Al-Jinayah Jurnal Hukum Pidana Islam
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

60
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By "State Islamic University (Uin) Of Sunan, Ampel"

2460-5565, 2460-5565

2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 307-324
Author(s):  
Haidar Adam

Abstract: This article discusses about dissenting opinion and concurring opinion in the decision of the Constitutional Court. Law enforcement can be done through the Constitutional Court in the form of law judicial review. The issue of dissenting opinion is regulated through Law No. 24 Year 2003 and Constitutional Court Regulation No. 6 of PMK Year 2005 concerning Procedural Law of Tests of Act. The phrase used in the Constitutional Court Law is “the different opinion of the judiciary members". The different opinion, according to Jimly, is divided into two namely dissenting opinion and concurrent opinion. A verdict is considered concurring if there is an argument by a member of the panel of judges that is different from that of the other members of the judiciary but it does not affect the difference of the decision. On the other hand, a decision is said to be dissenting if the opinion of a member of the panel of judges is different from that of the majority of the other members of the panel of judges and the difference is not merely in the case of reasoning but to touching on the verdict. Keywords: Dissenting opinion, concurring opinion, the court constitution’s decision. Abstrak: Penegakan hukum dapat dilakukan melalui pengadilan oleh Mahkamah Konstitusi dalam bentuk pengujian terhadap undang-undang. Masalah dissenting opinion diatur melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 PMK Tahun 2005 tentang Hukum Acara Pengujian Undang Undang. Frase yang dipakai dalam UUMK adalah “pendapat anggota majelis hakim yang berbeda”. Pendapat yang berbeda menurut Jimly, dibedakan menjadi dua yaitu dissenting opinion dan concurrent opinion. Suatu putusan dianggap sebagai concurring apabila terdapat argumentasi anggota majelis hakim yang berbeda dengan mayoritas anggota majelis hakim yang lain, namun tidak berimbas pada perbedaan amar putusan. Di sisi lain, suatu putusan dikatakan dissenting, jika pendapat suatu anggota majelis hakim berbeda dengan pendapat mayoritas anggota majelis hakim yang lain dan sampai menyentuh pada amar putusan. Kata Kunci: Dissenting opinion, concurring opinion, putusan Mahkamah Konstitusi.


2018 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 65-90
Author(s):  
Adeng Septi Irawan

Abstract: This article discusses about the sanction of criminal act as a bribery mediator under the perspective of Islamic Criminal Law. The criminal act as a bribery mediator is explained in the Penal Code in Article 55 Paragraph (1) ie those who do, who order to do, and who participate in doing the deed. The bribery crime is also described in Article 12 Sub-Article c of Law No. 31 year 1999 jo Law No. 20 year 2001 on the “eradication of corruption cases that punishment for the perpetrator of bribery, gratification, etc., will be imprisoned and/or sanction. Even in the specific provision, if corruption is done by causing harm to the state, such as a national disaster or at a time when the country is in a state of economic crisis, it can be subject to capital punishment. The purposes of applying punishment in positive law are to create certainty, justice, and legal benefit in Indonesia. The Islamic criminal law has made it clear that unlawful acts in bribery (isytirâk fî al jarîmah al-risywah) according to Muslim scholars are haram (unlawful). The punishment for the perpetrators of isytirâk fî al jarîmah al-risywah is ta'zîr. Keywords: Criminal act, bribery mediator, Islamic criminal law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang sanksi tindak pidana turut serta sebagai perantara suap perspektif hukum pidana Islam. Tindak pidana turut serta dijelaskan dalam KUHP dalam pasal 55 ayat (1) yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Adapun tindak pidana suap dijelaskan dalam Pasal 12 huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan lain-lain, akan dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam ketentuan khususnya, apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi negara, seperti terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi, maka dapat diancam hukuman mati. Tujuan penerapan hukuman tersebut adalah menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum di Indonesia. Hukum pidana Islam telah menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dalam turut serta suap (isytirâk fî jarîmah al-risywah) menurut para ulama adalah haram dan hukumannya adalah ta’zîr. Kata Kunci: Tindak pidana, perantara suap, hukum pidana Islam.


2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 426-453
Author(s):  
Rizka Ferdiana Sari

Abstract: This article discusses perspective of Islamic criminal law on breach of contract in online trading. Initially, breach of contract is an act in which someone cannot fulfil obligation with or without purpose. Breach of contract is punishable as a fraud if there is a party feel victimized and the breacher act irresponsibly. From perspective Islamic criminal law, the application of breach of contract in online trading is considered jarîmah ta’zîr and punishable with imprisonment, lashing as well as fine. This was practiced by second rightly guided caliph Umar ibn Khattab to those who did fraudulent acts. Ta’zir is a crime in which not textual reference is found. Keywods: Breach of contract, online trading, Islamic criminal law Abstrak: Artikel ini membahas tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap delik wanprestasi terhadap jual beli online. Pada mulanya wanprestasi merupakan kegiatan ingkar janji yang seseorang tidak dapat memenuhi kewajibannya, baik disengaja atau tidak disengaja. Wanprestasi ini dapat dipidanakan atas delik penipuan apabila yang bersangkutan merasa dirugikan dan pihak wanprestasi tidak ada iktikad baik terhadapnya dan memilih jalur pidana dan wanprestasi ini dapat dipidanakan dengan tidak melupakan unsur-unsur yang terkadung di dalam delik penipuan. Dalam tinjauan hukum pidana Islam, penerapan hukum kepada para pelaku delik wanprestasi terhadap jual beli online shop adalah jarîmah ta’zîr yang berupa pengasingan, cambukan serta denda yang harus dibayarkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Umar ibn Khattab kepada pelaku penipuan, karena ta’zîr merupakan hukuman yang dijatuhkan dan kadarnya ditentukan oleh penguasa negara yang tidak diatur dalam Alquran dan sunnah. Kata kunci: Delik wanprestasi, jual beli online, hukum pidana Islam.


2018 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 164-191
Author(s):  
Ivvany Ningtyas Seily Rohmah

Abstract: Punishment remission in Sidoarjo correction facility is granted to nearly all inmates with conditions set out by regulations. It is granted in many forms; general remission, special remission, additional remission, and decade remission. Remission for drug-related inmates is announced during ceremony of Indonesia’s independence declaration in Sidaorjo’s main square. Drug-related inmates gain their remission for good conduct in a sense that they repent from their past wrong doings. Remission in Islamic penal law is called takhfîf al-uqûbah (punishment leniency). Keywords: Remission, drug inmates, correctional facility. Abstrak: Pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo diberikan dengan beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan-peraturan yang ada. Remisi diberikan dengan beberapa jenis, yaitu remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan dan juga remisi dasawarsa. Remisi diberikan kepada pelaku tindak pidana narkotika dengan cara mengumumkan pada saat upacara hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di pendopo Sidoarjo. Remisi dalam hukum pidana Islam disebut juga dengan takhfîf al-uqûbah (keringanan hukuman), remisi diberikan kepada narapidana narkotika karena itu adalah hak bagi setiap narapidana yang telah memenuhi syarat pemberian remisi, dan dalam hal ini setiap narapidana yang telah berkelakuan baik atau dengan kata lain bila narapidana narkotika telah menyesal atau bertaubat, maka narapidana narkotika berhak mendapatkan sesuatu yang harus diterima sebagi hak warga binaan pemasyarakatan. Kata Kunci: Remisi, Narapidana Narkotika, Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo.


2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 349-369
Author(s):  
Intan Auliya Ridyana

Abstract: This article discusses perspective of Islamic criminal law on the piracy of film using Bigo live. The process of pirating is conducted by live streaming in cinemas by user of such application and broadcasting it via smartphones while the movie is progressing. This piracy contravenes Law No 28/2014 on copy right, especially article 113 (3). This article stipulates that violating economic right of the author as previously stated in article 9 (1,b) which is commercially copying creation in all of its form is punishable with 1.000.000.000 rupiah. In addition, this piracy contravenes Law No/ 11/2008 on Information and Electronic Transaction article 48 (1 and 2) because of abusing the application using electronic devices with maximum punishment of 8 year of imprisonment and fine of 2.000.000.000 rupiah. The film piracy from the perspective of Islamic criminal law can be considered a theft, but not meeting of its punishable requirements. Thus, the punishment is ta’zir determined by state authority in Indonesia. Keywords: Film piracy, bigo live, Islamic criminal law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang pembajakan film via Bigo live menurut hukum pidana Islam. Proses pembajakan film via Bigo live dilakukan dengan cara live streaming di gedung bioskop oleh pengguna aplikasi tersebut, yang kemudian disebarluaskan melalui smarthphone ketika film sedang berlangsung. Pembajakan film via Bigo live tersebut menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, telah melanggar aturan Pasal 113 ayat (3), dan terancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1000.000.0000,00 (satu miliar rupiah). Pembajakan film via Bigo live juga melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 48 ayat 1 dan 2, dengan ancaman pidana 8 tahun penjara dan denda 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pembajakan film tersebut menurut hukum pidana Islam adalah termasuk tindak pidana pencurian, namun tidak memenuhi syarat dilaksanakannya hukuman potong tangan, sehingga mengharuskan dilaksanakannya hukuman ta’zîr, karena telah merugikan seseorang dan mengambil hak seseorang tanpa kerelaan orang tersebut. Ketentuan hukumannya ditentukan oleh ulil amri dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci: Pembajakan film, Bigo live, hukum pidana Islam.


2018 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 27-45
Author(s):  
Dini Siti Kusumawati

Abstract: This discusses the prohibition of using any property to perform indecency in Surabaya as regulated by Surabaya municipality’s bylaw No 77/1999. The enactment of this law started in 2012 by the closing of prostitution quarter of Gang Dolly which was considered one of the biggest ones in Southeast Asia. From the perspective of Islamic law, this by law is in agreement with maqâshid al-syarî’ah of hifzh al-dîn (protection of religion) as well as hifzh al-nasl (protection of offspring) in the dharûriyyât (primary rank). This is because prostitution is an ever present offence, regardless time and space. Extra intensive caution should be paid to prevent its return. Effort to improve economic welfare of the population should minimize the reoccurrance of prostitution. Keywords: Prostitution, maqâshid al-syarî’ah, Surabaya. Abstrak: Artikel yang berjudul tinjauan maqâshid al-syarî’ah terhadap Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kota Surabaya. Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kota Surabaya sudah dibuat sejak tahun 1999, namun penerapan Perda ini mengalami ketidakjalanan hukum, dan baru benar-benar diterapkan dari tahun 2012 hingga sampai saat ini, terbukti dari Pemerintah Kota Surabaya yang berhasil menutup lokalisasi Dolly yang merupakan tempat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Dalam kajian maqâshid al-syarî’ah, Perda Nomor 7 Tahun 1999 ini termasuk dalam kategori hifzh al-dîn (memelihara agama) dan hifzh al-nasl (memelihara keturunan) dalam peringkat dharûriyyât (primer). Pelacuran memang menjadi fenomena sosial yang tidak mengenal tempat dan suasana. Ia akan senantiasa hadir selama ada yang membutuhkan. Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Surabaya harus tetap berupaya untuk memberantas pelacuran dan harus terus melakukan program-progam yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat karena kondisi kesejahteraan yang baik akan mengurangi potensi terjadinya pelacuran. Kata Kunci: Maqâshid al-syarî’ah, Perda, Perbuatan asusila.


2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 277-306
Author(s):  
Nur Lailatul Musyafaah
Keyword(s):  
The Law ◽  

Abstract: The duty of the East Java Regional Judicial Commission in the supervision of a corruption court judge is to receive community reports and court monitoring. The court monitoring was conducted on two matters, court monitoring based on community reports and on the initiative of the East Java Judicial Commission. The authority of the East Java Regional Judicial Commission in the supervision of a corruption judge is only authorized to receive reports, annotations, inspections and monitoring of the court session. The observation, examination, and proposal of sanction are done by Central Judicial Commission. In a juridical perspective, the duties and authorities of the East Java Judicial Commission on the judges of corruption crime have been in accordance with Article 20 of the Law of the Republic of Indonesia Number 18 in 2011 on Amendment to Law Number 22 in 2004 concerning Judicial Commission. Keywords: East Java Judicial Commission, Judges, Corruption. Abstrak: Tugas Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Jawa Timur dalam pengawasan hakim pengadilan tindak pidana korupsi adalah menerima laporan masyarakat dan pemantauan persidangan. Adapun wewenang Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Jawa Timur dalam pengawasan hakim tindak pidana korupsi adalah Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Jawa Timur hanya berwenang menerima laporan, anotasi, pemeriksaan dan melakukan pemantauan persidangan. Adapun pengamatan, pemeriksaan, pengusulan sanksi dilakukan oleh Komisi Yudisial Pusat. Dalam perspektif yuridis, pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Jawa Timur terhadap hakim pengadilan tindak pidana korupsi telah sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kata Kunci: Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Jawa Timur, Hakim, Tindak Pidana Korupsi.


2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 454-484
Author(s):  
Nur Rofikoh

Abstract: This article discusses about the freedom of religion in Indonesia according to riddah law ratio legis. In Indonesia, the guarantee of religious freedom is in the 29th article of 2nd paragraph in the 1945 Constitution that someone is free to choose and embrace a particular religion. Persons who convert from one religion to another shall not be punished, except those whose religion denounces, abuses or condemns oother religions which may be punished. The act is regulated in the article 156a of the Criminal Code concerning the prohibition of abuse or defamation of religion. Islam guarantees freedom of religion as the Qur'anic verse of al-Baqarah verse 256 that there is no compulsion to enter Islam. In a Islamic law, a person who comes out of Islam is called apostate and his blood is halal to be killed. The act is included in the category of riddah jarîmah which can be sentenced a hadd punishment, death penalty. Nevertheless, there are some opinions that in Islamic law not all people come out of Islam can be put to death, only those who emerge from their religion that cause rebellion, chaos on the earth that can be killed. Keywords: Religious freedom, Indonesia, ratio legis, riddah. Abstrak: Artikel ini membahas tentang kebebasan beragama di Indonesia menurut ratio legis hukum riddah. Di Indonesia, jaminan atas kebebasan beragama terdapat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Warga yang melakukan pindah agama satu ke agama yang lain tidaklah dikenai hukuman, kecuali mereka yang dalam agamanya mencela, menghina atau menista agama lain yang dapat dijatuhi hukuman. Perbuatan tersebut diatur dalam pasal 156a KUHP tentang larangan melakukan penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama. Islam menjamin kebebasan beragama sebagaimana nash al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 256, bahwasanya tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Dalam hukum Islam, seseorang yang keluar dari agama Islam disebut murtad dan halal darahnya untuk dibunuh. Perbuatan tersebut masuk dalam kategori jarîmah riddah yang dapat dijatuhi hukuman hadd yakni hukuman mati. Meski demikian, ada beberapa pendapat bahwa dalam hukum Islam tidak semua orang keluar dari Islam dapat dihukum mati, hanya orang yang keluar dari agamanya yang menimbulkan pemberontakan, kekacauan di muka bumilah yang dapat dihukum mati. Kata Kunci: Kebebasan beragama, Indonesia, ratio legis, riddah.


2018 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 91-112
Author(s):  
Ria Zumaroh

Abstract: This article discusses Islamic penal law perspective on the punishment of online prostitution through social media. In practice, the legal basis of punishing pimps is the Penal Code article 296 with the maximum of 1 year and 4 months of imprisonment or maximum fine of fifteen thousand rupiahs, article 506 with maximum one year of imprisonment. The Penal Code article 284 also punishes prostitutes who act in voluntary adultery. Likewise, the Law No. 11 2008 on electronic information and transaction article 27 (1) states that the felon of this crime is punished with maximum of six year of imprisonment or maximum fine of one billion rupiahs. This punishment is considered lenient and not making felon learning any lesson for his/her wrong doing. In Islamic penal law, online prostitution is considered jarîmah ta’zîr because there is no textual reference on this crime. Judges is authorized to decide punishment for the felon of this jarîmah ta’zîr. Keywords: punishment, online prostitution, social media, Islamic law Abstrak: Artikel ini membahas tentang sanksi prostitusi online melalui media sosial dilihat dari perspektif hukum Islam. Dasar hukum yang digunakan dalam menjerat mucikari adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 296 yaitu pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah; dan Pasal 506 yakni pidana kurungan paling lama satu tahun. Bagi seorang PSK, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkannya sebagai pesenggamaan atas dasar suka sama suka, yang dilakukan oleh seseorang dengan orang yang telah bersuami atau beristri (permukahan) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 284 KUHP. Adapun dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat (1), dijerat dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sanksi ini dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana prostitusi online termasuk dalam kategori jarîmah ta’zîr, karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarîmah ta’zîr. Kata Kunci: Sanksi, prostitusi online, media sosial, hukum Islam.


2018 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 253-276
Author(s):  
Anshori Anshori

Abstract: This article discusses about the pathology of law enforcement against corruption. The pathology of law enforcement against corruption is due to the low moral integrity of the law enforcement apparatus, the government’s bureaucratic system that impedes the law enforcement process, and the unusual relationship between local government and legal institutions. The solutions for the law enforcement against corruption are: (1) working together among communities, media, and NGOs to control and supervise the behavior of law enforcement officials; (2) the government bureaucracy system should have well conceptualized system especially in relation to legal institutions; (3) and improvement of the political system in the region by blocking access to negotiations between local governments and law institutions. Keywords: Pathology, law enforcement, criminal act of corruption. Abstrak: Artikel ini membahas tentang patologi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Patologi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dikarenakan beberpa hal, di antaranya rendahnya integritas moral aparat penegak hukum, sistem birokrasi pemerintah yang menghambat proses penegakan hukum, dan hubungan tidak lazim antara pemerintah daerah dan lembaga hukum. Terapi atau solusi terhadap patologi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi diantaranya adalah hendaknya masyarakat bersama media dan LSM mengkontrol dan mengawasi perilaku para penegak hukum, sistem birokrasi pemerintah hendaknya dikonsep dengan baik terutama hubungannya dengan lembaga hukum ketika menuntut adanya bukti dari pemerintah, dan perbaikan sistem politik di daerah, dengan menutup akses terjadinya negosiasi antara pemerintah daerah dengan lembaga hukum. Kata Kunci: Patologi, penegakan hukum, tindak pidana korupsi.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document