Stellungnahme

2021 ◽  
Vol 42 (06) ◽  
pp. 326-326
Author(s):  
Karin Kraft ◽  
Mathias Schmidt

Zum Beitrag: Der Hype um Cannabidiol und Hanf – auf der Suche nach klaren Regeln und realistischen RichtwertenDer Beitrag von Niermann et al. 1 zu realistischen Grenzwerten widerspricht im Grunde nicht dem, was wir in unserem Artikel „Ist Cannabidiol ein Lebensmittel oder ein Arzneimittel?“ gesagt haben 2. Die Ausführungen zur Toxizität von CBD und den Grenzwertberechnungen sind nachvollziehbar. Interessant ist das Urteil des BGH vom 24.3.2021, das uns zum Zeitpunkt der Manuskripterstellung nicht vorlag. Wenn dieses Urteil richtig wiedergegeben wurde, dann steht es im direkten Widerspruch zur Formulierung des BtMG, das dann aus unserer Sicht geändert werden müsste. Hier geht es um die aus dem Gesetz ableitbare Aussage, dass auch Nutzhanf nicht an Endverbraucher abgegeben werden darf. Trotz BGH-Urteil verspricht dies also noch weitere Diskussionen. Zu bedenken ist vor dem Hintergrund der aktuellen Liberalisierungsdebatte auch, dass das deutsche BtMG vor dem Hintergrund der „United Nation Convention on Psychotropic Substances“ von 1971 zu sehen ist, Deutschland also die internationale Vereinbarung nicht einseitig abändern kann.

2018 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 276-298 ◽  
Author(s):  
Audrey Osler ◽  
Trond Solhaug

We report on the development of an instrument to measure attitudes to children’s human rights and diversity in schools. It was developed to investigate perceptions of human rights and diversity among students and then teachers in two contrasting areas of Norway. The instrument draws on human rights standards articulated in the United Nations Convention on the Rights of the Child. It is intended for use in future baseline studies, allowing for transnational and comparative analysis of child rights in education. The near-universal ratification of the United Nation Convention on the Rights of the Child provides an agreed international framework for evaluating rights implementation strategies over time. We contextualise the measurement instrument, focusing on rights provision, child protection, and participation in schools. We consider its strengths and possible limitations and discuss the need for a sound human rights conceptual model through which child rights in school settings can be interpreted.


2018 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Hulman Siregar

ABSTRAKKorupsi telah terjadi pada semua lini sektor kegiatan pada Lembaga dan Institusi Negara, bahkan telah dikategorikan sebagai kejadian yang luar biasa (extra ordinary crime). Kondisi ini menimbulkan dampak buruk bagi pelaksanaan pembangunan nasinal yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat, karena anggaran dana Negara baik pusat maupun daerah yang dapat digunakan untuk membangun sarana prasarana pelayanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial berupa sandang pangan menjadi berkurang karena perbuatan korupsi. Perserikatan Bangsa Bangsa menaruh perhatian atas kejadian dan dampak perbuatan korupsi berupa konvensi (United Nation Convention Againts Corruption) yang disepakati oleh Negara Negara peserta konvensi. Pencegaan dan penindakan melalui penegakan hukum harus dilakukan secara komprehensif sehingga penerapan penegakan hukumnya efektif. Penegakan hukum atas perbuatan korupsi yang terjadi saat ini seharusnya dilakukan mulai saat perencanaan peraturan penerapan peraturan dan pelaksanaan peraturan, sehingga penerapan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam rangka penegakan hukum menjadi efektif. Untuk mengetahui penegakan hukum atas tindak pidana korupsi khususnya yang merugikan Negara dilakukan analisis dan evaluasi Undang Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No 2 Tahun 2001. Simpulan analisis dan evaluasi sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan pada masa yang akan datang.Kata kunci, Sinkronisasi,perencanaan,penerapan, dan pelaksanaan.AbstractCorruption has occurred in all lines of activity in Institutions and State Institutions, even categorized as extraordinary crime. This condition has adverse impacts on the implementation of sustainable development to improve the welfare of the community, since the state budget funds, both central and regional, which can be used to build public service infrastructure such as health services, education, social assistance in the form of food clothing, are reduced by corruption. The United Nations is concerned with the incidents and effects of a United Nation Convention Against Corruption agreed upon by States Parties to the Convention. Enforcement through law enforcement should be comprehensive so that the activities of its law enforcement is effective. The current law enforcement of corruption should be done from the time of planning the implementation of regulations and the execution of implementation of regulations, so that the implementation and enforcement of legislation in the framework of law enforcement becomes effective. To know the law enforcement of corruption crime especially detrimental to State done analysis and evaluation of Law No 31 Year 1999 as already amended by Law No. 2 Year 2001. Conclusion of analysis and evaluation as input and consideration in formulating legislation in period which will come.Keywords, Sync, planning, implementation, and execution


2019 ◽  
Vol 49 (1) ◽  
pp. 29-58
Author(s):  
Xavier Nugraha ◽  
Ave Maria Frisa Katherina ◽  
Windy Agustin ◽  
Alip Pamungkas

Korupsi yang merupakan masalah global telah menyebabkan tingginya kerugian keuangan dan perekonomian negara di Indonesia. United Nation Convention Against Corruption telah mencanangkan rekomendasi kepada negara-negara untuk membuat pengaturan mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara secara maksimal. Kerugian negara yang telah kembali saat ini masih tidak sebanding dengan kerugian negara yang secara nyata ada akibat korupsi. Urgensi ini lah yang menghadirkan konsep perlunya pengaturan mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture di Indonesia. Penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Peraturan perundang-undangan di Indonesia sejatinya telah mengadopsi konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture, namun tidak memenuhi secara maksimal dasar filosofis adanya konsep tersebut, yaitu mengembalikan kerugian negara akibat korupsi secara maksimal dan cepat dengan mekanisme peradilan perdata. Sehingga, undang-undang yang mengatur mengenai perampasan aset perlu dibuat tersendiri dan diundangkan untuk mengakomodasi upaya pengembalian kerugian negara akibat korupsi secara maksimal.


2021 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 1431
Author(s):  
Hanif Muzaki

AbstractCorruption can be said to be the biggest problem in Indonesia at this time, as evidenced by the rampant of the corruption cases that occur mainly among the elite or public officials. Indonesia had ratified the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) through Law No. 7 of 2006. In the convention, several methods can be used to strengthen the eradication of corruption for state parties, one of which is the illicit enrichment method. Even though Indonesia had ratified the UNCAC but legally in Indonesia does not have any rules about illicit enrichment. The purpose of this paper is to find out, study and analyze the urgency of illicit enrichment arrangements in Indonesia. In this study using descriptive analytic methods. This method uses library research related to the regulations of law. The data that have been collected are analyzed descriptively. From this paper, it can be seen that to apply the concept of illicit enrichment in Indonesia still needs careful preparation because it will also intersect with human rights.Keywords: Illicit Enrichment; Corruption; Uncac; Ham; Urgency.AbstrakKorupsi dapat dikatakan sebagai masalah terbesar di Indonesia saat ini, terbukti dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi terutama digolongan para elit atau pejabat publik. Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam konvensi tersebut, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkuat pemberantasan korupsi bagi negara pihak, salah satunya adalah metode illicit enrichment. Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC namun secara yuridis normatif Indonesia belum memiliki aturan mengenai illicit enrichment. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai urgensi pengaturan illicit enrichment di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitif. Metode ini menggunakan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan kaidah dan peraturan perundang-undangan serta data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Dari penelitian skripsi ini dapat diketahui bahwa untuk menerapkan konsep illicit enrichment di Indonesia masih perlu persiapan yang matang karena juga akan bersinggungan dengan hak asasi manusia.Kata Kunci: Illicit Enrichment; Korupsi; UNCAC; HAM; Urgensi.


2019 ◽  
Vol 48 (2) ◽  
pp. 164
Author(s):  
Peni Susetyorini

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan kondisi geografis yang strategis dan  kaya akan sumberdaya alam, namun semuanya masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal demi kemakmuran bangsa. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, mulai dari kesalahan paradigma pembangunan hingga carut marutnya upaya penegakan hukum kemaritiman. Kendala pemenuhan intrastruktur yang memadai dalam kemaritiman merupakan kendala utama yang harus diselesaikan pemerintah, karena keberadaan infrastruktur akan memungkinkan pelayanan yang lebih baik. Persoalan pembenahan sistem penegakan hukum melalui penguatan dan koordinasi antar lembaga yang berwenang di laut akan sangat menunjang bagi terciptanya keselarasan penegakan hukum, sehingga para pelaku kemaritiman akan mendapatkan kepastian kepada siapa mereka harus menggantungkan harapannya bila mereka mendapatkan kesulitan di laut. Penelitian ini bertujuan menganalisis hak dan kewajiban negara dalam mengimplementasikan Konvensi Hukum Laut (Unclos) 1982 yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia  dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on The Law of The Sea, dan menganalisis kebijakan kelautan Indonesia dalam upaya mewujudkan negara Indonesia sebagai poros maritim dunia.


Author(s):  
Khrystyna Yamelska ◽  

The article identifies theoretical and practical determinants of criminalization of types of ill treatment. Articles 1,3,21 and 28 of the Constitution of Ukraine in their system interrelation are analyzed. These articles of the Constitution of Ukraine comply with international norms - the United Nation Convention against Torture and the practice of the European Court of Human Rights. The author notes about the need to improve Article 127 of the Criminal Code of Ukraine. The article propose the focus on the case law of the European Court of Human Rights, the UN Convention against Torture 1984, soft law acts of quasi-judicial institutions (Council of Europe, UN bodies), norms of special parts of the criminal codes of continental Europe, where there is a certain distinction and torture, inhuman and degrading treatment. The author distinguished between the concepts of "torture", "inhuman treatment or punishment", "treatment or punishment that degrades human dignity" through the prism of the decisions of the European Court of Human Rights in cases of violation of Article 3 of the Convention for the Protection of Fundamental Freedoms. Based on the analysis of Article 127 of the Criminal Code of Ukraine, the author identifies the following shortcomings: - the objective side does not contain "inaction" or "conscious inaction", - the absence of a special subject of the crime - an official, - the disadvantage of the subjective side - the lack of indirect intent and a special purpose that characterizes inhuman or degrading treatment. In this regard, the author to supplement a special part of the Criminal Code of Ukraine with a special provision of Article 127 for ill-treatment that has no signs of torture - a special purpose or direct intent, but causes serious physical or mental suffering to a person.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document