scholarly journals Pengaruh Perubahan Lingkungan Terhadap Stok Karbon pada Ekosistem Lamun di Pulau-Pulau Kecil, Studi Kasus: Gugusan Kepulauan Seribu

2021 ◽  
Vol 16 (3) ◽  
pp. 199
Author(s):  
Agustin Rustam ◽  
Yusmiana Puspitaningsih Rahayu ◽  
Devi Dwiyanti Suryono ◽  
Hadiwijaya Lesmana Salim ◽  
August Daulat ◽  
...  
Keyword(s):  

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir karbon biru, yang mampu memanfaatkan CO2 dan menyimpan dalam bentuk karbon organik dalam biomassa dan sedimen yang dipengaruhi oleh lingkungan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret dan Oktober 2014 di perairan pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tujuan penelitian ini mendapatkan stok karbon pada ekosistem lamun berdasarkan perubahan lingkungan, serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim. Metode penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara disengaja mewakili seluruh lokasi penelitian yang terbagi menjadi tiga zona lokasi berdasarkan pengaruh lingkungannya, kemudian  menganalisis besarnya kandungan karbon dalam biomassa dan sedimen dari tiap zona lingkungan. Hasil penelitian menunjukan lamun jenis Enhalus acoroides di Pulau Burung (Zona A) memiliki nilai karbon tertinggi dari tujuh spesies lamun yang ditemukan dengan 2,58 MgC/ha, sedangkan total biomassa lamun tertinggi adalah di Pulau Panggang (Zona B) sebesar 4,39 MgC/ha dan terendah di Pulau Kotok Besar (Zona C) dengan 0,56 MgC/ha. Nilai rata-rata biomassa karbon lamun sebesar 1,81±0,32 Mg C/ha dengan komposisi terbesar di bagian bawah permukaan sebesar 75 % dari total karbon biomassa. Total stok karbon dalam sedimen ekosistem lamun berkisar antara 751,2 – 1490,4 MgC/ha sampai kedalaman satu meter. Pengaruh lingkungan berdasarkan zona lokasinya menunjukkan bahwa besaran nilai stok karbon semakin tinggi mengarah ke daratan, dengan jumlah jenis lamun yang lebih sedikit dibandingkan dengan zona yang jauh dari pengaruh daratan.Kata Kunci : Lamun, pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, karbon biru, lingkungan

2017 ◽  
Vol 11 (3) ◽  
pp. 249
Author(s):  
Lisa Fajar Indriana ◽  
Yuli Afrianti ◽  
Sitti Hilyana ◽  
Muhammad Firdaus Firdaus

Teripang pasir, Holothuria scabra merupakan komoditas hasil laut yang bernilai ekonomis tinggi. Penangkapan berlebihan stok di alam mendorong berkembangnya kegiatan budidaya. Penempelan merupakan fase kritis pada larva teripang karena terjadi peralihan sifat planktonis ke bentik yang memerlukan substrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi penempelan, pertumbuhan, dan sintasan larva H. scabra fase penempelan pada substrat lamun yang berbeda. Penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan perlakuan empat jenis daun lamun berbeda dan lima ulangan. Perlakuan terdiri atas Enhalus acoroides (L-1), Syringodium isoetifolium (L-2), Cymodocea serrulata (L-3), dan Cymodocea rotundata (L-4). Jumlah awal larva sebanyak 1.000 individu dan substrat dirangkai dengan luasan yang sama sebesar 12 cm x 17 cm untuk setiap unit penelitian. Hasil penelitian menunjukkan jenis lamun yang digunakan sebagai substrat berpengaruh secara nyata terhadap preferensi penempelan dan sintasan larva teripang pasir, namun tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. E. acoroides menunjukkan hasil terbaik dengan preferensi penempelan 0,26 ind. cm-2 dan sintasan 10,66%; sehingga layak digunakan sebagai substrat penempelan dalam pembenihan teripang pasir, H. scabra.Holothuria scabra larvae on different seagrass substrates. By: Lisa Fajar Indriana, Yuli Afrianti, Sitti Hilyana, and Muhammad FirdausSandfish Holothuria scabra is marine commodities with a high economic value. Overfishing of natural stocks has compelled an interest to begin aquaculture practice. Settlement is a critical phase for the planktonic larvae as they will transform to benthic form in the presence of substrate. This study aims to evaluate the settlement preferences, growth, and survival rate of H. scabra larvae settled on different seagrass leaves. The research was conducted using the Completely randomized design with four different species of seagrass leaves and five replications. The treatments consist of Enhalus acoroides (L-1), Syringodium isoetifolium (L-2), Cymodocea serrulata (L-3), and Cymodocea rotundata (L-4). Initial number of larvae was 1,000 individuals and the substrate was set with same widthof 12 cm x 17 cm for each unit. Results of the experiment indicated that settlement preference and survival rate of H. scabra larvae was significantly affected by seagrass used as substrate while no significantly differences was observed for growth of larvae. E. acoroides showed the best result with 0.26 ind. cm-2 settelement preference and 10.66% survival rate, so that suitable to be used as settlement substrate in H. scabra hatchery.


Author(s):  
Xingkai Che ◽  
Tie Zhang ◽  
Hu Li ◽  
Litao Zhang ◽  
Jianguo Liu

2014 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 1 ◽  
Author(s):  
Supriadi Supriadi ◽  
Richardus F Kaswadji ◽  
Dietrich G Bengen ◽  
Malikusworo Hutomo

Konsep blue carbon yang diperkenalkan oleh UNEP, FAO dan UNESCO pada tahun 2009 memasukkan padang lamun sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai peran dalam penyerapan karbon global. Karbon yang diserap disimpan dan dialirkan dalam beberapa kompartemen, antara lain di sedimen, herbivora, kolom air, ekosistem lain dan dalam bentuk biomassa. Penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo, Makassar, untuk melihat potensi stok karbon yang tersimpan dalam biomassa lamun. Kepadatan lamun diukur dengan melakukan sampling menggunakan metode transek kuadrat dengan ukuran 50cm x 50cm. Sedangkan untuk biomassa dilakukan dengan transek 20cm x 20cm. Hubungan antara kepadatan, biomassa dan kandungan karbon dari lamun digunakan untuk menentukan jumlah stok karbon. Kepadatan lamun disurvei pada 236 titik, sedangkan untuk pengambilan sampel biomassa dilakukan pada 30 titik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas lamun mempunyai total stok karbon sebesar 73,86 ton dari total luas padang lamun 64,3 ha. Karbon di bawah substrat sebesar 56,55 ton (76,3%), lebih tinggi dibanding karbon di atas substrat yang hanya 17,57 ton (23,7%). Jenis lamun Enhalus acoroides menyumbang lebih dari 70% terhadap total stok karbon. Berdasarkan kelas karbon, kontribusi terbesar ditemukan pada kelas 100-200 gC.m-2 sebesar 29,41 ton (39,7%). Hasil ini menunjukkan bahwa ekosistem lamun berperan sangat penting dalam menjaga stok karbon di laut sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk konservasinya. Kata kunci: konsep blue karbon, lamun, Barranglompo   Blue carbon concept as introduced by UNEP, FAO and UNESCO in 2009 included seagrass beds as one ecosystem having a significant role in global carbon absorption. Absorbed carbon was stored and distributed in various compartments such as in sediments, herbivores, water column, other ecosystems and in form of biomass. The research was conducted in Barranglompo Island, Makassar City to analyze the potency of carbon stock that stored within seagrass biomass. Seagrass density was sampled using quadrat transect method with size of 50cm x 50cm. While for biomass was done by harvesting seagrass at transect of 20cm x 20cm in root penetration depth. Relationship between density, biomass and carbon content of seagrass were used to determine total carbon stock. Seagrass density was surveyed at 236 points, while for biomass sampling was conducted in 30 points. The results showed that seagrass community had total carbon stocks as much as 73.86 tonnes from overall 64.3 ha of seagrass bed areas.  Below ground carbon had 56.55 tonnes (76.3%), higher compared to that aboveground which only 17.57 tonnes (23.7%). Seagrass species Enhalus acoroides contributed more than 70% to the total carbon stocks, whereas, based on the carbon classes, the highest contribution was found at class 100-200 gC.m-2 i.e. 29.41 tonnes (39.7%). These results suggest that seagrass ecosystem plays an important role in maintaining the carbon stock in the ocean and should receive good attention for its conservation. Keywords: blue carbon concept, seagrass, Barranglompo


1999 ◽  
Vol 65 (1-4) ◽  
pp. 321-325 ◽  
Author(s):  
M.Nemesio E Montaño ◽  
Ronald S Bonifacio ◽  
Rowena Grace O Rumbaoa

2021 ◽  
Vol 10 (3) ◽  
pp. 413-420
Author(s):  
Annisa Rhamadany ◽  
Chrisna Adhi Suryono ◽  
Delianis Pringgenies

Ekosistem lamun memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang tinggi. Peran ekosistem lamun dalam penyimpanan karbon akan tetapi masih belum menjadi sorotan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai biomassa dan estimasi simpanan karbon pada ekosistem lamun di Perairan Batulawang, Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini dilaksanakan pada 7 – 14 Noevmber 2019 di Perairan Batulawang dan Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa. Metode penelitian di lapangan menggunakan metode SeagrassWatch, sementara nilai biomassa dan nilai estimasi simpanan karbon dihitung menggunakan metode Metode Loss of Ignition (LOI) di laboratorium. Data yang diperoleh berupa pengukuran berat kering untuk menghitung biomassa dan analisa kandungan karbon pada lamun dan sedimen. Hasil penelitian didapatkan empat jenis lamun di Perairan Batulawang yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum sedangkan di Pulau Sintok terdapat tiga jenis lamun yang ditemukan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Nilai total biomassa lamun terbesar pada Perairan Batulawang yaitu Enhalus acoroides dengan nilai 849,75 gbk/m2 dan nilai total biomassa lamun terkecil Thalassodendron ciliatum dengan nilai 29 gbk/m2. Nilai total biomassa lamun terbesar pada Pulau Sintok yaitu Cymodocea rotundata dengan nilai 177,75 gbk/m2dan nilai total biomassa lamun terkecil Halophila ovalis dengan nilai 4,75 gbk/m2. Hasil pengukuran karbon lamun pada Perairan Batulawang yaitu 12,97 – 359,87 gC/m2­ dan 258,20 – 541,51 gC/m2 pada sedimennya. Hasil pengukuran karbon pada lamun di Pulau Sintok yaitu 2,35 – 85,80 gC/m2 dan 204,92 – 765,92 gC/m2 pada sedimen. Kandungan karbon paling besar terdapat pada bagian bawah substrat (below ground). Kandungan karbon pada bagian bawah substrat tidak terganggu oleh faktor lingkungan (gelombang, arus, dan ulah manusia) sehingga terakumulasi baik. Seagrass ecosystems have high ecological and economic functions. The role of seagrass ecosystems in carbon storage, however, has not yet been highlighted. The purpose of this study was to determine the value of biomass and estimated carbon storage in seagrass ecosystems in Batulawang waters, Kemujan Island and Sintok Island, Karimunjawa National Park. This research was conducted on 7 − 14 November 2019 in Batulawang waters and Sintok Island, Karimunjawa National Park. The research method in the field uses the SeagrassWatch method, while the biomass value and the estimated value of carbon storage are calculated using the Loss of Ignition (LOI) method in the laboratory. The data obtained were measurements of dry weight to calculate biomass and analysis of carbon content in seagrass and sediments. The result shows that there are four species of seagrass in Batulawang Waters, they are Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, and Thalassodendron cliatum meanwhile in Sintok Island there are three species, they are, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, and Halophila ovalis. The measurement of carbon is done by using Loss on Ignition Method. The highest total seagrass biomass in Batulawang waters is Enhalus acoroides with a value of 849.75 gbk/m2 and the lowest total seagrass biomass is Thalassodendron ciliatum with a value of 29 gbk/m2. The highest total seagrass biomass on Sintok Island is Cymodocea rotundata with a value of 177.75 gbk/m2 and the lowest total seagrass biomass is Halophila ovalis with a value of 4.75 gbk/m2. The results of measurements of seagrass carbon in Batulawang waters are 12,97 – 359,87 gC/m2­ and 258,20 – 541,51 gC/m2 on the sediments. The result of seagrass carbon measurement in Sintok Island is 2,35 – 85,80 gC/m2 and 204,92 – 765,92 gC/m2 on the sediments. The largest carbon content is at the bottom of the substrate (below ground). The carbon content at the bottom of the substrate is not disturbed by environmental factors (waves, currents, and human activities) so that it accumulates well.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document