Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

25
(FIVE YEARS 5)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Indonesian Society Of Internal Medicine Bali

2580-2933, 2580-2925

2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 22-25
Author(s):  
Gede Kambayana ◽  
Meryl Pulcheria ◽  
I Gde Raka Widiana

Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is characterized by remarkable heterogeneity in clinical manifestations with underlying autoimmune mechanisms. The pleiotropic cytokine interleukin-6 (IL-6) is known to be involved in SLE immunopathogenesis and significantly related to disease activity as well as its complications. Additionally, IL-6 has been demonstrated to underlie important roles in lupus nephritis. Objective: To determine the correlation between Interleukin 6 (IL-6) Serum and Glomelular Filtration Rate (GFR) in SLE. Methods: In this study we investigated the correlation of serum IL-6 with glomerular filtration rate (GFR) to assess kidney damage in 67 premenopausal patients aged between 17-50 years with inactive SLE. The study variables including age, duration of illness, cumulative corticosteroid dose, MEX-SLEDAI score, serum creatinine, and GFR were obtained through interview and medical record review; whilst serum level of IL-6 was measured using ELISA. Results: Median level of IL-6 was found to be 2.71 (0.332-10.000) pg/ml. Pearson correlation test showed significant correlation between serum IL-6 and GFR (r = 0.288, P = 0.018). Conclusion: This study result shows that there was positive correlation observed between serum IL-6 and GFR in inactive SLE.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 18-21
Author(s):  
Putu Dhenny Wahyu Wiguna ◽  
Wayan Sudhana

Minimal change disease (MCD) merupakan penyebab sindrom nefrotik pada 10% -15% orang dewasa. Hiperseluleritas ringan mesangial dapat ditemukan tapi jarang pada pasien MCD (3% sampai 5%). Ditemukanya hyperseluleritas mesangial pada MCD dapat berkorelasi dengan peningkatan resistensi terhadap terapi kortikosteroid, dan merupakan langkah perantara dalam kasus evolusi (perkembangan) MCD ke fokal segmented gromelurosclerosis (FSGS). Telah dilaporkan seorang perempuan 13 tahun dengan keluhan bengkak pada kelopak mata, tangan dan kaki. Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan dengan albumin serum 2,4 g/dl; cholesterol total 396 g/dl;  protein loss 6g/24jam; protein urin (+3). Pasien telah terdiagosis sindrom nefrotik 2 tahun sebelumnya dan dinyatakan sembuh. Saat ini pasien didiagnosis dengan sindroma nefrotik relaps, dan telah dilakukan biopsi ginjal dengan gambaran peningkatan matriks dan seluleritas mesangial, foam cell changes pada tubuli dan adanya inflamasi pada jaringan interstisial, yang mengarah pada diagnosis MCD yang diduga mengalami evolusi (perkembangan) menuju FSGS. Kasus ini diangkat karena merupakan kasus jarang yang memiliki prognosis yang kurang baik terkait resistensi terhadap kortikosteroid.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 14-17
Author(s):  
Rose Vita Sari ◽  
RA Tuty Kuswardhani ◽  
I Gusti Putu Suka Aryana ◽  
Rai Purnami ◽  
Ida Bagus Putrawan ◽  
...  
Keyword(s):  

Salah satu risiko akibat hipertensi adalah gangguan kognitif meskipun ada risiko lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi hipertensi terhadap gangguan kognitif. Penelitian menggunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Subyek dalam penelitian ini adalah 46 lansia di Panti Werdha Wana Seraya Denpasar. Data dikumpulkan melalui kuesioner MMSE dan pengukuran tekanan darah. Prevalensi hipertensi dan gangguan kognitif adalah 47% (22/46) dan 47% (22/46). Di antara 39% (18/46) individu yang mengalami hipertensi, gangguan kognitif ditemukan perbedaan yang signifikan (p=0,000). Ada korelasi yang signifikan antara gangguan kognitif dengan hipertensi jika gangguan kognitif sebagai variable dependen (r = 0,636; p = 0,001). Kesimpulan terdapat korelasi antara gangguan kognitif dan hipertensi. Hipertensi mempengaruhi fungsi kognitif.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 8-13
Author(s):  
Ariska Megasari ◽  
Ida Bagus Ngurah Rai ◽  
Ketut Suryana

Background: COPD exacerbations can be caused by infections and environmental pollutants. One guideline for antibiotic administration in acute exacerbation COPD  is in patients with Anthonisen criteria types 1 and 2 based on patients' subjective complaints (increased dyspneu, increased sputum volume and sputum purulence). Procalcitonin (PCT) is an objective and specific marker of bacterial infections that are not affected much by  disease condition or steroid drugs that are widely used by COPD patients. This study was conducted to determine the relationship between procalcitonin levels and Anthonisen criteria in acute exacerbation of COPD. Methods: This study used an analytical cross sectional design at Sanglah General Hospital and Wangaya Hospital in March-May 2018. Data analysis used the Bivariate Spearman correlation test, and Kruskal-wallis to determine the median PCT level difference according to Anthonisen type. Result: Total subjects were 43 samples of acute exacerbation COPD patients, with median PCT levels were 0.18 (0.02-47.8) ng/ml. Spearman correlation analysis showed no significant correlation between serum PCT levels and Anthonisen type (r = -0,175, p = 0.26). We also found a significant correlation between Anthonisen criteria with WBC and neutrophil count. After excluding several outliers data, there was a significant difference in median PCT value based on the Anthonisen type. The median PCT was higher in Anthonisen type 1 compared to type 2 and 3 (p = 0.029).  Conclusion: there was no relationship between levels of PCT with Anthonisen type but we found significant higher PCT level in Anthonisen type 1 after excluding extreme value.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 1-7
Author(s):  
Made Bakta

Multiple myeloma (MM) is a neoplastic plasma disorder that is characterized by clonal proliferation of malignant plasma cells in the bone marrow, monoclonal protein in the blood or urine and associated organ dysfunction. It is preceded by a premalignant tumor which is share genetic abnormalities, monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS). Although remarkable progress has been achieved, but pathogenesis of MM is still very complex. Multiple myeloma appears to arise from the malignant transformation of germinal-center B-lymphocyte. The first oncogenic events in MM appear to occur in the germinal center due to error in isotype class switching and somatic hypermutation. MM is divided into two distinct genetic subtypes: (1) hyperdiploid myeloma is characterized by multiple trisomies of chromosome 3, 5, 7, 9, 11, 15, 19 and 21; (2) non-hyperdiploid in contrast is characterized by recurrence translocations t(4;14), t(14;16), t (14;20); t(6;14) and t(11;14). A unifying event in the pathogenesis of MM is the dysregulated expression of cyclin D gene. Genetic aberrations occur in MM and also in premalignant state (MGUS), suggesting that genetic mutations alone are necessary, but not sufficient for myeloma transformation. A “ random second hit model” was proposed. Hypothetical second hits are: additional genetic changes ( RAS mutation, p16 methylation, p53 mutation), proliferation due to cell cycle dysregulation, evasion of programmed cell death and changes in bone marrow microenvironment. A complex interaction with the BM microenvironment , characterized by activation of osteoclast and supression of osteoblast , leads to lytic bone lesions. 


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 32-37
Author(s):  
Sandra Surya Rini ◽  
Tuty Kuswardhani ◽  
Suka Aryana

Latar Belakang: Gangguan kognitif merupakan salah satu masalah kesehatan lansia dan merupakan prediktor mayor kejadian demensia yang masih menjadi permasalahan kesehatan dan sosial. Penurunan fungsi intelektual merupakan masalah paling serius ketika proses penuaan yang akan mengakibatkan lansia sulit untuk hidup mandiri, dan meningkatkan risiko terjadinya demensia sehingga lansia akan mengalami gangguan perilaku dan penurunan kualitas hidup. Tujuan: Melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan kognitif pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar, Bali. Metode: Studi ini menggunakan desain analitik potong lintang dengan metode pengambilan sampel adalah total sampling. Sebanyak 30 sampel terkumpul, dengan 10 sampel dengan fungsi kognitif normal dan 20 sampel memiliki gangguan kognitif. Sampel dilakukan wawancara untuk mengetahui karakteristik demografi. Variabel gangguan pendengaran dinilai dengan kuisioner Hearing  Handicap  Inventory  for  the  Elderly-Screening, Frailty diukur dengan menggunakan Fried Frailty Index, tingkat kemandirian dinilai dengan Activity Daily Living Barthel dan fungsi kognitif dengan kuisioner Montreal Cognitive Assessment Indonesia. Analisis data menggunakan SPSS 17 dengan uji fisher’s exact. Hasil: Sejumlah 30 sampel lansia yang berusia 61-94 tahun mengikuti studi ini dengan median usia 73,73 tahun. Sebanyak 20 sampel didapatkan ada gangguan kognitif dan 10 sampel memiliki fungsi kognitif normal. Skor MoCA-INA berkisar antara 11 – 27 dengan rata-rata skor 19. Dari berbagai variabel yang dianalisis, gangguan pendengaran(p=0,000), tingkat kemandirian (p=0,005), frailty (p=0,017) berhubungan dengan gangguan kognitif secara bermakna. Simpulan: Terdapat 20 orang (67%) mengalami gangguan kognitif. Gangguan pendengaran, frailty, tingkat kemandirian merupakan variabel yang berhubungan dengan gangguan kognitif pada studi ini.


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 23-27
Author(s):  
Ni Made Dwi Adnyani ◽  
I Gde Raka Widiana

Karsinoma sel renal (KSR) merupakan kanker yang cukup sering terjadi, sekitar 3 sampai 4% kasus di Amerika Serikat, namun di Asia kasusnya cukup jarang. Insiden KSR semakin menigkat dalam beberapa tahun terakhir. Perokok aktif dan pasif seperti juga hipertensi merupakan faktor risiko KSR. Dilaporkan sebuah kasus, perempuan, 61 tahun, dengan Chronic Kidney Disease (CKD) stadium V et causa chronic pyelonephritis (PNC) single kidney, batu ureter 1/3 distal sinistra, hidronefrosis derajat IV ginjal sinistra, adenokarsinoma (Adeno Ca) renal dextra stadium III post radical nefrectomy. Pasca operasi kondisi pasien sempat membaik, produksi urine cukup ± 800 cc/24 jam, dan ada penurunan serum kreatinin. Pasien sempat menjalani beberapa kali hemodialis selama perawatan dan direncanakan hemodialisis regular. Sepuluh hari paska MRS pasien kembali dirawat dengan pneumonia (Health Care Associated Pneumonia) dan diberikan antibiotik empiris, dalam perkembanganya kondisi semakin memburuk dan akhirnya meninggal dengan penyebab kematian syok sepsis. Kasus ini diangkat untuk memperdalam mengenai diagnosis dan tatalaksana seorang penderita dengan renal sel karsinoma sehingga dapat mencegah terjadinya prognosis buruk di kemudian hari.


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 44-47
Author(s):  
Karismayusa Sudjana ◽  
Nyoman Paramita Ayu ◽  
Yenny Kandarini ◽  
Raka Widiana ◽  
Wayan Sudhana ◽  
...  
Keyword(s):  

Latar Belakang: Pasien hemodialisis regular memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan populasinormal. Angka kesintasam hidup lima tahun pasien hemodialisis regular adalah 35,8% namun angka ini bervariasi di tiap populasi dan dipengaruhi berbagai faktor.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan dari kesintasan hidup lebih dari lima tahun pada pasien hemodialisis regular.Metode: Penelitian ini menggunakan metode kasus-kontrol. Data diambil dari Indonesian Renal Registry Report di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali. 37 pasien yang menjalani hemodialisis regular selama lebih dari 5 tahun dicocokkan dengan 37 pasien yang menjalani hemodialisis regular selama kurang dari 5 tahun, berdasarkan umur. Data dianalisis dengan uji chi-square.Hasil: Prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis regular selama lebih dari 5 tahun didapatkan 9,52%. Kamimenganalisa etiologi penyakit ginjal kronik (PGK), jenis kelamin, tekanan darah, anemia, dan status kecukupanhemodialisis. Perbedaan signifikan kedua kelompok didapatkan pada etiologi PGK (p = 0,021) dan anemia  p=0,0). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada jenis kelamin, tekanan darah, dan status kecukupan hemodialisis (p = 0,63, p = 0,64, dan p = 0,34).Simpulan: Penelitian kami menunjukkan bahwa faktor determinan yang berperan signifikan pada kesintasan hidup lebih dari 5 tahun adalah etiologi PGK dan status anemia.


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 38-43
Author(s):  
Daniel Winarto ◽  
Ni Made Renny A Rena ◽  
Wayan Losen Adnyana ◽  
Tjokorda Gede Dharmayuda ◽  
Ketut Suega ◽  
...  

Latar belakang: Anemia sering ditemukan pada saat diagnosis awal LNH. Anemia dapat terjadi karena beberapa kondisi, seperti perdarahan terkait LNH dengan atau tanpa anemia defisiensi besi, anemia karena penyakit kronik, infiltrasi sel-sel LNH ke sumsum tulang, anemia hemolitik autoimun maupun anemia terkait kemoterapi. Anemia mempengaruhi perjalanan klinis dan kesintasan pasien-pasien LNH. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kadar Hb awal merupakan faktor prognostik penderita LNH yang menjalani kemoterapi.  Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif mulai bulan Januari 2013 sampai bulan September 2017 pada penderita LNH yang menjalani kemoterapi di RSUP Sanglah Denpasar. Hubungan antara kadar Hb dengan skor R-IPI dianalisis menggunakan uji Mann Whitney. Analisis kesintasan menggunakan metode Kaplan Meier dan Cox Proportional Hazard Mode dengan menggunakan software SPSS. Hasil: Dari 88 penderita LNH, dieksklusi 31 penderita, sehingga total sampel sebanyak 57 orang. Dengan menggunakan analisis komparatif Mann Whitney didapatkan perbedaan signifikan pada skor R-IPI antara pasien LNH dengan Hb ≥ 10 g/dl (md=1, n=46) dan kadar Hb < 10 g/dl (md=3, n=11) (z= -2,106; p= 0,035; d= 0,28). Analisis dengan Kaplan Meier, didapatkan penderita dengan kadar Hb<10 gram/dL memiliki kesintasan lebih pendek dibanding penderita dengan kadar Hb≥10 gram/dL (± 255 vs ± 850 hari; p= 0,002; IK 95%) dan  dengan analisis Cox Regression didapatkan Hazard ratio sebesar 4.46 (p= 0,005). Simpulan: Kadar hemoglobin awal dapat digunakan sebagai faktor prognostik mortalitas penderita LNH yang menjalani kemoterapi.


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 28-31
Author(s):  
Evan Pratama Ludirdja ◽  
Ni Made Renny Anggreni Rena ◽  
Ketut Suega ◽  
Made Bakta

Latar belakang: Limfoma Non-Hodgkin (LNH) memiliki manifestasi dan gambaran histologi yang heterogen. Berdasarkan klasifikasi Working Formulation, LNH dibagi menjadi 3, yaitu derajat keganasan rendah, menengah, dan tinggi, yang mencerminkan derajat agresifitas LNH berdasarkan gambaran histopatologiknya. Pada beberapa studi dikatakan LNH tipe indolen cenderung tumbuh lambat dan memiliki kesintasan lebih panjang dibanding tipe yang lebih agresif Tujuan: Membandingkan median kesintasan penderita LNH dari jenis sel B berdasarkan derajat keganasannya sesuai dengan klasifikasi Working Formulation Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif, antara bulan Januari 2013 sampai Juli 2017 di RSUP Sanglah Denpasar. Analisis menggunakan Kaplan meier dan seluruh data dianalisis menggunakan SPSS. Hasil: Dari 88 penderita LNH, diambil 38 subyek yang eligible. Dari data didapatkan sebanyak 21 penderita (55,3%) berjenis kelamin laki-laki, dengan gambaran histopatologi terbanyak berupa Diffuse Large Cell (36,8%). Sebanyak 3 penderita (7,9%) termasuk dalam derajat keganasan rendah, 25 penderita (65,8%) termasuk dalam derajat keganasan menengah, dan 10 penderita (26,3%) dengan derajat keganasan tinggi. Median kesintasan pada LNH derajat keganasan rendah di atas 1 tahun (IK 95%), derajat keganasan menengah 271 hari (IK 95%), dan derajat keganasan tinggi 31 hari (0-72,837, IK 95%), dengan nilai p=0,133, namun kelompok dengan derajat keganasan tinggi cenderung memiliki kesintasan yang lebih rendah dibanding 2 kelompok yang lain. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan kesintasan penderita LNH dengan derajat keganasan rendah, sedang, dan tinggi.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document