Jurnal Konservasi Cagar Budaya
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

170
(FIVE YEARS 31)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 0)

Published By Balai Konservasi Boorobudur

1978-8584

2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 34-43
Author(s):  
Fransiska Dian Ekarini
Keyword(s):  

Situs Candi Surowono yang lokasinya berada di alam terbuka sangat rentan terhadap kerusakan dan pelapukan. Salah satu penyebab kerusakan dan pelapukan batu andesit penyusun Candi Surowono adalah adanya mikroorganisme berupa lumut (moss) dan lumut kerak (lichen), mikroorganisme ini apabila tidak dikendalikan maka lama kelamaan akan menyebabkan degradasi kekuatan batu Candi Surowono. Salah satu upaya untuk pengendalian mikroorganisme ini digunakan bahan alam yaitu minyak atsiri sebagai alternatif pengganti bahan kimia yang selama ini dipakai. Keunggulan penggunaan bahan alam ini adalah selain bahannya yang mudah didapat juga ramah lingkungan dan tidak beracun. Minyak atsiri yang dipakai adalah sereh wangi, pala dan cengkeh. Pemakaiannya dalam bentuk emulsi yaitu dicampurkan dengan surfaktan (tween 80) dan akuades. Konsentrasi masing-masing emulsi minyak atsiri adalah 10%. Pengaplikasian bahan emulsi minyak atsiri dengan cara semprot (spray) pada permukaan batu andesit yang ditumbuhi mikroorganisme. Hasil pengaplikasian menunjukkan bahwa emulsi minyak atsiri sereh wangi dan cengkeh efektif untuk membersihkan lumut (moss), sedangkan untuk membersihkan lumut kerak (lichen) paling efektif menggunakan emulsi minyak atsiri cengkeh.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 59-78
Author(s):  
Dian Eka Eka Puspitasari

Jenis tanaman pada relief merupakan salah satu objek penelitian yang cukup menarik, karena tanaman digambarkan dengan sangat detail pada relief. Relief tanaman menjadi salah satu latar belakang dari konteks cerita dalam relief sehingga dapat menggambarkan konteks lingkungan dengan tepat. Perbedaan konteks lingkungan hutan, tepi laut, sungai, permukiman maupun kebun terlihat dengan jelas. Salah satu konteks lingkungan adalah konteks lingkungan halaman terutama halaman pada bangunan suci/candi. Bangunan suci/candi beberapa kali muncul dalam konteks cerita relief dimana beberapa penggambaran memiliki latar belakang tanaman. Jenis tanaman apa saja yang ada pada halaman bangunan suci/candi dalam konteks cerita relief serta fungsinya dalam lanskap menjadi topik dalam penelitian ini. Penelitian difokuskan pada relief Karmawibhangga, Lalitavistara, dan Jataka-Avadana yang berada di dinding utama lorong I. Dengan menggunakan metode selected observation dan fokus observation, identifikasi jenis tanaman menjadi lebih mudah. Hasil penelitian menemukan 20 jenis tanaman dengan 11 jenis tanaman yang berfungsi sebagai peneduh, 8 jenis tanaman yang berfungsi sebagai penghias, dan satu jenis tanaman yang berfungsi sebagai peneduh dan penghias pada konteks tanaman halaman bangunan suci/candi. Kata Kunci : Jenis tanaman; bangunan candi; bangunan suci; halaman ; tanaman halaman


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 44-58
Author(s):  
Leliek Agung Haldoko

Wood is a hygroscopic organic material, prone to damage and weathering, especially by humidity. The moisture in the wood will trigger biotic activities such as fungus, which can decompose of wood materials, that is, cellulose. Moreover, wood is susceptible to insect attacks such as termites. This condition will cause the wood to become brittle so that the strength of the wood will decrease. To strengthen brittle wood, consolidation treatments are needed. Material for wood consolidation that has been used is Paraloid B72 with acetone solvent, which is not easy to find everywhere Materials tested for wood artifacts consolidations were shellac and gelatin with a concentration of 5%, 7,5%, and 10%. As a comparison, the material used for wood consolidation is Paraloid B72 10%. Test parameters used include SEM test, density test, compressive strength test, color change test, fungal growth observation, and FTIR test. Test results have shown that shellac 7,5% and 10% can be an alternative to Paraloid B72 as a wood artifacts consolidation material. Shellac 7,5% is the optimum concentration for wood artifacts consolidation because materials will be more efficient. This material can fill the wood pores and increase the density by 13,89%. The resulting compressive strength value reached 248,01 kg/cm2 or increased by 43,18%, higher than Paraloid B72 10%. Shellac 7,5% does not change the color of the wood and safe from fungal growth when applied to wood. This material also does not change the chemical composition of wood. Keywords: wood, artifact, consolidation, shellac, gelatin, Paraloid B72


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 1-17
Author(s):  
Retna Munawati

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman kapang yang dapat menyebabkan biodeteriorasi pada batuan Candi Borobudur dan jenis kerusakan yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling, dengan kriteria sampel : batuan candi yang menampakkan spora atau miselium kapang, serta menampakkan kerak berwarna putih atau putih kekuningan. Metode pengambilan sampel dengan metode swab dan metode kerik. Inokulasi kapang menggunakan metode streak plate pada media CDA. Hasil penelitian berupa data kualitatif meliputi karakterisasi makroskopis dan mikroskopis. Hasil  karakterisasi  kemudian  diidentifikasi  dengan  metode profile matching  menggunakan  buku acuan  identifikasi  kapang. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat 5 genus kapang yang ditemukan pada batuan Candi Borobudur yaitu genus Paecilomyces (67,5%), Cladosporium (11,25%), Penicillium (11,25%), Aspergillus (8,75) dan Mucor (1,25%). Jenis biodeteriorasi yang terjadi pada batuan candi diantaranya adalah adanya perubahan warna pada permukaan batuan candi yang menampakkan kerak berwarna putih maupun putih kekuningan dan pembentukan biofilm.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 18-33
Author(s):  
Sri Wahyuni

Cagar budaya berbahan batu terletak di dalam ruangan maupun di luar ruangan sangat rentan terhadap kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya dapat disebabkan oleh faktor internal yaitu material penyusun benda itu sendiri maupun faktor eksternal yaitu lingkungan benda itu berada. Jenis kerusakan dan pelapukan terdiri dari fisis, kimia dan biologi. Pelapukan yang terjadi pada cagar budaya berbahan batu akibat faktor biologi disebabkan oleh pertumbuhan ganggang/algae, lumut/moss, lumut kerak/lichen. cara mengatasi lumut selama ini dilakukan dengan pembersihan secara mekanis kering, mekanis basah dan bahan kimia menggunakan hyvar XL. Sedangkan untuk mengatasi lumut kerak/lichen secara kimiawi dengan menggunakan AC 322 terdiri dari ammonium bikarbonat, sodium bikarbonat, disodium salt EDTA, CMC, Arkopal dan air. pembersihan dengan cara mekanis kering dan basah tidak mengatasi pertumbuhan lumut karena bersifat hanya memindahkan spora tidak membunuh lumut. Sedangkan penggunaan bahan kimia seperti Hyvar XL dan AC 322 dapat mencemari lingkungan. Bahan yang diuji sebagai bahan alternatif ramah lingkungan untuk membunuh koloni lumut dan lumut kerak/lichen adalah emulsi sereh wangi.  Emulsi sereh wangi terdiri dari minyak atsiri sereh wangi dan surfaktan tween 80. Variasi konsentrasi bahan yang diujikan yaitu 3%, 5%, 7% dan 10% dengan konsentrasi surfaktan tween 80 sebesar 5%. Pengujian bahan skala lapangan dengan cara penyemprotan bahan pada batu yang ditumbuhi koloni lumut dan lumut kerak/lichen.  Parameter yang diamati adalah pengamatan visual terhadap perubahan warna, nilai ΔE perubahan warna sebelum dan setelah dilakukan pengujian, dan dampak penggunaan emulsi sereh wangi 10%  pada batu segar. Hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan emulsi sereh wangi dapat menjadi bahan alternatif ramah lingkungan untuk membunuh koloni lumut pada cagar budaya berbahan batu. Bahan emulsi sereh wangi konsentrasi 3%, 5%, 7% dan 10% secara visual atau kualitatif dapat membunuh lumut dalam durasi kontak 24 jam dan  emulsi sereh wangi konsentrasi 5%, 7%, dan 10% dapat membunuh lumut kerak/lichen dalam durasi kontak 48 jam, dilihat dari perubahan warna lumut dari hijau menjadi kecoklatan dan layu mengering.  Sedangkan secara kuantitatif pengukuran perubahan warna dengan menggunakan alat kolori meter dilihat nilai LAB kemudian dihitung nilai ΔE dengan software colortool. Perubahan warna lumut setelah kontak 24 jam dengan emulsi sereh wangi konsentrasi 10%, dilihat dari nilai ΔE2000 sebesar 8,5721 sedangkan perubahan warna lumut kerak/lichen setelah kontak 48 jam denilai ΔE2000 sebesar 7,2063. Untuk mengetahui dampak penggunaan bahan terhadap batu bersih/segar, kontak dengan bahan selama 6 hari dilakukan pengukuran nilai ΔE2000 sebesar 3,4592, penggunaan bahan emulsi sereh wangi 10% tidak merubah warna batuan. Berdasarkan National Bureau of Standards GB7705-87 (National Institute of Standards and Technology), suatu benda dikatakan memiliki warna yang sama jika memiliki nilai ΔE ≤6.


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 35-51
Author(s):  
Linus Setyo Adhidhuto

Candi Mendut hanya berjarak 27 meter dari jalan raya. Banyaknya kendaraan yang melintas pada jalan tersebut terutama kendaraan berat seperti truk dan bus menimbulkan kekhawatiran akan kelestarian candi tersebut. Getaran yang timbul dari kendaraan tersebut bila mengenai struktur candi dengan frekuensi tertentu dan dalam intensitas yang besar akan berpotensi menimbulkan kerusakan pada candi. Pengukuran respon getaran dilakukan pada bagian atap dan lantai candi untuk dapat mengetahui apakah getaran yang timbul akibat lalu lintas telah melebihi batas ambang getaran. Pengukuran getaran menggunakan accelerograph yang dapat mengukur getaran dalam 3 arah / triaxial. Untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya getaran yang timbul maka dilakukan percobaan respon getaran pada tanah dengan variasi kecepatan kendaraan dan berat kendaraan. Dari pengukuran yang telah dilakukan pada Candi Mendut, ternyata respon getaran yang dihasilkan akibat lalu lintas jalan raya masih di bawah batas ambang getaran. Dari hasil percobaan juga diketahui bahwa kecepatan dan berat kendaraan berbanding lurus dengan besarnya getaran yang ditimbulkan.


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 15-25
Author(s):  
Nahar Cahyandaru

Andesite rock is commonly used as a heritage building in Southeast Asia, especially in Indonesia. However, the study on consolidation of andesite rock is still limited. This study aimed to evaluate the application effectiveness of TEOS-based material on the andesite type rock in heritage materials. TEOS was used as a modular system with andesite powder to form mortar. This andesite-TEOS mortar system was applied to conservation techniques, especially for gap and joint filling.   TEOS modular system was successfully applied to the andesite type rock, resulting in chemical and physical properties. The color of the mortar and the compatibility with the original rock color were designed from the rock powder preparation. The excellent repair was obtained by a combination of dot technique gluing using epoxy resin and the TEOS mortar application in the gaps. Furthermore, this technique was successfully applied to the big Buddha Statue Head andesite rock for the emergency intervention of the falling fragment. Keyword: Andesite, Consolidation, TEOS, Mortar  


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 3-14
Author(s):  
Imam Riadi

ABSTRACT   This study aims to identify the genus of mold in the biodeterioration process of the photo archive of Memory of the World (MoW) restoration of Borobudur Temple and the potential for the enzymatic activity of these molds. The type of research method chosen is descriptive qualitative. Starting with survey sampling and sampling. Inoculation of fungi using the streak method on PDA medium. Mold identification based on macroscopic and microscopic observations of fungi. The results of characterization were then identified using the matching profile method using the mold identification reference book. The identification results resulted in six genera of contaminant molds in the biodeterioration of the MoW photo archive of the Borobudur Temple restoration. The genera identified included: Acremonium (69.66 %%), Penicillium (14.59%), Aspergillus (3.36%), Culvularia (2.24%) Fusarium (1.12%), and Pleurostomophora (1.12%) and some sterile mycelia. The types of biodeterioration in the photo collection include mold growth, discolored spots, peeling off layers, and damage to the substrate in the photo. Based on literature search, all mold genera found as the cause of biodeterioration has the potential to have proteinase, gelatinase, and cellulase enzymes.  Keywords: Biodeterioration; Mold; Photograph; Memory of the World; Borobudur Temple


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 51-68
Author(s):  
Bambang Kasatriyanto ◽  
Arif Ardy Wibowo

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendorong manusia untuk cepat beradaptasi dan memanfatkan segala inovasi-inovasi yang berkembang. Kemunculan media sosial yang telah mengubah pola komunikasi manusia dengan menghilangkan sekat jarak dan ruang sehingga manusia bisa dari mana saja dan kapan saja berkomunikasi. Pemanfaatan media sosial seperti Youtube perlu dimanfaatkan sebagai sarana pengkomunikasian arkeologi kepada publik. Melalui proses kreatif sebuah konten diskusi publik berwujud podcast mencoba menjadi salah satu media alternatif komunikasi yang bisa menjangkau khalayak ramai. Diperlukan persiapan yang matang dimulai dari penyusunan naskah, konsep kegiatan, persiapan alat, proses produksi, editing hingga disebarluaskan melalui platform Youtube. Balai Konservasi Borobudur melalui podcast Youtube “Busur” mencoba memanfaatkan model publikasi baru ini kepada masyarakat luas. Rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah (1) bagaimana Podcast Youtube menjadi media alternatif komunikasi arkeologi kepada publik(2) Bagaimana Rancangan Podcast Busur yang dirancang Balai Konservasi Borobudur menjadi media publikasi arkeologi yang menarik bagi masyarakat.  Dari hasil penelaahan menunjukkan bahwa (1) Podcast Youtube mampu menjadi media alternatif komunikasi arkeologi kepada publik. (2) Podcast Busur yang dirancang sesuai kaidah penyiaran mampu menjadi media publikasi arkeologi yang menarik bagi masyarakat.


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 26-34
Author(s):  
Saiful Bakhri

Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi yang berkembang cukup pesat, menyaksikan berkembangnya iklim pasar karya seni dan pengelolaan pusaka/cagar budaya. Fakta ini memunculkan pertanyaan di manakah posisi konservasi karya seni dan pusaka/cagar budaya sebagai sebuah disiplin ilmu, profesi, dan praktik profesional dalam mendukung pelestariannya di Indonesia. Untuk mendalami hal ini, diperlukan pembahasan terhadap definisi konservasi yang berlaku dan/atau dipahami di Indonesia serta mengeksplorasi kebutuhan konservasi yang secara khusus dibutuhkan oleh Indonesia. Didasarkan pada penelitian kualitatif, pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah tinjauan literatur dan arsip, analisis kebijakan, wawancara semi terstruktur, dan beberapa studi kasus. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan saat ini mendukung konservasi karya seni dan pusaka/cagar budaya, namun, tidak mendukung berkembangnya konservasi sebagai sebuah disiplin ilmu dan profesi. Di samping itu, terlihat jelas perbedaan antara praktik konservasi karya seni dan konservasi pusaka/cagar budaya.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document