scholarly journals Legitimasi Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah

2018 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 127
Author(s):  
Marulak Pardede

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) menimbulkan permasalahan hukum sehubungan dengan dilakukan dengan cara hanya memilih kepala daerah saja atau bersama sama satu paket dengan wakilnya. Aturan yang berlaku dewasa ini, pilkada hanya untuk memilih kepala daerah, tidak termasuk wakilnya. Sebagai konsekuensinya wakil kepala daerah tidak otomatis menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap, tetapi harus dilakukan  pemilihan melalui DPRD, dengan calon yang diajukan oleh partai pengusung kepala daerah yang diganti. Berdasarkan fakta, pilkada satu paket menimbulkan persoalan setelah mereka terpilih dan memerintah diantara kepala dan wakilnya. Legitimasi kepala daerah dan wakilnya mempunyai derajat yang berbeda, dua-duanya jabatan politik, bukan jabatan karier. Permasalahan hukum tentang legitimasi kepemimpinan kepala daerah dan wakil, dapat dikemukakan sebagai berikut, yaitu: Bagaimanakah dinamika perkembangan hukum tentang pemilihan kepala/wakil kepala daerah di Indonesia?; dan Bagaimanakah legitimasi pemilihan kepala/wakil kepala daerah dalam pemerintahan otonomi daerah di Indonesia? Dengan menggunakan metode perbandingan hukum dan metode pendekatan yuridis normatif dan sosiologis; serta tipe penelitian deskriptif; Alat Penelitian studi kepustakaan/normatif (library studies), dan studi dokumen (documentary studies) dari bahan primer dan sekunder, dan metode analisis data kualitatif, dapat dikemukakan bahwa: Dengan hanya memilih kepala daerah, berarti telah sesuai dengan amanat Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945, yaitu hanya memilih kepala daerah saja (gubernur, walikota, bupati). Tidak ada ketentuan di dalam konstitusi yang mengatur tentang wakil kepala daerah, sebagaimana diaturnya ketentuan tentang wakil presiden.Wakilnya dipilih sendiri oleh kepala daerah terpilih, sesuai juga dengan Perpu Pilkada. Oleh karenanya di masa mendatang sistem pemilihan kepala daerah perlu ditinjau ulang.

2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Hun Johanis A. Pinatik ◽  
Izak Y. M. Lattu ◽  
Rama Tulus Pilakoannu

This article aims to explore the conversion of Minahasa and Christianity religion through mutually constructed efforts carried out by the community of ritual practitioners in Watu Pinawetengan. This research focuses on the mutual change between Minahasa religion and Christianity in rituals through the construction of a symbolic encounter by the ritual-playing community at Watu Pinawetengan. For ritual practitioners, Watu Pinawetengan is a sacred place Tou Minahasa (Minahasa man) that is located in North Sulawesi Province, Minahasa Regency. Individuals in a community construct the meaning of each symbol, thus creating a paradigm of religion. Sacred symbols refer to the essence of a belief in religion, so it is crucial in describing the existence of a religion. The data is taken through the use of qualitative methods by conducting observations, interviews, library studies, and documentary studies. The findings of this study show that changes in sacred symbols in rituals have been constructed in Minahasa and Christian discourses, resulting in a mutual change in both religions. Change occurs dialectically and is strengthened by the legitimacy of the ancestral spirit.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menggali perubahan agama Minahasa dan Kristen melalui upaya saling mengonstruksi yang dilakukan oleh komunitas pelaku ritual di Watu Pinawetengan. Fokus penelitian pada perubahan bersama, antara agama Minahasa dan Kristen dalam ritual melalui konstruksi perjumpaan simbol oleh komunitas pelaku ritual di Watu Pinawetengan. Bagi pelaku ritual, Watu Pinawetengan merupakan tempat sakral Tou Minahasa (manusia Minahasa) yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Minahasa. Individu-individu dalam komunitas mengonstruksi makna dari setiap simbol sehingga menciptakan paradigma fundamen tentang agama. Simbol sakral merujuk pada esensi dari suatu kepercayaan dalam agama, sehingga bersifat krusial dalam menggambarkan eksistensi suatu agama. Data diambil melalui penggunaan metode kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara, studi pustaka, dan studi dokumenter. Temuan dari studi ini memperlihatkan perubahan simbol sakral dalam ritual telah dikonstruksi dalam diskursus agama Minahasa dan Kristen, sehingga mengakibatkan perubahan bersama pada kedua agama tersebut. Perubahan terjadi secara dialektis dan diperkuat dengan legitimasi roh leluhur. 


Author(s):  
Evgenia Guseva

The author examines innovations as an aspect of science advancement. This phenomenon is interpreted within the context of contemporary philosophic concepts which has an impact on building research strategies in library studies in the contemporary information postindustrial society.


Author(s):  
Nikolay Mazov ◽  
◽  
Vadim Gureyev ◽  
◽  
◽  
...  

Twenty two science Russian periodicals in informatics and library studies are selected for the bibliometrical analysis of key journal indicators, including publication activity of the same journals’ editorial staff. For the first time for domestic journals, the study reveals hidden self-citation when editorial members include links to their journal from other publications. The available instruments of scientometrical databases, including Web of Science and Scopus, and the national system Russian Science Citation Index do not enable to identify this form of self-citation. The mentioned manipulations are aimed at boosting journal rating. In several cases, intensive and unjustified citation by journals’ editorial staff in other periodicals which we consider the violation of publication ethical principles, is revealed.


Author(s):  
David James Hudson

Drawing on a range of critical race and anti-colonial writing, and focusing chiefly on Anglo-Western contexts of librarianship, this paper offers a broad critique of diversity as the dominant mode of anti-racism in LIS. After outlining diversity's core tenets, I examine the ways in which the paradigm's centering of inclusion as a core anti-racist strategy has tended to inhibit meaningful treatment of racism as a structural phenomenon. Situating LIS diversity as a liberal anti-racism, I then turn to diversity's tendency to privilege individualist narratives of (anti-)racism, particularly narratives of cultural competence, and the intersection of such individualism with broader structures of political-economic domination. Diversity's preoccupation with demographic inclusion and individual behavioural competence has, I contend, left little room in the field for substantive engagement with race as a historically contingent phenomenon: race is ultimately reified through LIS diversity discourse, effectively precluding exploration of the ways in which racial formations are differentially produced in the contextually-specific exercise of power itself. I argue that an LIS foregrounding of race as a historical construct - the assumption of its contingency - would enable deeper inquiry into the complex ways in which our field - and indeed the diversity paradigm specifically - aligns with the operations of contemporary regimes of racial subordination in the first place. I conclude with a reflection on the importance of the Journal of Critical Information and Library Studies as a potential site of critical exchange from which to articulate a sustained critique of race in and through our field.


Author(s):  
Oksana P. Soldatkina

On the meeting of the Editorial Board of the journal “Library Studies” (“Bibliotekovedenije”) in the Russian State Library on March 2, 2010.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document