religious nation
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

25
(FIVE YEARS 7)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 144-159
Author(s):  
Otong Syuhada

Negara yang berdasarkan  atas hukum merupakan negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum ditempatkan sebagai acuan atau patokan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya, yang sesuai dengan ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai sumber kedaulatan, namun  supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah terberat yang harus diselesaikan Indonesia sejak republik ini berdiri pada 17 Agustus 1945 Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif atau yang dikenal dengan istilah “legal research”, karena yang dilakukan adalah meneliti bahan hukum pustaka atau data sekunder untuk mengetahui dan mengkaji perihal  Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Pancasila. Sedangkan bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan  bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa Negara hukum Indonesia adalah negara hukum Pancasila yang mempunyai karakteristik khusus yaitu Negara Indonesia merupakan suatu negara kekeluargaan, menjunjung tinggi asas kepastian dan keadilan, religious nation state, adanya kolaborasi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum, basis pembuatan dan pembentukan hukum nasional didasarkan pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal. Negara hukum Pancasila dapat menjadi negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, karena mempunyai kemampuan untuk memilih yang terbaik bagi rakyatnya dan norma hukum yang dikristalkan menjadi undang-undang harus memiliki tujuan hukum untuk membahagiakan rakyatnya, sehingga mampu menghadirkan produk hukum yang mengandung nilai keadilan sosial (social justice).  


Author(s):  
Alimuddin Alimuddin ◽  
Tuty Erdalina ◽  
Imam Hanafi

Diantara perdebatan yang nyaris melahirkan pertikaian di negeri ini, adalah gagasan tentang sebuah klausul “Ketuhanan yang Berkebudayaan” dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sebenarnya, sang penggagas, Soekarno, telah menyampaikan ini pada tahun 1945, ketika akan menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Menurutnya, istilah itu, menegaskan bahwa Indonesia tegak atas dasar kekuatan agama. Kekuatan relasi agama dan negara di Indonesia, sangat sinergis dan tidak ada jurang pemisah antara keduanya, sehingga Indonesia sering juga disebut dengan religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama yang berketuhanan, bukan agama yang bertuhan. Di sini, sistem sosial politik dan kemasyarakat, ditopang oleh kesadaran akan nilai-nilai ketuhanan. Makna selanjutnya adalah bahwa seluruh warga bangsa harus mentransformasikan nilai-nilai ketuhanan atau nilai-nilai spritualnya kedalam relasi berbangsa dan bernegara, dalam kehidupan sosial-kemasyatakatan, dalam ruang-ruang publik. Dari proses transformasi ini, lalu membudaya dan membentuk karakter bangsa. Dalam situasi bangsa Indonesia yang heterogen, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dan agama, maka transformasi akan nilai-nilai universal ketuhanan dari masing-masing agama, menjadi sangat penting untuk lakukan.


Religions ◽  
2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 51
Author(s):  
Musferah Mehfooz

The Islamic Republic of Pakistan is a multi-racial and multi-religious nation, with Muslims being in the majority. Its 1973 Constitution guarantees religious freedom to all religious minorities, including Christians, Hindus, and Sikhs. This is mainly because Islam itself ensures religious freedom to the whole of humanity. Unfortunately, some Muslim clerics seem to be attempting to deny religious freedom to other faiths in Pakistan. Their opposition to the plurality of faith contradicts Islamic principles. This research paper identifies such Islamic principles and examines the undesirability of the mistreatment of religious minorities in Pakistan, focusing on the arguments for and against religious freedom in Pakistan on the one hand, and the religious rights and freedoms of non-Muslim minorities from an Islamic perspective on the other. The methodology applied in this discussion is critical analysis. The conclusion drawn is that both the Constitution of Pakistan and Islam guarantee religious freedom to the country’s religious minorities. Finally, this study suggests some practical mechanisms to reconcile the different religious groups in Pakistan.


Author(s):  
Nurfin Sihotang

Indonesia is famous for religious nation, because the population adheres to a religion that believes and civilized nation because every tribes have traditions, customs and culture of the proud, religion in this case Islam, and especially customs in this traditional Batak have the same universal values, Islam with dimensions of it’s samaiwi and traditional Batak with dimensions of it’s ardhi World are faced with the globalization era with advancements in information technology and science lead to positive and negative impacts while competing or interplay with each other that can fade the character of a nation to oversees and to the strengthening national character and show to the outside into the world that this nation is a religious nation and culture as well as good character, Islamic values and culture of indigenous education in this regard should be sincronized by vagabond and Islam.


2019 ◽  
pp. 233-273
Author(s):  
J.P.S. Uberoi

This chapter is a detailed analysis of the relations between religion, civil society and the state within the context of both medieval Hinduism and Islam in India. It considers the relations between Brahmin, King and sannyasi in the Hindu context and ethos and the concepts of sharia’t, tariqat, and hukumat within the Muslim one including the points of view of its various schools. The parallelism in the underlying structure of the two systems is clearly highlighted. The whole discussion is set in the context and concept, as generally agreed, of India today as multi-religious nation, a modern plural society and a federal secular state. Indian modernity is considered as a transformation of medievalism that finally led to the constitution of the Indian federal state.


Author(s):  
Kristian Kristian

This paper aims at comparing legislation regarding criminal acts against religion and religious life as well as religious facilities in the National Criminal Code (RKUHP) drafted in July 2018 with the new Dutch Criminal Law (Wetboek van Strafrecht) in 2014. This research was carried out through normative juridical research methods and legal comparisons. The type of data used in this study is focused on secondary data further divided into primary, secondary and tertiary legal materials. The data collection in this study was conducted with a study of documentation and literature study, while the data analysis method in this study was qualitative and descriptive. The results of the study show that the legislation regarding criminal in fact acts against religion and religious life and religious facilities in the positive law in Indonesia, especially in the draft version of the national Criminal Code (RKUHP) in July 2018, which is a reflection that Indonesia adheres to the concept of the Pancasila law as a religious nation state, where all lives in Indonesia must be based on the trust in the One Godhead. The legislation policy (as the most strategic stage in the prevention of crime by using criminal law facilities) relating to criminal acts against religion and religious life and religious facilities in the July 2018 version of the Criminal Code (RKUHP) is based on the theory of Religionsschutz Theorie, Gefuhlsschutz Theorie and Friedensschutz Theorie. This is conducted solely because religion is a legal interest that must be protected. Insults or other similar things can interfere with religious life and endanger the peace and security of living in a society as well as endangering national unity and security. The results of the study also show that the legislation regarding criminal acts against religion and religious life and religious facilities as stipulated in the draft version of the national Criminal Code (RKUHP) version of July 2018 unlikely refers to the development of legislation regarding "Godslasteringswet" in the Netherlands. It is because the current legislation on "Godslasteringswet" in the Netherlands apparently is not regulating much about criminal acts against religion and religious life and religious facilities (legislation policies in the Netherlands are more inclined to humiliation and discrimination based on religion or at least disruption to activities worship). Thus, it can be stated that the legislation regarding criminal acts against religion and religious life and religious facilities is a typical legislative policy, and thus is in accordance with the needs of the Indonesians as a multi-religion nation


2018 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 27
Author(s):  
Ahmad Hunaeni Zulkarnaen ◽  
Kristian Kristian ◽  
M. Rendi Aridhayandi

Tulisan ini akan membahas kebijakan formulasi delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2015. Hal ini menjadi penting karena sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah hidup, jiwa, pandangan, pedoman dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus menjadi falsafah bangsa dan Negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini berarti, Indonesia adalah salah satu negara berTuhan dan memiliki filosofi Ketuhanan yang mendalam serta menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kedudukannya sebagai Negara hukum khususnya Negara hukum Pancasila (sebagai religious nation state), agama menempati posisi sentral dan hakiki dalam seluruh kehidupan masyarakat yang perlu dijamin dan dilindungi (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan agama dan kerukunan hidup antarumat beragama (sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara)  dicantumkan sebagai hal yang penting dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, wajar jika Negara memasukan atau menjadikan agama sebagai salah satu delik didalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai delik agama ini dipandang penting karena penghinaan (atau cara-cara lainnya) terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dapat membahayakan perdamaian, kerukunan, ketentraman, kesejahteraan (baik secara materil maupun spirituil), keadilan sosial dan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional. Agama juga dapat menjadi faktor sensitif yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Atas alasan tersebut juga tulisan ini dibuat sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam rangka mengetahui rumusan delik agama dan kelemahan-kelemahan yang ada didalamnya sehingga dimasa yang akan datang, dapat dilakukan pembaharuan. Diluar adanya pro-kontra dimasukannya delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengacu kepada perkembangan “blasphemy” di Inggris atau perkembangan “Godslasteringswet” di Belanda. Kriminalisasi delik agama di Indonesia didasarkan pada religionsschutz theorie (teori perlindungan agama), gefuhlsschutz theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan) dan friedensschutz theorie (teori perlindungan perdamaian atau teori perlindungan ketentraman umat beragama). Dalam RKUHP, delik agama ini dirumuskan dalam 8 pasal yang terbagi menjadi 2 kategori yakni: Tindak Pidana Terhadap Agama (yang mencakup penghinaan terhadap agama dan penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama) dan Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (yang mencakup gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan dan perusakan tempat ibadah). Kebijakan formulasi delik agama tersebut masih banyak mengandung kelemahan sehingga akan berpengaruh terhadap tahap aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia. Dalam kaitannya dengan delik agama, penggunaan sanksi pidana tentu harus memperhatikan rambu-rambu penggunaan pidana dan harus dilakukan dengan tujuan melakukan prevensi umum dan prevensi khusus. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan formulasi RKUHP versi tahun 2015 khususnya yang berkaitan dengan delik agama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder dan dilakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan undang-undang, perbandingan hukum, sejarah hukum, asas hukum dan teori hukum.


2018 ◽  
Vol 77 (3) ◽  
pp. 741-771 ◽  
Author(s):  
Phi-Vân Nguyen

Most studies of the Republic of Vietnam's nation-building programs have focused on its security and land reforms. Yet spirituality was a fundamental element of Ngô Đình Diệm's Personalist Revolution. This article analyzes how the Republic of Vietnam attempted to channel the religious nationalism emerging from the First Indochina War. The spiritual dimension of the Republic's Personalist Revolution did not involve state interference in all religious activities. Instead, it promoted religious freedom and diversity, provided that the spiritual values they propagated opposed communism's atheism. In practice, this framework did not succeed in creating a religious alliance against communism. In fact, it strengthened a religious consciousness that would increasingly challenge the state, its assumption that religions opposed communism, and the very principle of religious diversity.


Author(s):  
Charles McCrary

In the United States, religious, political, and social life has been structured by a public/private binary. Oftentimes, religion is understood as private and politics as public. This framework informs a religious/secular binary and carries important implications for the structure of American life. Particularly affected arenas include church-state relations; religious discourse in public life, including prophetic protest and religious nationalism; sexual regulation and the politics of morality; and norms of civic and civil discourse. Real politics and consequences attend the definition of terms like “religious,” “secular,” and “pluralist.” Many observers have called the United States a secular, pluralist nation and, simultaneously, the most “religious” nation in the “developed world.” The perceived incongruities or affinities among these labels betray fundamental assumptions about religion and its place in public life. When public figures invoke the language and imagery of “civil religion,” for example, they may be understood to sacralize the public sphere or bring religion into the public or treat the nation’s “shared” symbols with a religious reverence. Although pluralism, as both a demographical description and a progressive goal, has been broadly championed amid growing religious diversity, certain groups, ideas, and practices have nevertheless remained excluded from the realms of public secularism and private (proper) religiosity. The politics are messy and often subtle, but the consequences can be stark. In these ways and more, American life has been shaped by the entwined concepts of secularism, pluralism, and publics.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document