Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

95
(FIVE YEARS 51)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

2599-2619, 1693-7562

2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 141
Author(s):  
Zulfikar Zulfikar

Al-Fatihah is one of the Quranic verses that have a special position. Consequently, it is obligatory to recite it every time they pray. Meanwhile practically, in the jahar prayer, some of the congregations recite the al-Fatihah, but some however rejected. There is an obligation to listen to the imam reciting. This article examines some hadiths of reciting al-Fatihah for the congregation in the jahar prayer and its wisdom. This research uses the approach of hadith studies and Islamic jurisprudence. In collecting data, the takhrij hadith method was used with hadith tracing techniques through the al-Fatihah theme. There are two stages in analyzing the data. First, by using textual and contextual understanding methods in analyzing the dilalah hadith partially. Second, using the method of al-jam’u wa al-taufiq, takhshis, tarjih, maqasid al-shari’ah, and hikmat al-tashri’ in analyzing the hadiths collectively. This study shows that reading the al-Fatihah is obligatory for every congregation except in the jahar prayer for two main reasons. First, imams represent their congregations. Second, the congregations listen to their imams carefully for orderly prayer and appreciate the meaning of the al-Fatihah which implies for the congregation character building. The congregations can remind the imams if they recite incorrecly and so that the entire congregation can recite amen at the right time together.ABSTRAKSurat Al-Fatihah merupakan surat yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur’an, sehingga umat Islam diperintahkan oleh Allah SWT untuk membacanya setiap kali melaksanakan salat. Namun dalam keseharian umat Islam berbeda praktik dalam membaca surat Al-Fatihah ketika menjadi makmum dalam salat jahar. Sebagian mereka ada yang tetap membaca surat Al-Fatihah, sementara sebagian lagi tidak membacanya karena harus menyimak bacaan imam. Permasalahan ini telah melatarbelakangi penulis untuk meneliti hadis-hadis ahkam dengan tujuan untuk mengetahui hukum membaca surat Fatihah bagi makmum dalam salat jahar menurut hadis-hadis ahkam maqbul yang relevan dengan tujuan dan hikmah persyaratan salat itu sendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu hadis dan usul fikih. Dalam pengumpulan data digunakan metode takhrij hadis dengan teknik penelusuran hadis melalui tema Al-Fatihah. Untuk menganalisis data ditempuh melalui dua tahapan, tahap pertama analisa terhadap dilalah hadis secara parsial dengan menggunakan metode pemahaman tekstual dan konstektual, tahap kedua analisa terhadap hadis secara kolektif dengan menggunakan metode, al-Jam’u Wa al-Taufiq, Takhshis, Tarjih, Maqashid al-Syari’ah dan Hikmah al-Tasyri’. Hasil analisis menyimpulkan bahwa menurut hadis-hadis ahkam bahwa membaca surat Al-Fatihah hukumnya wajib bagi setiap musalli, kecuali bagi makmum dalam salat jahar, karena ada dua alasan pokok yaitu, pertama karena bacaan imam sudah mewakili bacaan makmum, kedua, Karena makmum diwajibkan diam dan mendengar bacaan imam untuk ketertiban salat, untuk menghayati makna agung yang terkandung dalam surat Fatihah yang berimplikasi terhadap pembentukan karakter, untuk dapat menegur imam apabila salah bacaannya dan untuk dapat mengucapkan amin tepat pada waktunya.


2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 152
Author(s):  
Andri Nirwana AN

Qawaid Tafsir has a purpose, namely the rules needed by commentators in understanding the verses of the Qur'an. The rules needed by the exegetes in understanding the Qur'an include appreciation of its uslubs, understanding of its origins, mastery of its secrets and linguistic rules. Siti Aisyah's contribution in the Interpretation of the Qur'an has become a reference for many mufassirins, whose interpretation results are written in the books of Hadith, there is even a special section of the Muslim hadith books, namely the chapter on the hadith books of interpretation. How qawaid and ushul interpretation siti aisyah in the book of hadith Sahih Muslim is the goal of solving the problem of this article. The method used in this research is Systematic Literature Review (SLR) which is a systematic way to collect, critically evaluate, integrate and present findings from various research studies on research questions or topics of interest. The SLR provides a way to assess the level of quality of existing evidence on a question or topic of interest. The SLR provides a broader and more accurate level of understanding than traditional literature reviews. The results of this study were found five verses interpreted by Siti Aisyah in the book of Hadith Sahih Muslim. The details of the explanation can be seen in the discussion chapter. This research is useful for developing the results of the interpretation of the Companions in mapping the methodology of interpretation, qawaid Tafsir and Usul Tafsir.ABSTRAKQawaid Tafsir mempunyai maksud ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslub nya, pemahaman asal-asal nya, penguasaan rahasia-rahasia nya dan qaidah-qaidah kebahasaan. Kontribusi Siti Aisyah dalam Penafsiran Al Qur’an banyak menjadi referensi bagi para mufassirin, yang hasil dari penafsiran nya tersebut tertulis dalam kitab kitab Hadis, bahkan ada bagian khusus dari kitab hadis Muslim yatu bab kitab hadis tafsir. Bagaimana qawaid dan ushul tafsir siti aisyah dalam kitab hadis sahih Muslim menjadi tujuan dari penyelesaian masalah artikel ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Systematic Literature Review (SLR) adalah cara sistematis untuk mengumpulkan, mengevaluasi secara kritis, mengintegrasikan dan menyajikan temuan dari berbagai studi penelitian pada pertanyaan penelitian atau topik yang menarik. SLR menyediakan cara untuk menilai tingkat kualitas bukti yang ada pada pertanyaan atau topik yang menarik. SLR memberikan tingkat pemahaman yang lebih luas dan lebih akurat daripada tinjauan literatur secara tradisional. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukan lima ayat yang ditafsirkan oleh siti aisyah dalam kitab hadis Sahih Muslim. Adapun rincian penjelasan nya bisa melihat pada bab pembahasan. Penelitian ini berguna untuk mengambangkan hasil penafsiran para sahabat dalam pemeteaan metodologi tafsir, qawaid Tafsir dan Ushul tafsir..


2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 105
Author(s):  
Zainuddin Zainuddin

Islam consists of three main components: aqidah, worship and morals. These three components need to be harmonized in order to create harmony in religion. One of the things that need to be done in carrying out the religious component is to maintain it as well as possible. The nature of guarding and nurturing is called ri'ayah. The degrees of ri'ayah consist of ri'ayah al-a'mal (maintaining deeds), ri'ayah al-ahwal (maintaining circumstances) and ri'ayah al-awqat (maintaining time). Ri'ayah is done as proof of the sincerity of human self-servitude to Allah SWT and as a realization of the wisdom of its creation. The ultimate goal and the benefits derived from the maintenance is to get the pleasure of Allah SWT and His mercy in this world and the hereafter. Hadith of the Prophet Muhammad SAW also discusses this ri'ayah which is the reference for the people.ABSTRAKIslam terdiri dari tiga komponen utama, yakni akidah, ibadah dan akhlak. Ketiga komponen tersebut perlu diserasikan agar tercipta keharmonisan dalam beragama. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam  melaksanakan komponen agama tersebut adalah memeliharanya dengan sebaik baiknya. Sifat menjaga dan memelihara tersebut dinamakan ri’ayah. Derajat  ri’ayah terdiri dari ri’ayah al-a’mal (memelihara perbuatan), ri’ayah al-ahwal  (memelihara keadaan) dan ri’ayah al-awqat (memelihara waktu). Ri’ayah dilakukan sebagai bukti kesungguhan penghambaan diri manusia kepada Allah  swt. dan sebagai realisasi dari hikmah penciptaannya. Tujuan akhir dan manfaat  yang didapatkan dari pemeliharaan tersebut adalah mendapat rida Allah swt. dan  rahmat-Nya di dunia dan akhirat. Hadis Rasulullah saw. juga membahas tentang  ri’ayah ini yang menjadi referensi umat dalam melaksanakannya. 


2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 116
Author(s):  
Sulaiman Sulaiman

Scholars have used various approaches to understand the Qur'an because of its two main dimensions: the linguistic dimension and its content. Those are a great combination that cannot be matched by anyone, even though all have gathered to match it. One such approach is the stylistic approach. Al-Qur'an has a high uslub/style of language so that it becomes one of its miraculous elements. This study aim to reviewing Surah al-'Ādiyāt using a stylistic approach with library research methods. Surah al-'Ādiyāt, from the point of view of the balaghah holds a myriad of secrets, which can be classified into beautiful uslub. Likewise, from a stylistic point of view, although only in a few lines, the stylistic elements can be obtained beautifully. People who oppose the Qur'an from the polytheists or the People of the Book can slowly be conquered by the beauty of the language of the Qur'an. This is one of the methods of preaching the Prophet Muhammad SAW by prioritizing the elements of beauty.ABSTRAKBerbagai pendekatan telah digunakan oleh para ilmuan untuk memahami al-Qur’an, karena dua dimensi utamanya yaitu dimensi kebahasaan dan kandungannya adalah sebuah perpaduan yang sangat agung yang tak dapat ditandingi oleh siapapun, walaupun semuanya berkumpul untuk menandinginya. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan stilistika. al-Qur’an memilki uslub/gaya bahasa yang tinggi sehingga menjadi salah satu unsur kemu’jizatannya. Dalam mengkaji Surah al-‘Ādiyāt dengan menggunakan pendekatan Stilistika, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Surah al-‘Ādiyāt, dari sudut pandang balaghah menyimpan segudang rahasia, yang dapat digolongkan ke dalam uslub yang indah. Demikian juga dari sudut pandang stilistika, walaupun hanya dalam beberapa baris saja, namun elemen-elemen stilistika telah dapat didapatkan dengan indahnya. Orang-orang yang menentang al-Qur’an dari golongan musyrikin atau Ahlil Kitab, secara pelan-pelan dapat ditaklukkan oleh keindahan bahasa al-Qur’an. Inilah salah satu metode dakwah Rasulullah Saw. dengan mengedepankan unsur-unsur keindahan


2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 127
Author(s):  
Sri Wahyuni

Surah 'Abasa Verses 1-10 are the verses that contains the formation of the leadership character of the Prophet through the warning ('itab) of Allah to His Prophet. So the research aims to find the character building of the leadership of Islamic educational institutions through the Surah 'Abasa verses 1-10. Using the Tahlili Tafsir Method with the tafsir bir-ra’yi (diroyah), this research results in the concept of character building leadership of Islamic educational institutions through the Surah 'Abasa verses 1-10, among others, the first verse shows the importance of the dimensions of performance and appearance of a leader, the second verse shows the dimensions of social status. The third verse contains an element of the self-esteem dimension, and the fourth verse includes an aspect of the educational dimension, the fifth and sixth verses are aware of their duty to serve the people or their subordinates, the seventh and eighth contain elements of a priority scale dimension, and the two last verses (nine and ten) contain elements of the khauf and raja dimensions, put God first in all activities.ABSTRAKSurat ‘Abasa Ayat 1-10 merupakan ayat-ayat yang berisikan pembentukan karakter kepemimpinan Nabi melalui teguran (‘itab) Allah kepada NabiNya. Maka penelitian bertujuan untuk menemukan character building kepemimpinan lembaga pendidikan Islam melalui Surat ‘Abasa ayat 1-10. Penggunaan Metode Tafsir Tahlili dengan pendekatan tafsir bir-ra’yi (dirayah), maka penelitian ini menghasilkan bahwa konsep character building kepemimpinan lembaga pendidikan Islam melalui Surat ‘Abasa ayat 1-10 antara lain, ayat pertama menunjukkan pentingnya dimensi performa dan penampilan seorang pemimpin, ayat kedua menunjukkan kepada dimensi status sosial, ayat ketiga mengandung unsur dimensi self esteem, ayat keempat mengandung unsur dimensi edukasi, ayat kelima dan keenam menyadari akan tugasnya melayani rakyat atau bawahannya, ayat ketujuh dan kedelapan mengandung unsur dimensi skala prioritas, ayat sembilan  dan sepuluh mengandung unsur dimensi khauf dan raja’ atau mengutamakan Allah dalam segala aktivitas 


2021 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 97
Author(s):  
Muhammad Thaib Muhammad
Keyword(s):  

Allah SWT has informed through the Qur'an many stories of the previous people, whether it is the story of the people who are obedient to Allah SWT or the story of the people who do not obey. For every Ummah, Allah SWT has sent prophets and apostles to preach so that they always obey Allah SWT. Likewise, Allah SWT has sent Musa a.s and Harun a.s to the Israel generation and the Qibthi who inhabited Egypt. In carrying out his da'wah, Moses or Musa a.s had prayed for Allah SWT to make Harun a.s. be appointed as a prophet and then Allah SWT granted. So Allah SWT gave him the advantage of eloquence in speech and brilliance in thinking so that he could help Musa a.s. in his da'wah. This short article will specifically discuss the story of the Prophet Harun a.s as narrated in the Qur'an. ABSTRAKAllah SWT telah menginformasikan melalui Al-Qur'an banyak kisah orang-orang terdahulu, baik itu kisah orang-orang yang taat kepada Allah SWT maupun kisah orang-orang yang tidak taat. Bagi setiap umat, Allah SWT telah mengutus para nabi dan rasul untuk berdakwah agar selalu taat kepada Allah SWT. Demikian juga Allah SWT telah mengutus Musa a.s dan Harun a.s kepada generasi Israel dan Qibthi yang mendiami Mesir. Dalam menjalankan dakwahnya, Musa atau Musa a.s telah berdoa kepada Allah SWT agar Harun a.s. diangkat menjadi nabi dan kemudian dikabulkan Allah SWT. Maka Allah SWT memberinya kelebihan kefasihan dalam berbicara dan kecemerlangan dalam berpikir sehingga ia dapat membantu Musa a.s. dalam dakwahnya. Artikel singkat ini secara khusus akan membahas kisah Nabi Harun a.s sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Qur'an.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Miskahuddin Miskahuddin

Work is an obligation for every Muslim who believes in Allah S.W.T. The Qur'an regulates and encourages people to work optimally and correctly in order to get halal and good sustenance to support themselves and their families. The noble work referred to in the Qur'an is a useful job, providing income and profits to meet the external and internal needs of humans so that they are strong in worship to Allah S.W.T in accordance with their abilities. The essence of a noble job in the Qur'an perspective is a pure and lawful job that is legal according to religion when a person gets sustenance and is used sparingly and carefully, not extravagantly and redundantly and adapted to the basic necessities of life as a man who believes and fear Allah SWT.ABSTRAKPekerjaan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah S.W.T. Al-Qur’an mengatur dan mendorong manusia untuk bekerja secara maksimal dan benar guna mendapatkan rezeki yang halal dan baik untuk menafkahkan diri maupun keluarganya. Pekerjaan mulia yang dimaksud Al-Quran tentu saja merupakan pekerjaan yang bermanfaat dan berguna memberikan penghasilan dan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dan bathiniah manusia agar kuat melaksanakan ibadah kepada Allah S.W.T sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan hamba Allah itu sendiri. Hakikat pengertian pekerjaan yang mulia dalam perspektif Al-Qur’an adalah suatu pekerjaan murni dan halal yang sah menurut agama manakala seseorang mendapatkan rezeki dan dipergunakan secara hemat dan cermat, tidak boros dan mubazir serta disesuaikan dengan pokok-pokok keperluan hidup sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah S.W.T


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 59
Author(s):  
Fauziah Nurdin
Keyword(s):  

Religious moderation is a moderate understanding and practice of worship in religion, balanced, not extreme, and excessive. This article aims to know that the Koran and Hadith as the holy book of Muslims have roots and have great potential to invite their people to commit violence and terror, especially against people of other religions.  In this research, the author uses the maudhu'i tafsir method, which is to raise one topic and then select several verses and Hadiths relating to religious moderation and then relate them to the contexts related to the problem being studied. The results of the study show that the Koran and Hadith do not invite Muslims to commit violence, extremes, and excessive religion. The Koran and Hadith offer that understanding and practicing religion must go through the path of balance and be in a middle way so that religion seems friendly, gentle and compassionate. Even balance is a necessity, including the laws of nature as the harmony of life. Otherwise, this world will be destroyed and perish.ABSTRAKModerasi beragama adalah moderatnya pemahaman dan amalan beribadah dalam beragama, seimbang tidak ekstrem dan berlebih-lebihan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apakah Al-Quran dan Hadis sebagai kitab suci umat Islam mempunyai akar dan berpotensi besar mengajak umatnya untuk melakukan kekerasan dan teror terutama terhadap umat beragama lain. Dalam penelitiannya ini, penulis menggunakan metode tafsir maudhu’i yaitu mengangkat satu topik kemudian memilih beberapa ayat dan Hadis yang berkenaan dengan moderasi beragama kemudian menghubungkan dengan konteks-konteks yang terkait dengan masalah yang dikaji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Al-Quran dan Hadis tidak mengajak umat Islam untuk melakukan kekerasan, ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama. Al-Quran dan Hadis menawarkan bahwa memahami dan mengamalkan agama harus melalaui jalur keseimbangan dan berada di jalan tengah sehingga agama terkesan ramah, lembut dan kasih sayang. Bahkan keseimbangan merupakan suatu keniscayaan termasuk pada hukum alam sebagai harmoninya kehidupan. Jika tidak demikian dunia ini akan hancur dan binasa.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 71
Author(s):  
Suhaimi Suhaimi

Salah satu gaya bahasa yang ditunjukkan Allah swt dalam menyampaikan pesan-pesan suci-Nya dalam Al-Quran adalah dengan menggunakan qasam atau sumpah. Siapa saja yang membaca dan meneliti Al-Quran tentu saja dia pasti mendapati ungkapan yang mengandung sumpah Allah dalam berbagai variasinya, semua itu tidaklah merupakan suatu kebetulan, melainkan memiliki maksud-maksud atau tujuan tertentu yang seharusnya menjadi perhatian bagi siapapun yang meyakini Al-Quran itu sebagai Kalam Allah yang menjadi petunjuk dalam hidup dan kehidupan ini. Bagaimana dan dengan apa Allah bersumpah? mengapa Allah bersumpah? dan apa rahasia dan manfaat sumpah yang terdapat dalam Al-Quran tersebut?. Tulisan sederhana ini diupayakan untuk dapat menjawab berbagai masalah tersebut dengan menelusuri pandangan para ulama Al-Quran dalam berbagai kitab yang mereka wariskan dengan harapan dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk lebih meningkatkan pemahaman kita terhadap Al-Quran itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumpah Allah dalam Al-Quran tidak terlepas dari pada isyarat yang jelas agar kita sungguh-sungguh memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan, karena pesan yang disampaikan mengandung tujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.   


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
Author(s):  
Emi Suhemi

The Qur'an tells a lot about the condition of creatures who glorify their Lord, both living things and creatures created as inanimate objects, such as rocks, mountains, and others. Based on the above understanding, the author aims to find out how the verses of the Qur'an describe the exaltation of creatures to His Lord. In this research, the writer uses the descriptive analysis method with the scientific approach of interpretation (hermeneutics). In this study, the authors found 15 verses that tell about beings who are exalted, be they humans, living things, plants (nabataat) or inanimate objects (jamadaa). Linguistically, the word tasbih is a mashdar form of sabbaha yusabbihu-tasbihan, which comes from the word sabh, which is the word to purify Allah SWT. In terminology, at-tasbiih means remembrance by glorifying and purifying accompanied by cleansing God from all shortcomings.AbstrakAl-Quran banyak bercerita tentang keadaan makhluk yang bertasbih terhadap Tuhan-nya, baik itu makhluk hidup maupun makhluk yang tercipta sebagai benda mati, seperti batu, gunung, dan lain-lain. Secara terminologi, at-tasbiih bermakna zikir dengan mengagungkan dan mensucikan disertai dengan pembersihan Tuhan dari segala kekurangan. Berdasarkan pengertian diatas, penulis bertujuan untuk mengetahui bagaimana ayat Al-Quran mendeskripsikan tentang bertasbihnya makhluk kepada Tuhan-Nya. Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode analisis Deskriptif dengan pendekatan ilmu Tafsir (Hermeuneutics). Hasil kajian ini, penulis menemukan 15 ayat yang berceritakan tentang makhluk yang bertaasbih baik itu insan, makhluk hidup tumbuuh-tumbuhan (nabataat) maupun benda mati (jamadaa). Secara bahasa, kata tasbih merupakan bentuk mashdar dari sabbaha yusabbihu-tasbihan, yang berasal dari kata sabh yaitu ucapan menyucikan Allah SWT. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document