The Journal of Hospital Accreditation
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

36
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Komisi Akreditasi Rumah Sakit - KARS

2656-7237

2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 63-64
Author(s):  
Nico Lumenta ◽  
Hanevi Djasri
Keyword(s):  

Pandemi Covid-19 menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam tatalaksana pasien, tidak saja lintas profesi dan cabang keilmuan, namun juga lintas unit dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan semakin kompleksnya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, maka peran case manager menjadi sangat penting. Di Indonesia, case manager atau Manajer Pelayanan Pasien (MPP) telah diperkenalkan di rumah sakit (RS) sejak 10 tahun lalu melalui standar akreditasi rumah sakit. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa MPP yang efektif dapat mengurangi jumlah kunjungan pasien, penggunaan tes diagnostik, lama rawat inap, dan biaya di institusi. Meskipun keberadaan MPP telah dikenal dan mulai dilaksanakan di berbagai RS, akan tetapi masih sering kali terbatas pada pemenuhan standar akreditasi. Oleh karenanya, peran MPP perlu dipertegas dan diperkuat melalui upaya revitalisasi.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 96-100
Author(s):  
Maftuhah Nurbeti ◽  
Eka Angga Prabowo ◽  
Muhammad Faris ◽  
Ratna Ismoyowati

Latar Belakang: Kasus Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia terus meningkat hingga 19.189 pada saat penelitian dilakukan (Mei 2020) dan mengakibatkan harga Alat Pelindung Diri (APD) melambung tinggi serta langka akibat pasokan yang terhambat. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman penggunaan APD secara rasional dan efektif bagi tenaga kesehatan dalam masa pandemi. Namun demikian, di lapangan banyak terjadi penggunaan APD yang tidak sesuai, baik kurang atau bahkan melebihi standar. Hal tersebut dapat meningkatkan belanja APD rumah sakit. Penelitian kepatuhan APD sudah banyak dilakukan, namun pada saat akan dilakukan penelitian ini, belum didapatkan publikasi yang khusus terkait dengan kepatuhan APD selama Covid-19 di Indonesia dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, perlu diteliti hubungan antara tingkat pengetahuan tentang standar penggunaan APD rasional dengan kepatuhan penggunaan APD sesuai standar. Tujuan: Mengukur hubungan antara pengetahuan staf rumah sakit dengan tingkat kepatuhan penggunaan APD secara rasional di masa Pandemi Covid-19. Metode: Penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 221 staf RS Qolbu Insan Mulia (RS QIM) Kabupaten Batang Jawa Tengah dari populasi 496 staf yang dipilih melalui teknik stratified random sampling berdasarkan zonasi Covid-19 dan jenis staf. Variabel berupa tingkat pengetahuan terhadap standar APD rasional dan kepatuhan penggunaan APD sesuai standar. Dianggap tidak patuh bila penggunaan APD kurang atau melebihi standar. Data dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil: Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan staf tentang standar penggunaan APD rasional dengan kepatuhan penggunaan APD sesuai standar (p 0,59). Kesimpulan: Kepatuhan penggunaan APD sesuai standar rasional dapat dipengaruhi oleh faktor lain selain pengetahuan, seperti faktor ketersediaan APD, ketakutan, lama pengalaman kerja, dukungan lingkungan/ rekan kerja, dan tanggung jawab personal.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 119-123
Author(s):  
Mustika Astuti ◽  
Safiqulatif Abdilah ◽  
Adi Sumartono ◽  
Arif Riyanto
Keyword(s):  

Masalah Mutu: Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah Yogyakarta telah menerapkan Rekam Medik Elektronik (RME) sejak tahun 2020 dan PKU Muhammadiyah Gamping sejak tahun 2018, namun belum pernah dievaluasi dan dianalisis kesesuaiannya dengan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1.1, terutama terkait asesmen awal dan ulang pasien di rawat jalan, rawat inap maupun gawat darurat. Kesesuaian pengisian asesmen awal dan ulang pada RME yang sesuai dengan SNARS 1.1 diyakini meningkatkan kualitas pelayanan dan keselamatan pasien. Pilihan Solusi: Menerapkan proses peningkatan mutu RME melalui identifikasi dan analisis kesesuaian formulir asesmen awal dan ulang dalam RME dengan SNARS edisi 1.1 pada Standar Asesmen Pasien (AP), Standar Pelayanan dan Asuhan pasien (PAP), Standar Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) serta Standar Hak Pasien dan Keluarga (HPK). Implementasi: Diterapkan action research dengan lima tahapan yaitu: tahap diagnosis, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pembelajaran yang terdiri dari dua siklus. Pengumpulan data menggunakan observasi untuk menilai kesesuaian template asesmen pada RME dan SNARS edisi 1.1 pada Standar SKP, AP dan HPK dan wawancara kepada sepuluh responden yang terdiri dari Direksi kedua RS serta tim pengembang RME. Evaluasi dan Pembelajaran: Dari 32 variabel, ada 4 variabel yang tidak terpenuhi yaitu variable Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada SKP 1, catatan keterlibatan keluarga dalam asesmen awal pada AP 1, catatan bukti integrasi oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) pada asesmen awal pada AP 4 dan catatan bukti integrasi oleh DPJP pada asesmen awal pada HPK 2.1. Upaya penambahan fitur dapat dilaksanakan, tetapi diperlukan upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan pengisian antara lain dengan perbaikan desain alur kerja serta penyesuaian dengan kemudahan pengguna.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 114-118
Author(s):  
Ronald Irwanto Natadidjaja ◽  
Hadianti Adlani ◽  
Hadi Sumarsono

Masalah Mutu: Standar 4 Kajian SNARS 2018 menyatakan bahwa rumah sakit wajib memiliki surveilens kepekaan kuman terhadap antibiotik. Hal ini harus menjadi dasar pertimbangan pembuatan Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB). Di sisi lain, timbulnya kuman Multi Drug Resistance (MDR) juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pemberian antibiotik empirik, selain berdasar pada pola kuman, juga sebaiknya mempertimbangkan berbagai faktor risiko timbulnya kuman MDR. Pilihan Solusi: Regulasi Antimikroba Sistem Prospektif (RASPRO) adalah sebuah model tataguna antimikroba yang disintesis dari berbagai kepustakaan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kuman-kuman MDR pada surveilans kepekaan kuman, sehingga dapat mengarahkan klinisi pada peresepan antibiotik bijak. Implementasi: Kajian risiko yang dibuat dalam RASPRO menentukan bahwa immunocompromised dan/ atau dengan komorbid Diabetes Melitus yang tidak terkontrol atau dengan riwayat konsumsi antibiotik kurang dari 90 hari, dan/ atau riwayat perawatan di rumah sakit lebih dari 48 jam dalam waktu kurang dari 90 hari, dan/ atau riwayat penggunaan instrumen medis kurang dari 90 hari masuk dalam risiko MDR. Pasien-pasien yang tidak termasuk dalam kategori di atas akan masuk ke dalam prediksi infeksi oleh kuman multisensitif. Evaluasi dan Pembelajaran: Pada surveilans kepekaan kuman dengan data sekunder diambil dari sebuah rumah sakit swasta tipe B di Jakarta antara tahun 2016-2018, dengan rumus sampel tunggal, didapatkan 106 sampel kultur dari 86 pasien. Terdapat kesesuaian pada 54 dari 57 hasil kultur yang diambil dari pasien dengan kajian risiko infeksi kuman multisensitif (94,74%). Kesesuaian antara temuan hasil kultur MDR dengan kajian risiko model RASPRO terdapat pada 44 dari 49 kultur (89,80%), dengan 9 kultur menunjukkan Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL). Total kesesuaian hasil kultur dengan kajian risiko empirik model RASPRO mencapai 92,45%. Tingginya persentase kesesuaian temuan kultur kuman penyebab infeksi dengan kajian faktor risiko model RASPRO sepertinya dapat menjadi pertimbangan dalam mengarahkan klinisi dalam pemberian antibiotik empirik spektrum sempit dan luas pada praktek klinis sehari-hari di rumah sakit. Dengan praktik seperti ini kualitas penggunaan antibiotik diharapkan dapat meningkat.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 75-78
Author(s):  
Aam Sumadi ◽  
Agus Sumarno
Keyword(s):  

Latar Belakang: Rumah Sakit yang telah mendapatkan status akreditasi nasional diwajibkan membuat Perencanaan Perbaikan Strategis (PPS) sesuai dengan rekomendasi surveyor untuk memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang belum tercapai. Rumah Sakit (RS) menyampaikan PPS ke Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) satu bulan setelah survei akreditasi. PPS merupakan strategi/ pendekatan yang akan diterapkan RS untuk menangani setiap temuan sebagai tindak lanjut dan bukti komitmen langkah-langkah yang akan dilakukan dalam memenuhi standar yang belum dilaksanakan dalam waktu satu tahun. Implementasi PPS dilihat saat survei verifikasi yang bertujuan untuk mengevaluasi RS dalam mempertahankan, dan atau meningkatkan mutu pelayanan RS sesuai dengan rekomendasi dari surveior.   Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara variabel independen, yaitu PPS dengan variabel dependen yaitu hasil survei verifikasi akreditasi 1 di RS yang terakreditasi paripurna Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1. Metode: Penelitian ini merupakan kuantitatif observasional dengan menganalisis data retrospektif, bersumber dari big data KARS yaitu dokumentasi RS yang telah dilakukan dengan kriteria inklusi yaitu 8 RS yang telah dilakukan survei verifikasi ke 1 dan memiliki PPS. penilaian akreditasi oleh KARS periode 1 Januari 2018 sampai dengan 31 Desember 2019, dengan perhitungan sampel 61 RS. Hasil: Hasil penilaian survei verifikasi 1 yang terpenuhi 65,5%, dan belum terpenuhi 37,5%. Dari 37,5% yang belum terpenuhi terdapat peningkatan pada semua standar sebesar 16,23% dari 25,5% pada saat survei. Variabel PPS yang lengkap 37,5%, dan tidak lengkap 65,5% dengan sub variabel metode perbaikan yang dibuat oleh RS dengan rerata 91,75 dengan nilai tertinggi, artinya RS memahami strategi yang dilaksanakan dan sub variabel kesesuaian waktu implementasi maksimal 1 bulan setelah survei dengan rerata 45,75 merupakan nilai terendah, artinya RS belum mengimplementasikan metode perbaikan berdasarkan target waktu yang direncanakan. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan PPS tidak ada hubungannya dengan hasil survei verifikasi. Disarankan bahwa PPS harus dibuat sesuai dengan standar dan dilaksanakan dengan baik sesuai target waktu yang direncanakan.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 101-107
Author(s):  
Prita Muliarini ◽  
Yusrizal Saputra ◽  
Edi Sumarsono

Latar Belakang: Pelayanan berpusat pada pasien (patient-centered care) sebagai salah satu domain kualitas pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui model pelayanan case management (CM). Pelaksanaan CM secara profesional berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dan otonomi klien, meningkatkan pengalaman perawatan individu, meningkatkan kesehatan populasi, dan mengurangi biaya perawatan. Pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan kesehatan masyarakat serta menghargai hak pasien semakin menekankan perlunya CM. Namun, pelaksanaan CM di rumah sakit (RS) masih belum mempunyai pengaturan yang jelas dalam produk hukum yang telah ada. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dasar hukum pelaksanaan CM di fasilitas kesehatan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan statute approach dan conceptual approach. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tata kelola RS dan praktik kedokteran di Indonesia. Data dianalisis secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Hasil: Dalam peraturan perundang-undangan, pelayanan kesehatan secara paripurna meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dapat dicapai melalui kesinambungan perawatan (continuum of care) secara terkoordinasi dan bersifat kolaboratif, seperti yang terdapat dalam proses CM. Penghargaan hak pasien yang disebutkan dalam peraturan perundangan dapat terwujud melalui pendekatan kemitraan kolaboratif yang berpusat pada klien dan responsif terhadap budaya, preferensi, kebutuhan, dan nilai-nilai yang diyakini pasien. Belum ditemukan sumber hukum terkait case manager dan CM sebagai subjek dan objek hukum di Indonesia. Kesimpulan: Case management dalam patient-centered care merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang menjunjung tinggi hak pelayanan kesehatan seperti partisipasi, akuntabilitas, non-diskriminasi, transparansi, menjunjung martabat manusia, pemberdayaan, dan berdasarkan peraturan hukum. Pelaksanaan CM membutuhkan regulasi berupa peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum yang menaungi proses CM dan case manager di Indonesia.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 108-113
Author(s):  
Sunarto Sunarto ◽  
Citra Resmi Wulandari
Keyword(s):  

Latar Belakang: Salah satu tujuan pelaksanaan akreditasi adalah menciptakan budaya mutu dan budaya keselamatan di rumah sakit. Budaya mutu ditandai dengan terjadinya proses peningkatan mutu (PM) secara internal di seluruh unit kerja yang berlangsung secara sistematis dan berkelanjutan. Agar terjadi PM secara berkelanjutan, diperlukan peran staf yang optimal. Akreditasi diharapkan dapat menjadi daya ungkit pelaksanaan PM di unit kerja pada sebuah rumah sakit. Tujuan: Mengetahui gambaran peran staf dalam melakukan peningkatan mutu di RSUD Raja Ahmad Tabib Propinsi Kepulauan Riau. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pengambilan data dilaksanakan di RSUD Raja Ahmad Tabib Provinsi Kepulauan Riau. Subyek penelitian dipilih dengan cara purposive sampling dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan oleh peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada partisipan dan dilakukan analisis data dengan analisis tematik. Hasil: Staf RSUD Raja Ahmad Tabib menyadari bahwa peningkatan mutu dan keselamatan pasien menjadi tanggung jawab bersama unsur pelayanan dan unsur manajemen. Dampak kegiatan akreditasi adalah terjadinya peningkatan perilaku staf rumah sakit baik yang bertugas di manajemen ataupun di pelayanan. Namun demikian, RSUD Raja Ahmad Tabib belum memiliki mekanisme tindak lanjut untuk mempertahankan perubahan. Kesimpulan: Staf RSUD Raja Ahmad Tabib telah memahami tugas dan perannya masing-masing, serta dapat menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan PM di unit kerjanya. Staf menyadari bahwa peningkatan mutu dan keselamatan pasien harus menjadi tanggung jawab bersama antara manajemen dan pelayanan, namun manajemen rumah sakit harus memiliki sistem yang efektif untuk mempertahankan perubahan. Pemberian reward dan punishment diperlukan untuk memberikan motivasi kepada staf untuk mempertahankan perubahan.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 91-95
Author(s):  
Leo Prawirodihardjo ◽  
Prita Muliarini ◽  
Shila Rubianti ◽  
Hana Salna ◽  
Edi Sumarsono

Latar Belakang: Pelayanan kesehatan moderen sedang dihadapkan pada situasi yang mencekam, yaitu dengan pandemi severe acute respiratory syndrome corona virus 2 (SARS-CoV-2). Pembedahan sebagai salah satu pelayanan emergensi dan elektif di Rumah Sakit (RS) juga harus menyesuaikan kondisi pandemi, karena dapat menjadi area berisiko tinggi transmisi infeksi saluran pernapasan serta dapat mempercepat dan memperparah progresivitas penyakit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi standar dan elemen penilaian Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) dalam Standard Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1.1 yang memerlukan pengembangan dalam perubahan perilaku pelayanan anestesi dan bedah di RS di masa new normal pasca pandemi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui in-depth interview pada informan yang ditentukan secara snow-ball sampling. Partisipan berasal dari enam RS di Makassar yang berjumlah 30 orang, terdiri atas dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis bedah, dokter umum, perawat kamar operasi, dan perawat/bidan di unit rawat inap. Analisis data dilaksanakan melalui pendekatan latent analysis, peneliti melakukan interpretasi secara ekstensif untuk menemukan makna teks yang mendasarinya. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil: Terdapat tiga konteks utama yang perlu dibenahi selama masa pandemi dan new normal, yaitu alur pasien dan petugas, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), dan metode skrining untuk pasien. Seluruh responden menyatakan bahwa alur pasien dan petugas masih sama seperti masa sebelum pandemi sehingga harus dipisahkan, penggunaan APD yang standar sudah tepat dan benar namun belum ada evaluasi rutin terkait kepatuhan penggunaan APD, serta masih belum jelas metode skrining pasien yang baku, efisien, dan efektif. Kesimpulan: Diperlukan perubahan perilaku dalam menerapkan alur pelayanan pasien di kamar operasi, penggunaan APD yang sesuai standar. Diperlukan penetapan metode skrining pasien yang jelas demi melindungi tenaga kesehatan dan lingkungan RS. Diperlukan sosialisasi secara intensif dan berkelanjutan kepada para pasien tentang pentingnya dan asas manfaat dari standar operasional prosedur yang diterapkan pada masa pandemi dan new normal.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 65-70
Author(s):  
Mira Asmirajanti ◽  
Yufi Aliyupiudin ◽  
Sri Rusmini ◽  
Patricia R Rumondang ◽  
Djuariah Chanafie ◽  
...  
Keyword(s):  

Latar Belakang: Rumah sakit sebagai institusi pemberi jasa pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus memperhatikan mutu dan keselamatan pasien. Keselamatan pasien harus dijadikan budaya oleh semua tenaga kesehatan di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan. Masyarakat berhak mendapat pelayanan kesehatan yang menjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Rumah sakit harus mempersiapkan sarana prasarana, ketenagaan, pelayanan dan keselamatan pasien sesuai dengan standar yang telah ditetapkan baik sebelum atau di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Tujuan: Mengetahui pengaruh penerapan standar akreditasi terhadap mutu dan keselamatan pasien, pada sebelum dan di masa Pandemi Covid–19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif cross sectional dengan insidental sampel sebanyak 384 tenaga kesehatan di tiga RS penerima pasien Covid-19, yaitu di Bogor, Semarang dan Solo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus–Oktober 2020. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner hasil elaborasi mengacu pada Standar Nasional Akreditasi RS (SNARS) yang telah diuji validitas dan reliabilitas, serta disebarkan melalui formulir elektronik. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi linear multipel. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sebelum dan selama pandemi sebesar 1,72% pada standar keselamatan, 1.07% pada standar pelayanan, 1,86% pada standar sarana prasarana, 0,38% pada standar ketenagaan, dan 1,45% pada standar mutu dan keselamatan pasien. Standar keselamatan dan standar pelayanan berpengaruh signifikan terhadap mutu pelayanan dan keselamatan pasien setiap kali melaksanakan standar keselamatan, dan standar pelayanan akan meningkatkan 0,95 dan 1,05 kali mutu pelayanan dan keselamatan pasien sebelum dan di masa pandemi Covid-19 (p<0,00).  Kesimpulan: Semua rumah sakit telah menerapkan standar akreditasi dalam pemberian pelayanan kepada pasien. Rumah sakit harus mengelola dan mengawasi keselamatan pasien, pemberian pelayanan, sarana prasarana dan ketenagaan secara terus menerus selama menghadapi peningkatan jumlah pasien Covid-19 agar mutu pelayanan dan keselamatan pasien tetap terjamin.


2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 84-90
Author(s):  
Duta Liana ◽  
Dewi Lestari ◽  
Fifi Dwijayanti ◽  
Nuraini Fauziah

Latar Belakang: Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) memberikan dampak luas dikarenakan risiko penularan virus SARS-COV-2 melalui kontak, droplet, dan kemungkinan airborne. Suatu tantangan bagi rumah sakit untuk menjamin mutu dan keselamatan. Dalam kondisi seperti ini, maka budaya keselamatan yang baik menjadi faktor kritikal untuk menjamin keselamatan baik pasien, pengunjung, maupun petugas rumah sakit. Komitmen Pimpinan dan dukungan seluruh staf khususnya staf klinis sangat diperlukan untuk terciptanya budaya keselamatan rumah sakit. Salah satunya pemenuhan standar layanan akreditasi rumah sakit untuk meningkatkan budaya keselamatan. Berdasarkan kondisi ini diperlukan suatu penelitian untuk mengukur sejauh mana standar akreditasi diimplementasikan untuk mendukung budaya keselamatan yang meliputi keselamatan pasien, keselamatan dan kesehatan pekerja rumah sakit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengukur budaya keselamatan staf klinis dengan prediktor yang dominan dalam mempengaruhi keselamatan pasien serta keselamatan dan kesehatan pekerja di rumah sakit terakreditasi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang menjadi rujukan Covid-19. Metode: Penelitian ini merupakan cross-sectional study pada empat rumah sakit rujukan Covid-19 di DKI Jakarta diantaranya RSPAD Gatot Subroto, RSUP Persahabatan, RS Pusat Pertamina, dan RS Pertamina Jaya. Tiga variabel yang mempengaruhi budaya keselamatan yaitu iklim keselamatan, situasional, dan perilaku keselamatan. Responden adalah staf klinis berdasarkan jenis instalasi dan staf klinis di setiap rumah sakit yang dipilih secara acak. Kuesioner mengacu pada instrumen Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1.1 dalam bentuk google form. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square sedangkan multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil: Data penelitian ini diperoleh dari 560 responden yang terdiri dari instalasi dan staf klinis. Dari empat rumah sakit dihasilkan budaya keselamatan rumah sakit menurut 51,8% responden masuk dalam kategori baik dimana tiga dari sepuluh indikator yaitu kerjasama, lingkungan kerja, dan kepatuhan merupakan kategori baik dan dominan. Variabel situasional memiliki pengaruh terbesar terhadap budaya keselamatan (OR 4,46; 95% CI 2,67-7,42). Kepatuhan memiliki pengaruh terbesar terhadap keselamatan pasien (OR 5,59; 95% CI 3,27-9,56) dan manajemen risiko memiliki pengaruh terbesar terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja (OR 5,59; 95% CI 3,29-9,49).  Kesimpulan: Variabel situasional memiliki pengaruh terbesar terhadap budaya keselamatan, baik keselamatan pasien maupun keselamatan dan kesehatan pekerja. Indikator kepatuhan dan manajemen risiko merupakan indikator yang memiliki pengaruh terbesar terhadap budaya keselamatan.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document