka yang dianggap akan menghambat proses kreatif dalam olahan bentuk dan ruang. Oleh karenanya tidak sedikit rancangan yang memanipulasi bentuk luarnya dengan konstruksi tambahan, yang cenderung ornamental. Arsitek umumnya menghindar menampilkan struktur sebagai bagian dari estetika,  padahal analisis struktur merupakan proses yang harus dilalui dalam konsep perancangan demi terbangunnya sebuah rancangan gedung. Kajian ini adalah suatu model pendekatan struktur pada gedung tinggi dengan mengikuti tahapan dasar dalam proses analisis struktur. Diharapkan kajian ini dapat memberikan gambaran pendekatan kualitatif pada konsep struktur dan diterapkan dalam proses penyusunan konsep perancangan arsitektur sehingga dapat menghasilkan bentuk struktur yang baik.kata kunci: kaidah struktur, bangunan tinggi, kreativitas arsitek, estetika strukturAbstractRule of structure often is an inhibitor of the process of creativity of architects in designing building’s shape. Many architectural works only play on the packaging, without considering the efficiency of the structure, especially in the design of large buildings, both tall and wide-spanning buildings. Generally, tall buildings although their function and appearance are different use the same structure, namely the core and frame structure, which is distinguished from shape (additive, subtractive, rotation, repetition), color, type of material, so that structural irregularities are hidden in pursuit the building shape. This is because the transformation of form as exploration step in realizing the design architect does not include aesthetic considerations structures as part of the creative process. The structural approach still seems full of formulas and numbers which are considered to hinder the creative process in processing forms and spaces. Therefore many designs manipulate the outer shape with additional construction, which tends to be ornamental. Architects generally avoid presenting structures as part of aesthetics, whereas structural analysis is a process that must be passed in the design concept in order to construct a building design. This study is a structural approach model in tall buildings by following the basic step in the structural analysis process. It is hoped that this study can provide an overview of qualitative approach in structural concepts and could be applied in the process of architectural design concepts so that it could produce the right structural design.key words: rules of structure, tall building, architect creativity, aesthetic structures


2021 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Meta Riany

AbstrakC. P. Wolff Schoemaker adalah seorang arsitek Belanda yang menghasilkan banyak bangunan pada masa kolonialisasi Belanda. Hasil karyanya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia, salah satunya adalah gedung De Majestic yang terletak di kawasan cagarbudaya jalan Braga Bandung. Lamanya beliau berprofesi sebagai arsitek telah menghasilkan berbagai fungsi bangunan baik bangunan milik pemerintahan maupun swasta. Disain bangunannya tampak similar terutama pada fasad bangunannya sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam karakteristik dari elemen pembentuk fasadnya. Studi ini dimulai dengan mempelajari karya-karya beliau melalui buku, foto dan situs internet dan kemudian mempelajari lebih dalam pada karya beliau yang berada di kota Bandung. Perkembangan karya beliai dapat digolongkan ke dalam 3 periode waktu sejak tahun 1918 hingga 1940 an berdasarkan elemen-elemen pembentuk fasad bangunannya. Gedung de Majestic dipilih sebagai studi kasus karena fungsinya yang berbeda (bioskop) dan berlokasi di jl Braga yang kental dengan karakter Kolonial di kota Bandung. Bangunan ini merupakan hasil karya C.P Wolf Schoemaker pada periode ke 2 yang mulai memadukan arsitektur Eropa dan unsur lokal arsitektur Indonesia. Diharapkan dengan memahami sejarah bangunan dapat memberikan ide kepada para arsitektur muda untuk mencintai dan menerapkan ciri khas budaya lokal Indonesia yang unik, menarik, variatif pada karakter karya-karya mereka. Kata kunci: C.P. Wolff Schoemaker, Elemen Fasad Bangunan, Karakteristik Bangunan, Gedung De Majestic.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
Author(s):  
Erwin Yuniar Rahadian ◽  
Windi Dwiastuti ◽  
Nanda Annisa Maretia ◽  
Beri Fitrian

Pencahayaan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam perancangan suatu ruang. Kenyamanan pencahayaan pada ruang kantor sebagai area kerja  sangat dibutuhkan sesuai standar SNI sebesar 350 lux, sehingga dapat menunjang aktivitas dan memiliki produktivitas kerja yang baik. Gedung Rektorat Unpad Jatinangor merupakan gedung yang terdiri dari empat lantai dengan fungsi utama sebagai gedung administrasi dalam bidang akademik untuk menunjang kegiatan kemahasiswaan. Gedung ini memiliki bentuk massa lingkaran dan menggunakan secondary skin pada fasad yang selain berfungsi dalam unsur estika bangunan, juga berfungsi untuk mereduksi paparan panas dan sinar matahari yang masuk pada bangunan. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pencahayaan alami yang dipengaruh oleh penggunaan secondary skin. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode pengukuran langsung menggunakan luxmeter dan metode pengukuran dengan simulasi software ecotect. Hasil pengukuran langsung mengunakan luxmeter menunjukan kuat pencahayaan alami yang menghadap secondary skin lebih terang dibandingkan yang menghadap koridor sedangkan hasil pengukuran dengan simulasi software ecotect menunjukan kuat pencahayaan alami yang tidak menggunakan secondary skin intensitas cahayanya lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan secondary skin. Sehingga penerapan secondary skin pada facade bangunan tidak hanya untuk memenuhi unsur estetika dan perlindungan faktor iklim ekternal terhadap bangunan, namun harus juga memperhatikan dampak pencahayaan alami yang terjadi pada ruang dalam bangunan.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
Author(s):  
Achsien - Hidajat ◽  
Wahyu Buana Putra

AbstrakRumah Tidak Layak Huni di kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung, telah memperoleh bantuan dana renovasi dari Pemerintah Daerah. Dana ini merupakan bantuan bagi masyarakat tidak mampu untuk merenovasi rumahnya. Perbaikan terutama pada konstruksi dan material bangunan agar bangunan dapat digunakan dengan aman dan nyaman. Focus lain dari renovasi adalah penerapan jendela untuk memasukkan sinar matahari dan udara secara optimal. Diperoleh kecenderungan masyarakat di kawasan ini menggunakan model jendela yang sama yaitu sempit dan vertikal yang sedang trend saat itu. Oleh karenanya bila dilihat dari berbagai arah terdapat kesamaan model jendela pada rumah-rumah tersebut. Penelitian ini menitik beratkan pada perhitungan luas bukaan jendela agar dapat memasukkan cahaya matahari sehingga ruang dalam mendapatkan pencahayaan yang cukup. Selain itu diharapkan pula udara dapat masuk ke dalam rumah sehingga rumah tidak pengap. Diharapkan penggunaan model jendela yang sempit dan vertikal dapat mencapai persyaratan minimal luas bukaan pada suatu fasad bangunan seperti yang disyaratkan bagi sebuah bangunan hunian. Selain itu lantai ruang juga menjadi patokan dalam perhitungan standard bukaan untuk menjadikan sebuah bangunan layak huni. Diharapkan bantuan yang diberikan Pemerintah Daerah dapat menjadikan setiap warga tinggal di rumah yang layak huni yang dapat memasukan sinar matahari dan udara untuk menciptakan rumah yang sehat.Kata kunci: luas bukaan jendela, kenyamanan dan kesehatan rumah,  rumah tinggal layak huni, AbstractUnlivable house in the Ciwidey area, Bandung Regency, has received renovation funds from the Regional Government. This fund is an aid for people who cannot afford to renovate their house. Renovations, especially in construction and building materials, so that buildings can be used safely and comfortably. Another focus of the renovation was the application of windows to optimally input sunlight and air. It was found that the people in this area tend to use the same window model, namely narrow and vertical, which was the trend at that time. Therefore, when viewed from various directions there are similarities in the window models in these houses. This study focuses on the comprehensive calculation of the size of window in order to insert the sunlight so that the space in getting adequate lighting. Besides that, it is hoped that air can flow into the house so that the house is not stuffy. t is expected that the use of a narrow and vertical window model can achieve the minimum requirements for the opening area in a building facade as required for a residential building. n addition, the floor space is also a benchmark in calculating standard openings to make a building habitable. It is hoped that the financial assistance provided by the Regional Government can make every citizen live in a livable house that can bring in sunlight and air to create a healthy home.Key words: healthy and comfortable house, unlivable house, window opening area


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
Author(s):  
Nur Laela Latifah ◽  
Ramadhan Paskal Dinda Wigna ◽  
Teguh Darmawan ◽  
Saefulloh Karim Mundika

Bangunan eks kolonial merupakan warisan bernilai sejarah tinggi yang harus dilestarikan, salah satunya Gedung Negara Cirebon. Fungsi bangunan ini sebagai tempat penginapan tetap dipertahankan, di samping terdapat ruang yang menjadi area kerja dan pada masa depan direncanakan menjadi fasilitas sumber budaya. Dalam melakukan aktivitas dan kerja visual dibutuhkan cahaya alami dengan kuantitas dan sesuai agar pengguna tetap dapat memperoleh kenyamanan visual, dan hal ini sangat ditentukan oleh desain bangunan terutama orientasi bangunan dan bukaan cahaya; alokasi dan kedalaman ruang; dimensi, bentuk, posisi, dan spesifikasi bukaan cahaya; serta reflektansi permukaan. Terkait Gedung Negara yang telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya dimana kondisi fisiknya harus dipertahankan, penting untuk dikaji apakah dengan desain yang ada sebagai bangunan eks kolonial, dapat memberikan kuat penerangan yang mendukung perolehan kenyamanan visual bagi penggunanya. Metoda analisis dilakukan baik kuantitatif dan kualitatif, dan pada analisis kuantitatif dilakukan pengukuran di loksi juga simulasi model menggunakan software Revit 2020 dan DIALux evo 8.2 yang hasilnya dibandingkan dengan standar kenyamanan visual terkait kuat penerangan. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh nilai manfaat agar dapat mengoptimalkan potensi cahaya alami bagi pengguna bangunan eks kolonial dengan tetap menjaga kelestariannya sebagai bangunan cagar budaya.  Kata kunci: desain bangunan eks kolonial, kenyamanan visual, pencahayaan alami


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
Author(s):  
Reza Phalevi Sihombing

AbstrakIndonesia memiliki banyak kawasan bersejarah, salah satunya berda di dalam kawasan Jalan Braga Kota Bandung. Kehadiran bangunan baru di kawasan ini menjadi perhatian khusus bagaimana desain olahan fasad  yang akan diterapkan pada fasad bangunannya. Pada studi ini akan membahas bagaimana usaha bangunan baru dalam mendesain fasad bangunan sehingga dapat mengaitkan diri dengan fasad bangunan di lingkungan sekitarnya. Dengan menggunakan metoda deskriptif kualitatif dan metoda kuantitatif, penelitian ini akan meninjau desain elemen fasad Hotel Ibis Styles Braga terhadap bangunan eks Bank Denis yang merupakan bangunan cagar budaya. Karena bangunan cagar budaya dapat dijadikan tolak ukur desain untuk bangunan. Studi literatur digunakan untuk membandingkan antara teori arsitektur kontekstual, dengan teori elemen fasad. Selain dari studi teori yang ada, dilakukan juga pengamatan langsung kawasan dan bangunan sekitarnya. Khususnya pada bagian fasad dan tipologi bangunan kolonial. Hasil studi secara kualitatif memperlihatkan adanya keterkaitan elemen fasad pada bangunan Hotel Ibis Styles Braga terhadap bangunan Eks Bank Denis, namun secara kuantitatif terdapat perbedaan ukuran proporsi terhadap bentuk dari elemen fasad tersebut. Dari pengamatan arsitektur kontekstual yang dilihat dari segi fasade bangunan. Pada fasad bangunan Hotel Ibis Styles Braga memiliki pendekatan konsep selaras dengan fasad bangunan eks bank denis.Kata kunci: Cagar Budaya, Bersejarah, Kontekstual, Fasad. AbstraCTIndonesia has many historical areas, one of which is located in the area of Jalan Braga, Bandung City. The presence of new buildings in this area is of particular concern to how the processed facade designs will be applied to the building facades. This study will discuss how new building businesses are in designing building facades so that they can relate to the facades of buildings in the surrounding environment. By using qualitative descriptive and quantitative methods, this study will review the design elements of the facade of the Hotel Ibis Styles Braga to the former Denis Bank building which is a cultural heritage building. Because cultural heritage buildings can be used as design benchmarks for buildings. Literature studies are used to compare the contextual architectural theory with the facade element theory. Apart from existing theoretical studies, direct observations of the area and surrounding buildings were also carried out. Especially in the facade and typology of colonial buildings. The results of the qualitative study show that there is a relationship between the facade elements of the Ibis Styles Braga Hotel building to the former Denis Bank building, but quantitatively there are differences in the size proportions of the shape of the facade elements. From the contextual architectural observations seen in terms of the building facade. The building facade of the Hotel Ibis Styles Braga has a conceptual approach in line with the facade of the former denis bank building.Keywords: Heritages, Historical, Contextual, Facade


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document