KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

91
(FIVE YEARS 61)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Institut Agama Kristen Negeri Ambon

2656-4483, 2460-6901

2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Stephen Rehmalem Eliata

This paper is a study of the question of how can human beings carry out a call that 'becoming like God'? To answer this question, a construction model of ideas referred to as 'self-actualizing' is mentioned in this paper. It will be presented in two main theses. First, Aquinas's epistemology-metaphysical concept can be a solution to the unclear in understanding the idea of 'becoming like God'. Second, with the participation of Heidegger's thinking on the concept of dasein, mankind can find concrete steps in trying to become like God, namely by actualizing all the potential they have. This paper uses a literature study by examining and analyzing the literature related to the relevant topic. The conclusion in this paper is that the potential that humans have is always in a continuous process to pursue their actuality. This is similar to God Himself who is a pure act.AbstrakTulisan ini merupakan sebuah telaah atas pertanyaan bagaimana manusia dapat melaksanakan panggilan 'menyerupai Allah'? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebuah model konstruksi gagasan yang disebut sebagai 'mengaktualisasikan diri' diajukan dalam tulisan ini. Hal ini akan dipaparkan dalam dua tesis utama, yaitu, pertama, bahwa konsep epistemologi-metafisika tradisi Aquinas dapat menjadi solusi atas kekaburan dalam memahami gagasan tentang 'menyerupai Tuhan'. Kedua, bahwa dengan partisipasi pemikiran Heidegger mengenai konsep dasein, maka manusia dapat menemukan langkah konkret dalam berupaya untuk Menyerupai Allah, yakni dengan mengaktualisasikan segala potensi yang ia miliki. Tulisan ini menggunakan studi pustaka dengan memeriksa dan menganalisis literatur terkait topik yang relevan. Kesimpulan dalam tulisan ini yaitu potensi yang manusia miliki selalu berada dalam sebuah proses terus-menerus untuk mengejar aktualitasnya. Hal tersebut serupa dengan Allah sendiri yang adalah pure act.


2022 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Hun Johanis A. Pinatik ◽  
Izak Y. M. Lattu ◽  
Rama Tulus Pilakoannu

This article aims to explore the conversion of Minahasa and Christianity religion through mutually constructed efforts carried out by the community of ritual practitioners in Watu Pinawetengan. This research focuses on the mutual change between Minahasa religion and Christianity in rituals through the construction of a symbolic encounter by the ritual-playing community at Watu Pinawetengan. For ritual practitioners, Watu Pinawetengan is a sacred place Tou Minahasa (Minahasa man) that is located in North Sulawesi Province, Minahasa Regency. Individuals in a community construct the meaning of each symbol, thus creating a paradigm of religion. Sacred symbols refer to the essence of a belief in religion, so it is crucial in describing the existence of a religion. The data is taken through the use of qualitative methods by conducting observations, interviews, library studies, and documentary studies. The findings of this study show that changes in sacred symbols in rituals have been constructed in Minahasa and Christian discourses, resulting in a mutual change in both religions. Change occurs dialectically and is strengthened by the legitimacy of the ancestral spirit.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menggali perubahan agama Minahasa dan Kristen melalui upaya saling mengonstruksi yang dilakukan oleh komunitas pelaku ritual di Watu Pinawetengan. Fokus penelitian pada perubahan bersama, antara agama Minahasa dan Kristen dalam ritual melalui konstruksi perjumpaan simbol oleh komunitas pelaku ritual di Watu Pinawetengan. Bagi pelaku ritual, Watu Pinawetengan merupakan tempat sakral Tou Minahasa (manusia Minahasa) yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Minahasa. Individu-individu dalam komunitas mengonstruksi makna dari setiap simbol sehingga menciptakan paradigma fundamen tentang agama. Simbol sakral merujuk pada esensi dari suatu kepercayaan dalam agama, sehingga bersifat krusial dalam menggambarkan eksistensi suatu agama. Data diambil melalui penggunaan metode kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara, studi pustaka, dan studi dokumenter. Temuan dari studi ini memperlihatkan perubahan simbol sakral dalam ritual telah dikonstruksi dalam diskursus agama Minahasa dan Kristen, sehingga mengakibatkan perubahan bersama pada kedua agama tersebut. Perubahan terjadi secara dialektis dan diperkuat dengan legitimasi roh leluhur. 


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Maria Theofani Widayat

This article aims to build awareness of the gender equality issues in the history of Christianity through historical research. The subject of the research is the history of missions in East Java, especially in 1812-1848. Therefore, this study employs an analysis of gender and power relations both through feminist theory initiated by Kwok Pui Lan and also orientalism theory brought by Edward Said in examining the history of mission in East Java on that period. The characters appointed as the research subjects are Johannes Emde and Coenrad Laurens Coolen, along with their wives and children. They are the pioneers in introducing the gospel to the Javanese in East Java, thus become the foundations of the Christian community in East Java. In particular, the life of Emde and Coolen are so intertwined with the history of the East Java Christian Church (GKJW). However, there is a gender gap found in the mission by Emde and Coolen. In response, this research is conducted to keep building the awareness of gender justice as the history of Christianity carry on.AbstrakTulisan ini adalah bentuk upaya membangun kesadaran terhadap keadilan gender atas sejarah Kekristenan melalui penelitian pada sejarah pekabaran Injil di Jawa Timur khususnya pada tahun 1812-1848. Untuk itu penelitian ini menggunakan analisis gender dan relasi kuasa melalui teori feminis yang digagas oleh Kwok Pui Lan dan teori orientalisme yang dibawa oleh Edward Said dalam menelaah sejarah pekabaran Injil di Jawa Timur pada periode tersebut. Tokoh-tokoh yang diangkat adalah Johannes Emde dan Coenrad Laurens Coolen, beserta istri dan anaknya. Mereka memiliki andil besar dalam mengenalkan Injil dan menjadi pondasi komunitas Kristen di Jawa Timur. Utamanya tokoh Emde dan Coolen yang begitu melekat pada sejarah Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Namun dalam proses pekabaran Injil yang dilakukan oleh Emde dan Coolen lekat dengan ketimpangan gender. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan supaya terus terbangun kesadaran pada keadilan gender dalam membaca dan melanjutkan sejarah Kekristenan di mana saja.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Christina Dameria ◽  
Dewi Shinta Bratanata

Eating together is a culture that was born along with human civilization. Eating together becomes a symbol in both religious and cultural rituals. Christianity notes that eating together becomes a medium in spreading the gospel that Jesus and His disciples did. The symbolic meaning presented in the practice or culture of eating together is acceptance and fellowship. Acceptance is defined as a space to acknowledge the equality of fellow human beings, which creates a sense of solidarity. At the same time, the fellowship provides space to connect. In addition, eating together fulfills the body's physical needs for hunger and restores the freshness of the soul from fatigue. This article tries to connect symbols in eating together to present spirituality in viewing other creations, namely nature that has been damaged. Natural damage needs to be seen as a reality that must be faced and resolved t in the spirituality of eating together. Another creation is nature being the poor, oppressed, marginalized and sick. The solidarity presented in the moment of eating together becomes a new perspective in seeing the context of the destruction of nature and the awareness to build the disconnected interconnection of fellow creations.AbstrakMakan bersama merupakan budaya yang lahir seiring dengan peradaban manusia. Makan bersama menjadi simbol baik dalam ritual keagamaan maupun budaya. Kekristenan mencatat bahwa makan bersama menjadi sebuah media dalam mengabarkan Injil yang dilakukan Yesus dan para murid-Nya. Makna simbolik yang dihadirkan dalam ritual atau budaya makan bersama adalah penerimaan dan persekutuan. Penerimaan diartikan sebagai sebuah ruang untuk mengakui adanya persamaan terhadap sesama manusia yang menimbulkan rasa solidaritas. Sedangkan persekutuan memberikan ruang untuk saling terhubung satu dengan yang lain. Selain itu makan bersama tidak sekadar memenuhi kebutuhan fisik tubuh akan rasa lapar tetapi juga mengembalikan kesegaran jiwa akan rasa lelah. Artikel ini mencoba menghubungkan simbol-simbol dalam makan bersama untuk menghadirkan spiritualitas dalam memandang ciptaan lain yaitu alam yang telah rusak. Kerusakan alam perlu dipandang sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan diselesaikan bersama dalam spiritualitas makan bersama. Ciptaan lain yaitu alam menjadi yang miskin, tertindas, tersingkir dan sakit. Solidaritas yang dihadirkan dalam momen makan bersama menjadi sebuah perspektif baru dalam melihat konteks kerusakan alam dan kesadaran untuk membangun interkoneksi sesama ciptaan yang terputus.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Bobby Daniel Nalle

Secularization and digital culture are the influencing aspects that define the characteristics of religious societies in the 21st century. As a formation of the history of social change, these two elements greatly determine the efforts of religion, in doing theology and church services at the present, in the term of digital theology. Indeed, It is determined by the surprising rise of the COVID-19 pandemic which forces religious efforts to deal with digital things. As a new experience, digital theology seeks a form as to how the social change made it. Elements such as secularization,  digital culture, and church formation become the important aspects to determine the direction of doing theology. Based on these new experiences, this paper will describe a sketch of how to doing digital theology in Indonesia, especially in the case of GMIT. With the theology of incarnation as the frame, digital theology puts the relational substance (God-human, among human relationships and between the real and digital world. As the digital world as a locus, digital theology therefore over a liquid digital church and the presensia-accompaniment model of a church mission to be the sketch of doing theology in the digital context in Indonesia.AbstrakSekularisasi dan kultur digital adalah dua elemen yang berpengaruh dalam ciri keberagamaan masyarakat religius di abad ke 21. Sebagai bentukan dari sejarah perubahan sosial, kedua hal ini sangat menentukan upaya  beragama, berteologi dan bergereja  dalam konteks kekinian.  Salah satu istilah yang dikedepankan adalah teologi digital. Bentuk berteologi digital saat ini justru didorong oleh situasi pandemi COVID-19. Sebagai sebuah pengalaman dadakan dan baru berteologi secara digital menjadi upaya mencari bentuk mengikuti perubahan sosial` Elemen seperti sekularisasi dan kultur digital dan geliat beragama menjadi aspek yang menentukan arah berteologi. Dengan berpatokan pada pengalaman baru inilah tulisan ini berkenan memberikan gambaran sketsa berteologi digital di Indonesia melalui pengalaman bergereja di GMIT. Payung teologi inkarnasi yang dipakai sebagai usulan berteologi, mendasari keterkaitan relasional baik antara Allah dan manusia, antar-manusia maupun antara  dunia real dan digital. Dalam memaknai ruang digital menjadi locus berteologi, maka sketsa gereja cair digital, dan model kehadiran digital presensia dan accompaniment menjadi sebuah tawaran bergereja dan bermisi dalam konteks digital di Indonesia.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Fransisco De Kr. Anugerah Jacob

This article aims to examine and analyze how Christian education was carried out in the Timor residency during the time of the Nederlansch Zendeling Genootschap. Based on the results of the discussion, it is clear that education is a key element in the pattern of NZG evangelism. Therefore, education could never be separated from evangelism. Instead, the final destination of education is the expansion of the gospel message. The seeds of the gospel were introduced to local people through education. In its journey, the education during the NZG continued to experience ups and downs. There are problems caused by internal factors, but some are caused by external conditions. Even so, the NZG consistently continues to pay attention to the running of education services. The Christian education that has been carried out by the NZG brought a big impact on the social life of the people in the Residency of Timor.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana jalannya pendidikan Kristen di Keresidenan Timor pada masa Nederlansch Zendeling Genootschap. Berdasarkan hasil pembahasan, nyatalah bahwa pendidikan menjadi elemen kunci dalam pola pekabaran Injil NZG. Karena itu, pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari pekabaran Injil. Malahan, muara dari pendidikan adalah perluasan pekabaran Injil. Sebab, melalui pendidikan, benih-benih Injil mulai diperkenalkan kepada orang-orang lokal. Dalam perjalanannya, dunia pendidikan pada masa NZG terus mengalami pasang surut. Ada persoalan-persoalan yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, namun ada juga yang disebabkan oleh kondisi eksternal. Walau begitu, NZG secara konsisten terus memberikan perhatian terhadap jalannya pelayanan pendidikan. Pendidikan Kristen yang dijalankan oleh NZG pada akhirnya membawa dampak besar terhadap kehidupan sosial masyarakat di Keresidenan Timor. 


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Hanny Setiawan ◽  
Yonatan Alex Arifianto

A learning process is aimed toward outcomes.  The desired outcomes are the initial point to construct the proper conceptual framework to describe the theoretical foundation of research. Spirituality and spiritual behaviour are two outcomes that Christian Education thinkers agreed upon from Old Testament to now. The meeting between Greeco-Roman and Jewish culture had somewhat changed the trajectory of how Christian Education developed. The Greek cognitive-based learning has influenced the initial Christian Education which is Jewish learning system. This article attempts to describe how spirituality, spiritual behaviour, and spiritual knowledge serve as the ultimate outcomes of Christian Education. The description will fit with the role of the Holy Spirit in the overall process of Christian Education in any given scope. As a result, this article will construct a conceptual framework that can be utilized further to design a biblical curriculum that is not merely cognitively measurable but also to provide an intentional outcome of spirituality and spiritual behaviour.  The revised Bloom’s taxonomy will be used to bridge both worlds: the cognitive, and non-cognitive.  In conclusion, this article shows that the supernatural work of Holy Spirit is not against the natural work of Holy Spirit through teacher and student relationships in Christian Education, but both work together.  AbstrakProses pembelajaran ditujukan untuk mencapai suatu hasil. Hasil yang diinginkan merupakan titik awal untuk membangun kerangka konseptual yang tepat untuk mendeskripsikan landasan teoritis sebuah penelitian. Spiritualitas dan perilaku spiritual adalah dua hasil yang disepakati oleh para pemikir pendidikan Kristen dari zaman Perjanjian Lama hingga sekarang. Pertemuan antara budaya Yunani-Romawi dan Yahudi telah mengubah lintasan (trajectory) Pendidikan Kristen berkembang. Pembelajaran berbasis kognitif Yunani telah mempengaruhi sistem pembelajaran Yahudi. Artikel ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana spiritualitas, perilaku spiritual, dan pengetahuan spiritual berfungsi sebagai hasil akhir dari Pendidikan Kristen. Hasil akhir tersebut dapat menggambarkan secara konseptual peran Roh Kudus dalam keseluruhan proses Pendidikan Kristen dalam lingkup apa pun. Sebagai hasil akhir, artikel ini akan menyajikan bangunan kerangka konseptual yang dapat digunakan lebih jauh untuk merancang kurikulum alkitabiah yang tidak hanya dapat diukur secara kognitif, tetapi juga untuk memberikan hasil yang disengaja dari spiritualitas dan perilaku spiritual. Taksonomi Bloom yang telah direvisi akan digunakan untuk menjembatani kedua dunia: kognitif dan non-kognitif.  Artikel ini menunjukkan bahwa pekerjaan supernatural Roh Kudus tidak bertentangan dengan pekerjaan alami Roh Kudus melalui hubungan guru dan murid dalam pendidikan Kristen, tetapi keduanya bekerja sama.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Lisa Marpaung

This paper aims to explore and document the concept and meaning of dowry in the Isirawa people bride exchange system, determines its impact on women and children, and provides a reflective analysis from a feminist point of view regarding the dowry payment system. The research used the feminist ethnography qualitative method through literature studies, interviews, and observations. The results found that the dowry exchange system, when viewed from a positive side, means that women or children are considered very valuable and vital for the Isirawa community, namely to strengthen kinship between families and clumps, to continue the clan, as a tool of peace in a conflict as prevention of domestic violence. However, on the other hand, it has a negative impact that is more detrimental to women, namely limiting women's rights, violence, and unfair treatment of women and children. So, it needs to be criticized and consider changing some parts of the tradition that marginalize them by providing solutions, understandings, and new Christian values not to eliminate the existing culture but continue to enable carrying out the tradition for the welfare of the people without harming the other.AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendokumentasikan konsep dan makna maskawin dalam sistem perkawinan tukar pada Suku Isirawa, melihat dampaknya bagi perempuan dan anak, serta memberikan analisis reflektif dari sudut pandang feminis mengenai hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif etnografi feminis, melalui studi kepustakaan, wawancara, dan observasi. Hasilnya ditemukan bahwa pada sistem tukar-menukar maskawin tersebut jika dilihat dari sisi positif memiliki makna perempuan atau anak dianggap sangat berharga dan penting bagi masyarakat Isirawa, yakni untuk mempererat kekerabatan antar keluarga dan rumpun, meneruskan marga, dan sebagai alat perdamaian konflik seperti untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi, di sisi lain memiliki dampak negatif yang merugikan, beberapa di antaranya membatasi hak-hak perempuan, terjadi kekerasan, dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian, perlu dikritisi dan dipertimbangkan untuk mengubah beberapa bagian tradisi yang memarinalkan tersebut dengan bersama-sama memberi solusi, pemahaman, dan nilai Kristiani yang baru, sehingga tidak serta-merta menghilangkan total budaya yang ada. Sebaliknya, tradisi tetap dapat terlaksana untuk menyejahterakan umat tanpa merugikan salah satu pihak.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Osian Orjumi Moru

This article aims to systematically and contextually explain the events of human trafficking that occurred in the Genesis 37: 12-23 story. This article was written using a qualitative method with a hermeneutic approach and literature study. Through these methods and practices, the writing of this article presents a series of written information data about the causes, forms and effects of the trafficking incident that occurred in the story of the character Yusuf in Genesis 37: 12-23. Theoretically, the human trafficking incident that happened in the character of Yusuf in Genesis 37: 12-23 is a form of crime against humanity in the form of slavery which involves the exploitation of economic and social factors. As a result, as the main character in this incident, Yusuf experienced various acts of physical and mental violence as a logical consequence of the trafficking incident he shared. These acts of physical and psychological violence have a broad impact on the journey of life and the growth of Yusuf's human dimension. The record of the sale of the figure of Yusuf in the Elohis traditional text ended with the recovery of the victim's trauma through a restitution approach and spiritual maturity. Both methods are essential contributions to the contextualization of Yusuf's story for the problem of human trafficking today.ABSTRAKArtikel ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan secara sistematis dan kontekstual tentang peristiwa perdagangan manusia yang terjadi dalam kisah Kejadian 37: 12-23. Artikel ini ditulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutik dan studi kepustakaan. Melalui metode dan pendekatan tersebut, penulisan artikel ini menyajikan serangkaian data informasi tertulis tentang sebab, bentuk dan akibat dari peristiwa perdagangan manusia yang terjadi pada kisah tokoh Yusuf dalam Kejadian 37: 12-23. Secara teoritis, peristiwa perdagangan manusia yang menimpa tokoh Yusuf dalam Kejadian 37:12 -23 merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan berupa perbudakan yang melibatkan eksploitasi faktor ekonomi dan faktor sosial. Akibatnya, Yusuf sebagai tokoh utama dalam kejadian ini mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dan mental sebagai konsekuensi logis dari peristiwa perdagangan manusia yang dialaminya. Tindakan kekerasan fisik dan mental tersebut memiliki daya dampak luas bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan sisi kemanusiaan Yusuf. Catatan kisah perdagangan tokoh Yusuf dalam teks tradisi Elohis, diakhiri dengan adanya pemulihan trauma korban yang dilakukan melalui pendekatan restitusi dan pematangan spiritual. Kedua Pendekatan tersebut menjadi sumbangan penting terhadap pemaknaan kontekstualisasi kisah Yusuf bagi persoalan perdagangan manusia pada masa kini.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
Author(s):  
Vani Mega Rianna Mantong Tendenan

Naomi experiences the loss of her husband and two children is the opening narrative of the book of Ruth. Naomi's loss becomes an experience of faith that drives the narrative of the book of Ruth. This paper aims to eliminate the loss in the perspective of the book of Ruth specifically based on Ruth 1:1-22 by using the exegesis method that pays attention to the context, genre, and content of the text. The stages carried out are the first to explain the exegesis method, namely narrative, the second is to describe the context, the third is to analyze the genre of the book of Ruth, and the fourth is to analyze the words wattissaer, noomi, and mara. Then fifth notice the text of Ruth 1:1-22. Based on the research results on the text of Ruth 1:1-22, the authors found the word wattissaer as an indication of the cause of the emergence of the name game from Naomi from the word noomi to mara. The historical context, authorship, and theological context of the book of Ruth show the loss of Naomi as part of the experience of faith to see God's role in it. Wordplay becomes possible in the book of Ruth because its genre as a story or narrative also supports the narrator in doing so. The author sees the loss experienced by Naomi as not an ordinary loss but a loss that can be understood as part of God's test of Naomi's faith, which then changes Naomi's name to respond to complaints to God but not to suing God. AbstrakNaomi mengalami peristiwa kehilangan suami serta kedua anaknya yang merupakan narasi pembuka Kitab Rut. Kehilangan yang dialami Naomi menjadi pengalaman iman yang menggerakkan narasi Kitab Rut. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kehilangan dalam perspektif kitab Rut secara khusus berdasar pada Rut 1:1-22 dengan menggunakan metode eksegesis yang memperhatikan konteks, genre, dan isi teks. Adapun tahap-tahap yang dilakukan ialah pertama penjelasan metode eksegesis yaitu naratif, kedua penjabaran konteks, ketiga menganalisis genre dari kitab Rut, keempat analisa terhadap kata wattissaer, noomi, dan mara. Kemudian kelima menafsirkan teks Rut 1:1-22. Berdasarkan pada hasil penelitian terhadap teks Rut 1:1-22, penulis menemukan kata wattissaer sebagai indikasi penyebab munculnya permainan nama dari Naomi dari kata noomi menjadi mara. Konteks sejarah, kepenulisan dan konteks teologis kitab Rut menunjukkan peristiwa kehilangan Naomi sebagai bagian dari pengalaman iman untuk melihat peran Allah di dalamnya. Permainan kata menjadi sangat mungkin dalam kitab Rut karena genrenya sebagai cerita atau narasi juga mendukung narator dalam melakukannya. Penulis melihat kehilangan yang dialami Naomi bukanlah kehilangan biasa melainkan kehilangan yang dapat dipahami sebagai bagian dari ujian Allah terhadap iman Naomi yang kemudian perubahan nama Naomi menjadi respons keluhan kepada Allah tetapi bukan menggugat Allah. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document