scholarly journals Faktor risiko pada penderita hipertensi di Kelurahan Salatiga, Kota Salatiga

2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 83
Author(s):  
Rosiana Eva Rayanti ◽  
R.L.N.K. Retno Triandhini ◽  
Lydia Limin

Latar Belakang: Hipertensi adalah peningkatan tekanan dalam darah melebih batas normal yaitu 120/80 mmHg. Faktor risiko hipertensi yaitu faktor yang tidak dapat diubah seperti keturunan, usia, dan jenis kelamin, sedangkan faktor yang dapat diubah adalah pola makan dan aktivitas fisik. Tujuan: Mengetahui Indeks Massa Tubuh (IMT), aktivitas fisik, pola makan, Lingkar Pinggang Panggul (PiPa) terhadap tekanan darah (TD) di Puskesmas Sidorejo Lor, Kelurahan Salatiga. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross‐sectional pada 103 responden yaitu 32 orang laki-laki dan 71 orang perempuan. Kriteria responden usia >40 tahun, terdaftar pasien rawat jalan di Puskesmas Sidorejo Lor dengan diagnosis hipertensi. Instrumen penelitian berupa form data profil responden, alat ukur antropometri, pengukur tekanan darah, Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) dan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ). Analisis data menggunakan uji Pearson Correlation. Hasil: Terdapat hubungan antara TD sistolik dengan IMT (p=0,002; r=0,346) dan TD diastolik dengan IMT (p=0,004; r=0,313) pada wanita. Namun, tidak ada hubungan antara TD sistolik dengan aktivitas fisik (p=0,065) dan TD diastolik dengan aktivitas fisik (p=0,089). Hasil uji korelasi pada laki-laki menunjukkan terdapat hubungan antara TD diastolik dengan IMT (p=0,047; r=-0,302). Namun, tidak ada hubungan antara TD sistolik dengan IMT (p=0,082), TD sistolik dengan aktivitas fisik (p=0,430), dan TD diastolik dengan aktivitas fisik (p=0,328). Kesimpulan: Ada hubungan antara tekanan darah diastolik dengan IMT, dan tidak terdapat hubungan tekanan darah dan aktivitas fisik.

2015 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 39-49 ◽  
Author(s):  
Pristina Adi Rachmawati ◽  
Etisa Adi Murbawani

Latar Belakang : Menari termasuk dalam kategori aktivitas fisik yang berat. Penari cenderung membatasi asupan makan untuk mencapai bentuk tubuh yang ramping. Kurangnya asupan zat gizi disertai aktivitas fisik yang berat dalam jangka waktu tertentu mengakibatkan gangguan siklus menstruasi. Tujuan : Mengetahui hubungan asupan zat gizi, aktivitas fisik, persentase lemak tubuh dengan gangguan siklus menstruasi pada penari.Metode : Desain penelitian cross sectional dengan 62 penari dipilih secara simple ramdom sampling. Asupan zat gizi diperoleh melalui Food Frequency Questionaire (FFQ) dan dianalisis menggunakan program Nutrisurvey. Aktivitas fisik diukur menggunakan International Physical Activity Questionnaire Adolescent (IPAQ). Persentase lemak tubuh diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Gangguan siklus menstruasi diperoleh melalui kuesioner. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square.Hasil : Sebanyak 51,6% penari mengalami gangguan siklus menstruasi. Asupan energi pada 46,8% penari tergolong defisit tingkat sedang. Asupan protein (32,3%) dan asupan karbohidrat (51,6%) tergolong defisit tingkat ringan. Asupan lemak 37,1% penari tergolong defisit tingkat berat. Sebagian besar penari memiliki aktivitas fisik yang berat (91,9%) dan persentase lemak tubuh yang normal (87,1%). Terdapat hubungan antara asupan energi, karbohidrat, lemak dan aktivitas fisik dengan gangguan siklus menstruasi (p<0,05). Tidak ada hubungan antara asupan protein dan persentase lemak tubuh dengan gangguan siklus menstruasi (p>0,05).Simpulan : Asupan energi, karbohidrat, lemak, dan aktivitas fisik berhubungan dengan gangguan siklus menstruasi.


2014 ◽  
Vol 3 (4) ◽  
pp. 903-910
Author(s):  
Ari Yulistianingsih ◽  
Apoina Kartini

Latar belakang: Sindroma metabolik merupakan kumpulan kelainan metabolik dari faktor risiko penyakit jantung, dan menopause dihubungkan dengan peningkatan kejadian sindroma metabolik. Asupan isoflavon merupakan suatu fitoestrogen yang bersifat kardioprotektif. Penurunan konsentrasi indikator stres metabolik oleh isoflavon dapat menjadi salah satu mekanisme dalam mencegah penyakit jantung pada wanita menopause. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan isoflavon dengan kejadian sindroma metabolik pada wanita menopause.  Metode: Rancangan penelitian adalah case control yang dilakukan pada 90 wanita menopause usia 45 – 65 tahun di kelurahan Saripan, kabupaten Jepara. Subyek dipilih berdasarkan kriteria inklusi dengan jumlah sampel minimal masing-masing untuk kelompok sebesar 45 subyek. Penentuan sindroma metabolik apabila memiliki ≥ 3 kriteria sindroma metabolik, yaitu lingkar pinggang ≥ 80 cm; tekanan darah ≥ 135/85 mmHg; kadar glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL; kadar trigliserida ≥ 150 mg/dL. Data asupan isoflavon dan makronutrien diperoleh melalui Food Frequency Questionnaire (FFQ), sedangkan data aktivitas fisik diperoleh melalui International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square.Hasil: Rata-rata asupan isoflavon pada kelompok sindroma metabolik dan pra sindroma metabolik adalah 17,8 mg/hari dan 44 mg/hari. Terdapat hubungan terbalik antara asupan isoflavon dengan sindroma metabolik pada wanita menopause (p=0,000; OR=6,8).Kesimpulan: Asupan isoflavon yang kurang merupakan faktor risiko terhadap peningkatan sindroma metabolik pada wanita menopause dengan besar risiko 6,8 kali.


2015 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 443-449
Author(s):  
Linda Apriaty ◽  
Nuryanto Nuryanto

Latar Belakang: Obesitas merupakan sebuah keadaan dimana terjadi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh, ditunjukan dengan IMT ≥25 kg/m2. Prevalensi obesitas di Indonesia meningkat tiap tahunnya terutama pada wanita. Faktor risiko obesitas antara lain aktivitas fisik, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko obesitas ibu rumah tangga.Metode: Penelitian observational dengan desain case-control pada ibu rumah tangga di RW 02 Kelurahan Bendungan Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, 30 subjek pada tiap kelompok. Obesitas dikategorikan berdasarkan nilai IMT. Data identitas subjek, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluargadiperoleh melalui kuesioner. Data asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein diperoleh melalui Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan data aktivitas fisik diperoleh melalui International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Analisis menggunakan metode Chi Square dengan melihat Odds Ratio (OR).Hasil: Faktor risiko obesitas ibu rumah tangga adalah aktivitas fisik rendah (OR = 5.500; Cl 1.813-16.681; p = 0.002), asupan karbohidrat lebih (OR = 8.636; CI 2.566-29.073; p = 0.000), asupan karbohidrat lebih (OR = 4.030; CI 1.372-11.839; p = 0.010. Asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas.Kesimpulan: Aktivitas fisik rendah, asupan energi lebih, dan asupan karbohidrat lebih merupakan faktor risiko yang bermakna pada kejadian obesitas ibu rumah tangga.


2014 ◽  
Vol 3 (4) ◽  
pp. 595-603
Author(s):  
Habibaturochmah Habibaturochmah ◽  
Deny Yudi Fitranti

Latar belakang : Obesitas merupakan suatu kondisi akibat akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Kelebihan lemak tubuh dapat terjadi akibat ketidakseimbangan energi antara yang masuk dan energi yang keluar serta kurangnya aktivitas fisik. Konsumsi air dapat dikaitkan dengan penurunan persen lemak tubuh pada remaja putri.Tujuan : Mengetahui hubungan konsumsi air, asupan zat gizi, dan aktivitas fisik dengan persen lemak tubuh pada remaja putri.Metode : Penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional yang dilakukan di SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang pada bulan Juni 2014. Penelitian ini melibatkan 104 siswi berusia 13-15 tahun. Data konsumsi air, asupan energi, dan zat gizi diperoleh dengan menggunakan Food Frequency Questionaire (FFQ) semi kuantitatif. Data persen lemak tubuh diukur dengan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Data aktivitas fisik diperoleh dengan menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) short form. Analisis bivarat dianalisis dengan uji rank Spearman dan r Pearson.Hasil : Sebanyak 29,8% subjek kurang mengonsumsi air. Didapatkan hubungan bermakna antara konsumsi air dengan persen lemak tubuh (r= -0,596; p<0,05). Didapatkan pula hubungan bermakna antara asupan karbohidrat dan lemak dengan persen lemak tubuh (masing-masing nilai r= -0,254; p=0,009 dan r=0,429; p<0,05). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi, protein, dan aktivitas fisik dengan persen lemak tubuh.Kesimpulan : Dalam penelitian ini terbukti bahwa konsumsi air, asupan karbohidrat, dan asupan lemak mempunyai hubungan dengan persen lemak tubuh pada remaja putri. Asupan karbohidrat dan asupan lemak menjadi prediktor dari persen lemak tubuh pada remaja putri.


2018 ◽  
Vol 7 (4) ◽  
pp. 162
Author(s):  
Rizki Khoirur Rachmawati ◽  
Martha Ardiaria ◽  
Deny Yudi Fitranti

Latar Belakang: Obesitas adalah kondisi multifaktoral yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebih dalam tubuh. Obesitas pada usia sekolah merupakan masalah serius yang berlanjut hingga usia dewasa dan dapat menimbulkan risiko penyakit degeneratif. Tingginya asupan protein pada anak usia 10-12 tahun di Jawa Tengah (113,1%) dan terjadi perubahan pola konsumsi dari pola konsumsi dunia barat yaitu tingginya asam lemak omega 6 menyebabkan terjadinya obesitas pada anak sekoah dasar.Metode: Desain penelitian case control dengan 66 anak usia 10-12 tahun yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu obesitas dan normal. Penelitian ini dilakukan di SDN Pekunden. Data yang diteliti meliputi asupan protein, serat, asam lemak omega 3 dan asam lemak omega 6 sebagai variabel bebas, serta asupan energi, karbohidrat, lemak dan aktivitas fisik sebagai variabel perancu. Data asupan makan diperoleh melalui kuesioner Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire dan data aktivitas fisik diperoleh dari The Physical Activity Questionnaire for Older Children. Analisis data menggunakan uji Chi Square.Hasil: Rerata asupan protein dan asam lemak omega 6 pada kelompok obesitas lebih tinggi (100,7±23,48; 159,6±43,49) daripada kelompok normal (81,4±26,13; 141,5±68,09). Terdapat hubungan antara asupan protein dan asam lemak omega 6 berlebih dengan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar, dimana subjek dengan asupan protein berlebih memiliki 4,81 kali lebih besar berisiko obesitas (p=0,003) dan subjek dengan asupan asam lemak omega 6 berlebih memiliki 5,81 kali lebih besar berisiko obesitas pada anak sekolah dasar (p=0,02).Simpulan: Asupan protein dan asam lemak omega 6 berlebih merupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada anak sekolah dasar.


2013 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Maria Elisabeth Adeline Ra Pati Tiala ◽  
George N. Tanudjaja ◽  
Sonny J. R. Kalangi

Abstract: Background. Obesity has become a worldwide problem. Obesity is caused by energy intake that is greater than energy expenditure. Physical activity is one of energy expenditure. Measuring waist circumference is a method that frequently done to determine obesity. Physical activity can reduce waist circumference regarding decreased body fat percentage especially in visceral fat. Objective. This research was aimed to know the relationship between physical activity and waist circumference in central obese students. Method. An observational method with cross sectional design research was done in November and December 2012 in Saint Ignatius Catholic High School Malalayang Manado. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) is used in measuring physical activity. Waist circumference was measured with OneMed tape. The analysis used Spearman correlation test. Result. The waist circumferences of 61 respondents were in central obesity. The lowest value of Metabolic Energy Turnover (MET) was 900 MET-minutes/week and the highest was 2,900 MET-minutes/week. In 10 men respondents, the smallest waist circumference was 90.2 cm and the biggest was 110.5 cm. In 51 women respondents, the smallest waist circumference was 80.3 cm and the biggest was 99.0 cm. Conclusion. There was no significant relationship between physical activity and waist circumference (p=0,077). Keyword: physical activity, waist cifcumference, obesity, central obese.   Abstrak: Latar Belakang. Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia. Obesitas disebabkan karena masukan energi melebihi penggunaan energi. Aktivitas fisik ialah salah satu penggunaan energi. Cara yang sering digunakan untuk menentukan obesitas yaitu dengan mengukur lingkar pinggang. Aktivitas fisik mampu menurunkan ukuran lingkar pinggang karena berkaitan dengan penurunan persentase lemak tubuh terutama lemak viseral. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan lingkar pinggang pada siswa obes sentral. Metode. Penelitian observasional dengan desain cross sectional dilaksanakan pada Bulan November sampai Desember 2012 di SMA Katolik Santo Ignatius Malalayang Manado. Pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). Lingkar pinggang diukur dengan pita ukur OneMed. Analisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil. Sebanyak 61 responden mempunyai lingkar pinggang dengan obes sentral. Nilai Metabolic Energy Turnover (MET) terendah ialah 900 MET-menit/minggu dan tertinggi ialah 2.900 MET-menit/minggu. Pada 10 responden laki-laki, lingkar pinggang paling kecil yaitu 90,2 cm dan paling besar 110,5 cm. Pada 51 responden perempuan, lingkar pinggang paling kecil ialah 80,3 cm dan paling besar ialah 99,0 cm. Simpulan. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan lingkar pinggang (p=0,077). Kata kunci: aktivitas fisik, lingkar pinggang, obesitas, obes sentral.


2019 ◽  
Vol 8 (3) ◽  
pp. 156-163
Author(s):  
Fidi Restutiwati ◽  
Etisa Adi Murbawani ◽  
Ayu Rahadiyanti

Latar Belakang: Kebiasaan merokok berdampak pada kualitas diet, aktivitas fisik dan status gizi. Rokok mengandung nikotin yang dapat menurunkan nafsu makan dan mengakibatkan penurunan kemampuan kardiorespirasi sehingga mengganggu aktivitas fisik seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas diet dan aktivitas fisik menurut status gizi pada perokok dewasa awal.Metode: Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dengan jumlah sampel 59 subjek yang berusia 20-24 tahun. Data meliputi karakteristik subjek, kualitas diet diperoleh dengan metode Semi Quantitative-Food Frequency Questionniare (SQ-FFQ), aktivitas fisik diperoleh dengan metode International Physical Activity Questionnaire-Short Form (IPAQ-SF), dan status gizi diukur menggunakan lingkar pinggang dan/atau Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP). Analisis data dengan uji chi-square, fisher exact.Hasil: Rerata skor kualitas diet subjek yaitu 40,4±8,7 tergolong kualitas diet rendah. Kualitas diet rendah pada subjek digambarkan dengan rendahnya asupan sayur dan buah, tingginya asupan total lemak, lemak jenuh, kolesterol, natrium, rendahnya skor rasio makronutrien dan rasio asam lemak. Rerata aktivitas fisik subjek yaitu 2569,5±1806,5 METs/min/minggu termasuk dalam aktivitas fisik sedang. Hasil uji perbedaan diperoleh kualitas diet menurut status gizi (p=0,564), aktivitas fisik menurut status gizi (p=0,019). Simpulan: Tidak ada perbedaan signifikan kualitas diet menurut status gizi pada perokok dewasa awal (p>0,05). Ada perbedaan signifikan aktivitas fisik menurut status gizi pada perokok dewasa awal (p<0,05).


Author(s):  
Xiaofen D. Keating ◽  
Ke Zhou ◽  
Xiaolu Liu ◽  
Michael Hodges ◽  
Jingwen Liu ◽  
...  

This study aimed to systematically review previous studies on the reliability and concurrent validity of the Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). A systematic literature search was conducted (n = 26) using the online EBSCOHost databases, PubMed, Web of Science, and Google Scholar up to September 2019. A previously developed coding sheet was used to collect the data. The Modified Quality Assessment Tool for Observational Cohort and Cross-Sectional Studies was employed to assess risk of bias and study quality. It was found that GPAQ was primarily revalidated in adult populations in Asian and European countries. The sample size ranged from 43 to 2657 with a wide age range (i.e., 15–79 years old). Different populations yielded inconsistent results concerning the reliability and validity of the GPAQ. Short term (i.e., one- to two-week interval) and long-term (i.e., two- to three-month apart) test–retest reliability was good to very good. The concurrent validity using accelerometers, pedometers, and physical activity (PA) log was poor to fair. The GPAQ data and accelerometer/pedometer/PA log data were not compared using the same measurements in some validation studies. Studies with more rigorous research designs are needed before any conclusions concerning the concurrent validity of GPAQ can be reached.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
Author(s):  
Adinda Savitri ◽  
Yenni Zulhamidah ◽  
Etty Widayanti

Latar Belakang: Penelitian sebelumnya telah menemukan hubungan antara ukuran tinggi badan pendek dengan tingkat pendidikan dan produktivitas manusia di masa depan. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa aktivitas fisik berkorelasi dengan optimalisasi pertumbuhan massa mineral tulang yang dicapai pada awal usia 20 tahun, selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan hipotesis tentang hubungan antara aktivitas fisik dengan tinggi pada remaja usia lanjut. Metode: Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi sampel yang digunakan adalah mahasiswa kedokteran tahun pertama dan kedua Universitas YARSI yang berusia ? 20 tahun. Penentuan intensitas aktivitas fisik harian menggunakan kuesioner dan Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). Tinggi diperoleh dengan pengukuran tinggi badan responden secara langsung dan dikategorikan ke dalam tiga kelompok berdasarkan kurva CDC 2000. Data dianalisis dengan uji statistik Pearson Chi Square. Hasil: Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas fisik pada remaja dengan tinggi badan dengan nilai P (P = 0,992 5%), tetapi ditemukan hubungan antara aktivitas fisik selama periode prapubertas dengan tinggi badan dengan nilai P (P = 0,045 5%). Simpulan: Aktivitas fisik yang dilakukan selama masa remaja tidak memiliki hubungan dengan tinggi badan, tetapi aktivitas fisik yang dilakukan selama periode prapubertas memiliki hubungan terhadap tinggi badan.


2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 106-112
Author(s):  
Tiara Permatasari ◽  
Nuryani Sidarta

LATAR BELAKANGAcute mountain sickness (AMS) merupakan kelainan yang sering dialami oleh pendaki pemula di ketinggian lebih dari 2.500m. Menurut jurnal yang dikeluarkan oleh Military Medical Research pada tahun 2019, Murdoch mengemukakan bahwa prevalensi AMS sebesar 88.6%. Di Indonesia, masih sangat sedikit studi dan penelitian yang membahas AMS di kalangan pendaki gunung. Pada pendaki memiliki tingkat aktivitas fisik yang baik dapat mempermudah mereka dalam melakukan suatu perjalanan pendakian gunung. Tujuan penelitian ini adalah menilai hubungan tingkat aktivitas fisik dengan acute mountain sickness pada pendaki gunung. METODEPenelitian dilakukan pada bulan Februari-Juni 2021 di komunitas Mapala (mahasiswa pencinta alam), dan responden yang pernah mendaki gunung dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Tingkat aktivitas fisik diukur menggunakan kuesioner GPAQ (Global Physical Activity Questionnaire) dan derajat kejadian acute mountain sickness diukur menggunakan kuesioner LLS (Lake Louise Acute Mountain Sickness Score). Analisis menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kemaknaan p<0.05. HASILResponden pada penelitian ini didominasi oleh kelompok usia dari 19 sampai 39 tahun dengan variasi tingkat aktivitas fisik dari kategori sedang (50%) ke berat (40.7%). Seluruh responden mengalami kejadian AMS dari kategori ringan (73.7%) ke sedang (23.7%). Pada kelompok responden yang memiliki tingkat aktivitas fisik kategori tinggi maka sebagian besar (73.3%) diantaranya hanya mengalami AMS ringan. Sebaliknya, pada kelompok responden yang memiliki tingkat aktivitas fisik rendah maka mayoritas (62.5%) dari mereka mengalami AMS sedang. Hasil uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan AMS pada pendaki gunung (p=0.034). KESIMPULANTerdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan acute mountain sickness pada pendaki gunung.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document