AMERTA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

129
(FIVE YEARS 83)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kemdikbud

2549-8908, 0215-1324

AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (2) ◽  
pp. 113-128
Author(s):  
Harriyadi Harriyadi

Abstract. Preliminary Study Of Unification Symbols Form From Ancient India Tradition Found In Indonesia. Humans and symbols have a bond that cannot be separated from each other because they always appear in a community group. During the Hindu-Buddhist period in Indonesia, various signs related to religion appeared. One of the religious practices that developed is the worship of the union of life. This study aims to identify the form of symbols and the meaning of the worship of the unification of life for the Hindu-Buddhist period. This study was conducted by collecting data on the worship of the union of life from various secondary sources in research reports, journals, and articles. Data collection is also focused on finding data on artifacts in Indonesia associated with symbols of the unification of life. The data collection results between mythology in India and artifacts in Indonesia are then synthesized to obtain a form of embodiment of the unification of life during the Hindu-Buddhist period in Indonesia. The study results show that the concept of the unification of life is symbolized in the linga-yoni, mudrā bodhyagrimudrā, and shatkona. Depictions of the yoni phallus and shatkona can be found in Indonesia. In Buddhism in Indonesia, the concept of the unification of life is symbolized in the mudrā bodhyagrimudrā found in the Mahavairocana Buddha statue. The gesture of the bodhyagrimudrā hand is a representation of the union of males and females. The depiction of the unification of life is more aimed at fulfilling religious needs, namely to achieve release (moksha) in Hinduism and achieve nirvana in Buddhism.   Abstrak. Manusia dan simbol memiliki ikatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena selalu muncul dalam suatu kelompok masyarakat. Pada masa Hindu-Buddha di Indonesia  muncul berbagai simbol yang berkaitan dengan religi. Salah satu praktik religi yang berkembang adalah pemujaan penyatuan kehidupan. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk simbol dan makna pemujaan penyatuan kehidupan bagi masyarakat pada masa Hindu-Buddha. Kajian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data mengenai pemujaan terhadap penyatuan kehidupan dari berbagai sumber sekunder berupa laporan penelitian, jurnal, dan artikel. Pengumpulan data juga difokuskan untuk mencari data objek artefak di Indonesia yang berhubungan dengan simbol penyatuan kehidupan. Hasil dari pengumpulan data antara mitologi di India dan artefak di Indonesia kemudian disintesiskan untuk mendapatkan bentuk perwujudan penyatuan kehidupan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsep penyatuan kehidupan disimbolkan dalam lingga-yoni, mudrā bodhyagrimudrā, dan shatkona. Penggambaran lingga yoni dan shatkona dapat ditemukan di Indonesia. Dalam agama Buddha di Indonesia konsep penyatuan kehidupan disimbolkan dalam mudrā bodhyagrimudrā yang dijumpai pada arca Buddha Mahavairocana. Sikap tangan bodhyagrimudrā merupakan representasi penyatuan laki-laki dan perempuan. Penggambaran penyatuan kehidupan lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan religi, yaitu mencapai pelepasan (moksha) dalam agama Hindu dan mencapai nirwana dalam agama Buddha.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (2) ◽  
pp. 147-162
Author(s):  
Muhammar Khamdevi

Abstrak. Hubungan Karakteristik Antara Rumah-Rumah Austronesia: Rumah-Rumah Tradisional di Luhak Agam, Rokan, dan Mandailing. Rumah Luhak Agam (termasuk Pasaman) yang berada di Sumatra Barat memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan Rumah Gadang Minangkabau lainnya yang berada di Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. Lokasi Luhak Agam sangat dekat dengan wilayah Rokan Hulu di Riau dan dengan wilayah Tapanuli Selatan (Mandailing-Natal) di Sumatra Utara. Sepintas, rumah adat mereka terlihat mirip, terutama pada bentuk atapnya. Sangat mungkin, di daerah ini telah terjadi sebuah proses berbagi budaya pada zaman dahulu. Maka dari itu, penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi dan membandingkan karakteristik arsitektur antara ketiga wilayah tersebut. Bagaimana keterkaitan karakteristik rumah antara ketiga wilayah tersebut? Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang memilii maksud untuk melakukan perbandingan dan menggunakan sumber sejarah dan kebahasaan untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih komprehensif. Sehingga penelitian ini dapat menunjukkan keterkaitan antara ketiga wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat proses berbagi sifat-sifat (traits) dan pengetahuan pada karakteristik antara variasi-variasi budaya austronesia pada masing-masing rumah-rumah mereka.   Abstract. The Luhak Agam house (including Pasaman) in West Sumatra has its own characteristics that distinguished from other Minangkabau's Rumah Gadang in Luhak Tanah Datar and Luhak Limapuluh Koto. The location of Luhak Agam is very close to the Rokan Hulu area in Riau and South Tapanuli (Mandailing-Natal) in North Sumatra. At a glance, their traditional houses look similar, especially in the shape of the roof. There may have been cultural sharing in this area in ancient times. Therefore, the research tried to explore and compare their architectural characteristics. How is the linkage of the characteristics of the house? The qualitative research method compares and uses historical and linguistic sources to get a more comprehensive conclusion. So, this research can show the linkage between them. The results showed a process of traits and knowledge sharing among the Austronesian cultures variations in each of their houses.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (2) ◽  
pp. 97-112
Author(s):  
Indah Nurani

Abstract, Pacitan Cultural Landscape and Correlation with The Distribution of Occupation, Artifacts, and Raw Materials in The Gunung Sewu Area. The results of archaeological research in the Gunung Sewu area provide an overview of the cultural landscape of space and time. During the Pleistocene, paleolithic remains were scattered mainly in the Baksoko watershed, Pacitan, and the Oyo River watershed, Gunungkidul. Traces of the cultural heritage of the Gunung Sewu area that last hundreds of thousands of years show a shift in choosing a place to work. An area is selected for activities based on the availability of basic human needs, both food sources (flora-fauna) and raw materials for making equipment. The need for raw materials equipment is an essential factor in describing the cultural landscape map because the choice of location as an activity is reflected in the human mind at that time. Applying paleolithic technology to Pacitan culture and neolithic technology generally uses rock materials that are easy to flake and chip. Therefore, selecting rock material with high hardness (silica content) will determine its sharpness. To reconstruct the cultural landscape in Pacitan in the dimensions of space and time, this aims to explain based on the hypothesis that if a culture is created in a particular natural environment, then the activity will occupy a particular natural environment. The approach used is landscape archeology. Based on this, it can be reconstructed that there are differences in stone raw materials for tool making between the upstream and downstream areas of the river with different technologies. In addition, there was a shift in an occupation that was initially centered around rivers during the Pleistocene, then shifted to karst hills in caves or niches during the Early Holocene.   Abstrak. Hasil penelitian arkeologi di Kawasan Gunung Sewu memberikan gambaran lanskap budaya ruang dan waktu. Pada kala Pleistosen tersebar tinggalan paleolitik, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Baksoko, Kabupaten Pacitan dan DAS Kali Oyo, Kabupaten Gunungkidul hingga tinggalan neolitik kala Holosen di Ngrijangan lengkap ditemukan di kawasan Gunung Sewu. Jejak tinggalan budaya Kawasan Gunung Sewu tersebut berlangsung ratusan ribu tahun yang menunjukkan adanya pergeseran dalam memilih tempat mereka beraktivitas. Suatu daerah dipilih untuk beraktivitas didasarkan pada tersedianya kebutuhan pokok manusia, baik sumber makanan (flora-fauna) maupun bahan baku untuk pembuatan peralatan. Kebutuhan bahan baku untuk peralatan merupakan faktor penting dalam menggambarkan peta lanskap budaya karena pilihan lokasi untuk beraktivitas tecermin bagaimana alam pikiran manusia pada waktu itu. Penerapan teknologi paleolitik pada budaya Pacitanian dan teknologi neolitik umumnya memakai bahan batuan yang mudah diserpih dan dipangkas. Oleh karena itu, pilihan material batuan dengan kekerasan tinggi (kandungan silikaan) sangat menentukan ketajamannya. Untuk merekonstruksi lanskap budaya di Pacitan dalam dimensi ruang dan waktu ini bertujuan menjelaskan yang didasarkan suatu hipotesis apabila suatu budaya tercipta pada lingkungan alam tertentu, Dengan demikian, suatu aktivitas akan menempati lingkungan alam tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah arkeologi lanskap. Berdasarkan hal tersebut, dapat direkonstruksi adanya perbedaan bahan baku batu untuk pembuatan alat antara daerah hulu dengan  ilir sungai dengan teknologi yang berbeda. Selain itu, terjadi pergeseran hunian, pada awalnya berpusat di sekitar sungai pada masa Pleistosen, kemudian bergeser ke perbukitan karst di gua atau ceruk pada awal Holosen.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (2) ◽  
pp. 81-96
Author(s):  
Lucas Wattimena ◽  
Marlyn J. Salhuteru ◽  
Godlief A. Peseletehaha ◽  
Karyamantha Surbakti ◽  
Muhammad Al Mujabuddawat ◽  
...  

Abstract. Anthropomorphic Images of Rock Art In Moluccas Archipelago, Indonesia (Case Study In Kaimear and Kisar Island, Maluku). The Maluku Islands Cluster consists of a group of large and small islands located horizontally and vertically between the equator. These geographical conditions make the Maluku Islands as one of the characters of archipelagic rock image sites in Indonesia. This paper presents the shape and distribution of anthropomorphic rock images in the Maluku Islands in the Wallacea Region. The research location covers the southeastern part of the Maluku Islands, namely Kaimear Island and Kisar Island, Maluku Province. The purpose of this paper is to determine the shape and distribution of anthropomorphic rock images in the Maluku Islands. This study used the descriptive qualitative method. The data used is a combination of data obtained from research in 2014 - 2019. The results show that there are eighty forms of human rock images scattered on sites on Kisar Island, which include the Here Sorot Entapa, Herku, Intutun, Irmula, Kulwasuru, Lenhorhorok, Liotitin, Salpuru,Wakurai, Hersorsorot, and one site on Kaimear Island, the Kel lein Site.   Abstrak. Gugusan Kepulauan Maluku terdiri atas gugusan pulau-pulau besar dan kecil terletak sejajar secara horizontal dan vertikal di antara garis khatulistiwa. Kondisi geografis tersebut menjadikan Kepulauan Maluku sebagai salah satu karakter situs gambar cadas kepulauan di Indonesia. Tulisan ini menyajikan bentuk dan sebaran gambar cadas motif antropomorfik di Kepulauan Maluku yang berada di Kawasan Wallacea. Lokasi penelitian mencakup wilayah gugusan Kepulauan Maluku bagian tenggara, yaitu Pulau Kaimear dan Pulau Kisar, Provinsi Maluku. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk dan sebaran gambar cadas antropormofik di Kepulauan Maluku. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan merupakan gabungan antara data yang diperoleh dari penelitian tahun 2014 - 2019. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat  delapan puluh bentuk gambar cadas manusia yang tersebar di situs di Pulau Kisar, yang meliputi Situs Here Sorot Entapa, Herku, Intutun, Irmula, Kulwasuru, Lenhorhorok, Liotitin, Salpuru, Wakurai, Hersorsorot, dan satu situs di Pulau Kaimear, yaitu Situs Kel lein.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (2) ◽  
pp. 129-146
Author(s):  
Ashar Murdihastomo, S.S. ◽  
Sukawati Susetyo

Abstract. Reinterpretation of The Relative Date of The Four Stone Sculptures Collection of The National Museum of Indonesia. The results of research on the art style of the Kāḍiri period statues in 2020 show that four statues have been identified as requiring renewal. The information in question is related to the relative dating of the statue. The information written on the museum's information label for the four statues comes from the XI-XII centuries AD. However, when examined based on the art style of the statues, the four have younger characteristics. Therefore, the question arises, what are the characteristics of the sculptures from the four statues in the collection of the National Museum of Indonesia, and when is the relative date indicated by the art style of the statues? This study aimed to determine the art style of the four statues from the collection of the Indonesian National Museum and provide new information on the chronology of the time of the statues. This study uses a qualitative approach based on the descriptive-explanative principle in conducting the analysis using the principles of iconography and ancient sculpture art styles. The results obtained indicate that the four statues have two sculpture characters, namely the Majapahit era and the late Majapahit period, with a relative date range of the XIV-XV centuries AD.   Abstrak. Hasil penelitian tentang gaya seni arca masa Kāḍiri tahun 2020 memperlihatkan ada empat arca yang teridentifikasi memerlukan pembaruan. Informasi yang dimaksud terkait dengan pertanggalan relatif arca. Keterangan yang tertulis pada label informasi museum keempat arca tersebut berasal dari abad XI--XII Masehi.  Namun, apabila dikaji berdasarkan gaya seni arcanya, keempatnya memiliki ciri yang lebih muda. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah ciri seni arca dari empat arca koleksi Museum Nasional Indonesia tersebut dan kapan pertanggalan relatif yang ditunjukkan oleh gaya seni arca itu? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya seni arca keempat arca koleksi Museum Nasional Indonesia dan memberikan informasi baru terhadap kronologi waktu arca tersebut. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada prinsip deksriptif-eksplanatif. Dalam melakukan analisis menggunakan prinsip ikonografi dan gaya seni arca kuno. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keempat arca tersebut memiliki dua karakter seni arca, yaitu masa Majapahit dan masa akhir Majapahit dengan kisaran pertanggalan relatif abad XIV-XV Masehi.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (1) ◽  
pp. 35-50
Author(s):  
Dian Sulistyowati ◽  
Dicky Caesario Wibowo ◽  
Hafiyyan Dinan Ardiansyah

Abstract. Interpretation Of The Pottery Function From The Abh Sector In Muarajambi Temple Based On Residual Analysis Using Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC/MS) Method. Pottery is one of the artifacts that found in most archaeological sites, and it found both in prehistoric and historic context. Even though mostly found in fragments, the availability of pottery can help archaeologists reconstruct culture in the past. There are many methods and attempts to analyze pottery from archaeological sites. One of the recent development is lipid analysis from the inner pores of pottery Selatan. By using Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC/MS) methods, an archaeologist can identify and characterize lipid in pottery. This paper focuses on the preparation and residue analysis stage of pottery samples from Kawasan Percandian Muarajambi. Since sample preparation rarely describes in books, we try to present a small part of lipid analysis before the results can be used as a pottery function. The analysis showed that there were organic chemical compounds left in the pottery samples, among others are vegetable and animal fats. Initial information obtained from the results of the analysis is that there is an indication that the pottery fragments function as cooking containers, this is reinforced by the presence of combustion compounds found in pottery residues and the absence of traces of contamination on the residues. However, the results of this analysis are initial indications that still need to be strengthened by contextual analysis, and cannot be applied in general to other sites in Kawasan Percandian Muarajambi.   Abstrak. Tembikar merupakan salah satu artefak yang umum ditemukan pada situs arkeologi, baik situs masa prasejarah maupun masa sejarah. Walaupun sebagian besar dari temuan tembikar ditemukan dalam bentuk pecahan, keberadaan tembikar dalam satu situs arkeologi dapat membantu upaya rekonstruksi kehidupan manusia pada masa lalu. Rekonstruksi ini dilakukan melalui berbagai metode analisis dan pendekatan, di antaranya analisis residu untuk mengetahui fungsi tembikar tersebut. Melalui metode analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC/MS) dapat dideteksi keberadaan sisa organik residu dan memberikan penjelasan mengenai fungsi tembikar tersebut pada masa lalu. Tulisan ini berfokus pada tahap persiapan dan analisis residu beberapa sampel tembikar di Kawasan Percandian Muarajambi melalui metode GC/MS. Tahappenyiapan sampel menjadi penting karena hingga saat ini belum banyak tulisan yang menguraikan secara terperinci mengenai hal tersebut. Hasil analisis memperlihatkan adanya senyawa kimia organik yang tertinggal pada sampel tembikar di antaranya lemak nabati dan hewani. Informasi awal yang diperoleh adalah adanya indikasi bahwa fragmen tembikar tersebut berfungsi sebagai wadah memasak. Hal itu diperkuat oleh adanya senyawa hasil pembakaran pada residu tembikar dan tidak adanya jejak kontaminasi. Namun, hasil analisis ini adalah indikasi awal yang masih perlu diperkuat melalui analisis kontekstual, yang tidak dapat diberlakukan secara umum pada situs lain di Kawasan Percandian Muarajambi.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (1) ◽  
pp. 51-64
Author(s):  
Muhamad Alnoza ◽  
Dian Sulistyowati

Abstract. The Construction of Ancient Java Community Towards Transgender Women in The 9th-14th Centuries. Transwomen in Indonesia are easily recognized by one's physical appearance. The survey stated that 89.3% of LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) groups have experienced discrimination and violence. The views of the Indonesian people towards transgender women today are influenced by the perspectives and constructions of society in the past. This paper is to reconstruct how the perspective of the ancient Javanese society towards trans women. Thepurpose of this research is to find the origin of the current Indonesian people's view of transgender women from past references. This study uses a descriptive analysis approach through the stages of data collection, analysis, and interpretation. It can be seen that the construction of society during the Javanese era considered transgender people as a group of people with disabilities. In addition to these constructions, for the royal group, trans women are part of the king's servants who have magical and political powers. Thus, trans women had an important position and privileges in the ancient Javanese kingdom. The position of transgender women can also be understood as an archipelago tradition, which places transwomen as a link between the human world and the world of gods, as can be found in bissu in South Sulawesi. Abstrak. Golongan transpuan di Indonesia mudah dikenali melalui penampilan fisik seseorang. Survei menyebutkan bahwa 89,3% kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah mengalami diskriminasi dan kekerasan. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap transpuan dewasa ini dipengaruhi oleh perspektif dan konstruksi masyarakat pada masa lalu. Tulisan ini dimaksudkan untuk merekonstruksi bagaimana perspektif masyarakat Jawa Kuno terhadap transpuan. Tujuan penelitian adalah untuk mencari permulaan pandangan masyarakat Indonesia saat ini terhadap transpuan dari referensi masa lampau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi analisis melalui tahap pengumpulan data, analisis, dan interpretasi. Dapat diketahui bahwa konstruksi masyarakat pada masa Jawa Kuno menganggap transpuan sebagai golongan disabilitas. Di samping konstruksi tersebut, bagi golongan kerajaan, transpuan merupakan bagian dari abdi raja yang memiliki kekuatan magis dan politis. Dengan demikian, transpuan memiliki posisi yang penting dan hak-hak istimewa dalam kerajaan zaman Jawa Kuno. Posisi transpuan tersebut juga dapat dipahami sebagai suatu tradisi khas Nusantara, yang menempatkan transpuan sebagai penghubung dunia manusia dan dunia dewa, sebagaimana dapat dijumpai pula pada bissu di Sulawesi Selatan.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (1) ◽  
pp. 1-16
Author(s):  
Jatmiko ◽  
Ruly Fauzi

Abstract. Settlement Type and Characteristic of ‘Sampung Culture’ at Lawa Cave Site, Ponorogo. Lawa Cave, located in Sampung (Ponorogo, East Java), is an eponym site for the Sampungian culture. Its status within the cultural framework of the Javanese prehistory remains unclear. This article aims to reveal the type and characteristic of settlement in Lawa Cave, including its position within the historical framework of cave habitation in the archipelago. The descriptive-explanative approach reveals that the distribution of artifacts in Lawa Cave shows a distinctive feature. The bifacial arrowhead reported by Callenfels is associated with bone and pebbles (milling stones) in a relatively thick unit of cultural layer. Based on the emergence of milling stones, the inhabitants of Lawa Cave may have known simple agricultural activities through processing wild plants as their food source. Based on this, Sampungian can be categorized as part of the Para-Neolithic culture, which is also found in several sites in Mainland Southeast Asia.   Abstrak. Gua Lawa yang berada di Sampung (Ponorogo, Jawa Timur) merupakan situs eponim bagi budaya Sampungian yang statusnya di dalam kerangka kebudayaan prasejarah Pulau Jawa masih belum jelas. Artikel ini bertujuan untuk mengungkap tipe hunian dan karakteristik budaya Sampungian di Gua Lawa serta kaitannya dengan sejarah perkembangan hunian gua di Nusantara. Melalui pendekatan deskriptif-eksplanatif terlihat bahwasannya distribusi artefak di Gua Lawa menunjukkan suatu ciri khas tersendiri. Himpunan artefak mata panah bifasial, sebagaimana pertama kali dilaporkan oleh Callenfels, faktanya berasosiasi dengan artefak tulang dan kerakal pada suatu unit lapisan budaya yang cukup tebal. Berdasarkan kemunculan artefak kerakalpenggerus, diperkirakan masyarakat penghuni Gua Lawa telah mengenal aktivitas agrikultur sederhana melalui pengolahan tumbuhan liar tertentu sebagai sumber pangan mereka. Berdasarkan hal tersebut, Sampungian dapat dikategorikan sebagai bagian dari budaya Para-Neolitik yang juga dijumpai pada sejumlah situs di Asia Tenggara Daratan.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (1) ◽  
pp. 17-34
Author(s):  
Fakhri ◽  
Budianto Hakim ◽  
Yulastri ◽  
Salmia ◽  
Suryatman

Abstract. Utilization Of Vertebrate Fauna And Environmental Conditions Of Occupational Period 8.000 – 550 BP On The Site Of Leang Jarie, Maros, South Sulawesi. Vertebrate Remains from Leang Jarie Site at 8.000-550 BP Occupation in Maros Karst Area, South Sulawesi. The purpose of this study is to provide an overview of vertebrate fauna in Maros Pangkep karstic area, as one of the occupation areas at 8.000 years ago, Specifically, the purpose of this study is to describe of faunal remains found in the 2018-2019 excavation at Leang Jarie Site, Maros, South Sulawesi. This goal is achieved by using the Number of Identified Specimens (NISP) and Minimum Number of Individuals (MNI) calculation methods. The results of the study then showed that the fauna lived alongside human at this site included: fish, lizards, snakes, birds, frogs/toad, small Sulawesi cuscus, microchiroptera, megachiroptera, Sulawesi monkeys, rats, weasel/ferrets, babirussa and sus celebensis, anoa, buffaloes, and dogs. The results of the analysis and identification show that the presence of fauna on the Leang Jarie site is strongly influenced by humans who inhabit this site, this can be seen from the variety of fauna that lives following the changes of humans who inhabit Leang Jarie Sites at 8.000 to 550 BP. This study is one of the references of fauna that have lived and used as a food source or as human life support in this area.   Abstrak. Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang fauna vertebrata di kawasan karst Maros Pangkep sebagai salah satu wilayah hunian sejak 8.000 tahun yang lampau, khususnya tentang jenis fauna pada ekskavasi 2018 dan 2019 di Situs Leang Jarie, Maros, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan metode analisis penghitungan number of identified specimens dan penghitungan minimum number of individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fauna yang hidup berdampingan dengan manusia di situs itu, antara lain ikan, kadal/biawak, ular, burung, katak/kodok, kuskus kecil Sulawesi, kelelawar pemakan serangga, kelelawar pemakan buah, monyet sulawesi, tikus, musang, babi rusa dan babi Sulawesi, anoa, kerbau, dan anjing. Hasil analisis dan identifikasi menunjukkan bahwa keberadaan fauna di Situs Leang Jarie sangat dipengaruhi oleh manusia yang menghuni situs itu. Hal itu terlihat dari variasi fauna yang hidup mengikutiperubahan manusia yang mendiaminya pada 8.000 sampai 550 BP. Penelitian ini merupakan salah satu referensi informasi fauna yang pernah hidup dan dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan atau sisa fauna yang dimanfaatkan sebagai peralatan penunjang hidup manusia di wilayah tersebut.


AMERTA ◽  
2021 ◽  
Vol 39 (1) ◽  
pp. 65-80
Author(s):  
Wahyu Rizky Andhifani ◽  
Churmatin Nasoichah

Abstract. Ancient Manuscript “Kaghas 1 Semidang Tribe”: A Critical Source Study. Inscriptions and ancient Ulu script are found in South Sumatra and since 2009 an inventory has been carried out. The condition of these local inscriptions and manuscripts is generally well preserved and treated specially in the storage process and is a hereditary legacy that must be preserved. These ancient inscriptions and manuscripts are still widely owned by the community because they contain instructions or life guidelines for their children and grandchildren. This ancient manuscript is made of halim tree bark in the shape of sheets that are folded in rectangles similar to an accordion or an ancient book. The problem to be resolved is a review of source criticism of the ancient manuscripts of the Kaghas 1 Semidang tribe. The goal to be achieved is to examine the text from the point of view of source criticism by using the analytical description method. The script used is the Ulu script using the Pagaralam or Pasemah dialect. This manuscript contains Islamic teachings related to local genius or assimilation between the teachings of Islam and the culture of the Pasemah area.   Abstrak. Prasasti dan naskah kuno beraksara Ulu sangat banyak ditemukan di wilayah Sumatra Selatan dan sejak tahun 2009 telah dilakukan inventarisasi. Kondisi prasasti dan naskah lokal tersebut secara umum terawat dan diperlakukan khusus dalam proses penyimpanannya dan merupakan warisan turun-menurun yang harus dijaga. Prasasti dan naskah kuno tersebut masih banyak dimiliki oleh masyarakat karena berisikan petunjuk atau pedoman hidup bagi anak cucu mereka. Naskah kuno ini terbuat dari kulit kayu pohon halim berbentuk lembaran yang dilipat-lipat segi empat mirip alat musik akordeon atau sebuah buku zaman dahulu. Permasalahan yang akan diselesaikan yaitu tinjauan kritik sumber terhadap naskah kuno kaghas 1 Suku Semidang. Tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk menelaah naskah tersebut dari sudut pandang kritik sumber dengan menggunakan metode deskripsi analisis. Aksara yang digunakan adalah aksara Ulu dengan menggunakan bahasa Melayu dialek Pagaralam atau Pasemah. Naskah ini memuat ajaran Islam terkait dengan local genius atau asimilasi antara ajaran Agama Islam dan budaya daerah Pasemah.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document