scholarly journals Karakteristik Morfometrik Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di Pesisir Pulau Bintan

2020 ◽  
Vol 9 (4) ◽  
pp. 474-484
Author(s):  
Pratiwi Sarinawaty ◽  
Fadhliyah Idris ◽  
Aditya Hikmat Nugraha

ABSTRAK: Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbiji (angiospermae) yang mampu hidup terendam di dalam air laut dan beradaptasi pada lingkungan dengan salinitas tinggi serta memiliki rhizome, daun dan akar sejati. Kajian terkait karakteristik morfometrik menekankan pada keadaan karakter morfologi suatau spesies yang mendiami suatu wilayah tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan karakteristik morfometrik lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada ekosistem lamun di beberapa wilayah pesisir di Pulau Bintan. Penentuan lokasi penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling sedangkan pengambilan data lamun menggunakan transek kuadran ukuran 50x50cm. Karakteristik bagian lamun yang diukur yaitu panjang daun, lebar daun, diameter rhizome, panjang akar dan jumlah daun. Karakteristik morfometrik lamun di ketiga lokasi memiliki perbedaan. Lamun E. acoroides di lokasi Pantai Impian memiliki panjang daun yang terpanjang dan diameter rhizome yang paling besar dari lokasi lainnya. Sedangkan lokasi pengudang memiliki lebar daun tertinggi. Morfometrik Lamun jenis T. hemprichii yang mempunyai nilai panjang daun, lebar daun dan diameter rhizome tertinggi terdapat di lokasi Pantai Impian. Sedangkan panjang daun terendah terdapat di Pengudang.  ABSTRACT: Seagrass is the only seed plant (angiosperms) that can live submerged in seawater and adapt to environments with high salinity and has rhizomes, leaves, and tree roots. Studies related to morphometric characteristics emphasize the morphological character of a species that inhabits a particular area. This research was conducted in October 2019 to March 2020 in Dompak, Pengudang Village, and Pantai Impian to compare the morphometric characteristics of the seagrass Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii in seagrass ecosystems in some coastal areas of Bintan Island. The determination of the location of the study was determined by a purposive sampling method while seagrass data collection using a 50x50cm quadrant transect size. Morphometric characteristics of seagrasses in the three locations have differences. Seagrass E. acoroides at the Impian Beach location has the longest leaf length and the largest rhizome diameter than other locations. Whereas the storage location has the highest leaf width. Morphometrics of seagrass T. hemprichii which has the highest value of leaf length, leaf width, and rhizome diameter is at the Dream Beach location. While the lowest leaf length is found in Pengudang. 

2018 ◽  
Vol 19 (6) ◽  
pp. 2035-2043
Author(s):  
YUNITA RAMILI ◽  
DIETRIECH G. BENGEN ◽  
HAWIS H. MADDUPPA ◽  
MUJIZAT KAWAROE

Authors. 2018. Morphometric characteristics of two seagrass species (Enhalus acoroides and Cymodocea rotundata) in four small islands in North Maluku, Indonesia. Biodiversitas 19: 2035-2043. Seagrass has an important ecological role as a protector of coastlines and small islands. It is known to be capable of forming phenotypic plasticity through morphometric variation as a response to its environmental conditions. This study aimed to determine the distribution and morphological differences between populations of two important seagrass species (Enhalus acoroides and Cymodocea rotundata) in the waters around four small islands in North Maluku. The study was conducted at two stations in each of Ternate Island and Maitara Islands, three stations at Tidore Island and one station at Hiri Island. A line transect method was used to collect seagrass samples. Morphometric characteristics included leaf sheath length, leaf length, leaf width, rhizome diameter, root length, root diameter, and internode length were measured. Discriminant analysis was performed to describe morphometric characteristics distinctive of the four islands. Leaf sheath length, leaf length, rhizome diameter, and root length of E. Acoroides differed significantly among the populations from the various islands except for leaf width. Meanwhile, leaf sheath length, leaf width, rhizome diameter, root length, and internode length differed significantly in C. rotundata among the populations from different islands except for leaf length.


2021 ◽  
Vol 10 (3) ◽  
pp. 413-420
Author(s):  
Annisa Rhamadany ◽  
Chrisna Adhi Suryono ◽  
Delianis Pringgenies

Ekosistem lamun memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang tinggi. Peran ekosistem lamun dalam penyimpanan karbon akan tetapi masih belum menjadi sorotan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai biomassa dan estimasi simpanan karbon pada ekosistem lamun di Perairan Batulawang, Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini dilaksanakan pada 7 – 14 Noevmber 2019 di Perairan Batulawang dan Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa. Metode penelitian di lapangan menggunakan metode SeagrassWatch, sementara nilai biomassa dan nilai estimasi simpanan karbon dihitung menggunakan metode Metode Loss of Ignition (LOI) di laboratorium. Data yang diperoleh berupa pengukuran berat kering untuk menghitung biomassa dan analisa kandungan karbon pada lamun dan sedimen. Hasil penelitian didapatkan empat jenis lamun di Perairan Batulawang yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum sedangkan di Pulau Sintok terdapat tiga jenis lamun yang ditemukan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Nilai total biomassa lamun terbesar pada Perairan Batulawang yaitu Enhalus acoroides dengan nilai 849,75 gbk/m2 dan nilai total biomassa lamun terkecil Thalassodendron ciliatum dengan nilai 29 gbk/m2. Nilai total biomassa lamun terbesar pada Pulau Sintok yaitu Cymodocea rotundata dengan nilai 177,75 gbk/m2dan nilai total biomassa lamun terkecil Halophila ovalis dengan nilai 4,75 gbk/m2. Hasil pengukuran karbon lamun pada Perairan Batulawang yaitu 12,97 – 359,87 gC/m2­ dan 258,20 – 541,51 gC/m2 pada sedimennya. Hasil pengukuran karbon pada lamun di Pulau Sintok yaitu 2,35 – 85,80 gC/m2 dan 204,92 – 765,92 gC/m2 pada sedimen. Kandungan karbon paling besar terdapat pada bagian bawah substrat (below ground). Kandungan karbon pada bagian bawah substrat tidak terganggu oleh faktor lingkungan (gelombang, arus, dan ulah manusia) sehingga terakumulasi baik. Seagrass ecosystems have high ecological and economic functions. The role of seagrass ecosystems in carbon storage, however, has not yet been highlighted. The purpose of this study was to determine the value of biomass and estimated carbon storage in seagrass ecosystems in Batulawang waters, Kemujan Island and Sintok Island, Karimunjawa National Park. This research was conducted on 7 − 14 November 2019 in Batulawang waters and Sintok Island, Karimunjawa National Park. The research method in the field uses the SeagrassWatch method, while the biomass value and the estimated value of carbon storage are calculated using the Loss of Ignition (LOI) method in the laboratory. The data obtained were measurements of dry weight to calculate biomass and analysis of carbon content in seagrass and sediments. The result shows that there are four species of seagrass in Batulawang Waters, they are Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, and Thalassodendron cliatum meanwhile in Sintok Island there are three species, they are, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, and Halophila ovalis. The measurement of carbon is done by using Loss on Ignition Method. The highest total seagrass biomass in Batulawang waters is Enhalus acoroides with a value of 849.75 gbk/m2 and the lowest total seagrass biomass is Thalassodendron ciliatum with a value of 29 gbk/m2. The highest total seagrass biomass on Sintok Island is Cymodocea rotundata with a value of 177.75 gbk/m2 and the lowest total seagrass biomass is Halophila ovalis with a value of 4.75 gbk/m2. The results of measurements of seagrass carbon in Batulawang waters are 12,97 – 359,87 gC/m2­ and 258,20 – 541,51 gC/m2 on the sediments. The result of seagrass carbon measurement in Sintok Island is 2,35 – 85,80 gC/m2 and 204,92 – 765,92 gC/m2 on the sediments. The largest carbon content is at the bottom of the substrate (below ground). The carbon content at the bottom of the substrate is not disturbed by environmental factors (waves, currents, and human activities) so that it accumulates well.


Jurnal MIPA ◽  
2014 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Klion Ngongira ◽  
Marnix L. D. Langoy ◽  
Deidy Yulius Katili ◽  
Pience V. Maabuat

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal. Penelitian ini dilaksanakan di pantai Tongkaina dengan menggunakan metode observasi lapangan pada purposive sampling dengan garis transek kuadrat. Analisis data meliputi perhitungan dengan rumus Krebs dan Fachrul, identifikasi jenis lamun dan penentuan indeks keanekaragaman menggunakan Shannon Wiener. Berdasarkan hasil penelitian terdapat tujuh jenis lamun yang ditemukan yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Holodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium. Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki penyebaran terluas, karena ditemukan di seluruh transek pada lokasi penelitian. Jenis yang jarang dijumpai adalah Halophila ovalis dan Holodule pinifolia. Jumlah individu yang ditemukan adalah 2993 individu. Nilai indeks keanekaragaman di pesisir Pantai Molas memperlihatkan bahwa di wilayah ini keanekaragaman jenis lamun sedang bila dibandingkan dengan 13 lokasi lainnya di Indonesia.Sea grasses are flowering plants that can grow well in shallow marine environments. This research was conducted in Tongkaina Beach using field observation, with purposive sampling using line transect squares. Data analysis was performed using the formula of Krebs and Fachrul. Identification of sea grass and determination of diversity index is done using Shannon Wiener. Results obtained in this research showed that there are seven types of sea grasses, namely Enhalus acaroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodecea rotundata, Cymodocea serrulata, Holodule pinifolia, and Syringodium isoetifolium. Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii have wide distribution because they can be found in all transect line at research site. Species that are rarely found are Halophila ovalis and Holodule pinifolia. Number of individual found was 2993. Value of diversity index at Tongkaina Beach showed that this area has moderate sea grass diversity compared to other 13 locations in Indonesia.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 319-332
Author(s):  
Desti Nurul Ramadona ◽  
Churun Ain ◽  
Sigit Febrianto ◽  
Suryanti ◽  
Nurul Latifah

Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu diperlukan mitigasi emisi CO2 dengan memanfaatkan potensi lamun sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan lamun jaringan atas dan jaringan bawah dalam menyimpan karbon di perairan Pantai Pokemon pada Agustus 2020. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei dan deskriptif eksploratif. Sampel diambil dari 3 stasiun pengamatan dengan line dan kuadrant transect menggunakan metode purposive sampling. Pengukuran parameter kualitas perairan dilakukan secara insitu. Analisis simpanan karbon lamun diukur menggunakan metode pengabuan atau loss on ignition (LOI). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis dengan jenis T. hemprichii yang mendominasi. Total kerapatan sebesar 295,62 ind/m2 dan total penutupan yaitu 21,29%. Biomassa secara keseluruhan sebesar 74,42 gbk/m2 dengan biomassa jaringan atas sebesar 35,80 gbk/m2 dan jaringan bawah sebesar 38,62 gbk/m2. Simpanan karbon sebesar 0,23 ton C/ha dengan jaringan atas sebesar 0,10 ton C/ha dan jaringan bawah 0,13 ton C/ha. Total stok karbon mencapai 1,13 ton C dalam luasan padang lamun sebesar 4,903 ha dengan stok karbon jaringan atas bernilai 0,51 ton C dan jaringan bawah sebesar 0,62 ton C. Secara umum lamun jaringan bawah di Pantai Pokemon lebih besar menyimpan karbon.


2019 ◽  
Vol 14 (3) ◽  
Author(s):  
Agustin Rustam

Salah satu faktor yang mempengaruhi struktur komunitas lamun adalah kondisi lingkungan tempat lamun tumbuh yang dipengaruhi musim. Penelitian ini dilakukan tahun 2016 dan 2018 di perairan kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini mendapatkan dinamika kondisi eksisting ekosistem lamun melalui pendekatan struktur komunitas di empat pulau dan monitoring di dua pulau pada dua musim yang berbeda. Metode penelitian dilakukan dengan survei lapangan, penentuan titik sampling secara purposive sampling dan dianalisis struktur komunitas lamun serta metode skoring/bobot untuk mengestimasikan kondisi lamun. Hasil penelitian ada sepuluh spesies lamun yang ditemukan di empat pulau dengan 15 titik sampling. Dua pulau dilakukan monitoring terlihat adanya kecenderungan penurunan prosentase penutupan lamun dan berkurangnya spesies lamun namun ada peningkatan keanekaragaman lamun berdasarkan jumlah individu yang ditemukan. Jenis lamun yang berperan penting di Kepulauan Karimunjawa adalah jenis Thalassia  hemprichii, Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides. Peningkatan jumlah individu lamun dikarenakan adanya pergantian peran lamun di lokasi monitoring dengan lamun yang  berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Berdasarkan sistem pembobotan dan baku mutu kondisi lingkungan  ekosistem lamun rata-rata menunjukkan kondisi dalam keadaan rusak, kurang kaya dan kurang sehat. Hal ini dapat disebabkan ada potensi pencemaran limbah domestik yang  terperangkap di ekosistem lamun sehingga terjadi penurunan struktur komunitas lamun, ditunjukkan dengan adanya hamparan makro alga di beberapa lokasi, mengindikasikan adanya pengayaan nutrien. Diperlukan pemantauan yang berkelanjutan untuk ekosistem lamun, dan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke laut, sehingga lingkungan perairan terjaga dengan baik. 


Jurnal Segara ◽  
2016 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
Author(s):  
Mariska A. Kusumaningtyas ◽  
Agustin Rustam ◽  
Terry L. Kepel ◽  
Restu Nur Afi Ati ◽  
August Daulat ◽  
...  

Penelitian mengenai ekologi dan struktur komunitas lamun ini dilakukan tanggal 10 – 15 Juni 2013 di perairan pesisir Teluk Ratatotok, Minahasa Tenggara. Metode penelitian dilakukan secara purposive sampling terkait dengan keberadaan lamun. Penelitian yang dilakukan meliputi pengukuran prosentase tutupan lamun, kerapatan, struktur komunitas, dan kondisi lingkungan di lokasi penelitian. Terdapat tujuh jenis lamun yang terdiri dari dua famili. Famili Hydrocharitaceae ditemukan tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th) dan Halophila ovalis (Ho). Empat jenis lamun dari famili Cymodoceaceae yaitu Cymodocea serrulata (Cs), Cymodocea rotundata (Cr), Halodule pinifolia (Hp), dan Syringodium isoetifolium (Si). Kisaran prosentase penutupan rata-rata antara 22,5% - 89,5%. Kerapatan lamun perstasiun berkisar antara 17 – 473 ind/m2, dengan kerapatan tertinggi lamun jenis Ho sebesar 473 ind/m2 di stasiun 6. Nilai INP tertinggi pada lamun jenis Ea sebesar 128% diikuti berturut-turut oleh Si (41%), Th (36%), Ho (27%), Cs (26%), Cr (24%) dan Hp (17%). Berdasarkan kriteria status kondisi padang lamun (Kepmen LH no 200 tahun 2004), kondisi padang lamun di Teluk Ratatotok antara rusak/miskin sampai dengan baik/sehat. Stasiun 5 kondisi rusak/miskin, stasiun 3 dan 4 kondisi rusak/kurang sehat dan tiga stasiun kondisi baik/sehat yaitu stasiun 1, 2 dan 6. Secara keseluruhan kondisi lingkungaan Teluk Ratatotok masih mendukung pertumbuhan lamun.


2019 ◽  
Vol 8 (4) ◽  
pp. 340-345
Author(s):  
Abdino Putra Utama ◽  
Nirwani Soenardjo ◽  
Hadi Endrawati

ABSTRAK: Perifiton merupakan salah satu organisme yang berkontribusi besar dalam meningkatkan produktivitas primer di ekosistem lamun. Kondisi padang lamun sangat menentukan keberadaan perifiton, sehingga pada kondisi lamun yang baik merupakan tempat yang layak untuk penempelan perifiton. Aktivitas antropogenik akan menyebabkan gangguan maupun kerusakan pada lamun sehingga mempengaruhi penempelan perifiton pada lamun. Perairan Teluk Awur dekat dengan kegiatan-kegiatan antropogenik yang dapat menyebabkan gangguan pada kondisi lingkungan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetauhi jenis dan kelimpahan perifiton yang hidup pada lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia  hemprichii, serta kelimpahan perifiton pada tiap bagian daun (pangkal, tengah dan ujung). Pengambilan sampel daun lamun dilaksanakan Bulan November 2018 di Perairan Teluk Awur, Kabupaten Jepara. Identifikasi jenis lamun dilakukan pada lokasi penelitian, dan identifikasi jenis perifiton dilakukan pada laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian bahwa, komposisi perifiton terdapat 6 kelas terdiri dari 23 genus dengan kelimpahan tertinggi selalu terdapat pada ujung daun. Genus yang paling sering ditemukan adalah Nitzschia. Kelimpahan perifiton pada lamun jenis E. acoroides dan T. hemprichii secara berturut – turut sebanyak 2689,33 individu/cm2 dan 3158,67 individu/cm2. Kelimpahan perifiton semakin meningkat ketika mendekati bagian ujung daun. ABSTRACT: Periphyton is one of the organism that contributes greatly in increasing primary productivity on seagrass ecosystems. Seagrass conditions greatly determine the presence of periphyton, so when a good seagrass conditions, it is a suitable place for periphyton attachment. Anthropogenic activity will cause disturbance and damage to seagrass, which affects the attachment of periphyton on seagrass. Teluk Awur waters are close to anthropogenic activities which can cause interference with the conditions of the surrounding environment.This study aims to determine the type and abundance of periphyton that lives on the types of seagrass leaves Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii, as well as periphyton abundance in each part of the leaf (base, middle and tip).Sampling of seagrass leaves was carried out on November 2018 in Teluk Awur, Jepara Regency. Identification of seagrass species was carried out at the study site, and identification of the type of periphyton was carried out in the laboratory. Based on the results of the study, that on periphyton composition, 6 classes are consisting of 23 genera with the highest abundance always found at the tip of the leaf. The most common found genus is Nitzschia. Periphyton abundance in seagrass species E. acoroides and T. hemprichii respectively were 2689.33 Ind/cm2 and 3158,67 Ind/cm2. Periphyton abundance inceases as it approaches the tip of the leaves.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 89-93
Author(s):  
Rafdi Abdillah Harjuna ◽  
Ita Riniatsih ◽  
Chrisna Adhi Suryono

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang memiliki fungsi ekologis yang penting dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Ekosistem yang ada di perairan laut dangkal, padang lamun di Indonesia belum banyak diketahui dan bahkan hampir tidak diperhatikan, namun ekosistem ini mempunyai berbagai fungsi penting di perairan laut dangkal. Status kesehatan ekosistem padang lamun dapat ditentukan berdasarkan nilai penutupan (%).  Ekosistem padang lamun memiliki beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi seperti suhu, salinitias, pH, kecepatan arus, kedalaman dan komposisi sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui penutupan lamun (%) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Pulau Panjang dan Pulau Lima, Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2019 dengan menggunakan metode deskriptif dan purposive sampling dalam penentuan lokasinya. Identifikasi dan pengambilan data lamun mengacu pada metode LIPI. Lamun yang ditemukan yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan nilai penutupan (%) pada Pulau Panjang (11,55–12,5%) dan Pulau Lima (14,21-15,34%). Faktor lingkungan lainnya nilai optimum bagi pertumbuhan lamun yaitu nilai suhu dan kecepatan arus dan dengan ditemukannya jenis komposisi sedimen yaitu pasir dan pasir berlumpur.


2020 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 40
Author(s):  
Komang Indah Vitri Lestari ◽  
I Gede Hendrawan ◽  
Elok Faiqoh

Pertumbuhan sektor industri di berbagai Negara yang relatif cepat dapat meningatkan emisi dari Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2) di atmosfer. Salah satu aspek dalam mengurangi gas karbon yaitu dengan pemeliharaan hutan dan lautan untuk menyimpan karbon. Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai menyimpan gas CO2 adalah padang lamun. Lamun sendiri memiliki peran utama yaitu sebagai penyimpan karbon dilautan (Carbon sink) atau dikenal dengan istilah Blue Carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui simpanan karbon pada lamun di bagian atas substrat (daun), bagian bawah substrat (akar dan rhizoma) dan pada setiap jenis lamun yang didapat di Pantai Karang Sewu. Pada penelitian ini penentuan titik sampling adalah sebanyak 6 stasiun untuk pengambilan sampel lamun dilakukan secara Purposive sampling, mengacu pada kerapatan lamun yang diasumsikan bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode pengabuan kering yang dilakukan dengan penghancuran komponen sampel pada suhu 500?C. Hasil penelitian menunjukkan simpanan karbon pada bagian atas substrat (daun) sebesar 0.062 ton, dan pada bagian bawah substrat (rhizoma dan daun) sebesar 0.200 ton. Hasil simpanan karbon pada bagian bawah substrat lebih tinggi daripada atas substrat karena adanya bahan organik yang terendap pada substrat menjadi faktor penyerapan karbon pada lamun bagian bawah substrat. Jenis lamun yang ditemukan di Pantai Karang Sewu yaitu Enhalus acoroides dengan simpanan karbon tertinggi yaitu sebesar 0.19874 ton, simpanan karbon lamun jenis Thalassia hemprichii sebesar 0.06247 ton dan terendah pada lamun jenis Halodule uninervis yaitu sebesar 0.00022 ton.


2020 ◽  
Vol 25 (3) ◽  
pp. 356-364
Author(s):  
Andi Zulfikar ◽  
Mennofatria Boer ◽  
Luky Adrianto ◽  
Reny Puspasari

Seagrass has long been known to be very sensitive to environmental changes, especially caused by human activities (anthropogenic disturbance) and has been used as a bioindicator for environmental condition. This research aimed to study interaction of Thalassia hemprichii measured and derived variables (metrics), at two locations i.e., inhabited island (high anthropogenic location) and uninhabited island (low anthropogenic location). Confirmative approach was conducted using a developed conceptual model based on preliminary studies, the conceptual model was analyzed in multivariate context using data from field observation. The result showed that Thalassia hemprichii dominated and have higher above ground biomass value in inhabited area which indicated high nutrient input, meanwhile uninhabited area showed a higher below ground biomass value. Above ground of Thalassia hemprichii that have direct effect on its biomass and below ground metrics was leaf width, meanwhile leaf length of Thalassia hemprichii have indirect effect on its biomass and below ground metrics. The result also indicated some different metric covariations which were influenced by the degree of Thalassia hemprichii density. Leaf length, leaf width, density, and percent cover of Thalassia hemprichii potentially could be used as components in multimetric index and bioindicator for environmental quality.   Keywords: anthropogenic disturbance, path analysis, structural equation modeling, Thalassia hemprichii


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document