Jurnal Riset Akuakultur
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

545
(FIVE YEARS 43)

H-INDEX

4
(FIVE YEARS 1)

Published By Agency For Marine And Fisheries Research And Development

2502-6534, 1907-6754

2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 93
Author(s):  
Didik Ariyanto ◽  
Odang Carman ◽  
Dinar Tri Soelistyowati ◽  
Muhammad Zairin Junior ◽  
M. Syukur ◽  
...  

Benih ikan mas telah mengalami penurunan kualitas genetik yang menyebabkan penurunan performa fenotipik di lingkungan budidaya. Salah satu upaya perbaikan genetik adalah melalui pembentukan populasi sintetis yang merupakan penggabungan potensi genetik beberapa populasi plasma nutfah ikan mas. Penelitian ini bertujuan membentuk dan mengevaluasi performa genotipik dan fenotipik populasi sintetis ikan mas, yang merupakan penggabungan dari strain Rajadanu, Majalaya, Sutisna, Wildan, dan Sinyonya. Performa genotipik dievaluasi menggunakan metode mikrosatelit DNA, sedangkan performa fenotipik dievaluasi menggunakan analisis biometrik terkait kegiatan budidaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai keragaman genetik populasi sintetis lebih tinggi 55,0%-287,5% dengan tingkat inbreeding 40,0%-77,14% lebih rendah dibanding populasi-populasi pembentuknya. Hal ini berdampak terhadap performa fenotipik populasi sintetis yang lebih baik, diindikasikan dengan peningkatan panjang, bobot akhir, dan tingkat produktivitas, masing-masing sebesar 2,5%-20,6%; 9,4%-61,8%; dan 18,2%-66,0% lebih baik dibanding populasi-populasi pembentuknya. Peningkatan kualitas genetik dan performa fenotipik populasi sintetis ini memberikan peluang untuk memperbaiki kualitas benih ikan mas pada kegiatan budidaya.Common carp in Indonesia has experienced a decline in genetic quality. The progressive decline leads to a significant decrease in carp performance in the farming environment. One of the efforts to genetically improve carp growth performance is through developing synthetic carp populations, which is a blend of the genetic potentials from several germplasm populations. This study aimed to form and evaluate the performance of genotypic and phenotypic of synthetic populations of common carp, blended from five strains of common carp, i.e., Rajadanu, Majalaya, Sutisna, Wildan, and Sinyonya. The genotypic performance was evaluated using the DNA microsatellite method. The phenotypic performance was assessed using biometric analysis, especially in terms of culture performance. The results showed that the genotypic performance of the synthetic populations of common carp was better than that of the founder strains. This performance was indicated by higher genetic diversity values, about 55.0%-287.5% and lower levels of inbreeding, about 40.0%-77.1%, compared with their founder populations. Phenotypic performance of the synthetic populations is also better than their founder populations, indicated by higher body length, weight, and productivity, about 2.5%-20.6%, 9.4%-61.8%, and 18.2%-66.0%, respectively. The improvement on genetic quality and phenotypic performance of the synthetic population provide opportunities to improve the quality of common carp fry in aquaculture activity.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 125
Author(s):  
Reagan Septory ◽  
Afifah Nasukha ◽  
Sudewi Sudewi ◽  
Ananto Setiadi ◽  
Ketut Mahardika

Buangan limbah organik dari kegiatan budidaya ikan berdampak pada naiknya konsentrasi senyawa nitrogen di perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran vertikal konsentrasi total nitrogen (TN), total fosfat (TP), dan amonia pada perairan pesisir yang berdekatan dengan kawasan budidaya ikan laut di Bali Utara. Titik sampling dipilih pada kedalaman 5, 10, 15, 20, dan 30 meter dengan arah tegak lurus garis pantai di kawasan perbenihan ikan dengan tingkat aktivitas tinggi (Desa Gerokgak dan Desa Penyabangan) dan tiga titik sampling di sekitar karamba jaring apung (KJA) di Teluk Kaping, Desa Sumberkima. Sampel air diambil pada bagian permukaan, tengah, dan dasar pada tiap titik sampling. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019 dengan dua periode waktu yaitu bulan April sampai Juni dan Agustus sampai Oktober dengan satu kali pengambilan contoh air setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran konsentrasi TN, TP, dan amonia secara vertikal cenderung homogen pada tiap titik pengamatan. Konsentrasi TN, TP, dan amonia selama penelitian berturut-turut adalah 1,2-1,5 mg/L; 0,081-0,090 mg/L; dan 0,054-0,057 mg/L. Nilai tersebut berada di bawah baku mutu air untuk kebutuhan budidaya ikan. Sebaran konsentrasi senyawa nitrogen dan fosfat secara vertikal di lokasi penelitian relatif homogen pada semua lapisan kedalaman air yang diamati. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proses percampuran masa air terjadi secara merata di kawasan tersebut. Kualitas perairan di lokasi penelitian masih sesuai dengan nilai baku mutu untuk kegiatan budidaya laut.Direct discharge of organic waste from aquaculture platforms is likely to increase nitrogen concentration in the surrounding waters. The study aimed to investigate the vertical distribution of total nitrogen (TN), total phosphorus (TP), and ammonia concentration in the coastal waters adjacent to the three densest mariculture sites in North Bali (Gerokgak, Penyabangan, and Kaping Bay). Field surveys were conducted six times within two periods namely April to June and August to October 2019. Samples of different water columns (surface, middle, and bottom) were collected using a Nansen water sampler in each sampling point. The samples were immediately analyzed at the Research Institute for Mariculture and Fishery Extension, Gondol. Total nitrogen, total phosphate, and ammonia were analysed using sulfuric acid destruction and distillation, nitrate-acid destruction, and phenol-spectrophotometer, respectively. The result showed that TN, TP, and ammonia levels were 1.2-1.5 mg/L, 0.081-0.090 mg/L, and 0.054-0.057 mg/L, respectively. The vertical distribution of nitrogen and phosphorus compounds at all layers of water column were relatively homogenous indicating a strong mixing between the seawater layers. Thus, the study concludes that the variations of all water quality parameters are within the water quality standard needed for mariculture activities.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 117
Author(s):  
Nurbariah Nurbariah ◽  
Sukenda Sukenda ◽  
Muhammad Zairin Junior ◽  
Sri Nuryati ◽  
Dinamella Wahjuningrum

Kandungan bahan bioaktif pada tanaman memiliki beragam potensi aktivitas biologis dan dimanfaatkan dalam budidaya ikan sebagai alternatif untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ikan. Serapoh (Chromolaena odorata) diketahui memiliki bahan bioaktif namun penerapan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit pada kakap putih belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi antioksidan dan antibakteri daun serapoh secara in vitro terhadap Vibrio harveyi penyebab penyakit black body syndrome pada benih kakap putih. Penelitian secara in vitro melingkupi analisis fitokimia, uji antioksidan dan antibakteri. Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak daun serapoh mengandung flavonoid, tannin, saponin, dan steroid. Rendemen dari hasil maserasi dengan pelarut akuades, etanol, etil asetat, dan n-heksan berturut-turut adalah 11,34%; 9,13%; 4,21%; dan 1,48%. Ekstrak etil asetat memiliki kandungan total fenol yang tertinggi (212,8 mg/g) dibanding ekstrak yang lain. Kandungan total flavonoid yang tertinggi terdapat pada ekstrak etanol (195,5 mg/g) diikuti dengan ekstrak etil asetat (20,2 mg/g), n-heksan (10,6 mg/g), dan akuades (8,1 mg/g). Nilai potensi antioksidan ekstrak etanol lebih tinggi (86,59%) dibanding ekstrak yang lain namun potensi antioksidan ekstrak etanol, etil asetat, dan akuades tidak berbeda nyata dengan asam askorbat sebagai pembanding. Ekstrak etanol, etil asetat, dan n-heksan dapat menghambat pertumbuhan V. harveyi. Ekstrak etanol bersifat bakteriostatik (1,25 mg/mL) dan bakterisidal (5 mg/mL), serta menyebabkan kerusakan sel sehingga metabolit seluler seperti asam nukleat dan protein dapat keluar dari sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun serapoh memiliki potensi antioksidan dan antibakteri terhadap V. harveyi sehingga dapat digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit black body syndrome pada benih kakap putih.Bioactive compounds in plants have various potential biological activities and are commonly used in fish farming as alternatives to prevent and treat fish diseases. Serapoh (Chromolaena odorata) is known to have bioactive compounds, yet its application to prevent disease in Asian seabass has not been studied. This study aimed to evaluate the antioxidant and antibacterial potential of serapoh leaves in vitro against Vibrio harveyi, causing black body syndrome disease in Asian seabass. The performed tests in this study consisted of phytochemical analysis, antioxidant, and antibacterial tests. The results showed that serapoh leaf extract contains flavonoids, tannins, saponins, and steroids. The yields obtained from maceration with aquadest, ethanol, ethyl acetate, and n-hexane solvents were 11.34%; 9.13%; 4.21%; and 1.48%, respectively. Ethyl acetate extract had the highest total phenol content (212.8 mg/g) compared to the other extracts. Ethanol extract has the highest total flavonoid content (195.5 mg/g) followed by ethyl acetate (20.2 mg/g), n-hexane (10.6 mg/g), and aquadest (8.1 mg/g). The highest antioxidant potential value was shown by ethanol extract (85.59%), but the antioxidant potentials of ethanol, ethyl acetate, and aquadest extracts were not significantly different from ascorbic acid. Ethanol, ethyl acetate, and n-hexane extracts can inhibit the growth of V. harveyi. Ethanol extract has bacteriostatic (1.25 mg/mL) and bactericidal (5 mg/mL) properties. The exposure of V. harveyi to ethanol extract resulted in cellular damage that can release cellular metabolites such as nucleic acids and proteins. In conclusion, serapoh leaf extract had antioxidant and antibacterial potential against V. harveyi and could be used to prevent or treat black body syndrome in Asian seabass.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 107
Author(s):  
Erlangga Erlangga ◽  
Cut Nuraini ◽  
Salamah Salamah

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies udang introduksi yang sudah banyak dibudidayakan di tambak di Indonesia. Permasalahan pada budidaya udang vaname di tambak dengan padat tebar tinggi dan penggunaan pakan protein tinggi adalah tingginya akumulasi residu/limbah budidaya. Salah satu cara memanfaatkan limbah budidaya yaitu sistem heterotrof dengan menggunakan teknologi bioflok dengan memanipulasi rasio perbandingan karbon nitrogen (C/N ratio) di dalam media budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pembentukan flok pada pemeliharaan udang vaname dengan pemberian sumber karbon yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan acak lengkap yang terdiri atas lima perlakuan, yaitu: kontrol, molase, tepung terigu, tepung maizena, dan air tebu; masing-masing tiga ulangan. Setiap perlakuan diberikan pada wadah pemeliharaan udang vaname untuk menumbuhkan flok dengan menambahkan probiotik komersil. Analisis data yang dilakukan antara lain pertumbuhan dan sintasan udang, FCR, ukuran flok, volume flok, kandungan gizi flok, dan parameter kualitas air yang mendukung kehidupan udang vaname. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sumber karbon berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang. Pemberian tepung terigu dalam pembentukan flok merupakan sumber karbon yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan udang vaname dengan pertambahan bobot 0,56 g; panjang 1,96 cm; dan sintasan 90,67%; dengan nilai FCR 1,10; kandungan protein flok sebesar 27,15%; ukuran flok 450 mikron; dan volume flok 88 mL/L. Nilai kisaran parameter kualitas air DO 5,5-6,5 mg/L; pH 6,8-8,0; suhu 26°C-30°C; salinitas 30-33 ppt; dan amonia 0,1-1,54 mg/L. Implikasi penelitian ini membuktikan pemberian sumber karbon memberikan pengaruh terhadap peningkatan flok dan mampu meningkatkan pertumbuhan dan sintasan udang vaname. Sebaiknya diperlukan penelitian lebih spesifik untuk mencari dosis terbaik dan maksimal dari sumber karbon tepung terigu untuk pembentukan flok, pertumbuhan, dan sintasan udang vaname.Vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) is an introduced species of shrimp that has been widely farmed in brackishwater ponds in Indonesia. Vannamei shrimp farmed in ponds with high stocking density and fed with high protein feed produce large quantities of residues/waste. Reducing the waste could be achieved by using biofloc technology to manipulate the carbon nitrogen ratio (C/N ratio) in the culture media. This study aimed to evaluate the formation of flocks grown on different carbon sources in the rearing media of vannamei shrimp. The study used an experimental method with a completely randomized design consisting of five treatments, namely: control, molasses, wheat flour, corn starch, and sugarcane juice, each with three replications. Data analysis was carried out on shrimp growth and survival, FCR, floc size, floc volume, floc nutrient content, and water quality parameters that support the life of vannamei shrimp. The results showed that different carbon sources had a significant effect on the shrimp growth. Flour is the best source of carbon to support the formation of flocks which increases the growth of vannamei shrimp with a weight gain of 0.56 g, a length of 1.96 cm, and a survival rate of 90.67%, with an FCR value of 1.10, a floc protein content of 27.15%, a floc size of 450 microns, and a floc volume of 88 mL/L. The measured variations of DO, pH, temperature, salinity, and and ammonia were 5.5-6.5 mg/L, 6.8-8.0, 26°C-30°C, 30-33 ppt, and 0.1-1.54 mg/L, respectively. This research demonstrates that the provision of different carbon sources has an effect on increasing flocks and are able to increase the growth and survival of vannamei shrimp. It is recommended that more specific research is needed to find the best and maximum dose of wheat flour carbon sources for floc formation, growth and survival of vannamei shrimp.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 83
Author(s):  
Fajar Anggraeni ◽  
Fajar Anggraeni ◽  
Desak Made Malini ◽  
Imron Imron

Salah satu permasalahan pada budidaya udang galah adalah keberadaan udang galah betina bertelur pada saat pembesaran. Penghambatan pema tangan gonad menggunakan hormon medroxyprogesterone acetat (MPA) yang diberikan secara injeksi pada udang galah dapat menekan indeks kematangan gonad (IKG), perkembangan gonad, dan meningkatkan laju pertumbuhan. Namun, pemberian MPA secara injeksi dapat meningkatkan stres dan kematian pada udang galah, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian hormon medroxy progesteron acetat melalui pakan terhadap performa reproduksi dan pertumbuhan. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental, desain penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima kali pengulangan. Perlakuan yang diberikan adalah kontrol (hormon MPA pada konsentrasi 0 mg/kg pakan), P-1 (hormon MPA pada konsentrasi 50 mg/kg pakan), P-2 (hormon MPA pada konsentrasi 100 mg/kg pakan), dan P-3 (hormon MPA pada konsentrasi 150 mg/kg pakan) yang diberikan pada udang galah betina selama 60 hari. Parameter yang diamati adalah kematangan gonad, egg clutch somatic index (ESI), fekunditas, kadar estradiol, laju pertumbuhan spesifik, dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon MPA dengan konsentrasi 50, 100 dan 150 mg/kg pakan secara signifikan menghambat reproduksi dan pada konsentrasi 100 mg/kg pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan pada udang galah betina umur lima bulan. ESI, fekunditas dan tingkat sintasan tidak terpengaruh oleh perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian hormon medroxy progesteron acetat melalui pakan pada konsentrasi 100 mg/kg pakan secara signifikan dapat menghambat pematangan gonad dan peningkatan pertumbuhan udang galah betina.One of the problems in giant freshwater prawn farming is female prawns laying eggs during grow-out, leading to reduced somatic growth of the prawns. Inhibition of gonad maturation using medroxyprogesterone acetate (MPA) hormone via injection in giant freshwater prawns can suppress the gonad maturity index (GSI), gonad development, and increase the growth rate. However, the administration of MPA by injection could increase stress and mortality in giant freshwater prawns. The purpose of this study was to examine the application of MPA through dietary administration on the reproductive performance and growth of female giant freshwater prawns. The experiment was arranged in a completely randomized design with four treatments and five replications. Treatments of MPA at concentrations of 0 mg/kg feed (as control), 50 mg/kg feed (P-1), 100 mg/kg feed (P-2), and 150 mg/kg feed (P-3) were supplemented in a commercial artificial feed and fed to the freshwater prawns for 60 days. Parameters of gonad maturation, egg clutch somatic index (ESI), fecundity, oestradiol concentration, specific growth rate, and survival rate were measured during the research period. The result showed that MPA administration at concentrations of 50, 100, and 150 mg/kg feed significantly inhibited gonad maturation, and at concentration 100 mg/kg feed increased growth of female giant freshwater prawn at five-month age. The ESI, fecundity and survival, however, were not affected by the treatment. This study concludes that the administration of medroxyprogesterone acetate hormone through feed significantly inhibited gonad maturation and increasedthe growth of female giant freshwater prawns.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 99
Author(s):  
Wahyulia Cahyanti ◽  
Adang Saputra ◽  
Anang Hari Kristanto

Sejumlah penelitian terhadap ikan gabus (Channa striata Blkr) telah dilakukan mulai dari pembenihan dan pembesaran, namun masih belum banyak informasi ilmiah terkait performa reproduksi dan larva yang dihasilkan baik dari pemijahan alami maupun pemijahan semi-alami (induksi hormonal). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknik pemijahan yang tepat untuk ikan gabus. Dalam penelitian ini digunakan induk jantan dan betina dengan tingkat kematangan gonad (TKG) yang seragam (yaitu pada TKG-IV). Penelitian memakai empat perlakuan stimulasi hormon, yaitu A (kontrol, tanpa stimulasi hormon), B (induk jantan dan betina distimulasi hormon), C (induk betina distimulasi hormon), D (induk jantan distimulasi hormon). Hormon yang digunakan untuk menginduksi induk betina dan jantan adalah LHRHa + anti dopamin. Masing-masing perlakuan menggunakan tiga pasang induk. Parameter performa reproduksi yang diamati meliputi fekunditas, diameter telur, lama waktu menetas, dan volume kuning telur. Untuk performa larva dilakukan pengamatan laju penyerapan kuning telur, pertumbuhan panjang dan bobot larva, laju pertumbuhan spesifik, dan sintasan. Dari penelitian diperoleh bahwa ikan perlakuan-A dan B mampu berovulasi hingga menetas, perlakuan-C berhasil ovulasi namun gagal menetas, sedangkan perlakuan-D tidak mampu ovulasi. Fekunditas dan derajat penetasan hasil pemijahan alami paling tinggi (1.832 ± 13 butir dan 97,20 ± 2,49%). Namun, waktu ovulasi dan waktu menetas pemijahan alami (159,50 ± 0,50 jam dan 3.210,00 ± 5,00 menit) lebih lama dibanding pemijahan buatan (26,00 ± 2,00 jam dan 2.370.00 ± 15,00 menit). Abnormalitas terjadi pada perlakuan-B (1,30 ± 0,42%), sedangkan larva hasil perlakuan-A tidak ada yang abnormal. Berdasarkan hasil penelitian ini selain pemijahan alami, ikan gabus dapat dipijahkan secara buatan melalui stimulasi hormon pada induk jantan dan betina.Various studies on snakehead fish (Channa striata Blkr) have been carried out from breeding, nursery, to grow-out. Nevertheless, information regarding reproductive performance and produced larvae either from natural spawning or semi-natural (hormonal induction) spawning are still limited in the literature. This study aimed to determine the appropriate spawning technique for snakehead fish. In this study, the fish males and females were used with a uniform gonad maturity level. The study used four hormone stimulation treatments, namely: A (control, without hormone stimulation), B (male and female parents were hormone-stimulated), C (hormone-stimulated female parent), D (hormone-stimulated male parent). The hormone used to induce female and male broodstock was LHRHa + anti-dopamine. Each treatment used three pairs of parents. Parameters of reproductive performance observed included fecundity, egg diameter, hatching time, and egg yolk volume. For larval performance, observations were made of the rate of egg yolk absorption, growth in length and weight of larvae, specific growth rate, and survival. The research found that fish in treatment-A and B were able to ovulate, and the produced eggs could hatch. Fish in treatment-C managed to ovulate but failed to hatch, while treatment-D could not ovulate. The fecundity and hatching rates of the natural spawning were the highest (1,832 ± 13 grains and 97.20 ± 2.49%). However, the time of ovulation and hatching time for natural spawning (159.50 ± 0.50 hours and 3,210.00 ± 5.00 minutes) were longer than those of artificial spawners (26.00 ± 2.00 hours and 2,370.00 ± 15.00 minutes). Abnormalities occurred in treatment-B (1.30 ± 0.42%), while the larvae from treatment-A were normal. Based on the results of this study, in addition to natural spawning, snakehead fish can be spawned artificially through hormonal stimulation of male and female broodstock.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 71
Author(s):  
Erma Primanita Hayuningtyas ◽  
Eni Kusrini ◽  
Shofihar Sinansari ◽  
Melta Rini Fahmi

Betta rubra merupakan salah satu spesies ikan cupang alam endemik dari Aceh. Keberadaannya yang hampir dinyatakan punah sebelum ditemukan kembali pada tahun 2007. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keragaman genetik dan potensi genetik dari ikan Betta rubra dari tiga generasi yang sudah dibudidayakan untuk perbaikan genetik di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Depok, Jawa Barat, Indonesia. Jumlah sampel yang digunakan pada populasi G-0 adalah enam ekor, sedangkan pada populasi G-1 dan G-2 masing-masing 10 ekor. Ikan uji yang digunakan diambil sirip ekornya untuk analisis secara genotipe dengan randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) menggunakan primer yaitu OPZ-9, OPB-6, dan OPZ-13. Sebelum diambil sirip ekornya ikan terlebih dahulu difoto di atas millimeter block untuk data truss morfometrik (fenotipe). Hasil menunjukkan ikan Betta rubra populasi alam (G-0) memiliki nilai heterozigositas 0,1872 dan derajat polimorfisme 47,06% yang lebih rendah dibandingkan generasi G-1 dengan heterozigositas 2,421 dan derajat polimorfisme 64,71%. Populasi G-2 memiliki nilai heterozigositas 0,1577 dan derajat polimorfisme 44,12%. Koefisien keragaman secara fenotipe populasi G-1 memiliki variasi lebih tinggi dibanding populasi G-0 dan G-2. Hubungan kekerabatan antara G-1 dengan G-0 dan G-2 berbeda nyata (P<0,05), sedangkan hubungan antara G-1 dengan G-2 tidak berbeda nyata (P>0,05), sehingga antara populasi G-0 dan G-2 membentuk cluster terpisah dengan G-1. Keragaman genetik pada tiga generasi Betta rubra memiliki pola yang sama baik secara fenotipe maupun genotipe.Betta rubra is one of the endemic species of Betta fish from Aceh. The fish was almost declared extinct before it was rediscovered in 2007. The purpose of this study was to examine the genetic diversity and genetic potential of Betta rubra from three generations which have been reared for genetic improvement at the Research Institute for Ornamental Fish Culture, Depok, West Java, Indonesia. The number of fish for G-0 population used in the study was six fish whilst G-1 and G-2 populations were 10 fish. Tail fins from each fish were sampled for genotype analysis using randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) using primers OPZ-9, OPB-6, and OPZ-13. Before tail fin collection, the fish was photographed on a millimeter block for truss morphometric data measurement (phenotype). The results showed that the Betta rubra wild population (G-0) had heterozygosity of 0.1872 and polymorphism of 47.06% which were lower than the G-1 population with heterozygosity of 2.421 and polymorphism of 64.71%. The G-2 population had heterozygosity of 0.1577 and polymorphism of 44.12%. The phenotype coefficient of variation in the G-1 population higher than the G-0 and G-2 populations. The kinship relationship between G-1 with G-0 and G-2 was significantly different (P<0.05), while the relationship between G-1 and G-2 was not significantly different (P>0.05). This research concludes that the populations of G-0 and G-2 have formed a separate cluster to G-1. The genetic diversities in the three Betta rubra populations have similar phenotype and genotype patterns.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 61
Author(s):  
Emei Widiyastuti ◽  
Iman Rusmana ◽  
Munti Yuhana

Vibriosis dapat dicegah dan dikendalikan dengan memanfaatkan mekanisme anti quorum sensing (AQS). Salah satu strategi anti quorum sensing dalam menghambat ekspresi faktor virulen dari Vibrio parahaemolyticus yaitu dengan mendegradasi sinyal komunikasi sel bakteri menggunakan AHL laktonase. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi dan mengindentifikasi bakteri penghasil AHL laktonase yang berpotensi mampu menghambat virulensi bakteri patogen V. parahaemolyticus. Isolasi bakteri dilakukan dari sampel saluran pencernaan udang vaname, air, dan sedimen tambak. Sebanyak 18 dari 111 isolat yang diisolasi menunjukkan adanya aktivitas AQS terhadap bioindikator Chromobacterium violaceum. Hasil uji patogenitas secara in vitro pada agar darah didapatkan tiga isolat yang tidak menunjukkan aktivitas hemolisis yaitu B5, K4, dan S12. Hasil konfirmasi dan analisis gen aiiA menggunakan Blast-X menunjukkan bahwa isolat B5 dan S12 memiliki kesamaan dengan AHL laktonase pada Bacillus cereus, sedangkan K4 memiliki similaritas dengan AHL laktonase pada multispesies Bacillus sp. Hasil pensejajaran sekuen gen 16S rRNA ketiga isolat tersebut dengan data pada GenBank, teridentifikasi sebagai Bacillus siamensis (B5), Bacillus cereus (K4), dan Bacillus amyloliquefaciens (S12). Berdasarkan hasil uji antagonis dan uji kultur bersama disimpulkan bahwa isolat K4 bekerja dengan mekanisme AQS sedangkan isolat B5 dan S12 diduga berjalan dua mekanisme secara bersama yaitu antibiosis dan anti quorum sensing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga isolat tersebut memiliki potensi sebagai kandidat agen biokontrol pada akuakultur sehingga perlu dilakukan uji lanjutan.Vibriosis can be prevented and controlled by utilizing the anti-quorum sensing (AQS) mechanism. One of the anti-quorum sensing mechanisms to inhibit the expression of virulent factors of Vibrio parahaemolyticus is by degrading the quorum sensing communication signals using AHL lactonase. The study aimed to select and identify AHL lactonase-producing bacteria that have the potentials to inhibit the virulence of V. parahaemolyticus. Several batches of bacteria were isolated from the digestive tract of vannamei shrimp, water, and sediment of shrimp ponds. There were 18 out of 111 isolates that showed AQS activity against Chromobacterium violaceum used as a bioindicator. In vitro pathogenicity test on blood agar showed that B5, K4, and S12 isolates showed gamma hemolysis activity. The results of confirmation and analysis of aiiA genes using Blast-X showed that B5 and S12 isolates have AHL lactonase similarities with Bacillus cereus, whereas K4 has similarities with multispecies Bacillus sp. Alignment results of the 16S rRNA gene sequences with GenBank data showed that B5, K4, and S12 isolates were identified as Bacillus siamensis, Bacillus cereus, and Bacillus amyloliquefaciens, respectively. The follow up antagonistic and coculture tests revealed that K4 uses the AQS mechanism, while B5 and S12 likely use antibiotic mechanism and anti quorum sensing to inhibit the virulent expression of V. parahaemolyticus. This study concludes that the three isolates have the potential to be used as biocontrol agents in brackishwater aquaculture. Further research is needed to determine the pathogenicity of AQS bacteria to vannamei shrimp and the effective concentration of AQS bacteria to inhibit the virulence of V. parahaemolyticus to vannamei shrimp by in vivo treatment.  


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 9
Author(s):  
Jhon Harianto Hutapea ◽  
Ananto Setiadi ◽  
Gunawan Gunawan

Sintasan larva hingga benih ikan tuna sirip kuning di hatchery sudah meningkat dari 0,05% menjadi 0,20%-0,50%. Namun mortalitas pada pemeliharaan tahap berikutnya sangat tinggi. Kematian benih karena menabrak dinding bak/jaring, berkaitan dengan kebiasaan renang dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, riset pendederan ini difokuskan pada pengamatan kebiasaan berenang dan pemangsaan, serta kondisi lingkungan. Wadah yang digunakan adalah enam buah bak fiberglass reinforced plastic (FRP) diameter 2,7 m; ketinggian 1,0 m; dan diisi dengan air laut 5 m3. Hewan uji berupa benih ikan tuna sirip kuning dengan panjang total 29,82 ± 2,51 mm hasil produksi dari hatchery, sebanyak 50 ekor benih per bak. Perlakuan dalam riset adalah perbedaan sistem pemeliharaan, yaitu: (A) indoor dan (B) outdoor dengan tiga ulangan dan lama penelitian 21 hari. Pakan yang digunakan adalah ikan segar berupa benih bandeng yang dimatikan dan ikan teri dengan panjang total 15-25 mm dan ikan cincang (minced fish). Frekuensi pemberian pakan adalah enam kali per hari dan diberikan secara satiasi. Parameter meliputi suhu, oksigen terlarut, dan intensitas cahaya diukur setiap hari. Hasil riset menunjukkan bahwa sintasan dalam pendederan sistem indoor sebesar 20,0 ± 4,0% lebih tinggi (P<0,05) dibanding dengan sistem outdoor (6,7 ± 5,0%). Pertumbuhan bobot spesifik 12,4% hari-1 pada sistem indoor lebih baik dibandingkan sistem outdoor yang hanya 9,8% hari-1 (P<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya dan suhu yang lebih stabil pada pendederan sistem indoor memberikan sintasan dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada sistem outdoor. Namun demikian, disarankan bahwa pendederan dalam bak FRP sebaiknya tidak lebih dari dua minggu agar diperoleh sintasan yang lebih tinggi dan selanjutnya dipindahkan ke karamba jaring apung (KJA).The survival rate of reared yellowfin tuna from larvae to juvenile stages in hatchery has been improved from 0.05% to 0.20%-0.50%. Unfortunately, the fish’s mortality rate during the nursery phase is still very high. Unpredicted swimming and feeding behaviors have resulted the reared juveniles to uncontrollably hit the tank wall and died. Therefore, this research was carried out to study the swimming and feeding habits of yellowfin tuna juveniles and its response to different rearing environments. Six fiberglass reinforced plastic (FRP) tanks with a diameter of 2.7 m, height 1.0 m, and filled with 5 m3 of filtered sea water were used in the study. Yellowfin tuna juveniles with an average total length of 29.82 ± 2.51 mm were harvested from a hatchery and placed into each tank at a density of 50 fish tank-1. The treatments applied were two nursery systems: (A) indoor and (B) outdoor system with three replicates. The rearing treatment lasted for 21 days. Raw fish was given as feed consisting of mixed of defrosted milkfish fry and small anchovy with total length ranged between 15-25 mm as well as minced fish meat. Feed was given six times per day at satiation. The observed parameters were temperature, dissolved oxygen, and light intensity measured daily. The results showed that the survival rate of juvenile in the indoor system was 20.0 ± 4.0%, which was higher (P<0.05) than that of the outdoor system (6.7 ± 5.0%). Weight specific growth rate of fish reared in the indoor system was 12.4% day-1 which was better than that of the outdoor system which was only 9.8% day-1 (P<0.05). This research concludes that a stable light intensity and water temperature in the indoor nursery system gives better survival and growth rate on yellowfin tuna juvenile. Nevertheless, this research recommends that the nursery phase of yellowfin tuna juvenile in FRP tank should be carried out not more than two weeks in order to produce a higher survival rate and then transferred to floating net cages.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Toni Yulian Kusmardani ◽  
Otong Zenal Arifin ◽  
Agoes Soeprijanto ◽  
Yunita Maimunah

Ikan Tor merupakan genus yang potensi dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Masalah yang ada adalah lambatnya pertumbuhan dan rendahnya tingkat sintasan benih ikan tersebut dalam jumlah yang memadai untuk pembudidaya. Hibridisasi atau persilangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kombinasi antara populasi yang berbeda untuk menghasilkan keturunan yang memiliki sifat unggul. Hibridisasi tiga spesies ikan Tor secara resiprokal antara Tor soro (Ts), Tor douronensis (Td), dan Tor tambroides (Tt) dilakukan guna untuk mengetahui keberhasilan hibridisasi beda spesies tetapi masih dalam genus. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen dengan enam perlakuan dan tiga kali ulangan hasil hibrida. Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai derajat pembuahan tertinggi dihasilkan dari hibridisasi Td >< Ts (93,66 ± 1,15%), daya tetas tertinggi dihasilkan dari persilangan Td >< Ts (88,00 ± 1,00%), laju pertumbuhan spesifik bobot tertinggi dihasilkan dari hibridisasi Ts >< Td dan Ts >< Tt (5,62 ± 0,17%; 5,44 ± 0,06%), laju pertumbuhan spesifik panjang tertinggi dihasilkan dari hibridisasi Ts >< Td (1,79 ± 0,11%) dan sintasan tertinggi dihasilkan dari hibridisasi Tt >< Ts (86,00 ± 3,60%). Nilai heterosisyang meliputi derajat pembuahan, daya tetas telur, pertumbuhan benih, dan sintasan ikan sampai umur 41 hari menunjukkan nilai negatif, kecuali laju pertumbuhan spesifik bobot. Hibridisasi berdampak pada meningkatnya jumlah larva abnormal yang dihasilkan dibanding tetuanya (pure breed).Tor fish has the potential to be commercially developed as a farmed fish due to its high economic value and market demand. However, slow growth and low survival rate of the fish larvae and insufficient seed availability for aquaculture farmers are the main bottlenecks to develop a profitable aquaculture for tor fish. Hybridization or crossbreed is an attempt to get a combination between different populations to produce offspring inheriting superior characters. A reciprocal hybridization between Tor soro (Ts), Tor douronensis (Td), and Tor tambroides (Tt) was carried out to assess the success rate of hybridization between the three species. The study used an experimental design with six treatments and three replications to measure and compare hybridization and survival parameters between the species. The highest fertilization rate attained by hybridization Td >< Ts (93.66 ± 1.15%, the highest hatching rate was achieved by Td >< Ts (88.00 ± 1.00%), the highest weight specific growth rate was gained by hybridization Ts >< Td and Ts >< Tt (5.62 ± 0.17%; 5.44 ± 0.06%), the highest lenght specific growth rate was achieved by hybridization Ts >< Td (1.79 ± 0.11%) and highest survival rate was resulted from hybridization between Tor tambroides >< Tor tambroides (90.33 ± 1.52%). The observed heterosis (degree of fertilization rate, hatching rate, growth rate, and survival rate until the age of 41 days) showed that all parameter characters were negative, except for the weight-specific growth rate characters. This study concludes that hybridization have an impact on increasing the number of abnormal larvae produced compared to their parents (pure-breed).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document