The aim of this article is to explain about a position of music on the ideology debate in Indonesia of Soekarnoian era. The defined ideology debate that is between a concept of Soekarno about Nasakom (an acronym of Nasionalisme, Agama, Komunis or Nationalism, Religion, Communist) and a market ideology (entertainment). Each of these ideologies affects a reality of music at that time, both its creation and its presentation. Based on it, a collected data is derived from various resources, such as observations, interviews, documents, and audio and video recordings. The data is analyzed using Davis’s concept of art and ideology and Navits’s concept of art and identity. There are three founded conclusions, namely, firstly, Indonesia in Soekarnoian era was being held to seek the identity by inventorying a local music in Indonesia and introducing to the international arena; secondly, Soekarno seceded from the culture of Nekolim by categorizing a good and bad music for Indonesian; and thirdly, it was occurred the ideology debate between the musicians and the government in the Indonesian cultural politics of Soekarnoian era. This debate had put the music in an un-neutral field in fact as a traumatic language that had rose from a personal will of creator. Tujuan artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang posisi musik pada perdebatan ideologi di Indonesia era Soekarno. Debat ideologi yang maksud yaitu antara konsep Soekarno tentang Nasakom (akronim Nasionalisme, Agama, Komunis atau Nasionalisme, Agama, Komunis) dan ideologi pasar (hiburan). Masing-masing ideologi ini mempengaruhi realitas musik pada waktu itu, baik kreasi maupun presentasinya. Berdasarkan hal tersebut, data tulisan ini berasal dari berbagai sumber daya, seperti observasi, wawancara, dokumen, dan rekaman audio dan video. Data tersebut dianalisis menggunakan konsep seni dan ideologi Davis dan konsep seni dan identitas Navits. Ada tiga kesimpulan yang dibuat, yaitu, pertama, Indonesia di era Soekarno dilakukan untuk mencari identitas dengan menginventarisasi musik lokal di Indonesia dan memperkenalkan ke arena internasional; kedua, Soekarno melepaskan diri dari budaya Nekolim dengan mengkategorikan musik yang baik dan yang buruk untuk Indonesia; dan ketiga, terjadi perdebatan ideologi antara musisi dan pemerintah dalam politik kebudayaan Indonesia era Soekarno. Perdebatan ini telah menempatkan musik sebagai bidang yang tidak netral dan pada kenyataannya sebagai bahasa traumatik yang muncul dari keinginan personal pencipta.