Jurist-Diction
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

400
(FIVE YEARS 380)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Universitas Airlangga

2655-8297

2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2203
Author(s):  
Aushofi Zuhrotul Ulya

AbstractThe new broadcast media is broadcast digitization in the form of a platform accessed via the internet network. Netflix as a provider of the Subscription Video on Demand service broadcasts uncensored films which result in the films being against the culture and laws and regulations in Indonesia because they contain pornography to violence even though there is an obligation to be censored by a film before the film will be shown. This research is a legal research that analyzes the uncensored film broadcasting activities carried out by Netflix according to the laws and regulations in Indonesia and Netflix's legal liability for uncensored film broadcasting by using a statutory approach and a conceptual approach. From this research it was found that Netflix broadcasts uncensored films in Indonesia in violation of the statutory provisions concerning Broadcasting, Film, Pornography, and ITE. However, Netflix does not automatically account for all provisions of the laws and regulations because the locus of broadcasting activities carried out by Netflix cannot be reached by all the provisions of the laws and regulations.Keywords: Film Broadcasting; Netflix; Film Censorship; Internet.AbstrakMedia penyiaran baru merupakan digitalisasi penyiaran dalam bentuk platform yang diakses melalui jaringan internet. Netflix sebagai penyedia layanan Subscription Video on Demand menyiarkan film tanpa sensor yang mengakibatkan filmnya bertentangan dengan budaya dan peraturan perundang-undangan di Indonesia karena bermuatan pornografi hingga kekerasan padahal terdapat kewajiban untuk dilakukan sensor film dikeluarkan oleh lembaga sensor film sebelum film akan dipertunjukkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang menganalisis kegiatan penyiaran film tanpa sensor yang dilakukan oleh Netflix menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan pertanggungjawaban hukum Netflix terhadap penyiaran film tanpa sensor dengan mengggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Netflix melakukan penyiaran film tanpa sensor di Indonesia melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Penyiaran, Perfilman, Pornografi, dan ITE. Namun, tidak serta merta semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar dapat dipertanggungjawabkan pada Netflix karena locus kegiatan penyiaran yang dilakukan oleh Netflix tidak dapat dijangkau semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Kata Kunci: Penyiaran Film; Netflix; Sensor Film; Internet.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2107
Author(s):  
Adelia Rizky Windyaka

AbstractThe government made Law Number 5 of 1999 concerning the prohibition of monopolistic practices and unfair business competition to regulate business actors in carrying out activities related to buying and selling in the market. The birth of this regulation provides a limit for business actors to create healthy business competition. The presence of a platform for online shopping also makes trading activities easier today. The development of this shopping style also affects the number of imported goods that enter Indonesia. There is a policy regarding the setting of the value for import duties on imported goods which has increased from the previous one. The change in the value of this import duty is a step by the government to protect domestic business actors.Keywords: Law; Bussiness competition; Policy; Import.AbstrakPemerintah membuat Undang – Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat untuk mengatur pelaku usaha dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan jual beli didalam pasar. Lahirnya peraturan ini memberikan batasan bagi pelaku usaha agar menciptakan persaingan usaha yang sehat. Hadirnya platform untuk berbelanja online juga mempermudah kegiatan perdagangan saat ini. Berkembangnya gaya berbelanja ini juga berpengaruh terhadap banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia. Terdapat kebijakan mengenai pengaturan besaran nilai bagi bea masuk barang impor yang mengalami kenaikan dari sebelumnya. Berubahnya nilai bea masuk ini sebagai langkah pemerintah melindungi pelaku usaha domestik.Kata Kunci: Hukum; Persaingan Usaha; Kebijakan; Impor.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2223
Author(s):  
Belinda Dwi Tamara

AbstractNowadays, online buying and selling transactions are becoming a trend for running a digital business. In marketing a product in the digital world, the role of a trade intermediary is needed to bridge the spread of information and / or specifications for a product widely from various groups, namely the dropship system. The existence of the dropshipper creates a legal relationship between the parties, namely the dropshipper with the seller and the dropshipper with the buyer. If the dropshipper manages to get a prospective buyer, the dropshipper orders the prospective buyer order from the supplier of the goods. It is the supplier of the goods who sends the product to the buyer on behalf of the dropshipper. Thus, it creates a legal position for the dropshipper and the dropshipper's accountability in the online buying and selling transaction process.Keywords: The Dropshipping System; Online Buying and Selling Transaction; Responsibility; Intermediary Traders.AbstrakSaat ini, transaksi jual beli online menjadi suatu trend untuk menjalankan suatu bisnis digital. Dalam pemasaran suatu produk didunia digital diperlukan peran perantara dagang guna menjembatani penyebaran informasi dan/atau spesifikasi suatu produk secara luas dari berbagai kalangan yaitu sistem dropship. Adanya dropshipper tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum antar para pihak yaitu dropshipper dengan penjual dan dropshipper dengan pembeli. Jika pihak dropshipper berhasil mendapatkan calon pembeli, maka pihak dropshipper memesankan pesanan calon pembeli kepada supplier barang. Supplier baranglah yang mengirimkan produk tersebut kepada pembeli dengan atas nama pihak dropshipper. Dengan demikian, menimbulkan suatu kedudukan hukum bagi dropshipper dan tanggung gugat dropshipper dalam dari proses transaksi jual beli online. Kata Kunci: Sistem Dropship; Transaksi Jual Beli Online; Tanggung Gugat; Perantara Dagang.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2179
Author(s):  
Annisa Gista Elfaza

AbstractProfessional sports are sports that are organized to get income from a skill. One of the most popular sport is football. In Indonesia, the Local Government Budget is not allocated to the professional football club. So, the professional football club establishes sponsorship collaboration with other agencies. For example, in league 1 2020 Indonesia’s football competition, there was a cooperation between a professional football club with an initial “PSKB” and an online gambling site with an initial “S” as a sponsorship partner. Reviewed by a criminal law aspect, it can cause a problem because there’s an indication violates a positive law in Indonesia. The result of the study research showed that the club’s action potentially violates Article 27 paragraph (2) Law Concerning Information and electronic transactions because the club promoted a thing aim to information about online gambling. Criminal responsibility can be imposed on the club as a corporation and/or director.Keywords: Professional football club; Online Gambling site; Sponsorship; Social Media; Corporation.AbstrakOlahraga professional merupakan olahraga yang diperuntukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau lainnya atas kemaharian berolahraga. Kepopularitasan sepakbola sebagai salah satu olahraga yang digemari. Di Indonesia pendanaan sepak bola professional tidak diperoleh dari APBD, sehingga klub sepak bola professional mendapatkan dana dengan salah satu cara yaitu menjalin kerjasama sponsorship dengan pihak lain. Sebagai contohnya pada penyelenggaraan Liga 1 tahun 2020 sebagai kompetisi sepak bola, adanya kerjasama sponsorship yang dijalin antara klub sepak bola professional berinisial “PSKB” dengan situs judi online berinisial “S”. Hal tersebut apabila ditinjau dari aspek hukum pidana dapat menimbulkan permasalahan dimana terdapat indikasi atau potensi melanggar aturan hukum positif di Indonesia. Hasil penelitian penulis menunjukan Perbuatan klub tersebut dapat berpotensi melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU ITE, dikarenakan klub tersebut mempromosikan hal yang mengarah pada informasi yang memuat perjudi online. Serta, pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pengurus dan/atau korporasi. Kata Kunci: Klub Sepak Bola Profesional; Situs Judi Online; Sponsorship; Sosial Media; Korporasi.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2397
Author(s):  
Nabilla Virnanda Lobo

AbstractPartnership is a collaboration between one party and another, where each party plays its respective roles in a reciprocal relationship that benefits each party. This research will discuss the characteristics of the forms of cooperation between commercial banks and information technology-based lending and borrowing service providers (fintech peer-to-peer lending) and then discusses the supervision of regulatory agencies on cooperation in the financial sector. This research is a doctrinal research using a statute approach and a conceptual approach to obtain a clearer picture. The result of this research is that credit distribution cooperation is carried out by taking into account the provisions regarding information technology-based lending and borrowing services while retail investment sales cooperation and non-performing loan management cooperation are carried out by taking into account the provisions concerning banks and / or commercial banks as in the cooperation. commercial banks. The supervisory authority lies with the Financial Services Authority. Keywords: Fintech P2PL; Commercial Banks; OJK.AbstrakPartnership adalah kerja sama antara satu pihak dengan pihak lainnya dimana masing-masing pihak menjalankan perannya masing-masing dalam hubungan timbal balik yang memberikan keuntungan kepada masing-masing pihak. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai karakteristik bentuk-bentuk kerja sama antara bank umum dengan penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi (fintech peer-to-peer lending) kemudian membahas mengenai pengawasan lembaga otoritas terhadap kerja sama dalam sektor keuangan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian doctrinal research dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas. Hasil dalam penelitian ini yaitu kerja sama penyaluran kredit dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi sedangkan kerja sama penjualan investasi ritel dan kerja sama pengelolaan non-performing loan dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan mengenai bank dan/atau bank umum sebagaimana dalam kerja sama bank umum. Adapun kewenangan pengawasan berada di Otoritas Jasa Keuangan.Kata Kunci: Fintech P2PL; Bank Umum; OJK.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2161
Author(s):  
Angelia Dwi Oktavia

AbstractThe use of teleconferencing facilities in courts in Indonesia is actually not an absolute new thing. Long before, the model for examining witnesses with the help of multimedia technology was first carried out in 2002. However, teleconferencing has not been recognized in the Criminal Procedure Code, because at the time the Act was enacted it could not be practiced. Regarding reading the decision by teleconference, there has also been no reading regarding whether it is legal or not. The formulation of the problem reviewed in this study is whether reading a criminal verdict read out virtually or electronically is against Article 195 of the Criminal Procedure Code. The research method used is legal research with an approach and an approach to laws and regulations to examine existing legal problems. The results of this research can be seen that reading a criminal reading that is read out virtual or electronically does not conflict with Article 195 of the Criminal Procedure Code because it refers to the principle of Salus Polupi Suprema lex Esto and refers to the relevant laws.Keywords: Trial; Teleconference; Decision.AbstrakPenggunaan sarana teleconference di dalam persidangan di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang mutlak baru. Jauh sebelumnya, model pemeriksaan saksi dengan bantuan teknologi multimedia pertama kali dilakukan pada tahun 2002. Tetapi teleconference belum diakui dalam Kitab Undang-Undang¬ Hukum Acara Pidana, karena pada masa Undang-Undang dibuat hal demikian itu tidak dapat dipraktikkan. Terkait dengan pembacaan putusan pidana secara teleconference juga belum ada kejelasan terkait sah atau tidaknya. Rumusan masalah yang diulas dalam penelitian ini adalah apakah pembacaan putusan pidana yang dibacakan secara virtual atau elektronik bertentangan dengan Pasal 195 KUHAP. Mmetode penelitian yang digunakan adalah legal research dengan melalui pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan untuk mengkaji permasalahan hukum yang ada. Hasil dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pembacaan putusan pidana yang dibacakan secara virtual atau elektronik tidak bertentangan dengan Pasal 195 KUHAP karena mengacu kepada asas Salus Polupi Suprema lex Esto serta mengacu kepada Undang-Undang yang terkait.Kata Kunci: Persidangan; Teleconference; Putusan.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2125
Author(s):  
Afif Fathin Muhtadi

AbstractCriminal law in Indonesia specifically does not regulate online prostitution. However, in several court decisions, online prostitution is often linked to the crime of human trafficking because online prostitution involving pimps fulfills the elements of the criminal act of human trafficking as stated in Law No. 21 of 2007 concerning the Eradication of the Crime of human trafficking. This raises the question of what elements cause a pimp can be said to have fulfilled the element of the criminal act of human trafficking and whether sexual consent by a commercial sex worker can erase the criminal element of a pimp. Therefore, in this paper, the authors discuss further the elements of sexual exploitation and consent to victims of human trafficking using online prostitution.Keywords: Online Prostitution; Human Trafficking; Criminal Act.AbstrakHukum pidana di Indonesia secara khusus tidak mengatur terkait prostitusi secara online. Namun, dalam beberapa putusan pengadilan, prostitusi online sering kali dikaitkan kepada tindak pidana perdagangan orang dikarenakan prostitusi online yang melibatkan muncikari memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang sebagai mana tercantum dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai unsur apa yang menyebabkan seorang muncikari dapat dikatakan telah memenuhi unsur perbuatan tindak pidana perdagangan orang dan apakah persetujuan seksual oleh pekrja seks Komersial dapat menghapus unsur pidana seorang muncikari. Oleh karena itu, dalam penulisan ini, penulis membahas lebih jauh terkait unsur eksploitasi dan persetujuan seksual (sexual consent) terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dengan modus prostitusi online.Kata Kunci: Prostitusi Online; Perdagangan Orang; Tindak Pidana.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2277
Author(s):  
Desy Ramadhani Pratini

AbstractLiability (aansprakelejikeheidcausing) is a condition in which a party or a legal subject, if after committing an act of breaking the law, and losses to other parties must bear it. Unlawful acts can also be found on a social media platform, along with the types of accountability. There is a tendency for illegal acts committed by owners of social media accounts without identity because one of the social media platforms is not accompanied by verification of personal identity at the time of account creation. This unlawful act through social media accounts without real identity is an insult and defamation which is a special form of an illegal act. On the other hand, for the losses suffered by the victim, a civil suit against the law can be filed. However, due to difficulties in the civil lawsuit process, namely by not knowing the identity of the account owner. Then this can only be done if there is a final legally binding decision regarding criminal law.Keywords: Unlawful; Liability of Liability; Social Media Accounts.AbstrakTanggung gugat (Liability/aansprakelejikeheid) merupakan suatu kondisi dimana pihak atau subjek hukum apabila setelah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan membawa kerugian bagi pihak lain, ia harus menanggungnya. Perbuatan melanggar hukum dapat pula ditemui dalam suatu platform media sosial, disertai dengan jenis tanggung gugatnya. Kecenderungan terdapatnya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemilik akun media sosial tanpa identitas disebabkan oleh salah satu platform media sosial tidak disertai verifikasi identitas pribadi pada saat pembuatan akun. Perbuatan melanggar hukum melalui akun media sosial tanpa identitas asli ini adalah penghinaan dan pencemaran nama baik yang merupakan bentuk khusus dari perbuatan melanggar hukum. Di sisi lain, atas kerugian yang dialami oleh korban, dapat diajukannya upaya gugatan keperdataan dengan gugatan perbuatan melanggar hukum. Namun, dikarenakan terdapatnya kesulitan dalam proses gugatan keperdataan, yaitu dengan tidak diketahuinya identitas pemilik akun. Maka hal tersebut baru dapat dilakukan apabila terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap mengenai hukum pidana. Kata Kunci: Perbuatan Melanggar Hukum; Tanggung Gugat; Akun Media Sosial.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2525
Author(s):  
Vikran Fasyadhiyaksa Putra Y

AbstractPhishing is an act to commit fraud by tricking the target with the intention of stealing the target's account, by spreading broadcasts which are often carried out through fake emails with fake information that directs the target to a fake page to trap the target so that the perpetrator gets access to the victim's account. Phishing still has some obscurity, especially in the modus operandi of the perpetrator. Therefore, this research aims to analyze and explain the modus operandi of the criminal act of phishing according to the ITE Law. This research is a normative legal research. Because the writing of this research in seeking the truth in order to answer legal issues raised by the author uses secondary data to find legal rules, legal principles, and legal doctrines, and tends to image law as a perspective discipline, which means that only see the law from the point of view of the norms only, which of course is prescriptive. This approach uses a statute approach, a conceptual approach and a case approach.Keywords: Phishing Crime; Cyber; Operandi Mode.AbstrakPhising adalah suatu perbuatan untuk melakukan penipuan dengan mengelabui target dengan maksud untuk mencuri akun target, dengan cara menyebarkan broadcast yang seringkali dilakukan melalui email palsu dengan muatan informasi palsu yang mengarahkan target ke halaman palsu untuk menjebak target sehingga pelaku mendapatkan akses terhadap akun korban, Secara ringkas Perbuatan phising masih memiliki beberapa kekaburan terutama pada modus operandi pelaku. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan terkait modus operandi Tindak pidana Phising menurut UU ITE. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Karena penelitian ini dalam mencari kebenaran guna menjawab isu hukum yang diangkat penulis menggunakan data sekunder untuk menemukan suatu aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, dan cenderung mencitrakan hukum sebagai disiplin prespektif, yang berarti hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Pendekatan ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kata Kunci: Tindak Pidana Phising; Siber; Modus Operandi.


2021 ◽  
Vol 4 (6) ◽  
pp. 2141
Author(s):  
Aldo Rahmandana

AbstractDue to the rapid transformation of technology causing a subliminal changes on how states spy upon each other. With the help of technology and cyber infrastructure, states tend to use cyber technology as its main facility to conduct an espionage towards other states. Cyber espionage has come to represent national security and economic threat, due to all the classified information that already been massively stolen by another country. The aim of this research paper is to analyze and clarify pertaining the role of International law specifically towards this kind of act of espionage, and perceive the state responsibility of perpetrator which is states. It can be concluded that cyber espionage does not per se regulated under international law, but its lawfulness depends on the way in which it operation carried out may violate specific international conventions or any other international law principles.Keywords: Cyberlaw; Cyber Espionage; International Law.AbstrakPesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan metode dan cara dalam pelaksanaan tindakan spionase oleh negara terhadap negara lain guna mengumpulkan fakta dan informasi yang berkaitan dengan perkembangan politik, ekonomi, teknologi, dll melalui kapabilitas teknologi siber atau kerap disebut sebagai cyber espionage. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis terkait peranan hukum internasional dalam mengatur tindakan tersebut dalam tataran internasional dan bagaimana pertanggungjawaban dari negara pelaku tindakan cyber espionage. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa belum ada konvensi international khusus yang mengatur mengenai cyber espionage sehingga tindakan cyber espionage itu sendiri merupakan tindakan yang masih belum diatur secara international.Kata Kunci: Hukum Siber; Cyber Espionage; Hukum Internasional.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document