eL-Mashlahah
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

62
(FIVE YEARS 56)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Iain Palangka Raya

2622-8645, 2089-1970

eL-Mashlahah ◽  
2021 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 146-163
Author(s):  
Fajar Sukma ◽  
Zulheldi Zulheldi

ABSTRACTThis article highlighted the role and policies of the government and its staff in carrying out the tasks or functions of community empowerment, including identifying the supporting and hindering factors in the community empowerment process. Community empowerment also has several principles in its implementation, namely awareness of the community, providing education and training, organizing, developing strengths, and developing dynamics (decisions in the hands of the community itself). Community empowerment is focused on various aspects related to people's lives as a nation's society, namely empowerment in the fields of education, economy, socio-culture, psychology, and politics in the era of the digital economy. Through literature studies and qualitative approaches aimed to examine and interpret the events related to policies and the role of government, then compare to Islamic governments in the past. In the era of Amirul Mukminin bin Al-Khattab as the second caliph, he ran the government firmly but was very sensitive to his people. The policies, that he issued, were for the benefit of the people, not only Muslims but also all citizens who live in the authority of Umar's caliphate. These policies in community empowerment during Umar's time should be interpreted in the current context. The era is known as the digital age, of course, it needs to modify the policies of the previous era so that they can be relevant and able to be implemented in real terms.Keywords: Government Policy, Community Empowerment, Digital Economy Era.ABSTRAKArtikel ini menyoroti peran dan kebijakan pemerintah dan jajarannya dalam menjalankan tugas atau fungsi pemberdayaan masyarakat, termasuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga memiliki beberapa prinsip dalam pelaksanaannya, yaitu penyadaran terhadap masyarakat, memberikan pendidikan dan pelatihan, pengorganisasian, pengembangan kekuatan, dan pengembangan dinamika (keputusan di tangan masyarakat itu sendiri). Pemberdayaan masyarakat difokuskan pada berbagai aspek yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai masyarakat bangsa, yaitu pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, sosial budaya, psikologi, dan politik di era ekonomi digital. Dengan melakukan studi pustaka dan pendekatan kualitatif untuk menelaah dan menginterpretasikaan kejadian-kejadian yang terkait dengan kebijakan serta peran pemerintah dan membandingkannnya dengan pemerintahan Islam di masa lalu. Di era Amirul Mukminin bin Al-Khattab sebagai khalifah ke dua, ia menjalankan pemerintahan dengan tegas namun sangat peka terhadap rakyatnya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya adalah untuk kemaslahatan umat, tidak hanya umat muslim tetapi juga seluruh warga yang berada dalam naungan kekhalifahan Umar. Kebijakan-kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat di masa Umar tersebut patut diintepretasikan pada konteks sekarang. Zaman yang dikenal dengan zaman digital tentu perlu modifikasi kebijakan era dulu, sehingga dapat relevan dan mampu diterapkan secara nyata.Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Pemberdayaan Masyarakat, Era Ekonomi Digital.


eL-Mashlahah ◽  
2021 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 164-186
Author(s):  
Muhamad Izazi Nurjaman ◽  
Doli Witro

ABSTRACTThe study described the relevance of the theory of legal change according to Ibnu Qayyim al-Jauziyyah to the legal product of the fatwa DSN-MUI (Fatwa National Sharia Board-Indonesian Council of Ulama) in Indonesia. It used a qualitative research method with a literary approach. The conclusions showed that the relevance of the theory of legal change proposed by Ibn Qayyim al-Jauziyyah has been applied explicitly in every legal product of the fatwa DSN-MUI in Indonesia. That seen in every legal product, always give the way for future changes following the needs and problems faced. Changes to Islamic legislation products have significant differences. On laws and regulations and judges' decisions, new legal products will cancel or revoke the previous legal. And, for the legal product of a fatwa from the National Syari'ah Board (DSN-MUI), the newly legal product will complete the previous one. However, legal changes will always occur in the context of providing legal certainty, accompanied by the level of benefit for people's lives.Keywords: Legal Changes, Ibn Qayyim, Products of Islamic Law.ABSTRAKPenelitian ini menjelaskan tentang relevansi teori perubahan hukum menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap produk hukum fatwa DSN-MUI di Indonesia. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relevansi teori perubahan hukum yang digaungkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sudah diberlakukan secara eksplisit dalam setiap produk hukum fatwa DSN-MUI di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam setiap batang tubuh produk hukum yang selalu membuka jalan untuk adanya perubahan dikemudian hari sesuai dengan kebutuhan dan problematika yang dihadapi. Perubahan terhadap produk hukum Islam memiliki perbedaan yang signifikan. Bagi peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, ketentuan hukum baru akan membatalkan/mencabut ketentuan hukum sebelumnya. Sedangkan terhadap ketentuan hukum berupa fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN-MUI), ketentuan hukum baru akan menyempurnakan ketentuan hukum sebelumnya. Namun sejatinya perubahan hukum akan selalu terjadi dalam rangka menciptakan produk hukum yang dapat memberikan kepastian hukum disertai pencapaian tingkat kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat.Kata Kunci: Perubahan Hukum, Ibnu Qayyim, Produk Hukum Islam.


eL-Mashlahah ◽  
2021 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 187-204
Author(s):  
Iqbal Katrino ◽  
Yus Afrida

ABSTRACTUU no. 7/2017 concerning General Elections, is the legal protection for the implementation of the 2019 General Election using the system presidential threshold. The problem is, this is seen as castration of individual rights where power is in the hands of the people. Equal treatment before the law and politics in the context of nominating the President and Vice President is limited to parties that are part of and meet the threshold in the 2014 general election. This research found that the implementation of the system Presidential Threshold in Indonesia was an embodiment of the people's sovereignty itself. Where the individual directly determines the leader, and in making the requirements to become a leader, and the DPR is a representation of the people. This eliminates concerns in the community when the system will be ratified Presidential Threshold in Law Number 7 of 2017 concerning Elections so that the people's sovereignty in the threshold system is by siyasah syar’iyyah where ahlul halli wa al-‘aqdi can determine candidate leaders and Bai’ah is a form of the general election in determining the leader.Keywords: People’s Sovereignty, Presidential Threshold, Siyasah al-Syar’iyyah.\ABSTRAKUU No. 7 /2017 tentang Pemilihan Umum dasar hukum dilaksanakannya Pilkada Umum Tahun 2019 dengan menggunakan system presidential threshold. Persoalannya adalah, hal ini dipandang sebagai pengebirian hak-hak individu dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Perlakuan yang setara di depan hukum dan politik dalam rangka mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden menjadi terbatas hanya pada partai yang menjadi bagian dan mencukupi -threshold di pemilihan umum 2014. Riset ini menjumpai bahwa pelaksanaan sistem Presidential Threshold di Indonesia merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Di mana individu secara langsung menentukan pemimpin, dan dalam pembuatan persyaratan untuk menjadi pemimpin, yang mana DPR adalah representasi dari rakyat. Hal ini menghapuskan kekhawatiran di masyarakat ketika akan disahkannya sistem Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga kedaulatan rakyat dalam sistem ambang batas sudah sesuai dengan siyasah syar’iyyah dimana ahlul halli wa al-‘aqdi memiliki kapasitas untuk menentukan calon permimpin dan Bai’ah adalah bentuk dari pemilihan umum dalam menentukan pemimpin.Kata Kunci: Kedaulatan Rakyat, Presidential Threshold, Siyasah Syar’iyyah.


eL-Mashlahah ◽  
2021 ◽  
Vol 11 (1) ◽  
pp. 13-28
Author(s):  
Desi Refnita . Refnita

This article will discuss mustahik zakat, who are the groups who will receive "mustahik" zakat, and what are the conditions for recipients (mustahik) zakat and who are not entitled to receive zakat in era society 5.0. Mustahik zakat is people who are entitled to receive zakat assets. Groups of zakat recipients, namely, needy, poor, who organize and deliver, converts, slave servants, people in debt, fi Sabilillah, and traveling (Ibnu Sabil). We conducted literature studies, and descriptive analysis approaches the theory and reality in distributing zakat from various thought reviews schools. According to Imam Syafi'i, people who are in debt are also entitled to receive zakat. However, not everyone who owes a lot is entitled to receive zakat. This paper is taken from several references on zakat fiqh, especially mustahik zakat. It is developed in the discussion of zakat recipients such as leaders with weak faith or non-Muslims who are feared that it will create chaos. Acceptance and payment of zakat are more transparent, and era society 5.0 is in line with technological developments. It is hoped that the amount of zakat collection and distribution will be maximized.Keywords: Zakat, Fiqh, and Era Society 5.0.Artikel ini membahas mustahik zakat, siapa saja golongan yang akan menerima zakat “mustahik”, dan bagaimana syarat penerima (mustahik) zakat dan siapa yang tidak berhak menerima zakat di era society 5.0. Mustahik zakat adalah orang yang berhak menerima zakat harta. Kelompok penerima zakat, yaitu fakir, miskin, yang mengatur dan mengantarkan, mualaf, hamba, orang terlilit hutang, fi Sabilillah, dan musafir (Ibnu Sabil). Kami melakukan studi literatur, dan pendekatan analisis deskriptif teori dan realitas dalam pendistribusian zakat dari berbagai tinjauan pemikiran mazhab. Menurut Imam Syafi'i, orang yang berhutang juga berhak menerima zakat. Namun, tidak semua orang yang berhutang banyak berhak menerima zakat. Tulisan ini diambil dari beberapa referensi tentang zakat fiqh, khususnya mustahik zakat. Hal ini berkembang dalam diskusi penerima zakat seperti para pemimpin yang lemah iman atau non-Muslim yang dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Penerimaan dan pembayaran zakat lebih transparan, dan era society 5.0 sejalan dengan perkembangan teknologi. Diharapkan jumlah penghimpunan dan penyaluran zakat dapat dimaksimalkan.Kata Kunci: Zakat, Fiqh, dan Era Society 5.0. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document