scholarly journals Evaluation of Suitability Area for Development of Seaweed Culture (Kappaphycus alvarezii) at Lontar village, District Tirtayasa, Serang

2016 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
Author(s):  
Yunizar Bagus Dewanto ◽  
Saifullah Saifullah ◽  
Dodi Hermawan
2012 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 23
Author(s):  
Adnan Sj Wantasen ◽  
. Tamrin

The study was aimed at knowing the feasibility of the waters of Dodinga Bay for seaweed; Kappaphycus alvarezii culture development.  The study used a survey method covering aquatic physical, chemical and biological parameters.  Result showed that physical, chemical and biological parameters fulfilled the criteria for the seaweed growth. Based on the suitability of the water used in this study, Dodinga Bay waters was categorized as S-2 class or having median suitability criteria, i.e. the water possessed moderate threshold for seaweed culture or had animal effect on the aquatic environmental quality, and could still be utilized for seaweed culture development under several technical prerequisites. Keywords: Kappaphycus alvarezii, seaweed culture development.   Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di Pantai Dodinga.  Penelitian ini menggunakan metode survei meliputi parameter fisik, kimia dan biologi perairan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisik, kimia dan biologi memenuhi kriteria untuk pertumbuhan rumput laut.  Berdasarkan kesesuaian air yang digunakan dalam penelitian ini, perairan Teluk Dodinga dikategorikan kelas S-2 atau memiliki kriteria kesesuaian median, yaitu perairan yang memiliki batas moderat untuk budidaya rumput laut atau kurang berpengaruh pada kualitas lingkungan air, dan masih bisa dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut di bawah beberapa prasyarat teknis. Kata kunci: Kappaphycus alvarezii, pengembangan budidaya rumput laut.


2016 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 29 ◽  
Author(s):  
Nyoman Radiarta ◽  
Erlania Erlania ◽  
Joni Haryadi ◽  
Annisya Rosdiana

<p>Kebijakan pembangunan kemandirian dalam budidaya perikanan dan membangun kemandirian pulau-pulau kecil merupakan kebijakan program Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendukung poros maritim nasional. Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut cukup besar untuk dikembangkan diantaranya potensi pengembangan budidaya laut, terutama budidaya rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi dan langkah-langkah strategis pengembangan budidaya rumput laut di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Data dan informasi dikumpulkan melalui media diskusi (Focus Group Discussion/FGD), kunjungan ke lokasi pengembangan budidaya rumput laut, dan data sekunder. Data dianalisis secara deskriptif dengan memberikan opsi-opsi kebijakan pengembangan budidaya rumput laut. Pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Nunukan cukup berkembang dengan pusat kawasan pengembangannya di Kecamatan Nunukan Selatan. Kappaphycus alvarezii (cottonii) merupakan jenis yang umumnya dibudidayakan dengan metode longline. Dalam tulisan ini, potensi, permasalahan, dan strategi pengembangan budidaya rumput laut yang teridentifikasi di lokasi penelitian dibahas secara komprehensif.</p><p>Policy on aquaculture development in the small and the most outer islands is a strategic program from Ministry of Marine Affair and Fisheries to support national maritime shaft. Sebatik Island in Nunukan Regency has a large potential of coastal and marine resources to be developed include the development of marine aquaculture, especially seaweed culture. This study aimed to evaluate condition and strategic steps in the development of seaweed aquaculture in Sebatik Island, Nunukan Regency North Kalimantan Province. Data and information collected through Focus Group Discussion (FGD), field visit to seaweed aquaculture areas, and secondary data. Data were analyzed descriptively by presenting policy options for seaweed aquaculture development. Marine aquaculture especillay seaweed culture was well developed in Nunukan Regency, which was mainly concentrated in South Nunukan. Kappaphycus alvarezii (cottonii) is the main species cultivated in this region by using long line method. In this paper, the potential, problems and development strategy of seaweed cultivation were identified and discussed comprehensively.</p>


2017 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 187
Author(s):  
Andi Akhmad Mustafa ◽  
Tarunamulia Tarunamulia ◽  
Hasnawi Hasnawi ◽  
I Nyoman Radiarta

Kabupaten Kepulauan Sangihe dengantiga pulau terdepannya memiliki potensi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii), namun belum tersedia data kondisi perairannya.  Kajian bertujuan untuk mengetahui karakteristik, kesesuaian, dan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di kawasan pesisir Kabupaten Kepulauan Sangihe.  Data  kondisi perairan yang dikumpulkan berupa lingkungan fisik dan kualitas air.  Analisis dengan weighted linear combinationdalam SIG dilakukan untuk penentuan kesesuaian perairan danbesarnya kapasitas perairan digunakan untuk penentuan daya dukung perairan. Hasil kajian menunjukkan bahwa, karakteristik perairan Kabupaten Kepulauan Sangihe dapat mendukung usaha budidaya rumput laut, namun kedalaman perairan yang relatif dangkal dan adanya alur pelayaran yang menjadi faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut. Dari 4.839,36 ha kawasan pesisir yang dikaji di Teluk Talengen (Kecamatan Tabukan Tengah), Teluk Manalu (Kecamatan Tabukan Selatan), dan Teluk Dagho dan sekitarnya (Kecamatan Tamako dan Manganitu Selatan) dijumpai kawasan pesisir seluas 181,80 ha yang tergolong sangat sesuai; 852,82 ha yang tergolong cukup sesuai; 3.633,75 ha yang tergolong kurang sesuai; dan 179,99 ha yang tergolong tidak sesuai untuk budidaya rumput laut metoda tali panjang.  Budidaya rumput laut metoda tali panjang di Kabupaten Kepulauan Sangihe dapat dilakukan di Teluk Talengen, Teluk Manalu, dan Teluk Dagho dan sekitarnya  dengan pengembangan kawasan maksimal masing-masing seluas 324; 559; dan 1.171 ha yang dapat digunakan untuk masing-masing 1.296, 2.236, dan 4.684 unit rakit budidaya rumput laut berukuran 50 x 50 m.  Sangihe Archipelago Regency with its three outlying islands has the potential for seaweed farming development (Kappaphycus alvarezii), regrettably reliable water quality data are scarcely available in this region. The study was aimed to determine the characteristics, suitability, and carrying capacity of waters for seaweed farming in the coastal areas of Sangihe Archipelago Regency. The observed environmental quality of coastal waters included physical environment and water quality. A weighted linear combination  in a GIS environment method was applied to determine the suitability of waters and the capacity of coastal water to accommodate the maximum surface area of the farm was used to determine the carrying capacity of waters. The results of the study indicated that the characteristics of waters in Sangihe Archipelago Regency provide suitable environment for seaweed culture, however the relatively shallow waters and the existence of the shipping lanes in the study region can become major limiting factors for seaweed culture and development. Of 4,839.36 hectares of the coastal areas studied in Talengen Bay (Tabukan Tengah Subdistrict), Manalu Bay (South Tabukan Subdistrict), and Dagho Bay and surrounding areas (Tamako and Manganitu Selatan Subdistricts), a total of 181.80 ha were classified as very suitable; 852.82 ha were moderately suitable; 3,633.75 ha were less suitable; and 179.99 ha were not suitable for seaweed long-line culture method. Further analysis showed that seaweed culture of long-line method can be effectively practiced in Talengen Bay, Manalu Bay, and Dagho Bay and surrounding areas with the maximum development areas of 324, 559, and 1,171 ha respectively of which can be used for allocating 1,296, 2,236, and 4,684 culture raft units respectively, with the size of 50 x 50 m per unit.


2019 ◽  
Vol 11 (1) ◽  
pp. 62
Author(s):  
Marcelien Djublina Ratoe Oedjoe ◽  
Felix Rebhung ◽  
Sunadji Sunadji

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi nilai tambah di antara tiga stakeholder utama pada usaha budidaya rumput laut di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu pembudidaya, pedagang dan industri rumput laut telah dilakukan. Data kualitatif dan kuantitatif diperoleh lewat survei, observasi langsung, wawancara dan diskusi kelompok (Focus Group Discussion, FGD). Sampel/unit usaha budidaya rumput laut diambil secara representative dan purposive. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif disertai perhitungan Pay Back Period (PBP), Break Even Point (BEP) dan Benefit Cost ratio (B/C). Hasil menunjukkan nilai PBP = 0,72 yang berarti unit usaha dapat mengembalikan modal dalam 8 bulan. Nilai BEP per unit usaha budidaya rumput laut sebesar Rp. 3.435,77 dan BEP produksi sebesar 2.007,50 kg. Nilai B/C ratio 1.09 menunjukkan bahwa usaha rumput laut di lokasi study layak dilaksanakan. Nilai tambah pada pembudidaya sebesar Rp 3.575/kg, pedagang sebesar Rp 2.175/kg dan industri rumput laut sebesar Rp 41.000/kg. Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pada tingkat kelayakan usaha budidaya rumput laut di NTT dewasa ini, nilai tambah tertinggi dinikmati oleh industri pengolahan rumput laut, diikuti pembudidaya dan pedagang.AbstractThis study aims to determine the distribution of value added among the three main stakeholders in seaweed farming in the Province of East Nusa Tenggara (NTT), namely the farmers, traders and seaweed industries. The study applied a qualitative and quantitative method through a survey, direct observation, and interviews. Data were representatively and purposively collected. The study used descriptive analysis, focus group discussion, and simple mathematics. Results showed that payback period was 0.72 meaning that the investment could be returned in 8 months; break-even point (BEP) per seaweed culture business unit was IDR. 3,435.77; the break-even point of production was 2,007.50 kg; benefit-cost (B/C) was 1.09 meaning that the seaweed culture was feasible to do. There were 3 successive seaweed marketing channels such as producer, collector, merchant, manufacturer, consumer, or direct delivery from producers to consumers, producer to collecting merchant, big merchant to the consumer. The added value was IDR. 3,575/kg for the seaweed farmer, IDR. 2,175/kg for big merchant, and IDR. 41,000/kg for seaweed industry.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
Author(s):  
Joppy D Mudeng ◽  
Magdalena E.F Kolopita ◽  
Abdul Rahman

A research had been conducted to evaluate seaweed and waters condition at seaweed  culture area at Jayakarsa Village.  Research locations were divided into three station: 1) at former culture area near mangrove area and the beach, 2)  at active culture area, 3) at former culture area with sandy bottom and ”lamun” field.  Water quality measured included temperature, salinity, pH, DO, turbidity, flow rate, water depth, bottom type. Protectivenss, risk, and accesibility were also observed. Data was analyzed descriptively and then compared to standard value established in Kangkan (2006).  Water condition at station 1 and 2 was categorized Grade 2 (moderately suitable) while at station 3 was marginally suitable which was categorized Grade 3. Major problems faced by the farmers was ice-ice disease, silt and epiphytes that could reduce the production.   Keywords: Kappaphycus alvarezii, water quality, Jayakarsa Village, moderately suitable, marginally suitable


2016 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 124 ◽  
Author(s):  
Ismail Failu ◽  
Eddy Supriyono ◽  
Sugeng Hari Suseno

<p class="NoParagraphStyle"><strong>ABSTRACT</strong></p><p class="NoParagraphStyle"><strong> </strong></p><p class="NoParagraphStyle">This study aimed to analyze the quality of <em>Kappaphycus alvarezii </em>seaweed carrageenan cultured using methods basket nets in waters of Baruta, Sangia, Wambulu, District of Buton, Southeast Sulawesi. The study consisted of three treatments in triplicates. Seaweed culture used different cultivation net-basket forms i.e. net-basket box, net-basket lantern, and longline without net-basket (control). Quality of <em>K. alvarezii</em> seaweed obtained in this study varied from each treatments. Daily growth rate in each treatment were not significantly different. Production of seaweed with a net-basket box (201.61 g/m<sup>2</sup>) was higher than the net-basket lanterns (183.22 g/m<sup>2</sup>), but not significantly different from control (196.98 g/m<sup>2</sup>). Carageenan yield value of control (46.74%) was the highest of all treatments. The water content of carrageenan in each treatment was not significantly different and it ranged from 17.20–17.39%. The viscosity of carrageenan in net-basket lantern (179.40 cPs) was the highest of all treatments. Carrageenan gel strength was the best treatment (702.53 g/cm²). As conclusion, using the net-basket lantern  as cultivation method provided quality improvement of carrageenan in <em>K. alvarezii</em> seaweed.</p><p class="NoParagraphStyle"> </p><p class="NoParagraphStyle">Keywords: <em>Kappaphycus alvarezii</em>, cultivation methods, carrageenan quality</p><p class="NoParagraphStyle"><strong> </strong></p><p class="NoParagraphStyle"><strong> </strong></p><p class="NoParagraphStyle"><strong>ABSTRAK</strong><strong></strong></p><p class="NoParagraphStyle"><strong> </strong></p><p class="NoParagraphStyle">Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas karagenan rumput laut <em>Kappaphycus alvarezii </em>yang dibudidaya menggunakan metode keranjang jaring di perairan Baruta, Kecamatan Sangia, Wambulu, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Penelitian terdiri atas tiga pelakuan dan tiga ulangan. Pemeliharaan rumput laut dilakukan dengan metode keranjang jaring berbeda yaitu metode keranjang jaring kotak, keranjang jaring lampion, dan longline tanpa menggunakan keranjang jaring (kontrol). Hasil pengamatan kualitas rumput laut <em>K. alvarezii </em>dalam penelitian ini bervariasi dari setiap perlakuan yang diberikan. Laju pertumbuhan harian pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata. Produksi rumput laut dengan metode keranjang jaring kotak (201,61 g/m<sup>2</sup>) lebih tinggi dibandingkan jaring lampion (183,22 g/m<sup>2</sup>), namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (196,98 g/m<sup>2</sup>). Nilai rendemen karagenan kontrol (46,74%) lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Kadar air karagenan pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata yaitu berkisar 17,20–17,39%. Viskositas karagenan perlakuan metode keranjang jaring lampion (179,40 cPs) lebih tinggi dibandigkan perlakuan lainnya. Kekuatan gel karagenan perlakuan metode keranjang jaring lampion (702,53 g/cm²) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa metode keranjang jaring lampion memberikan peningkatkan kualitas karagenan rumput laut <em>K. alvarezii </em>yang dibudidayakan.</p><p class="NoParagraphStyle"> </p><p>Kata kunci: <em>Kappaphycus alvarezii</em>, metode budidaya,  kualitas karagenan</p>


2015 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
Author(s):  
Abdul Rahman ◽  
Magdalena E.F Kolopita

This research intended to study the condition of waters and seaweed cultured at Jayakarsa village.  Sampling sites were  station 1: near the mangrove area, station 2: at seaweed culture area and station 3: at the former seaweed culture area.  Data collected were water quality parameters and condition of seaweed.  Water quality parameters obtained were then compared to standard water quality by Bakosurtanal (1996).  As conclusion, water quality at Jayakarsa village was feasible for seaweed culture.   Keywords: Desa Jayakarsa, seaweeds, area suitability, water quality


2021 ◽  
Vol 34 ◽  
pp. 15
Author(s):  
Indra Pratama ◽  
Hatim Albasri

Unreliable information on harvest potential is a persistent challenge for the Indonesian government and industry alike to manage an efficient supply chain of seaweed raw material. The use of remote sensing technology to assess seaweed harvest potential has been scarcely available in the literature. This current research aimed at estimating the harvest potential of seaweed Kappaphycus alvarezii through remote sensing using supervised classification with maximum likelihood (MLC) and contextual editing (CE) methods. This research evaluated the capabilities of different band combinations along with depth invariant index (DII) to enhance the remote sensing accuracy in estimating seaweed harvest potential. The seaweed classification using Worldview-2 imagery was compared with the in-situ references (ground-truthing). The potential data bias resulted from different imagery acquisition timestamps with the in-situ measurement was kept minimal as both data time stamps were ten days apart and within the same seaweed culture cycle. The average dry weight of all seaweed samples collected during the research was 924 ± 278.91 g/m2 with culture ages between 1 and 40 days. The classification results based on MLC+CE with a 5-band combination method without DII showed a better correlation and closer fit with the in-situ references compared to the other methods, with an overall accuracy of 79.05% and Tau coefficient value of 0.75. The estimated total harvest potential based on the combined seaweed classes was 531.26 ± 250.29 tons dry weight.


2019 ◽  
Vol 3 ◽  
pp. 929
Author(s):  
Marianus Filipe Logo ◽  
N M. R. R. Cahya Perbani ◽  
Bayu Priyono

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan penghasil rumput laut kappaphycus alvarezii kedua terbesar di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016). Oleh karena itu diperlukan zonasi daerah potensial budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii untuk pengembangan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daerah yang potensial untuk budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii di Provinsi NTT berdasarkan parameter sea surface temperature (SST), salinitas, kedalaman, arus, dissolved oxygen (DO), nitrat, fosfat, klorofil-a, dan muara sungai. Penentuan kesesuaian lokasi budidaya dilakukan dengan memberikan bobot dan skor bagi setiap parameter untuk budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii menggunakan sistem informasi geografis melalui overlay peta tematik setiap parameter. Dari penelitian ini diperoleh bahwa kadar nitrat, arus, kedalaman, dan lokasi muara sungai menjadi parameter penentu utama. Jarak maksimum dari bibir pantai adalah sekitar 10 km. Potensial budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii ditemukan di Pulau Flores bagian barat, kepulauan di Kabupaten Flores Timur dan Alor, selatan Pulau Sumba, Pulau Rote, dan Teluk Kupang.


Author(s):  
Naning Dwi Sulystyaningsih ◽  
Rajuddin Syamsuddin ◽  
Zainuddi .

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document