scholarly journals PSYCHOLOGICAL APPROACHES TO THE SONG OF SONGS

2017 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 658-672
Author(s):  
Pieter Van der Zwan

Within the broader psychological biblical criticism this study intends to motivate why psychological approaches to the text of the Song of Songs make sense for a meaningful reception, which kinds of psychological approaches suit this analysis the most, and how they could be utilised for analysing and interpreting the characters that feature in this lyric love poetry, with a special focus on the unconscious way they perceive their bodies and those of others

2004 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 653-675 ◽  
Author(s):  
Eben Scheffler

This article reflects on the contribution  that can  be made to the interpretation of the Bible by employing the analytical psychology of Carl Jung. After some relevant biographical considerations on Jung, his view of religion and the Bible is briefly considered, followed by a look into Genesis 1-3 in terms of his distinction of archetypes. It is suggested in the conclusion that Jungian psychological Biblical criticism can lead to a changed, but fresh view on the ‘authority’ or influence of the Bible in the lives of (post)modern human beings and their (ethical) behaviour.


1993 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
pp. 265-284 ◽  
Author(s):  
Athalya Brenner

AbstractThree characteristic features of the Song of Songs are its (a) disjointed or absent plot, (b) gynocentrism and (c) lack of theocentrism. Recognition of these features facilitates a reassessment of the book's allegorical readings, be they ancient or modern, Jewish or Christian, religious or ostensibly secular. The principal readings discussed are Rabin's reconsideration of the Song's intrinsic allegorical properties with reference to Tamil love poetry; M. Cohen's on the Song and Jewish mystical literature (the Shiur Qomah and Hekhalot Rabbati); Murphy's position of reading mutually reflected human love and divine love in the Song; Pope's identification of the Song's assumed, single female protagonist as a black goddess; and Fox's rejection of allegory because of his definitions of metaphor, metaphoric distance and meaning. In conclusion, some reflections on the (ancillary) development of the Jewish allegorical tradition and its links with the Song's cannonization are offered.


Author(s):  
Erik Gray

This chapter describes the invitation poem, a genre of love poetry with its roots in the biblical Song of Songs that reflects on major questions that have always surrounded the nature of love. Does love entail recognition or fresh discovery, a completion of the self or a disruption of its contours? Is love primarily a natural passion or a cultural practice? The invitation poem, with its displacement of erotic desire onto an imagined landscape, negotiates these possibilities through its fusion of inward and outward, homecoming and exile, intimacy and alienation. The tradition initiated by the Song of Songs alters over the centuries, as poets including Christopher Marlowe and Charles Baudelaire, among many others, highlight different points of contact between the poetic and erotic imagination. The invitation genre can thus be seen as an archetypal form of love lyric, emphasizing some of the central paradoxes that link love to poetry.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-13
Author(s):  
Paulus Dimas Prabowo

A popular interpretation of the Song of Solomon states that the love poetry in it is a description of the relationship between God and His people. The Jews interpreted it as the relationship between Yahweh and Israel (allegorical), while Christians interpreted it as the relationship between Christ and the church (Christological). However, if one considers the genre of the book, the use of the Hebrew word dod, and the close praise for Solomon and the Shulamite, it would be argued that the Song of Songs contains a celebration of eros love between man and woman as an offering God that can be enjoyed. Song of Songs also presents another dimension in all of its articles, namely the values about the love relationship between a man and a woman. This article is written to explore the didactic aspects of the love relationship between a man and a woman in the entire Song of Songs. The method to be used is thematic analysis, using a literal perspective that takes into account the rules of Hebrew poetry. Finally, it found the didactic aspects of love in it including the right timing, a binding marriage, a charming character, equality, strong loyalty, role as a friend, communication, and solving problems quickly.Penafsiran yang populer terhadap Kidung Agung menyatakan bahwa puisi cinta di dalamnya merupakan penggambaran dari hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya. Orang Yahudi memaknainya sebagai hubungan antara Yahweh dengan umat Israel (alegoris), sedangkan orang Kristen memaknainya sebagai hubungan antara Kristus dengan gereja (Kristologis). Namun bila mempertimbangkan genre kitab, pemakaian kata Ibrani dod, dan adanya puji-pujian fisik yang begitu intim antara Salomo dengan gadis Sulam, maka akan dimengerti bahwa Kidung Agung berisi selebrasi tentang cinta eros antara lelaki dan wanita sebagai pemberian Tuhan yang perlu dinikmati. Tidak sekedar urusan seksualitas dan sensualitas, Kidung Agung juga menyajikan dimensi lain di dalam seluruh pasalnya, yakni nilai-nilai pengajaran tentang hubungan cinta antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Artikel ini ditulis untuk mengupas aspek didaktis tentang hubungan cinta seorang laki-laki dan seorang wanita di dalam seluruh kitab Kidung Agung. Metode yang akan dipakai adalah analisis tematis, dengan memakai perspektif literal yang memperhatikan kaidah-kaidah puisi Ibrani. Akhirnya, ditemukanlah aspek didaktis tentang cinta di dalamnya meliputi waktu yang tepat, pernikahan yang mengikat, karakter yang memikat, persamaan derajat, kesetiaan yang kuat, peran sebagai sahabat, komunikasi yang hangat, dan penyelesaian masalah dengan cepat.


2017 ◽  
Vol 67 (2) ◽  
pp. 171-186
Author(s):  
M. L. Case

As is typical of the metaphorical nature of poetry, the Song of Songs describes sexual activities indirectly, without giving any explicit references. As a result, interpreters often hesitate to define the exact practices portrayed in any given verse. For example, both Song 2:16 and 6:3 describe the male lover as “he who grazes among the lotuses.” Many scholars read these verses as some type of sexual activity, but do not specifically define the action. Using comparative evidence from Egyptian and Sumerian love poetry, as well as contextual analysis of these verses within the Song as a whole, I argue that these verses depict a particular type of love-making, cunnilingus. According to my reading, Song 2:16 and 6:3 focus exclusively on the sexual pleasure of the two partners, disregarding other potential benefits of sexual intercourse, such as reproduction, giving us a rare glimpse into a particular sexual practice in ancient Israel.


2015 ◽  
Vol 14 (1) ◽  
pp. 144-147
Author(s):  
Martin Harun

Beberapa puluh tahun yang lalu Steven McKenzie menjadi editor sebuah kumpulan karangan yang berjudul To Each Its Own Meaning: An Introduction to Biblical Criticism and their Application (1993). Dalam bunga rampai itu dibahas metode-metode penelitian lama yang berfokus pada latar belakang sejarah teks (penelitian sumber, sejarah tradisi, jenis sastra, peredaksian), cara-cara penelitian literer yang lebih baru (seperti penelitian strukturalis, pasca-strukturalis, naratif, atau reader’s respons) dan beberapa yang lain (penelitian ilmu sosial, kanonik, atau retorika). Dalam dua puluh tahun sejak terbitan itu banyak pendekatan baru berkembang, misalnya, dalam symposia pertemuan para pakar Alkitab nasional dan internasional, dan dalam banyak monograf, bunga rampaidan artikel Jurnal. Untuk membantu pembaca mengikuti perkembangan cepat itu, kini McKenzie & Kaltner menerbitkan New Meanings for Ancient Texts. Mereka memilih sembilan pendekatan yang makin berpengaruh dan meminta kepada pionir-pionir utama setiap pendekatan untuk memberi deskripsi pendekatannya yang jelas bagi non spesialis dan mengilustrasikannya dengan meneliti satu atau beberapa teks contoh.   Judul bab dari beberapa di antara kesembilan pendekatan itu barangkali segera ditanggap pembaca, karena sudah lebih lama dikenal. Misalnya, “Psychological Biblical Criticism” (D. Andrew Kille, pp. 137-154) dan “Ecological Criticism” (Norman Habel, pp. 39-58). Pendekatan-pendekatan ini agaknya dimuat di sini karena mengalami pergeseran paradigma dalam beberapa dasa warsa terakhir. Juga tidak baru di telinga pembaca akademis adalah “Postcolonial Biblical Criticism”(Warren Carter, pp. 97-116) dan “Postmodernism” (Hugh Pyper, pp. 117-136). Postmodernisme yang membongkar cerita-cerita besar seperti sejarah keselamatan Alkitab dan mau menyadarkan pembaca bahwa banyak jawaban kita selama ini sesungguhnya kurang pasti daripada dikira, meluas di dunia tafsir Barat; sedangkan penelitian Alkitab pascakolonial yang meneliti hubungan dominasi dan subordinasi dalam teksteks Alkitab dan dampaknya dalam sejarah kolonialisme dan lanjutannya dalam masa pasca-penjajahan, sekarang ini menjadi sangat aktual dalam distorsi relasi antara Selatan dan Utara. “New Historicism” (Gina Hens-Piazza, pp. 59-76) tidak lagi mencoba merekonstruksi realitas sejarah di belakang teks (seperti dilakukan oleh Historical Criticism), tetapi dengan cara yang multidisipliner meneliti teks sebagai representasi dari realitas kultural, sosial, politik, dan sebagainya, sambil melepaskan distingsi antara  literatur dan sejarah, juga antara pengarang dan pembaca, antara arti dulu dan arti sekarang. Dekat tetapi berbeda dengan itu “Cultural-Historical Criticism of the Bible” (Timothy Beal, pp.1-20) meneliti bagaimana kata, kiasan, objek dan ide dalam Alkitab menerima bentuk dan artinya dalam konteks kebudayaan tertentu yang memproduksikannya atau mereproduksikannya. “The Bible and Popular Culture” (Linda Schearing and Valerie Ziegler, pp. 77-96) kurang berfokus pada Alkitab sendiri tetapi menganalisa bagaimana teks-teks tertentu berfungsi dalam ungkapan-ungkapan budaya rakyat, lelucon, iklan, komik, seni, film, dll., juga mengingat pergeseran yang kini terjadi dari budaya teks tertulis ke apropriasi visual. “Disability Studies and the Bible” (Nasya Junior and Jeremy Schipper, pp. 21-38) dan apa yang disebut “Queer Criticism” (Ken Stone, pp. 155-176) meneliti Alkitab dari situasi kelompok-kelompok tertentu, entah mereka orang-orangcacat yang banyak muncul dalam teks-teks Alkitab yang dapat dimengerti lebih baik dari dalam pengalaman invaliditas; atau mereka yang dari sudut seks dan jender berada dalam posisi yang tidak menguntungkan atau bahkan ditolak. Di sini a.l. tempatnya penelitian Alkitab komunitas gay and lesbian, dan lebih awal feminisme.   ........................   Apakah bunga rampai tentang pelbagai pendekatan baru ini penting untuk seorang yang sudah cukup puas dengan metodenya selama ini atau yang menerima Alkitab sebagai buku yang mempunyai otoritas terhadap dirinya dan jemaatnya? Keberatan (kita) yang sudah lama diajukan terhadap pendekatan tersebut, pada akhir setiap karangan dengan jujur dikemukakan dan diberi tanggapan singkat. Membaca contoh-contoh penafsiran dalam bunga rampai ini, saya sering merasa diajak ke dalam suatu perjalanan yang berbelit-belit. Tetapi setelah beberapa tikungan muncul juga pemandangan menarik dan berharga yang belum pernah saya perhatikan selama ini. Selain itu, setiap artikel mulai dengan pengantar umum tentang, misalnya, fenomen postmodernisme, ilmu ekologi, atauqueer criticism yang sudah lebih lama dikembangkan di akademi umum, dan baru sekarang mulai dipakai juga untuk analisa teks-teks biblis. Pengantar-pengantar itu saja memberi gambaran menarik tentang masalah-masalah yang dewasa ini digumuli dalam komunitas global. Setuju atau tidak, mengetahuinya penting untuk keduanya. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document