Jurnal llmu Bedah Indonesia
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

24
(FIVE YEARS 24)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Jurnal Ilmu Bedah Indonesia, Universitas Indonesia

0216-0951

2020 ◽  
Vol 46 (1) ◽  
pp. 62-71
Author(s):  
Andrio Wishnu Prabowo ◽  
R Suhartono

Latar Belakang: Insufisiensi vena kronis (IVK) derajat berat atau C5-C6 membutuhkan penatalaksanaan yang lebih kompleks dan membawa dampak morbiditas yang lebih berat akibat lamanya waktu pengobatan dan angka kekambuhan yang tinggi. Tata laksana definitif IVK C5-C6 telah mengalami pergeseran dari terapi non operatif (terapi kompresi dan medikamentosa) menjadi terapi operatif dengan teknik non invasif seperti ablasi endovena. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap jenis terapi yang diberikan baik terapi definitif maupun terapi perawatan luka dengan keluaran berupa angka kekambuhan dan lama rawat. Metode: Studi potong lintang analitik dilakukan dengan mengambil  total sampel 54 pasien IVK C5-C6 yang datang ke RSCM pada periode Januari  2014-Desember 2015. Pasien IVK yang disertai dengan insufisiensi arteri,  insufisiensi vena dalam, dan kelainan kulit akibat penyakit kulit primer,  keganasan, trauma dieksklusi. Analisis statistik diolah dengan SPSS 21 for windows, untuk menilai keluaran dari terapi definitif berupa angka kekambuhan dan lama rawat. Hasil: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 dengan terapi operatif lebih rendah dibandingkan dengan terapi non operatif yakni 7,1% berbanding 30,8% dalam follow up selama 2 tahun dengan nilai p 0,02 dan OR 0,17 (95% IK 0,03-0,91). Lama perawatan rerata pasien IVK C5-C6 pada kelompok terapi operatif selama 10,6 hari dan kelompok non operatif selama 14,8 hari. Simpulan: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 yang memperoleh terapi definitif operatif lebih rendah dari yang hanya memperoleh terapi non operatif dalam evaluasi selama 1-2 tahun.  


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 42-56
Author(s):  
Nova Octoria ◽  
Reno Rudiman ◽  
Andriana Purnama
Keyword(s):  

Latar Belakang: Perdarahan terselubung pada pasien trauma tumpul menjadi penyebab kedua tertinggi kematian. Tidak terdeteksinya cedera abdomen menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas lambat pada pasien yang dapat bertahan pada fase-fase awal trauma. Manajemen nonoperatif (NOM) pada trauma organ solid adalah aman dan efektif, dan strategi ini telah menjadi praktek yang digunakan secara luas. Lactate clearance memiliki manfaat klinis yang penting pada pasien dengan trauma akut, yang superior terhadap pemeriksaan inisial laktat.  Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan pemeriksaan nilai lactate clearance pada jam-jam pertama setelah resusitasi terhadap keberhasilan penanganan manajemen nonoperatif. Metode: Bentuk penelitian ini adalah cohort prospektif observasional dengan analisis hubungan lactate clearance 2 jam dan 4 jam dengan keberhasilan NOM pada pasien trauma tumpul abdomen dengan riwayat syok perdarahan di RS. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai Juli 2016.. Hasil: Terdapat 34 subjek pada studi ini. Terdapat hubungan yang signifikan antara lactate clearance 2 jam (LCD2) dan lactate clearance 4 jam (LC4) dengan kesuksesan NOM (p <0.001). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara LC2 dan LC4 dalam menentukan kesuksesan NOM (p>0,05). Kesimpulan: terdapat hubungan yang sangat signifikan antara lactate clearance 2 jam  (LC2)  maupun lactate clearance 4 jam (LC4) dalam menentukan keberhasilan manajemen non operatif (NOM) pada pasien dengan syok perdarahan yang disebabkan oleh trauma tumpul abdomen.


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 16-27
Author(s):  
Wulan Ayudyasari ◽  
Bennardus Philippi ◽  
Taslim Poniman ◽  
Rofi Yuldi Saunar

Introduction.  Acute pancreatitis is a major health problem due to the serious complication and mortality. Annual incidence of acute pancreatitis vary from under 10 to 40 per 100.000 person per year. Gallstone and biliary sludge contributes about 30-65% of the cause of acute pancreatitis and usually diagnosed as biliary or gallstone pancreatitis. There is still no data concerning the prevalence, diagnosis and management of gallstone pancreatitis in Indonesia. Methods. The objective of this study is to know the prevalence and characteristic of diagnosis and management of gallstone pancreatitis in some hospitals in Jakarta. This is a descriptive cross sectional study using the data from medical record of acute pancreatitis and gallstone pancreatitis patients in Cipto Mangunkusumo, Fatmawati, and St Carolus Hospital in 2008-2012.  Results. There were 154 acute pancreatitis patients with only 22 (14,2%) patients diagnosed as having gallstone pancreatitis and 24 (15,5%) patients that met the criteria of gallstone pancreatitis but were not diagnosed as having one. On average, gallstone pancreatitis were diagnosed on the fifth day of hospitalization. Among 46 gallstone pancreatitis patients, only 6 (13%) patients had severity assessment. The most frequent examination used to explore the causes was abdominal ultrasound, performed in 37 (80,4%) patients.One (2,2%) patient had biliary sepsis and underwent internal drainage on day 15th. Only 10 (21,7%) patients underwent cholecystectomy. Three (8,3%) patients died, all before having cholecystectomy. Two (5,6%) patients that had not undergone cholecystectomy got readmitted to the hospital due to recurrent acute pancreatitis and pancreatic pseudocyst. Conclusion. From this study we can conclude that the diagnosis and management of gallstone pancreatitis still remain a challenge in Jakarta.  


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 71-79
Author(s):  
Raden Lyana Sulistyanti ◽  
Reno Rudiman ◽  
Nurhayat Usman

Latar Belakang: Dari data suatu penelitian dikatakan 1 dari 7 kematian disebabkan oleh trauma dan 30% dari trauma tersebut datang dalam kondisi koagulopati. Koagulopati pada trauma disebut sebagai Trauma Induced Coagulopathy (TIC). Pada TIC, nilai fibrinogen yang rendah sering ditemui dan nilai fibrinogen plasma mencapai nilai terendah lebih awal dibandingkan parameter factor koagulasi lainnya. Nilai fibrinogen inisial berhubungan kuat dengan nilai Injury Severity Score  (ISS) dan menjadi nilai prediktor independen untuk mortalitas. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara fibrinogen inisial dengan kejadian koagulopati dan mortalitas. Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif. Seluruh pemeriksaan didapatkan dari 25 pasien trauma multipel. Kadar fibrinogen inisial diambil dari pemeriksaan laboratorium darah bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya ketika pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin (IGD RSHS). Koagulopati ditentukan berdasarkan nilai laboratorium Prothrombin Time (PT) atau Partial Thromboplastin Time (aPTT) yang abnormal. Trauma multipel ditentukan dengan nilai ISS ≥ 15 dan dihitung berdasarkan diagnosis pasti setelah tegak berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang sesuai dengan prosedur tetap di IGD RSHS. Analisis menggunakan SPSS 19.0 dengan metoea analisis chi square untuk melihat kemaknaan hubungan. Hasil: Dari 25 pasien trauma multipel didapatkan mayoritas 80% adalah pasien laki – laki dengan mekanisme kejadian terbanyak adalah trauma kepala sebanyak 16 orang (64%). Terdapat  8 pasien (32%) terjadi koagulopati dan mortalitas terjadi pada  7 pasien (28%). Dari metode analisis chi square didapatkan hubungan yang bermakna antara fibrinogen dengan kejadian koagulopati (p=0,043) sedangkan hubungan antara fibrinogen inisial dengan terjadinya mortalitas didapatkan tidak bermakna (p=0.341). Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara fibrinogen inisial dengan kejadian koagulopati tetapi tidak didapatkan hubungan bermakna antara fibrinogen inisial dengan terjadinya mortalitas pada pasien dengan trauma multipel di RSHS.


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 3-15
Author(s):  
Alfie Barkah Akhsan ◽  
Nurhayat Usman ◽  
Reno Rudiman

Introduction: Trauma abdominal and pelvic part of the largest causes of death and, if diagnosed early, the deaths could have been prevented. By increasing the capacity for early detection and prompt and appropriate action, will produce a satisfactory outcome. In patients with bleeding, hemodilution appear within a few minutes to obtain a decrease in hematocrit. BE decline is the result of pyruvic acid metabolism occurring anaerobic tissue hypoperfusion due to bleeding unresolved. There is a strong correlation between the decrease in hematocrit and BE with shock because of intra-abdominal haemorrhage. To analyze the relationship between decreased hematocrit and BE in bleeding patients we investigated the relationship between the initial value of hematocrit and BE against any signs of shock because of intra-abdominal hemorrhage in patients with blunt abdominal trauma. Methods: cross-sectional of the 34 subjects. The research data obtained from history taking, physical examination, investigation, and medical records. Conducted a comparative analysis of Kruskal-Wallis. Test for normality by Kolmogorov-Smirnov test. A p value <0.05 indicates a significant relationship between variables. Data were analyzed using SPSS version 19. Result: It was found an average increase in the pulse (P) frequency with decreasing hematocrit (Ht) is 92.67 ± 6.43x / min for group Ht> 40%, 95.5 ± 16.52x / min for group Ht 37-40%, and 112.89 ± 19.23x / min for group Ht <37%. Obtained an average increase of P frequency with decreasing Base Excess (BE) is 88.0 ± 0x / min for groups BE> 2, 92.33 ± 7.84x / min for BE Group 2 - (- 2), and 112.81 ± 19.22x / min for groups BE < -2. This means that there is a significant relationship between hematocrit decrease with increased of P frequency as one of the signs of hemorrhagic shock with p value = 0.046 and significant correlation between the decrease in BE with increased P frequency as one of the signs of hemorrhagic shock with p value = 0.028. Conclusion: There is a significant correlation between the value of the initial hematocrit and BE with signs of hemorrhagic shock due to intra-abdominal hemorrhage in patients with blunt abdominal trauma.


2020 ◽  
Vol 46 (1) ◽  
pp. 41-61
Author(s):  
Ika Megatia ◽  
Patrianef Darwis
Keyword(s):  

Latar Belakang: Dalam lima tahun terakhir, pengunaan kateter pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) di RSCM kerap diikuti stenosis vena sentral (SVS, 60-70%). Sejak 2013 SVS ditangani melalui prosedur venoplasti, namun belum ada evaluasi keberhasilan. Penelitian ini ditujukan melakukan evaluasi keberhasilan venoplasti dan faktor risiko terjadinya stenosis. Metode: Dilakukan studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang melibatkan pasien PGK stadium 4-5 yang terdiagnosis simptomatik SVS, secara klinis dan radiologis, yang memiliki risiko stenosis, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta menjalankan venoplasti. Variabel independen yaitu onset gejala, jenis, lokasi, durasi dan frekuensi pemasangan kateter. Variabel dependen adalah keberhasilan venoplasti dinilai dengan residual stenosis <30%. Data dianalisis secara statistik dengan p = 0,05. Hasil: Tercatat 34 subjek, 73,5% berusia >60 tahun, 61,8%  laki-laki dan 70,6% memiliki hipertensi sebagai etiologi PGK. Angka berhasilan venoplasti 85,3%, nilai rerata initial stenosis adalah 79,1±13,8% dan median residual stenosis 24,5% dengan range 10-90%. Letak stenosis terbanyak di vena subklavia (47,1%). Tidak didapatkan hubungan bermakna terhadap keberhasilan venoplasti,  namun angka ketidakberhasilan venoplasti yang lebih tinggi ditemukan pada lokasi di vena subklavia (OR 2,45; p = 0,627) dan frekuensi pemasangan kateter >2 kali  (OR 1,85; p = 0,648). Simpulan: Keberhasilan venoplasti pada SVS 85,3% dengan keberhasilan ditemukan dua kali lebih tinggi pada implantasi di vena subklavia dan frekuensi > 2 kali. Namun pada studi ini tidak bermakna secara statistik. Ketidakberhasilan venoplasti lebih sering ditemukan pada subjek dengan pemasangan kateter di vena subklavia, durasi pemasangan panjang, onset gejala lambat dan riwayat pemasangan berulang.


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 28-41
Author(s):  
Hendrik Stevanus ◽  
Reno Rudiman ◽  
Andriana Purnama
Keyword(s):  

Latar Belakang: Perforasi ulkus peptikum sering membutuhkan tindakan operasi dengan faktor risiko yang dapat meningkatkan mortalitas. Beberapa prognostic score mengukur gangguan pada sejumlah faktor fisiologis yang mewakili sistem organ utama dan memungkinkan stratifikasi pasien menurut tingkat keparahan, membantu dalam identifikasi pasien berisiko tinggi dan memberikan informasi prognostik. Sistem penilaian PULP dan Jabalpur mempunyai kemiripan paramater yang dapat dinilai sesegera mungkin saat pasien pertama datang dan perbandingan akurasi keduanya dalam memprediksi kematian pada pasien perforasi ulkus peptikum belum tersedia. Metode: Penelitian merupakan uji diagnostik retrospektif terhadap pasien perforasi ulkus peptikum yang diintervensi operasi. Pasien perforasi gaster diakibatkan trauma dan keganasan, serta operasi lebih satu kali sebagai kriteria eksklusi. Data skor PULP dan Jabalpur didapatkan dari rekam medis, dengan cut off  <8 dan ≥8 pada skor PULP serta <9 dan ≥9 pada skor Jabalpur, kemudian hasil perawatan dinilai. Tabulasi silang masing-masing skor terhadap hasil perawatan dengan chi-square dilakukan untuk melihat sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif masing-masing skor serta dilihat juga signifikansi akurasi masing-masing skor. Hasil: Sebanyak 36 pasien perforasi ulkus peptikum dengan 28 (77.8%) adalah laki-laki dan rerata usia 59.56 tahun. Komorbid ditemukan pada 5 pasien yaitu gagal jantung kelas IV dan PPOK masing-masing sebanyak 2 kasus dan dialisis reguler sebanyak 1 kasus. Angka mortalitas sebesar 16.67% (6 pasien), dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif Skor PULP sebesar 33.33%; 73.33%; 20%; 84.61% dan Skor Jabalpur sebesar 100%; 60%; 33.33%; 100%. Kedua skor mempunyai akurasi 66.67% dengan p pada Skor PULP sebesar 0.739 dan Skor Jabalpur sebesar 0.007. Subjek dengan skor Jabalpur <9 mempunyai kecenderungan sembuh 1.5 kali dari pasien dengan skor Jabalpur ≥9. Kesimpulan: Skor Jabalpur mempunyai signifikansi keakuratan dalam memprediksi mortalitas pasien perforasi ulkus peptikum jika dibandingkan skor PULP yang tidak signifikan.


2020 ◽  
Vol 46 (1) ◽  
pp. 28-40
Author(s):  
Hendra Herizal ◽  
Nurhayat Usman ◽  
Andriana Purnama

Background. For decades, ​​colorectal surgical procedures have been associated with high postoperative infections complication. This is expected because of the large number of bacteria in the colon and rectum content. The aim of this study was to investigate wether preoperative oral kanamycin can reduce colonic bacterial concentration, furthermore reduce postoperative infection complication in colorectal malignancy patients who will be performed elective surgical tumor removal. Method. This was an experimental, pre-post test with control group desiagn study, ie groups of patient that prepared with mechanical bowel preparation and administration of oral Kanamycin 3 x 2000 mg a day before the operation day and  group of patient that prepared with mechanical bowel preparation only. This study was comparing the concentration of bacteria in the colon and postoperative infection incidence between the two groups. Result. Thirty two patients were randomly assigned to one of two groups, the treatment group and the control group. Obtained equitable distribution of age, sex, tumor location and type of surgery. There was significant bacterial concentration reduction difference between two groups (p = 0.01). There was significant surgical site infection (SSI) incidence difference between two groups, 5 patients (31,3 %) developed an SSI in treatment group and 11 patients (68,8 %) in control group (p=0,03), with OR 0,21 (  CI 95%; 0,046-0,92). Conclusion. Preoperative oral kanamycin could reduce colonic bacteria concentration and SSI incidence in patients with colorectal malignancy who would be performed elective surgical tumor removal. Thus, these methods can be considered its use as a colorectal surgery preparation procedures.  


2020 ◽  
Vol 46 (1) ◽  
pp. 1-2
Author(s):  
Patrianef Patrianef

Profesionalitas dokter menurut Epsten dan Hundert adalah kemampuan berkomunikasi, ketrampilan teknis, penalaran klinis, emosi dan nilai refleksi dalam praktek sehari hari yang digunakan untuk kepentingan individu dan masyarakat yang kita layani. Jika disederhanakan maka profesionalitas dokter dapat diartikan memberikan pelayanan sebaik baiknya dengan kualitas tertinggi bagi masyarakat dan anggota masyarakat yang dilayaninya. Bagi seorang dokter bedah yang sering melakukan pembedahan dan intervensi maka profesionalitas ini adalah hal yang harus diperhatikan dan dikedepankan. Profesionalitas harus ditegakkan dalam kondisi apapun. Ditegakkan bersama sama oleh seluruh anggota profesi dan dikontrol serta dikawal oleh organisasi profesi melalui badan badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Bisa dalam bentuk penegakan etika dan penegakan disiplin serta penyusunan standar pelayanan. Perubahan pola pembiayaan kesehatan harus diakui secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas pelayanan seorang dokter. Kualitas pelayanan tidak lagi hanya ditentukan oleh Rumah Sakit, Dokter dan Organisasi Profesi Dokter. Tetapi ada yang lebih punya kewenangan mengaturnya yaitu badan yang melakukan pembiayaan. Kendali mutu dan kendali biaya sesungguhnya ditujukan untuk mendapatkan pelayanan terbaik dengan harga yang wajar, tetapi pada prakteknya kualitas pelayanan  akan bergeser turun seiring dengan turunnya besar pembiayaan kesehatan. Tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan akan berbanding lurus dengan pembiayaan. Tidak mungkin seorang dokter yang melayani 10 pasien akan sama kualitas pelayannya dengan yang melayani 100 pasien. Boleh saja kita berbantah bantahan bahwa kualitas pelayanan tidak akan turun dengan banyaknya pasien, tetapi faktanya dokter adalah  manusia juga yang mempunyai kemampuan optimal dan kemampuan itu akan menurun jika dipaksa melebihi batas kemampuannya. Demikian juga Rumah Sakit yang mesti mempertimbangkan kelangsungan hidup karyawannya dan keuntungan untuk mempertahankan keberadaan rumah sakit serta pengembalian modal bagi pemiliknya. Bagi seorang dokter spesialis bedah pengaruh pembiayaan akan sangat terasa karena pemakaian barang dan alat akan selalu dinilai dengan uang dan disesuaikan dengan besaran uang yang disediakan oleh badan pembiayaan. Rumah Sakit tidak akan mau merugi. Kualitas pelayanan pada kondisi ini adalah hasil dari tarik ulur antara manajemen rumah sakit dan keinginan doker memberikan pelayanan terbaik berdasarkan pagu dana yang ditentukan oleh badan pembiayaan. Tugas dan tanggung jawab profesi seharusnya tidak boleh terdegradasi hanya karena pembiayaan yang sudah ditentukan pagunya. Profesionalitas harus diletakkan ditempat tertinggi karena yang kita layani adalah manusia. Profesionalitas itu hanya bisa ditentukan oleh organisasi profesi. Adalah suatu kesalahan jika kita mengorbankan profesionalitas dengan mengedepankan penghematan pembiayaan dan cakupan yang lebih luas dan besar. Harusnya organisasi profesi lebih diberdayakan dan hal ini dibicarakan bersama oleh para pihak di era sekarang ini, dibicarakan dalam posisi setara dan tidak ada yang mendominasi. Profesi sebagai penentu profesionalis harus menyatakan posisinya, rumah sakit harus menegaskan fungsinya dan pemberi pembiyaan harus realistis dan rasional. Uang tidak boleh mengatur profesionalitas dokter walaupun pengaruhnya tidak bisa kita hilangkan. Duduk bersama antara pengurus profesi, pengatur kebijakan , pengatur pembiayaan adalah suatu keharusan . Ada satu titik tujuan kita bersama yaitu peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. IKABI yang merupakan perekat dalam semua organisasi profesi di lingkungan bedah harusnya mempunyai peranan lebih besar dalam menentukan profesionalisme seorang dokter bedah dikaitkan dengan pelayanannya pada masyarakat.


2020 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 57-70
Author(s):  
Wilner Singarimbun ◽  
Maman Wastaman Rodjak ◽  
Reno Rudiman ◽  
Harry Galuh Nugraha

Pendahuluan: Adhesive small bowel obstruction (ASBO) membutuhkan penatalaksanaan yang tepat sesuai dengan algoritma diagnostik dan terapeutik yang berlaku. Indikasi dan durasi dari penatalaksanaan terapi nonoperatif serta waktu yang tepat tindakan operasi harus dilakukan masih diperdebatkan. Water soluble contrast medium (WSCM) memiliki fungsi diagnostik dan terapeutik pada pasien dengan ASBO. Metode: Jenis penelitian ini adalah before and after study dengan membandingkan dua kelompok penderita ASBO yang diterapi tanpa pembedahan yang dilakukan pemberian Urogafin dan tidak diberikan Urografin® untuk menentukan efek terapeutiknya pada pasien ASBO. Hasil: Dari karakteristik pasien ASBO ditemukan sebagian besar laki laki (55.8%) dengan rentang usia terbanyak antara 27-38 tahun. Pasien datang ke rumah sakit dengan onset ileus 2-5 hari (74.4%) dengan jenis ileus parsial sebanyak 86%(37 pasien). Interval operasi sebelumnya terbanyak < 12 bulan dengan jenis operasi terbanyak berupa appendektomi perlaparotomi. Terdapat hubungan bermakna antara pemberian WSCM dan kebutuhan terhadap relaparotomi dibandingkan dengan grup kontrol (p:0.043). Urografin® efektif dalam menurunkan Length of Stay (LOS) (p:0.01). Tidak terdapat hubungan antara pemberian WSCM terhadap angka mortalitas pasien ASBO maupun durasi ileus sebelum masuk rumah sakit dengan kebutuhan relaparotomi.  Kesimpulan: Tindakan non operatif harus dipertimbangkan pada pasien ASBO tanpa tanda tanda peritonitis maupun strangulasi. Urografin® terbukti aman dan memiliki fungsi diagnosis (memprediksi tingkat resolusi adhesi dan kebutuhan operasi) dan efektif dalam fungsi terapeutik dalam menurunkan waktu resolusi obstruksi, kebutuhan akan operasi ,dan menurunkan durasi lama perawatan di rumah sakit. Posisi kontras dalam 24 jam pertama dapat dijadikan prediktor dalam memutuskan tindakan selanjutnya bagi ahli bedah.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document