Jurnal Psikologi Sosial
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

78
(FIVE YEARS 53)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By "Universitas Indonesia, Directorate Of Research And Public Service"

2615-8558, 0853-3997

2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 39-48
Author(s):  
Puji Gufron Rhodes ◽  
Andin Andiyasari ◽  
Corina D. Riantoputra

This study aims to investigate the moderating role of managerial openness in the relationbetween power distance orientation and voice behavior. We have successfully collected the datathrough online survey with a total of 102 employees in the Organization XYZ Jakarta. Ouranalysis revealed that power distance orientation is negatively related to voice behavior.However, managerial openness weakened the negative relation between power distanceorientation and voice behavior. Thus, managerial openness was a significant moderator of therelationship between power distance orientation and voice behavior. This result supports thesocial exchange theory which assumed that a person’s relationship with other people isdeveloped and evaluated based on the consequences of their behaviors and the efforts exertedin maintaining the relationships. This study contributes to the understanding of the relationshipbetween power distance orientation and managerial openness in constructing voice behavior.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 76-88
Author(s):  
Luly Luliyarti ◽  
Nurul Fajriah Yahya ◽  
Andi Ahmad Ridha
Keyword(s):  
The Face ◽  

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas teknik door in the face dan foot in thedoor dalam meningkatkan perilaku prososial serta mengetahui perbedaan efektivitaspemberian teknik kesepakatan dalam meningkatkan perilaku prososial. Partisipan penelitianini melibatkan 161 siswa SMA X (Kota) dan SMA Y (Desa) berusia 16-19 tahun. Penelitian inimenggunakan metode eksperimen dengan desain multiple treatments and controls withpretest. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, ada perbedaan efektivitas pemberian teknikdoor in the face dan foot in the door dalam membentuk kesepakatan terhadap perilakuprososial. Teknik foot in the door lebih efektif dalam membentuk kesepakatan terhadapperilaku prososial dibandingkan teknik door in the face. Kedua, ada perbedaan efektivitaspemberian teknik kesepakatan (door in the face dan foot in the door) dalam meningkatkanperilaku prososial di SMA X dan SMA Y. Pemberian teknik door in the face dan foot in the doorlebih efektif dalam meningkatkan perilaku prososial di SMA Y dibandingkan SMA X. Penelitianini dapat dijadikan bahan kajian untuk mengetahui penyebab dibalik perbedaan perilakuprososial yang ditampilkan meskipun mendapatkan perlakuan yang sama.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 59-68
Author(s):  
Muh Reza Firmansyah ◽  
Faturochman Faturochman ◽  
Wenty Marina Minza

Prior qualitative research by Faturochman and Minza (2014) on trust in Indonesia found that trust is influenced by relational attributes, including closeness, support, and reciprocity. This study aims to examine whether the findings of the previous research can be applied in specific forms of relationships, e.g. friendship. The survey method is used in this study, involving 97 males and 123 (N = 220) females who completed a scale related to the variables studied. We found that support and reciprocity significantly predicted the score of trust. However, closeness did not. It was also found that the effect of support is higher than reciprocity. Based on the research, we created the regression model with the contribution of support to the trust 37.8%, then reciprocity addition which was analyzed together with support gave a total contribution to the trust 41.5%. The implication of this study is further discussed.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 89-98
Author(s):  
Ayumi Nalikrama Dienillah ◽  
Sitti Chotidjah

Social support contributes to Lupus patients in the process of treating their diseases. The condition of lupus sufferers who experience various physical changes can affect their psychological state. Social support sometimes does not have a positive influence, but it can also have a negative effect. This study aims to see whether social support can moderate self-acceptance and gratitude for lupus sufferers. Participants in this study were 206 lupus sufferers. The results showed that social support can moderate self-acceptance and gratitude. The results were then discussed.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 69-75
Author(s):  
Ratri Pratiwi ◽  
Tina Afiatin

Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah mediasi orang tua memprediksi kecanduaninternet pada remaja dan apakah hubungan ini dimediasi oleh harga diri. Harga diri diyakinisebagai salah satu faktor internal yang memediasi hubungan mediasi orang tua dan kecanduaninternet. Subjek penelitian adalah 413 siswa dari 5 Sekolah Menengah Atas di Kota Yogyakartadengan usia 13-18 tahun. Kriteria subjek penelitian, yaitu pengguna internet aktif danmenggunakan internet minimal enam jam setiap hari, dan tinggal bersama orang tua yangmenggunakan internet. Analisis data dengan analisis regresi didapatkan hasil bahwa (1) mediasiorang tua berperan secara signifikan terhadap harga diri (β= 0,131, p<0,01), (2) Harga diriberperan secara signifikan terhadap kecanduan internet (β= -0,132, p<0,01) (3) Denganmengontrol harga diri, mediasi orang tua berperan secara signifikan terhadap kecanduaninternet (β= -0,290, p<0,01). Artinya, harga diri memediasi secara parsial hubungan antaramediasi orang tua dengan kecanduan internet.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 1-2
Author(s):  
Joevarian Hudiyana

“All the memories of your facesSeem like days of yoreAnd if the walls are closing inWe'll find a window deep within”(Lin & Sun, 2020) Lirik lagu di atas berasal dari lagu Stay With You, yang dinyanyikan J. J. Lin dan Stefanie Sun. Lagu ini menggambarkan situasi pandemi di mana kita semua menjaga jarak sosial dengan tembok-tembok yang memisahkan kita semua. Secara khusus, lagu ini dipersembahkan untuk tenaga kesehatan yang setiap hari berjuang di garda terdepan untuk melawan wabah COVID-19. Hampir satu tahun telah berlalu sejak kasus pertama virus corona diumumkan di Indonesia. Dalam waktu hampir satu tahun itu pula, kita menyaksikan berbagai dinamika sosial yang terjadi sebagai konsekuensi dari wabah yang melanda seluruh dunia itu. Wabah ini telah menunjukkan aspek-aspek terburuk manusia seperti diskriminasi terhadap pasien COVID-19 (Devakumar, Shannon, Bhopal, & Abubakar, 2020), skeptisisme terhadap sains (Brzezinski, Kecht, Van Dijcke, & Wright, 2020; Latkin, Dayton, Moran, Strickland, & Collins, 2021), teori konspirasi(Imhoff & Lamberty, 2020; Uscinski, dkk., 2020), ketidakpatuhan dalam menjalankan pembatasan sosial (Van Lissa dkk., 2020), dan ditambah lagi dengan respon buruk oleh para pemimpin negara di berbagai belahan dunia (Norrlöf, 2020). Meski demikian, situasi krisis ini juga memunculkan sisi terbaik yang dimiliki oleh manusia. Lagu yang dipersembahkan untuk tenaga kesehatan di awal tulisan ini menunjukkan betapa heroiknya mereka yang rela berkorban demi keselamatan kita semua. Di samping itu, tim peneliti psikologi sosial dari seluruh dunia juga bekerja sama untuk menyelidiki pola perilaku dari reaksi COVID-19 (lihat psycorona.org). Tim PsyCorona ini terdiri atas ratusan peneliti dari berbagai negara. Di Indonesia, PsyCorona diwakili oleh Dr. Mirra Noor Milla, Prof. Dr. Hamdi Muluk, dan saya sendiri (Universitas Indonesia) serta dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ (Universitas Udayana). Kerja sama ini melahirkan berbagai artikel yang sudah terbit dan sedang dalam proses penilaian di jurnal. Dari situ, bisa kita lihat bahwa krisis seperti pandemi COVID-19 ini juga memicu altruisme, perilaku menolong, dan perilaku bekerja sama. Situasi krisis memang telah didemonstrasikan secara empiris bisa memicu kerja sama dan perilaku bahu-membahu memberikan dukungan sosial (Cheng, Lam, & Leung, 2020; Hu &Zhou, 2020; Rodriguez, Trainor, & Quarantelli, 2006). Namun, bagaimanakah proses dan dinamika yang timbul agar bisa memunculkan altruisme? Riset terkait altruisme masih dibutuhkan dalam berbagai konteks, tak terkecuali di konteks Indonesia. Dalam Volume 19 edisi pertama di tahun 2021 ini, Jurnal Psikologi Sosial mempublikasikan delapan naskah empiris dengan tema kerja sama, dukungan sosial, dan altruisme. Naskah pertama ditulis oleh Nugroho, Sajuthi, Mansjoer, Iskandar, dan Darusman yang membahas bagaimana kerja sama bisa muncul pada spesies Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang. Riset ini berkontribusi untuk memahami dalam konteks apa perilaku kooperatif dan kerja sama muncul pada primata. Pengetahuan ini membantu kita untuk memahami hasil perkembangan evolusi manusia dan primata-primata lainnya. Naskah kedua ditulis oleh Permatasari, Agustiani, dan Bachtiar. Mereka menunjukkan secara empiris bahwa anak prasekolah masih kesulitan untuk memahami emosi yang diekspresikan orang lain. Sehingga, empati dan altruism lebih sulit terjadi. Ini berbeda dengan asumsi dari teori sebelumnya tentang tahapan perkembangan anak. Sementara itu, naskah ketiga ditulis oleh Rhodes, Andiyasari, dan Riantoputra. Mereka menemukan bahwa peran pimpinan atau manajer penting untuk merangkul karyawan yang tidak berani bersuara karena nilai power distance. Pimpinan yang lebih terbuka dapat membantu karyawan-karyawan ini untuk lebih berani berpendapat atau menunjukkan voice behavior. Naskah keempat ditulis oleh Rozi dan Prasasti. Mereka menemukan bahwa resiliensi adalah produk dari kesabaran sebagai nilai kebajikan. Nilai kesabaran sebagai salah satu nilai kebajikan ditransimisikan secara intens dalam kebudayaan Indonesia dan dianggap sebagai nilai yang luhur. Nilai ini merupakan mekanisme adaptasi yang unik, dan menjadi simbol dari perilaku prososial di masyarakat (Lestari, 2016). Sementara itu naskah kelima ditulis oleh Firmansyah, Faturochman, dan Minza. Mereka menemukan bahwa rasa saling percaya antar teman bisa diprediksi oleh adanya dukungan sosial dan adanya resiprositas. Namun menariknya, kedekatan interpersonal bukan prediktor yang signifikan jika dibandingkan dengan dua prediktor lain. Ini berimplikasi pada pertanyaan tentang seberapa penting kelekatan interpersonal dalam hubungan pertemanan di Indonesia. Apakah penting? Ataukah lebih penting aspek dukungan sosial dan hubungan timbal balik yang ditunjukkan seorang teman? Naskah keenam oleh Pratiwi dan Afiatin menunjukkan bahwa peranan orang tua sangat penting dalam memprediksi kecanduan internet pada remaja. Ini karena mediasi oleh orangtua bisa menciptakan rasa keberhargaan diri pada remaja. Sementara itu naskah ketujuh merupakan riset yang ditulis oleh Luliyarti, Yahya, dan Ridha menggunakan teknik door in the face dan foot in the door untuk mencoba membuktikan intervensi seperti apa yang bisa meningkatkan perilaku prososial. Terakhir, naskah oleh Dienillah dan Chotidjah menemukan bahwa adanya dukungan sosial sangat penting untuk memoderasi apakah penerimaan diri mampu menciptakan rasa syukur pada penderita lupus. Kami selaku tim editor JPS berharap naskah-naskah yang dipublikasikan pada edisi ini bisa berdampak bagi perkembangan ilmu di Indonesia, khususnya terkait topik perilaku prososial dan perilaku kerja sama.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 7-25
Author(s):  
Dwi Atmoko Agung Nugroho ◽  
Dondin Sajuthi ◽  
Sri Soepraptini Mansjoer ◽  
Entang Iskandar ◽  
Huda Shalahuddin Darusman

  This study aims to promote Macaca fascicularis as a comparative psychology model in finding the root and solution of resource inequity by exploring inhibitor effect on refusal behavior, acceptance, and aggression toward the feed distribution numbers in six pairs of female long-tailed macaques. We observed the frequency of refusal behavior, acceptance, and aggression toward the distribution of red grape with a ratio of: a) 1:1, 0:2, 1:3 without environmental inhibitors (with an opened-aclyric tray) and b) ratios 1:1 with an environmental inhibitor (with a transparent restriction box) in 60 trials per condition. The sample size was N = 10. Non-parametric statistical analysis of Wilcoxon Signed-Rank Test showed that 1:1 ratio with environmental inhibitor produces a lower response of refusal behavior compared to 1:3 without inhibitor. It produced a lower response of aggression compared to other ratios. It produced a greater acceptance compared to other ratios. These long-tailed macaques do not accept the equity conditions except with environmental inhibitors. Based on this fact, we conclude that long-tailed macaques are a good spontaneous model for the comparative psychology of inequity.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 49-58
Author(s):  
Fahrul Rozi ◽  
Anggun Prasasti

The current study is intended to determine the role of hope in the effect of patience on resilience. This study predicts effects are impatient with the resilience reinforced with high hope disposition. 320 respondents (52% female) participated in this study with an average age of 16.3 (SD = 0.89). The results of this study indicates that hope has a significant role as a moderator in the relationship between patience and resilience. In individuals who have high disposition of hope, the effects of patience to resilience will be stronger. Meanwhile, in individuals who have lower disposition of hope, the effects of patience to resilience becomes insignificant. The results of the study prove that the effect of patience on resilience is strengthened by the high disposition of hope.


2021 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 3-6
Author(s):  
Bagus Takwin

Selama masa pandemi COVID-19, tak jarang kita menyaksikan tampilnya karakteristik suka menolong pada manusia. Dalam komunitas luring mau-pun daring, berbagai aktivitas memberikan bantuan dan ajakan untuk memberikan bantuan ditam-pilkan, mulai dari memberikan donasi, membagi bahan-bahan makanan pokok, melibatkan diri dalam satuan tugas membantu para penderita COVID-19, hingga menjadi sukarelawan di rumah sakit. Ini menggugah para peneliti psikologi, termasuk ahli psikologi sosial, untuk mencari tahu lebih jauh mengenai gejala tingkah laku menolong, atau lebih luas lagi, tingkah laku prososial. Dalam beberapa diskusi muncul pertanyaan, “apakah perilaku prososial dapat dipertahankan atau berlanjut setelah pandemi COVID-19?” Penelitian mengenai tingkah laku proso-sial sudah cukup lama dilakukan dalam psikologi kepribadian dan sosial. Banyak peneliti sudah ber-usaha mengeksplorasi mengapa orang membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Fenomena ini telah dijelaskan menggunakan berbagai kerang-ka disiplin ilmu termasuk psikologi, ekonomi, an-tropologi, biologi, dan filsafat. Proyek penelitian kepribadian skala besar yang paling awal yang dilakukan di Amerika Serikat adalah Studies in the Nature of Character oleh Hartshorne dan May pada 1928 yang diikuti oleh volume berikutnya pada tahun 1929 dan 1930. Hartshorne dan May (1928) berusaha untuk menentukan apakah kecenderung-an anak-anak untuk terlibat dalam perilaku proso-sial, seperti suka menolong, jujur, dan pengendali-an diri disebabkan oleh karakteristik pribadi yang bertahan atau merupakan hasil dari batasan dan tuntutan situasional tertentu. Studi itu melaporkan korelasi sederhana di berbagai ukuran perilaku prososial mereka dan menyimpulkan bahwa tin-dakan prososial sebagian besar ditentukan secara situasional (Hartshorne dan May, 1928). Ada banyak bantahan terhadap kesimpulan itu (di antaranya, Rushton, 1981). Namun, perspektif "situasionist" mendominasi penelitian tentang penyebab tindakan prososial setidaknya sampai tahun 1970-an. Di dekade 1970-an, biolog Edward O. Wilson memulai bidang baru, sosiobiologi, untuk mempelajari tingkah laku sosial hewan dan manusia (Wilson, 1975). Dalam bukunya itu, dikemukakan ada bukti bahwa tindakan sukarela yang menguntungkan orang lain berakar pada tingkah laku manusia dan hewan. Sejak itu, banyak studi dilakukan dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel yang intinya menyatakan bahwa tingkah laku membantu, bahkan menyelamatkan, adalah bawaan dari primata, lebah penolong, semut, anjing liar, dan spesies lainnya. Beberapa ahli psikologi perkembangan, juga ilmuwan sosial lainnya, mencermati dunia hewan dan menunjuk berbagai gejala di sana sebagai bukti bahwa tingkah laku prososial adalah fungsi biologis manusia yang telah terprogram dan bukan hanya tindakan yang dipupuk atau dipelajari. Pendekatan Wilson sejalan dengan pendekatan J.P. Rushton tentang altruisme dan tingkah laku prososial. Selama 40 tahun terakhir masa hidupnya, Rushton meneliti gejala itu. Ia mengubah pendekatan teoritisnya dari teori pembelajaran sosial menjadi teori sifat, lalu menjadi sosiobiologi. Pada akhirnya, ia menyatakan ada pengaruh fondasi genetik dari tingkah laku prososial dan altruisme (Rushton, 1980, 1989, 1991, 2004, 2009). Studinya tentang tingkah laku prososial anak kembar menggunakan kelompok usia yang berbeda dari sampel barat dan Asia memberi kesimpulan bahwa sekitar 50% variasi dalam tingkah laku prososial dapat diwariskan (Rushton dkk., 1986; Rushton & Bons, 2005). Rushton juga menyatakan bahwa altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian, sebagai puncak dari hierarki kepribadian (Rushton, 1985, 1995; Rushton, Bons, & Hur, 2008; Rushton & Irwing, 2011). Dalam kenyataan sehari-hari, dapat disaksikan tingkah prososial memiliki banyak “wajah” dan bentuk. Dapat disaksikan juga bahwa setiap orang memiliki repertoar sendiri-sendiri dari tingkah laku prosial, serta menampilkannya dengan beragam cara yang khusus. Namun, semua itu dapat dikategorikan sebagai tingkah prososial, yaitu "tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu atau kelompok individu lain" (Eisenberg & Mussen 1989:3). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa tindakan sosial lebih dikenali dari konsekuensi tindakan pelaku daripada motivasi di balik tindakan tersebut. Cakupan tingkah prososial luas, meliputi, di antaranya, tindakan berbagi, menghibur, menyelamatkan, dan membantu. Konteksnya juga beragam, di antaranya, konteks yang melibatkan keluarga, teman, rekan kerja, dan orang asing. Singkatnya, tingkah laku prososial adalah konstruksi yang luas dan multidimensi (Padilla-Walker & Carlo, 2014). Meskipun ada yang menyatakan bahwa perilaku prososial berbeda dengan altruisme, tetapi banyak yang memandang bahwa keduanya dapat disamakan. Perbedaan antara keduanya umumnya dalam hal aspek yang diberi penekanan. Perilaku prososial mengacu pada pola aktivitas, sedangkan altruisme adalah motivasi untuk membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka daripada bagaimana tindakan itu akan menguntungkan diri sendiri. Terleepas dari aspek aktivitas dan motifnya, keduanya memiliki kesamaan ketika ditampilkan dalam bentuk tingkah laku. Altruisme dapat digolongkan sebagai tingkah laku prososial. Secara khusus, altruisme adalah tingkah laku prososial yang dimotivasi oleh keinginan membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka. Dengan demikian, tingkah laku prososial dapat dipahami sebagai payung dari altruisme atau kategori tingkah laku yang mencakup altruisme. Belakangan ini studi mengenai tingkah laku prososial semakin banyak dilakukan. Kita bisa temukan di antaranya studi tentang altruisme (Farrelly 2019), kerja sama (Bhogal, 2019), heroisme (Margana dkk., 2019),  fairness (Bhogal dkk., 2016, 2017), dan trustworthiness (Ehlebracht dkk., 2018). Semakin banyaknya studi mengenai tingkah laku prososial mengindikasikan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mengenai tingkah laku prososial, sekaligus menonjolnya fenomena itu sehingga penting untuk dieksplorasi secara empirik. Tingkah laku yang dapat digambarkan sebagai prososial termasuk kecenderungan simpati dan kekhawatiran terhadap orang lain dan bertindak dalam pendekatan untuk membantu atau menguntungkan orang yang berbeda. Ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, beberapa orang lebih prososial daripada yang lain. Anak-anak dan orang dewasa yang prososial memiliki kecenderungan untuk cenderung berperasaan terhadap orang lain. Tampaknya ada beberapa kesinambungan dalam tanggapan prososial sejak usia yang cukup dini. Di studi-studi lainnya, tingkah laku prososial dijelaskan dalam kaitannya dengan emosi dan well-being individu lain dan juga untuk diri sendiri. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkah laku prososial sebagian besar didasarkan pada keadaan dan situasi orang yang menampilkannya juga pengalaman masa lalunya. Ditemukan bahwa pengalaman juga menentukan perilaku prososial seseorang. Meski sudah banyak penelitian terhadap tingkah laku prososial dilakukan sejak Hartshorne dan rekan-rekannya meneliti gejala ini, masih banyak celah yang tersisa dalam pemahaman kita tentangnya. Kita ditantang untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi mengenai prososialitas. Situasi dunia saat ini yang sangat membutuhkan sifat dan tingkah laku prososial menegaskan adanya keperluan pengetahuan lebih dalam tentang bagaimana sifat dan tingkah itu dapat dikembangkan dan lebih banyak muncul. Untuk itu, kita perlu memikirkan arah masa depan penelitian terhadap tingkah laku prososial dan faktor-faktornya. Mengingat sifatnya yang multidimensional, pemahaman mengenai tingkah laku prososial membutuhkan kajian yang lebih rinci dan menyeluruh. Diperlukan ide konseptual yang dapat menggerakkan karya ilmiah di bidang tingkah laku prososial secara substansial agar dapat memberikan arahan untuk jalan baru bagi penelitian masa depan terhadap tingkah laku prososial, beserta perkembangan dan faktor-faktornya. Dari sudut dan aspek mana saja tingkah laku prososial dapat diteliti di Indonesia? Penelitian mengenai faktor-faktor apa yang memprediksi perilaku prososial masih bisa dan perlu diperdalam. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan model kecerdasan emosional atau dari sudut karakteristik tingkah laku prososial yang bersifat multidimensi. Penelitian juga dapat dilakukan dengan melihat pada aspek perkembangan, seperti mengeksplorasi kemurahan hati pada anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia. Terkait dengan pengenalan dan pengukuran tingkah laku prososial,  studi mengenai pengukuran gejala ini juga perlu dikembangkan, mencakup validitas dan adaptasi instrumen yang sudah ada, atau konstruksi alat ukur baru. Usaha-usaha komprehensif masih diperlukan untuk menemukan sifat psikometrik yang kuat dari alat ukur tingkah laku sosial dalam berbagai wajah dan bentuknya. Belakangan, pendekatan evolusioner untuk banyak digunakan memahami perilaku prososial. Hal ini juga perlu dikembangkan di Indonesia. Dalam ranah Psikologi Evolusioner, perdebatan masih berlangsung, sebagian besar berkaitan dengan usaha menemukan bukti bahwa tingkah laku prososial merupakan instrumen untuk adaptasi yang terkait dengan pemilihan pasangan, perkawinan, reproduksi, dan usaha mempertahankan spesies. Dukungan lebih lanjut bagi pendapat yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti daya tarik fisik mempengaruhi tingkah laku prososial dalam berbagai konteks masih diperlukan. Dari aspek fisiologis dan neurologis, ada pandangan mengenai pengaruh pemberian hadiah dan mendapatkan jasa baik dari orang lain terhadap konektivitas antarsaraf di otak. Hal ini memberi pemahaman baru mengenai hubungan sistem saraf dan tingkah laku prososial, juga memberi pemahaman mengenai dasar neurologis antara pemberi dan penerima dalam situasi saling menolong. Studi tentang bagaimana perilaku prososial memoderasi atau memediasi perilaku dalam kelompok dan antarkelompok, serta kaitannya dengan interaksi antara kelompok sosial yang berbeda dan kehidupan bersama yang damai juga masih perlu dilakukan. Sekali lagi, saat ini, kebutuhan studi mengenai tingkah laku prososial sangat tinggi. Dalam keseharian, tak jarang terdengar orang-orang menyatakan bahwa sepertinya saat ini kita hidup dalam masyarakat yang kurang memiliki tingkah laku prososial. Barangkali pernyataan semacam itu tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan, tetapi itu mengindikasikan adanya kebutuhan yang tinggi akan tingkah laku prososial, atau dapat dikatakan juga, ada deprivasi tingkah laku prososial. Jika kita menerima pandangan Rushton dkk. (2008), bahwa sifat prososial dan altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian yang merupakan puncak dari hierarki kepribadian, maka mengembangkan sifat dan tingkah laku prosial, terutama altruisme, merupakan upaya mengembangkan kualitas kemanusiaan yang lebih baik. Tingkah laku prososial dan altruisme yang didasari oleh empati sangat vital untuk berfungsinya masyarakat dan menghasilkan perubahan-perubahan positif yang memajukan kehidupan manusia. Psikologi sosial sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku dan proses mental dalam konteks sosial, punya potensi untuk membantu, melakukan penelitian yang hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku baik, menggugah, dan memperbanyak tampilnya tingkah laku prososial dan altruisme. Hasil-hasil penelitian psikologi sosial atas fenomena ini nantinya diharapkan dapat digunakan untuk memfasilitasi dan meningkatkan interaksi sosial yang positif, meningkatkan mutu hubungan sosial dan budaya yang mengedepankan kerja sama untuk kesejahteraan bersama. Salah satu harapan terdekat yang ingin dijaga: setelah berhasil melewati pandemi covid-19, tingkah laku prososial dan altruisme bertahan, bahkan meningkat.


2020 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 26-38
Author(s):  
Putri Arlanda Permatasari ◽  
Hendriati Agustiani ◽  
Amir Sjarif Bachtiar

Previous studies suggested that preschoolers have already behaved prosocially. However,there is a possibility that such insight cannot be generalized since there is a conflictingassumption between different theoretical perspectives. The research aimed to explorewhether pre-schoolers’ perspective-taking in the context of prosocial behavior had developed.Our participants were 25 preschoolers who were 5-6 years old. The result showed that fromthe three types of perspective-taking, which were perceptual, cognitive, and affectiveperspective-taking, affective perspective-taking was undeveloped optimally among themajority of pre-schoolers. They had difficulty when identified others’ emotions in the context,especially in prosocial situations. For cognitive perspective-taking, preschoolers understoodother people’s thoughts, intentions, and motives, but only when the environmental cues weresimple. When the situation was more complex, their efforts to understand other people’sthoughts, intentions, or motives resulting in different understanding about the situations.Preschoolers’ ability to do perceptual perspective-taking had developed. They could shift theirperceptual perspective-taking from themselves to other perceptual perspective-taking. Theresults can be used as a reference for developing intervention programs to improveperspective-taking skills in contexts of prosocial behavior in preschool children.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document