scholarly journals Kinetika Pengeringan Cabai dengan Perlakuan Blansing Suhu Rendah-Waktu Lama

2021 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 24-35
Author(s):  
Andi Muhammad Irfan ◽  
Nunik Lestari ◽  
Arimansyah Arimansyah ◽  
A Ramli Rasyid

This study was aimed to determine the drying kinetics of chilies that have been pretreated with low temperature long time (LTLT) blanching. Drying chilies with LTLT blanching pretreatment at 60, 70, and 80 oC for 20 minutes was assigned as treatment in this research. Drying chillies with high temperature short time (HTST) blanching pretreatment, without blanching pretreatment in the dryer, and without blanching pretreatment in direct sunlight were also studied as the comparison. The results showed that chilies treated with blanching pretreatment, both LTLT and HTST, have a faster drying rate and achieve the target moisture content faster than chilies that were not blanched. The color of dried chilies that were dried in a dryer was also better than dried chilies that were dried in the sun. Of all the blanching treatments, chilies with LTLT blanching pretreatment at 80 oC for 20 minutes had the fastest drying rate, a drying time of 34 hours, and the attractive dried chilli color. The evaluation results also showed that the Page model was the most suitable model to describe the drying characteristics of chilies with LTLT pretreatment blanching, with R2 ranging from 0.9913-0.9935, X2 ranging from 0.0005-0.0009, and RSME ranging from 0.0221-0.0293. Keywords: Chili; blanching; color; drying; mathematical model   ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika pengeringan cabai yang diberi perlakuan awal low temperature long time (LTLT) blanching atau blansing pada suhu rendah dalam waktu yang relatif lama. Perlakuan pada penelitian ini yaitu pengeringan cabai dengan blansing metode LTLT pada suhu 60o, 70o, dan 80oC selama 20 menit. Sebagai pembanding, dilakukan juga pengeringan dengan perlakuan awal metode high temperature short time (HTST) blanching, pengeringan cabai tanpa perlakuan awal blansing di dalam alat pengering, serta pengeringan cabai tanpa perlakuan awal blansing di bawah sinar matahari secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cabai dengan perlakuan awal blansing, baik blansing metode LTLT maupun HTST, memiliki laju pengeringan yang lebih tinggi sehingga lebih cepat mencapai kadar air target dibandingkan dengan cabai tanpa perlakuan blansing. Warna cabai kering yang dihasilkan pada alat pengering juga lebih baik dari cabai kering yang dikeringkan langsung di bawah sinar matahari. Dari seluruh perlakuan yang melibatkan proses blansing, cabai dengan blansing metode LTLT pada suhu 80oC selama 20 menit merupakan perlakuan dengan laju pengeringan tercepat, dengan waktu pengeringan selama 34 jam, dan warna produk cabai kering yang menarik. Hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa model Page adalah model yang paling sesuai untuk menggambarkan karakteristik pengeringan cabai dengan perlakuan awal blansing metode LTLT, dengan R2 berkisar antara 0.9913-0.9935, X2 berkisar antara 0.0005-0.0009, dan RSME berkisar antara 0.0221-0.0293. Kata kunci: Blansing; cabai; model matematika; pengeringan; warna

2018 ◽  
Vol 2018 ◽  
pp. 1-7 ◽  
Author(s):  
Yubin Wang ◽  
Wu Li ◽  
Yue Ma ◽  
Xiaoyan Zhao ◽  
Chao Zhang

The effect of thermal treatments on the quality and aroma of watermelon juice was evaluated. Watermelon juice was pasteurized via ultrahigh temperature (UHT, pasteurized at 135°C for 2 s), low temperature long time (LTLT, pasteurized at 60°C for 30 min), and high temperature short time (HTST, pasteurized at 100°C for 5 min), respectively. UHT and LTLT reduced the total flora count and maintained the color of the pasteurized juice, while the HTST led to a significant color difference. A total of 27, 21, 22, and 21 volatiles were identified in the unpasteurized juice, UHT, LTLT, and HTST, respectively. The typical watermelon aroma, including (3Z)-3-nonen-1-ol, (E)-2-nonen-1-ol, 1-nonanal, (2E)-2-nonenal, and (E,Z)-2,6-nonadienal, was abundant in the LTLT. Consequently, the aroma of the LTLT was similar to that of unpasteurized juice. Moreover, the shelf life of the LTLT reached 101 and 14 days at 4 and 25°C, respectively. Hence, the LTLT was the best way to maintain the quality and aroma of watermelon juice.


2019 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 1-9
Author(s):  
Eko Urcahyo ◽  
Choirul Saleh ◽  
Bambang Prio Hartono

Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan pada suhu dibawah 100ºC dalam jangka waktu tertentu yang dapat mematikan mikroba yang ada dalam susu. Saat ini dikenal dengan dua metode yang lazim digunakan pada proses pasteurisasi susu, yaitu LTLT (low temperature long time) dan HTST (high temperature short time ). Metode LT LT pada dasarnya dilakukan dengan pemanasan susu antara suhu 63-65º C dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 30 menit. Sedangkan metode HTST dilakukan dengan pemanasan susu selama 5-10 menit pada suhu 70-71ºC. Dengan pemanasan ini diharapkan akan dapat membunuh bakteri pantogen yang membahayakan kesehatan manusia dan meminimalisasi perkembangan bakteri lain, baik selama pemanasan maupun pada saat penyimpanan. Untuk itu dirancang sebuah alat untuk mengontrol suhu pada pasteurisasi susu dengan kontrol PID di Kube PSP Desa Kemiri Kecamatan Jabung Malang menggunakan sensor DS18B20 yang berfungsi untuk mengetahui suhu pada susu. Perancangan ini menggunakan servo dan dimmer untuk mengatur suhu pada susu. Dari hasil pengujian, alat dapat menurunkan dan menaikkan suhu ketika suhu melewati batas setpoint yang ditentukan oleh pengguna. Untuk mencapai setpoint 65ºC pemanasan membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 2 jam 56 menit 51 detik sedangkan hasil tuning PID secara trial and error, servo dapat memutar dengan baik untuk nilai kp = 1,5, ki = 0,2, kd = 8 dengan setpoint 65ºC.


1988 ◽  
Vol 51 (9) ◽  
pp. 715-719 ◽  
Author(s):  
KATHLEEN M. KNUTSON ◽  
ELMER H. MARTH ◽  
MARY K. WAGNER

High-temperature short-time (HTST) and low-temperature long-time (LTLT) pasteurization were simulated using uninoculated and inoculated milks that were heated in microwave ovens. Heating milk (76 ml) for 59 s at 700 W achieved a temperature of 71.7°C, but heating for 60–65 s and holding for 15 s failed to inactivate all added cells of Salmonella typhimurium, Escherichia coli or Pseudomonas fluorescens. Milk, 453.6 g (ca. one-half quart) or 604.8 g (ca. two-thirds quart), was heated to >62.8°C, but <71.7°C, in 4.5 to 5 min, depending on power (550 or 700 W) that was used, and refrigerated overnight. Such treatments failed to reduce the population of Streptococcus faecalis in the milks by the degree that occurred when inoculated milk was heated in a water bath at 62.8°C for 30 min.


Author(s):  
Yumi Hamakawa ◽  
Kaori Mukojima ◽  
Maki Uchiyama ◽  
Shoko Okada ◽  
Ryota Mabuchi ◽  
...  

Abstract The effects of different heating conditions set to prevent food poisoning on the volatile components, lipid oxidation, and odor of yellowtail fish, Seriola quinqueradiata, were investigated. The heating conditions did not affect the lipid oxidation, fatty acid composition, and volatile compounds of each part of the flesh. High-temperature/short-time (90 °C for 6 min) heating led to significantly higher trimethylamine (TMA) contents in all muscle parts and higher odor intensity of TMA in dark muscle (DM) compared to those of lower temperature heating. Sensory evaluation showed that the odor intensities of all muscle parts heated at high-temperature/short-time were stronger than those at low-temperature/long-time (63 °C for 30 min). All DM samples had less odor palatability than the other flesh parts. Therefore, DM may have contributed to the unfavorable odor of steamed yellowtail fish meat and high-temperature/short-time heating may have enhanced the odor of all flesh parts compared with those subjected to low-temperature/long-time.


Transmisi ◽  
2019 ◽  
Vol 21 (1) ◽  
pp. 15
Author(s):  
Andre Dharmawan ◽  
Billy Marthen ◽  
Fadliansyah Adam ◽  
Intan Permata Sari ◽  
Rizky Maulana

Pasteurisasi merupakan proses pemanas yang terjadi pada produk dibawah titik didih untuk membunuh bakteri agar tetap terjaga kualitas susu. Pada pasteurisasi ini kita bisa memakai LTLT (Low Temperature Long Time) dengan proses pemanas dilakukan selama 30 menit dan HTST (High Temperature Short Time) proses pemanasnya dilakukan selama 15-16 detik. Dengan pasteurisasi diharapkan bisa menghambat bakteri agar tidak masuk ke susu  dan mengontrol perkembangan bakteri agar tidak merusak kualitas susu. Sehingga jika dikonsumsi tidak membahayakan kesehatan manusia dan dampaknya bisa menjadi banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Didalam susu ada berbagai macam nutrisi (seperti kalsium, protein vitamin, magnesium, fosfor dan masih banyak lagi) jika dikelola secara baik dan benar. Jadi didalam penelitian ini dikembangkan alat untuk menjaga susu agar tetap stabil dalam proses pasteurisasi susu. Pada penelitian ini akan membuat sistem kontroller yang tertanam di kontroller PI untuk mengontrol aktuator dalam bentuk pemanas listrik yang mendapatkan masukan dari sensor suhu MAX6675 K-Thermocouple. Dari hasil pengujian ini setpoint suhu maksimumnya 60°C diperoleh nilai P mencapai 63°C, nilai PI mencapai suhu 63°C, nilai PD mencapai suhu 69°C, nilai PID mencapai suhu 69°C. Hasil dari kontroler PI untuk menstabilkan suhu lebih cepat dan mampu mempertahankan suhu yang baik.


2018 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 1-8
Author(s):  
Zaki Mubarak ◽  
Khairina .

Prevalensi infeksi fungal oportunistik semakin meningkat terutama kandidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans. Salah satu alternatif pengobatan antifungal yang bersumber dari hewani adalah susu kambing. Secara umum susu yang digunakan sebagai bahan aktif antifungal terlebih dahulu dilakukan pasteurisasi, baik Low Temperature Long Time (LTLT) maupun High Temperature Short Time (HTST). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antifungal susu kambing Peranakan Etawa terhadap pertumbuhan Candida albicans berdasarkan perubahan suhu dan lama pemanasan. Penelitian ini menggunakan metode Standard Plate Count (SPC) dengan 4 kelompok perlakuan, yaitu K1 susu pasteurisasi LTLT, K2 susu pasteurisasi HTST, K3 kontrol positif, K4 kontrol negatif dengan 3 kali pengulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah rata-rata koloni Candida albicans pada pengenceran 10-3 dengan perlakuan susu pasteurisasi LTLT adalah 14,33 x 103 CFU/mL, pada susu pasteurisasi HTST 21 x 103 CFU/mL, pada kontrol positif 5,67 x 103 CFU/mL, sedangkan pada kontrol negatif 29 x 103 CFU/mL. Data hasil perhitungan dianalisis dengan ANOVA dengan α=0,05 dan dilanjutkan dengan Least Significance Difference (LSD). Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa susu kambing Peranakan Etawa dengan pasteurisasi HTST dan LTLT dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans, namun antara kelompok susu pasteurisasi LTLT dan HTST tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Kata kunci : Antifungal, Candida albicans, susu kambing.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document