scholarly journals KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L]Moench) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum graminicola) PADA DUA SISTEM POLA TANAM BERBEDA

2019 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 351
Author(s):  
Agnes Ratnasari ◽  
Efri Efri ◽  
Muhammad Syamsoel Hadi ◽  
Hasriadi Mat Akin

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui ketahanan 15 genotipe sorgum yang ditanam pada dua sistem tanam berbeda yaitu monokultur dan tumpangsari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017- Februari 2018 di Desa Sukanegara, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perlakuan disusunmenggunakan rancangan acak kekompok dalam Split Plot Design dengan faktor utama adalah sistem pola tanam (tumpangsari, monokultur), dan anak petak adalah 15 genotipe sorgum (Numbu, Samurai 1, GH3, UPCA, GH4, P/I WHP, GH6, Super 2, GH13, P/F 51-93-C, Super 1, GH5, Mandau, GH7 dan TalagaBodas). Monokultur sorgum ditanam pada jarak 80 cm x 20 cm. Tumpangsari sorgum ubikayu dilakukan dengan cara menanam sorgum di antara tanaman ubikayusehingga jarak tanam sorgum tetap 80 cm x 20 cm, sedangkan jarak tanam ubikayu 80 cm x 60 cm, baik sorgum maupun ubikayu ditanam secara bersamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tanam tumpangsari lebih efektif untuk menekan intensitas penyakit antraknosa. Pada penelitian ini intensitas penyakit antraknosa terhadap 15 genotipe sorgum yang diamati dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Genotipe Numbu, GH3, Talaga Bodas, Super 1, dan Mandau adalah genotipe dengan intensitas penyaki terendah dibandingkan genotipe Samurai 1, UPCA, GH4, P/I WHP, GH13, P/F 5-193-C, GH5, GH6 dan GH7 . Genotipe Samurai 1, UPCA, GH4, P/I WHP, GH13, P/F 5-193-C, GH5, GH6 dan GH7 adalah genotipe yang intensitas penyakitnya lebih rendah dibandingkan genotipe Super 2. Dan genotipe Super 2 adalah genotipe dengan intnsitas penyakit antraknosa tertinggi.

2021 ◽  
Vol 9 (3) ◽  
pp. 407
Author(s):  
RM Ulin Nadhif ◽  
F X Susilo ◽  
M Syamsoel Hadi ◽  
Purnomo Purnomo

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh genotipe tanaman sorgum dan pengaruh pola tanam terhadap kelimpahan kumbang kubah predator pada tanaman sorgum. Penelitian dilakukan di Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Maret sampai Agustus 2017. Perlakuan disusun dalam rancangan petak terbagi (split plot design) dengan 3 ulangan (blok).  Petak utama adalah pola tanam (monokultur vs tumpangsari) dan anak petak adalah genotipe sorgum (15 genotipe). Data dianalisis ragam (taraf nyata 0,01) dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 0,05. Genotipe sorgum berpengaruh nyata terhadap kelimpahan kumbang kubah predator coccinellidae (genotipe Talaga Bodas memiliki kelimpahan kumbang kubah tertinggi dan Numbu dengan kelimpahan kumbang kubah terendah). Pola tanam tidak bepengaruh terhadap kelimpahan kumbang kubah predator. Interaksi antara genotipe sorgum dan pola tanam terjadi pada pengamatan ke lima (7 MST), pada pengamatan ini kelimpahan kumbang kubah predator ditemukan pada GH-6 monokultur.


2021 ◽  
Vol 9 (3) ◽  
pp. 523
Author(s):  
M. Eldhino Mardhitiar Alayubie ◽  
F X Susilo ◽  
M Syamsoel Hadi ◽  
Lestari Wibowo

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh genotipe tanaman sorgum dan pola tanam sorgum (tumpangsari versus monokutur) terhadap tingkat serangan hama kutu daun pada tanaman sorgum.  Pada plot-plot percobaan dilakukan 1) penanaman tumpangsari tanaman sorgum-ubikayu, 2) penggunaan 15 genotipe sorgum, dan 3) pengamatan terhadap serangan hama kutu daun pada tanaman sorgum.  Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Maret sampai Agustus 2017.  Perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (split plot design) dengan petak utama adalah pola tanam (tumpangsari dan monokultur) dan anak petak adalah 15 genotipe sorgum, dengan tiga ulangan (blok).  Data dianalisis ragam (taraf nyata 0,01 atau 0,05), dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 0,05.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe sorgum berpengaruh nyata terhadap serangan hama kutu daun.  Genotipe GH-13 rentan terhadap serangan kutu daun.Genotipe GH-3, GH-7, Super 2, P/F 5-193C, dan Talaga Bodas ketahanannya sedang cenderung rentan terhadap serangan kutu daun.  Genotipe yang tahan terhadap serangan kutu daun yaitu P/I WHP.  Genotipe GH-4, GH-5, GH-6, Samurai 1, Super 1, Numbu, Mandau, dan UPCA ketahanannya sedang cenderung tahan terhadap kutu daun.Selain itu terlihat bahwa pola tanam tumpangsari dan monokultur berpengaruh nyata terhadap serangan kutu daun yakni pola tanam tumpangsari dapat menurunkan serangan kutu daun pada tanaman sorgum.


2015 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
Author(s):  
Novri Novri ◽  
Muhammad Kamal ◽  
Sunyoto Sunyoto ◽  
Kuswanta Futas Hidayat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis bahan organik yang diaplikasikan pada tanaman sorgum pertama terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum ratoon I, pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum ratoon I yang terbaik pada tiga varietas yang dicoba, dan mengetahui pengaruh interaksi antara dosis bahan organik yang diaplikasikan pada tanaman sorgum pertama dengan tiga varietas yang dicoba terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum ratoon I. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung yang dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Desember 2013. Perlakuan disusun secara faktorial dengan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS) dengan tiga ulangan. Petak percobaanyang digunakan pada penelitian ini berukuran 4m x 4 m. Tiap satu satuan percobaan seluas 16 m dengan jarak tanam 80x20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ; Perlakuan dosis bahan organik 15 ton/ha menghasilkan bobot biji/malai sorgum ratoon I tertinggi yaitu 45,64 g/tanaman atau setara 285,25 g/m2 2; Varietas Numbu menunjukkan hasil bobot biji/ malai sorgum ratoon I tertinggi yaitu 55,37 g/tanaman atau setara 346,06 g/m sedangkan, varietas Wray menghasilkan bobot brangkasan basah tertinggi, yaitu 0,54 kg/tanaman atau setara 3,37 kg/m2 2 ; dan Kombinasi antara dosis bahan organik dan varietas sorgum yang tepat untuk menghasilkan bobot brangkasan basah tertinggi adalah dosis bahan organik 5 ton/ha dengan varietas Wray yaitu 0,54 kg/tanaman atau setara 3,37 g/m2.


2018 ◽  
Vol 9 (8) ◽  
pp. 1827-1831
Author(s):  
Tomas Moreno Gallegos ◽  
Claudia María Melgoza Villagómez ◽  
Luis Alberto Hernández Espinal ◽  
Jesús Asunción López Guzmán ◽  
Jesús Martin Moreno Hernández ◽  
...  

México es el cuarto productor mundial de sorgo (Sorghum bicolor L. Moench.) con 10% de la producción mundial, 94.3% es para la elaboración de alimentos balanceados para la producción pecuaria. En Sinaloa, 70% del sorgo, se cultiva bajo condiciones de temporal que corresponde al ciclo primavera verano, con rendimientos promedio de 1.29 t ha-1 de grano y 9.54 t ha-1 de forraje verde. En los últimos años se identificó nuevos genotipos con mayor tolerancia a enfermedades que los híbridos comerciales, por ello el programa de mejoramiento genético de sorgo del Campo Experimental Valle de Culiacán liberó la variedad ‘VCS-Tornasol’ que posee mayor tolerancia a: ergot causada por Claviceps african, antracnosis causada por Colletotrichum graminícola, tizón de la panoja causada por Fusarium moniliforme y pudrición carbonosa del tallo causada por Macrophomina phaseolina. Se encuentra inscrita en el Catálogo Nacional de Variedades Vegetales (CNVV) del SINCS con el número SOG-285-231117 y número de título de obtentor 1889. La variedad VCS-Tornasol es de ciclo vegetativo intermedio, tiene una altura de planta de 2.4 m, sus espigas son medianas (24 cm), semicompactas, con buena excersión (30 cm), el grano de color crema o ámbar, de forma circular y semiaplanada, con testa y endospermo cristalinos y de textura media. En ensayos de rendimiento realizados en un período de seis años durante el ciclo primavera-verano bajo temporal, VCS-Tornasol rindió en promedio 3 100 kg ha-1 de grano superando en 9.67% al promedio de tres testigos comerciales, la producción de forraje bajo condiciones de temporal rindió en promedio 39 775 kg ha-1, sobrepasa 49.21% al promedio del testigo comercial.


2020 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 347
Author(s):  
Farastika Unjunan Muli ◽  
Efri Efri ◽  
Muhammad Syamsoel Hadi ◽  
Radix Suharjo

One of the diseases that often found in sorghum plants is anthracnose disease caused by Colletotrichum sp. The purposed of this study was to determine the effect of adding micro fertilizer and the use of several sorghum genotypes on the intensity of anthracnose disease. The study was conducted in Sukanegara, Tanjung Bintang, South Lampung in April 2017 - February 2018 and at the Laboratory of Plant Diseases and Pests, Faculty of Agriculture, University of Lampung. The treatments were arranged using a randomized block design in a split plot design (3 times replications), the main plot was micro nutrients (with micro addition and without micro addition) and 15 subgroups of sorghum genotypes (Numbu, Samurai 1, GH3, UPCA, GH4, P / I WHP, GH6, Super 2, GH13, P / F 51-93-C, Super 1, GH5, Mandau, GH7, and Talaga Bodas). The results showed that the addition of "ZincMicro" micro fertilizers to sorghum plants did not affect the intensity of anthracnose disease, however there were differences in the intensity of anthracnose diseases between sorghum genotypes. Numbu Genotype, GH 3, and GH 13 were relatively more resistant to anthracnose disease than the other genotypes.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 88
Author(s):  
Qurrotu A’ayuni ◽  
Rahmad Jumadi ◽  
Rohmatin Agustina

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memproduksi karbohidrat atau gula daritanaman yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan pangan utama. Keanekaragaman jenistanaman yang potensial sebagai sumber pangan utama tumbuh subur dan tersebar luas di wilayahIndonesia, yaitu berupa tanaman bebijian seperti padi, jagung dan sorgum. Sorgum merupakantanaman pangan lahan kering yang memiliki potensi besar dikembangkan di Indonesia. Tanamansorgum mempunyai keistimewaan tahan terhadap kekeringan dan genangan bila dibandingkandengan tanaman palawija lainnya. Keistimewaan tanaman sorgum yang lain adalah memilikikemampuan tumbuh kembali setelah dipanen (ratun), peratunan dapat dilakukan 2-3 regeneresi.Tujuan dari penelitian adalah terdapat interaksi nyata antara varietas sorgum dengan sistem tanam(tanam baru dan ratun ').Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah Desa Medalem, Kecamatan Modo, KabupatenLamongan, sejak bulan Oktober hingga Desember 2017. Penelitian ini menggunakan rancangan acakkelompok petak terbagi (Split plot), yaitu petak utama (PU) Tipe tanam terdiri dari: tanam baru (T1),ratun (T2). Sedangkan pada anak petak (AP) varietas terdiri dari: varietas numbu (V1), varietas suri3 agritan (V2), varietas super 1 (V3), varietas kawali (V4) dan varietas suri 4 agritan (V5) terdapat10 kombinasi perlakuan, masing masing diulang tiga kali.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertumbuhan tanaman sorgum pada perlakuan tipetanam, tanam baru dan ratun berbeda nyata pada variabel persentase perkecambahan dan tumbuhtunas, tinggi tanaman, jumlah ruas, jumlah daun, diameter batang dan luas daun. Pertumbuhantanaman sorgum pada perlakuan varietas berbeda nyata pada variabel persentase perkecambahan dantumbuh tunas, jumlah ruas, jumlah daun, diameter batang dan luas daun. sedangkan, terdapatinteraksi nyata tertinggi terhadap tipe tanam dan varietas (T1V1) terhadap pengamatan variabelpersentase perkecambahan dan tumbuh tunas, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah ruas dan luasdaun


Plant Disease ◽  
2021 ◽  
Author(s):  
Hyo-Won Choi ◽  
Sung Kee Hong ◽  
Yeonghoon Lee ◽  
Youngnam Yoon

Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) is one of the top five cereal crops in the world, but the cultivation area in Korea is estimated to be about 3,000 ha (MIFFAF, 2012). In August 2014, anthracnose symptoms on sorghum leaves were observed in two fields in Yecheon (36.62°, 128.41°) and Youngwol (37.20°, 128.49°), South Korea. Symptoms on leaves were brownish red irregular lesions with yellow and tan borders. Some darkened conidiomata and setae were observed on the lesions of infected leaves. Approximately 20% of sorghum plants (cv. Hwanggeumchal) were affected in each field with an area of about 0.1 ha. Fragments of diseased infected leaves were surface sterilized with 1% NaOCl for 30sec. The pieces were placed on water agar and incubated at 25°C for 7days. Two isolates were obtained through single sporing and cultured on synthetic nutrient poor agar at 25°C for 14days. Conidia (n=30) of YN1458 isolate were falcate and measured 22.0 to 32.7 × 4.2 to 6.4 µm. Brown to black setae (n=20) had 1-3 septa, with tapering acute apices and 53.7 to 95.2 × 4.7 to 7.8 µm in size. Appressoria (n=30) were dark brown, usually irregular and 10.5 to 16.9 × 8.6 to 13.6 µm in size. Colonies on PDA produced salmon spore masses in the center of the colony, and whitish grey to dark color in reverse. The morphological characteristics of two isolates were similar. Based on morphology, two isolates were tentatively identified as Colletotrichum graminicola species complex (Cannon et al. 2012; Crouch and Tomaso-Peterson 2012). To clarify taxonomic placement, DNA extracted from mycelia of the two isolates was PCR amplified and sequenced targeting internal transcribed spacer (ITS) regions of rDNA, actin (ACT), chitin synthase 1(CHS-1), and beta-tubulin (TUB) genes (Weir et al. 2012). The sequences of the above four loci of YN1458 and YN1728 were deposited in GenBank with accession numbers KT351801, KT351802 (ITS); KY769869, KY69870 (ACT); KY769871, KY769872 (CHS-1); and KY769873, KY769874 (TUB), respectively. The sequencing results of two isolates showed 99.6% (ITS), 99.6% (ACT of YN1458), 100% (ACT of YN1728), 100% (CHS-1), 100% (TUB of YN1458) and 99.8% (TUB of YN1728) similarity with C. sublineola CBS 131301 (JQ005771, JQ005834, JQ005792, and JQ005855) by BLASTn. Based on the morphological characteristics and multigene sequence analysis, the two isolates were identified as C. sublineola. Pathogenicity of two isolates was confirmed by spraying conidial suspensions (106 conidia/mL) on leaves of 3-week-old sorghum seedlings (cv. Hwanggeumchal) using a pot assay (5 plants per isolate). The same number of seedlings were sprayed with sterile distilled water and served as controls. All plants were maintained in a greenhouse at 25/32°C with natural light. After one week, symptoms similar to those in the field were observed on the leaves inoculated with the pathogen, but not on the control leaves. Colletotrichum sublineola was consistently re-isolated from the inoculated leaves showing anthracnose symptoms and the pathogen identity was confirmed by observing morphological characteristics. So far, C. graminicola was known as the only causal agent pathogen of sorghum anthracnose in South Korea (KSPP, 2009). To our knowledge, this is the first report of C. sublineola causing anthracnose on sorghum in South Korea. Although sorghum is a small-scale crop in South Korea, it is necessary to study the biological and pathogenic characteristics of C. sublineola for effective control of sorghum anthracnose.


2015 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
Author(s):  
Hixkia J. Marpaung ◽  
Eko Pramono ◽  
Muhammad Kamal

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis bahan organik yang berbeda pada mutu fisiologis benih tiga varietas sorgum.Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Teknologi Benih dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Mei 2013 sampai Maret 2014. Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Petak Terbagi (Split plot Design) yang diulang tiga kali sebagai ulangan. Petak utama adalah dosis bahan organik dari pupuk kandang sapi (B) yang terdiri atas 0 (b0), 5 (b1), 10 (b2) dan 15 t ha -1 (b3) dan anak petak adalah varietas tanaman sorgum (G) yang terdiri dari varietas Numbu (g1), Keller (g2), Wray (g3). Benih yang telah dipanen dari setiap kombinasi perlakuan di uji viabilitasnya dengan metode Uji Kertas digulung (UKD). Pengujian mutu fisiologis benih dilakukan pada saat setelah panen sebelum disimpan, tiga bulan setelah disimpan, dan lima bulan disimpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis bahan organik 15 t ha -1 menghasilkan mutu fisiologis benih sorgum lebih tinggi daripada tanpa bahan organik. Varietas Numbu menghasilkan benih dengan mutu fisiologis yang lebih tinggi daripada varietas Keller dan varietas Wray terutama setelah benih disimpan selama 3 dan 5 bulan. Pemberian bahan organik 15 t ha -1 menunjukkan peningkatan mutu fisiologis benih sorgum pada varietas Numbu dan Keller.


2003 ◽  
Vol 27 (4) ◽  
pp. 939-944 ◽  
Author(s):  
Nicésio Filadelfo Janssen de Almeida Pinto

O controle químico da "ergot" (Claviceps africana) foi realizado em campo de produção de sementes do híbrido de sorgo granífero BR 304 (Sorghum bicolor (L.) Moench.), utilizando-se os fungicidas (g i.a./ha): captan (1250,0), fenarimol (80,0), trifenil hidróxido de estanho (166,7), prochloraz (450,0), chlorothalonil (1500,0), iprodione (750,0), azoxystrobin (150,0), thiabendazole (360,0), procimidone (750,0), ziram (1500,0) e tebuconazole (200,0). Parcelas sem aplicação de fungicida constituíram a testemunha. As pulverizações foram realizadas com pulverizador costal manual, com o jato dirigido para as panículas. O intervalo das aplicações dos fungicidas foi de 4 dias, a partir da antese. Aos 7 dias após o término das pulverizações, a porcentagem de panículas doentes variou 5,4 para o fungicida tebuconazole e 100,0% para a maioria dos demais tratamentos. Para a porcentagem de flores doentes por panícula, os valores variaram de 0,3% a 65,0% para o fungicida tebuconazole e testemunha, respectivamente. Não ocorreu diferença significativa entre as porcentagens de flores doentes por panículas nos tratamentos tebuconazole (0,3%), chlorothalonil (2,5%) e prochloraz (3,0%), sendo esses os mais eficientes no controle da ergot. Adicionalmente, o fungicida mais eficiente no controle da antracnose foliar (Colletotrichum graminicola) foi o prochloraz, ao passo que para a ferrugem (Puccinia purpurea) e a cercosporiose (Cercospora fusimaculans), o maior controle foi obtido com o fungicida tebuconazole. Não houve aumento da germinação das sementes em nenhum dos tratamentos; entretanto, o aumento do peso de mil sementes foi significativo para os tratamentos com os fungicidas prochloraz, chlorotalonil e tebuconazole.


2020 ◽  
Vol 145 ◽  
pp. 14880-14891
Author(s):  
TIENDREBEOGO Josiane ◽  
SAWADOGO Nerbéwendé ◽  
KIENDREBEOGO Timbilfou ◽  
KIEBRE Zakaria ◽  
SAWADOGO Boureima ◽  
...  

Le sorgho grains sucrés est une culture produite essentiellement pour ses grains sucrés et riches en oligoéléments consommés au stade grains pâteux. Objectif: L’étude vise à déterminer l’effet de la fertilisation minérale (NPK) sur l’expression des paramètres agro-morphologiques du sorgho grains sucrés [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Méthodologie et résultats: L’essai a été réalisé en saison pluvieuse selon un dispositif en split plot avec trois répétitions. Quatorze génotypes de sorgho grains sucrés ont été soumis à trois niveaux de fertilisation à savoir 100 kg NPK/ha (TR); 125 kg NPK/ha (T1) et 150 kg NPK/ha (T2). Au total, neuf variables quantitatives relatives à la phénologie de la plante, au tallage et aux rendements grains et paille ont été mesurées. Les résultats ont révélé que seule la teneur en matière sèche de la paille (TMS) a présenté une différence significative (p ˂ 0.05) en fonction du facteur traitement. La dose TR (100 kg NPK/ha) a été optimale pour la production en grains et en paille du sorgho grains sucrés. Les rendements à l’hectare pour l’ensemble des trois traitements ont varié respectivement de 3397,092 kg (MTC2) à 8969,937 kg (SBR7) pour le grain et de 4154,948 kg (MTC2) à 12683,594 kg (SBR7) pour la paille. Conclusion et applications : Il ressort de cette étude que le niveau de fertilisation a eu très peu d’influence sur la plupart des paramètres agro-morphologiques de la plante. La dose de 100 kg NPK/ha est une dose optimale pour la production de cette culture. Cela permet d’orienter le producteur en matière de fertilisation et sur le choix des génotypes de sorgho grains sucrés à double usage (grains et fourrage). Mots clés: Sorgho grains sucrés, génotypes, NPK, diversité, Burkina Faso. Agromorphological response of 14 genotypes of sweet grain sorghum from Burkina Faso to mineral fertilization ABSTRACT Sweet grain sorghum is a crop produced mainly for its sweet grains and rich in trace elements consumed in the pasty grains stage. Objective: The study aims to determine the effect of mineral fertilization (NPK) on the expression of agro-morphological parameters of sorghum sweet grains [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Methodology and results: The experiment was carried out in the rainy season according to a split plot design with three repetitions. Fourteen sweet grain sorghum genotypes were submitted to three levels of fertilization, defined as 100 kg NPK/ha (TR); 125 kg NPK/ha (T1) and 150 kg NPK/ha (T2). A total of nine quantitative variables related to plant phenology, tillering and grain and straw yields were measured. The results revealed that only the dry matter content of straw (TMS) showed a significant difference (p ˂ 0.05) depending on the treatment factor. The TR dose (100 kg NPK/ha) was optimal for grain and straw production of sweet grain sorghum. Yields per hectare for all treatments varied from 3397.092 kg (MTC2) to 8969.937 kg (SBR7) and from 4154.948 kg (MTC2) to 12683.594 kg (SBR7) respectively for grain and straw. This study shows that the level of fertilization has had very little influence on most of the agromorphological parameters of the plant. The 100 kg NPK/ha dose is an optimal dose for the production of this crop. This allows to guide the producer in fertilization and the choice of sweet grain sorghum genotypes for dual-use (grains and feed). Key words: Sweet grain sorghum, genotypes, NPK, diversity, Burkina Faso.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document