Ophthalmologica Indonesiana
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

44
(FIVE YEARS 31)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Pesatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia

2460-545x, 0126-1193

2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Tjahjono D Gondhowiardjo

Secara global telah diterima bahwa perkembangan kemampuan ekonomi suatu Negara, berjalan parallel dengan peningkatan usia harapan hidup masyarakat-nya. Saat ini, usia harapan hidup penduduk Indonesia, berkisar antara 69 tahun (pria) dan 72 tahun (wanita). Kondisi demograpik ini secara tidak langsung akan terkait dengan pergeseran distribusi pola penyakit, terutama pergeseran pola penyakit berdasarkan infeksi menjadi pola penyakit/keadaan degeneratif yang terkait dengan gaya hidup. Hal itu dapat terlihat pada edisi ini, yang di-dominasi oleh makalah segment posterior yang terkait dengan peningkatan usia harapan hidup dan degenerasi (age related macular degeneration), atau kondisi yang secara tidak langsung merupakan refleksi gaya hidup (Diabetes Mellitus atau kualitas viskositas darah).  Kondisi tsb memperlihatkan bahwa, walaupun jaringan bolamata bersifat sangat spesifik  dan merupakan suatu kompartemen yang relatif terpisah dengan adanya sawar darah-bolamata, namun tetap terkait dengan berbagai kondisi sistemik; sehingga bolamata dapat menjadi “jendela” kondisi sistemik. Pergeseran pola penyebab kebutaan ke sisi segmen posterior, menuntut peningkatkan peralatan diagnostik digital dan peralatan intervensi yang lebih canggih, seperti foto-koagulasi laser, vitrektomi dan penggunaan berbagai jenis gas, yang tentunya menuntut keterampilan khusus baik bagi operator maupun paramedis-nya; serta pengobatan anti vascular endothelial growth factor (anti VEGF) secara serial yang relatif mahal, sebagaimana ketiga makalah yang ditampilkan.  Pergeseran pola penyakit tsb, secara tidak langsung menuntut kita, baik sebagai insititusi pelayanan ataupun pendidikan, maupun sebagai individu untuk ikut menyesuaikan diri, terutama dalam mengembangkan pola fikir untuk selalu dapat memberikan yang terbaik bagi pasien-pasien kita.  Namun sayangnya, tanpa sadar kita telah membuat dinding-dinding pembatas yang cenderung membatasi upaya pencapaian tujuan;  dan yang relatif dibuat tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lokal.  Berbagai batasan tsb, baik yang terjadi secara internal, maupun external telah membelenggu kita terhadap kemungkinan menumbuhkan daya inovasi maupun kreativitas untuk pengembangan keilmuan demi kemaslahatan masyarakat.   Pada era jaminan kesehatan saat ini, pengobatan anti VEGF awalnya mendapat pembiayaan, namun kemudian di hentikan karena pembiayaan terhadap upaya pencegahan kebutaan yang dianggap terlalu tinggi. Hal itu terjadi, antara lain karena penolakan terhadap bukti ilmiah yang menyatakan bahwa sekalipun preparat anti VEGF dengan harga yang lebih murah, terdaftar untuk kondisi lain; namun terbukti tidak ada perbedaan effektivitas dibandingkan dengan jenis obat yang spesifik untuk kelainan mata yang lebih mahal. Selain itu, karena pengabaian pernyataan Badan Kesehatan Dunia yang menyatakan bahwa obat tsb termasuk obat essential untuk pencegahan kebutaan.  Penghentian pendanaan itu, merupakan ironi karena di berbagai Negara tetangga dengan pendapatan domestik yang lebih tinggi, justru memperbolehkan penggunaan obat tsb. Di berbagai Negara maju, dasar penentuan prioritas pendanaan pemerintah dibuat berdasarkan kajian biaya penatalaksaan / tindakan langsung, serta kerugian akibat terjadi pengabaian karena hilangnya potensi individu, keluarga dan masyarakat, baik dalam sisi sosial dan ekonomi bagi Negara (health technology assessment / HTA), berjalan lurus dengan besaran nilai prevalensi, dan Year of Lost Life due to Disability (YLD) serta (disability of activity loss / DALY) akibat suatu kondisi / penyakit.  Nilai YLD dan DALY menampilkan besaran kehilangan produktivitas individu, akibat  suatu penyakit dan dampaknya pada besaran biaya kesehatan yang harus ditanggung; data tersebut dibandingkan dengan nilai serupa untuk penyakit/keadaan lain, seperti stroke, gangguan kardio-vaskular, berbagai jenis kanker dll.


2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 13
Author(s):  
Gladys Kusumowidagdo ◽  
Randy Sarayar ◽  
Kartika Rahayu ◽  
Gitalisa Andayani

Background: Diabetic macular edema (DME) is the main cause of visual impairment in diabetic retinopathy (DR). Current gold standard therapy of DME is macular laser photocoagulation (MPC). Growing evidences have shown benefits of intravitreal anti-VEGF agents (i.e bevacizumab) and intravitreal corticosteroids (i.e triamcinolone acetonide). Aim: To compare the visual acuity (VA) improvement of patients with DME, treated with intravitreal bevacizumab (IVB), a combination of IVB and intravitreal triamcinolone (IVB/IVT), and MPC. Method: A comprehensive PubMed® and Cochrane® databases search was conducted on May 4th, 2017 using appropriate keywords (diabetic macular edema, bevacizumab, triamcinolone, and laser photocoagulation using their MeSH terms). Studies were filtered using inclusion criterions (clinical trials, RCT, meta-analysis, systematic review, English, humans, and publication within 10 years) Results: Three studies (2 systematic reviews and 1 RCT) were found suitable. From these results, all studies showed favoring effects of IVB when compared to IVB/IVT combination and MPC in short term period (up to 6 months). However, there was no significant improvement of VA beyond this period in all groups. Conclusion: IVB appears to be superior to IVB/IVT and MPC in improving VA during 6 months follow- up period. Future systematic reviews and meta-analysis are required on the effect of IVB and MPC combination in cases of DME.


2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 20
Author(s):  
Novia Rahayu ◽  
Elvioza Elvioza ◽  
Aria Kekalih

Purpose: To compare visual acuity (VA) and central macular thickness (CMT) outcome of loading dose intravitreal bevacizumab treatment between neovascular AMD patients with character of predominant subretinal and intraretinal fluid. Methods: Prospective study of loading dose intravitreal bevacizumab treated age-related macular degeneration, of which has a baseline macular morphology of subretinal or intraretinal fluid. VA, CMT, and their changes were evaluated during and after loading dose was completed. Results: Thirty eight eyes (38 patients, mean age 66,95 years) were enrolled. 20 eyes were in subretinal fluid (SRF group) and 18 intraretinal fluid (IRF) group. Mean VA at baseline eventually was significantly different where SRF group (56,41 letters) were better than IRF group (43,72 letters). No statistically significant difference of mean VA change or CMT change between group, however VA in SRF group remained higher and CMT in SRF group were lower than IRF group. Conclusion: Neovascular AMD, with both SRF and IRF at baseline, benefits from loading dose intravitreal bevacizumab treatment although mean visual acuity and mean central retinal thickness are better in those with SRF.


2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 34
Author(s):  
Banu Aji Dibyasakti ◽  
Suhardjo Suhardjo ◽  
Tri Wahyu Widayanti ◽  
Zaenal Muttaqien

Objectives : to observe the effect of badminton in myopia progression among children in Yogyakarta. Methods : This is a cohort study involving 139 eyes from 77 children. The subjects were divided into 2 groups: badminton (n=73) and control (n=66) group. The refractive error was measured by using auto- refractometer with additional cycloplegic agent (1% cyclopentolate). Myopia progression between baseline and 6 month follow up in each group were compared by using Paired T-Test Analysis. The difference of myopia progression in both group were compared by using Independent Sample T-Test Analysis. The relative risk of myopia progression by playing badminton was analysed by using 2x2 table analysis. Results : The mean refractive error in the badminton group was -1.03 ± 0.62 D (baseline) and -1.07 ± 0.64 D (6 months), while in the control group was -1.11 ± 0.66 D (baseline) and -1.24 ± 0.69 D (6 months). There was significant difference in the mean refractive error between baseline and 6 months in each group (p<0.05). Myopia progression in badminton group was 0.04 ± 0.10D, while in control group 0.12 ± 0.22. There was significant difference in myopia progression between two groups (p<0.05). Badminton is also significant protective factor against myopia progression in children (RR: 0.329 (0.157-0.687); p<0.05), even though another factor such as near-work, outdoors activities, and hereditary factor could confound the progression. Conclusion : Children who are routinely playing badminton show less myopia progression. There is statistically significance but not clinically significant difference in myopia progression between two groups. Playing badminton is a protective factor towards myopia progression


2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 27
Author(s):  
Kukuh Prasetyo ◽  
Susanti Natalya ◽  
Andrew M H Knoch

Pendahuluan : Tajam penglihatan baca dekat adalah salah satu fungsi penglihatan yang dapat diukur menggunakan beberapa isntrumen. Tajam penglihatan baca dekat dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa. Kartu tes baca dekat yang tersedia saat ini yang tersedia berbahasa Inggris (Bailey Lovie Word reading chart). Cicendo Word Reading Chart adalah kartu tes baca yang menggunakan Bahasa Indonesia dan memiliki notasi pengukuran LogMAR, M, dan notasi M yang digunakan p;ada jarak baca normal 40 cm. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pengukuran tajam penglihatan baca dekat tantara dua kartu tes baca tersebut. Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross sectional yang mengukur kesesuaian antara dua kartu tes baca dekat. Perbedaan rerata (mean difference) antara kedua pengukuran digambarkan dalam bentuk kurva Bland- Altman. Sampel dari penelitian ini adalah residen Ilmu Kesehatan Mata yang berada di PMN RS Mata Cicendo. Tiga refraksionis mengukur tajam penglihatan jauh dan tajam penglihatan baca dekat melalui dua pengukuran. Hasil : Terdapat 49 sampel pada penelitian ini. Perbedaan rerata antara dua pengukuran adalah 0.0078 dengan batas kesesuaian (limit of agreement) -0.118 hingga 0.113. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah 0.35 dengan p value 0.001 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang bermakna secara statistik pada pengukuran dengan menggunakan kedua kartu tes baca dekat tersebut. Kesimpulan : Cicendo Word reading chart dapat digunakan sebagai instrument pemeriksaan tajam penglihatan baca dekat pada lingkungan klinis untuk pasien yang hanya dapat berbahasa Indonesia dengan jarak baca normal 40 cm.


2019 ◽  
Vol 45 (1) ◽  
pp. 6
Author(s):  
Andi Arus Victor

Background : Ranibizumab (anti-VEGF) given monthly for six doses, is effective in central retinal vein occlusion (CRVO). However, the cost and adherence to complete Ranibizumab regiment is a burden for developing countries. Aim : To present two CRVO cases with satisfactory outcome after partial regiment of ranibizumab injections. Case presentation : A 52-year old male came with sudden, painless visual decline of the left eye (LE). Best corrected visual acuity (BCVA) was 0.4. Relative afferent pupillary defect (RAPD) was positive on LE. Anterior segment was normal. Fundus examination revealed a cup-disc ratio (CDR) of 0.4, macular edema (ME), scattered hemorrhages, dilated and tortuous retinal veins. Patient was diagnosed with CRVO and was given two monthly injections before stopping treatment. Patient came with worsened VA, was then given another injection. After 6 months, his BCVA was 0.8. Similarly, a 32- year old male came with sudden painless decline of vision of LE (BCVA 0.15). Anterior segment was normal. Fundus examination showed CDR of 0.3, ME, multiple scattered pre-retinal hemorrhages, dilated and tortuous retinal veins. Patient was similarly diagnosed with CRVO of LE and given two monthly injections. Final BCVA after six months follow-up was 0.9. Conclusion : Both cases showed improvement in VA despite having partial regiment of ranibizumab injections.


2019 ◽  
Vol 44 (2) ◽  
pp. 82
Author(s):  
Maretha Amrayni ◽  
Elsa Gustianty ◽  
Susi Heryati ◽  
Andika Prahasta ◽  
Maula Rifada ◽  
...  

Introduction : The longterm use of topical antiglaucoma might cause ocular surface instability due to active substance or preservative used. Impression cytology examination may reveal superficial epithelial cells on conjunctiva and cornea, including goblet cells. Goblet cell density decrease is the most important parameter on evaluation of ocular surface disorder. Objective : This study was to understand ocular surface remodeling due to active substance of topical antiglaucoma with impression cytology examination among the patient prior and 3 months after therapy. Methods : This was a randomized controlled trial study with single blind masking. A total of 45 eyes from 31 patients were used as subject and distributed onto three groups treatment, which were timolol maleat 0.5%, latanoprost 0.005%, and latanoprost-timolol maleat fixed combination. All topical antiglaucoma in this study were preservative free. Result : There were differences between 3 groups in goblet cells density after 3 months therapy (p=0,030). Goblet cell density in timolol group was lower than latanoprost (p=0,041) and fixed combination (p=0,045). There was no significantly difference between 3 groups in conjunctival epithelial metaplasia degree (p=0,706) and cell to cell contact degree in corneal epithelial cells (p=0.66) after 3 months therapy. Conjunctival epithelial metaplasia degree were increased among group of timolol (p=0,008) and fixed combination (p=0,046). Conclusion : Timolol maleat 0,5% caused lower goblet cell density after 3 months therapy compare with latanoprost and fixed combination. There was no significantly difference in conjunctival epithelial metaplasia and cell to cell contact degree in corneal epithelial cells among these glaucoma treatment groups.


2019 ◽  
Vol 44 (2) ◽  
pp. 77
Author(s):  
Putu Budhiastra

Introduction and Objective: A Pterygium is an elevated, superficial, external ocular mass that usually forms over the perilimbal conjungtiva and extends onto the corneal surface. A Pterygium can cause a significant alteration in visual function in advanced cases. It become inflamed, resulting in redness and ocular irritation. Pterygium excision surgery has been using many methods. There are three choices of method to attach the graft: by suturing, fibrin glue or autologous blood. The purpose of this study is to learn about the efficacy of autologous blood versus suturing conjungtival limbal graft (CLG) on pterygium excision surgery Methods: Retrospective study of 18 patients underwent Pterygium excision surgery with autologous blood gluing compared to suturing the graft. Six patients underwent CLG surgery with suturing and 12 patients were treated with autologous blood gluing. Suturing process was done with nylon 10-0 and the suture was released 7 days after surgery, whereas the graft on the patient with autologous blood CLG was placed and left there for about 10 minutes. Both groups were evaluated after day 1, 1st week, 2nd week and 1st month. Any report of irritating sensation, graft loss, and healing process were recorded thoroughly. Result: Patients with sutured CLG were complaining of uncomfortable sensation on their cornea until one week before suture was released, all grafts were attached until a month. Out of 12 patients with autologous blood CLG method, there were no complain of irritability on cornea until a week, 4 patients lost the graft on the first day, two patients grew granuloma on the second week, 10 patients start healing on the second week. Conclusion: There are still limitations to pterygium excision with autologous blood CLG compared to pterygium excision with CLG suture technique.


2019 ◽  
Vol 44 (2) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Tjahjono D Gondhowiardjo

Terdapat beberapa hal positif dalam edisi kali ini, yang terkait dengan perkembangan majalah kita bersama ini; yaitu adanya dua sumber makalah yang berbeda dari rutinitas selama ini. Makalah pertama, berasal institusi pelayanan nun jauh di ujung timur negeri kita yang tercinta ini, yang walaupun hanya berupa telaah kepustakaan, namun menampilkan bahasan perkembangan teknologi yang relatif mutahir sebagai penatalaksanaan suatu keadaan klinis yang berpotensi mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Namun, ironi-nya belum banyak dilaporkan oleh sejawat yang berada di kota besar atau institusi pendidikan sekalipun; hal itu mungkin disebabkan karena keterbatasan kemampuan klinis untuk mengenali gejala dan petanda, ataupun karena ketiadaan alat diagnostik. Makalah kedua, adalah laporan penanganan kasus Orbital Cellulitis, berasal dari disiplin THT, namun terkait erat dengan profesi kita dengan topik yang dapat dikatagorikan sebagai kegawatan mata, yang apabila tidak dikenali dan ditangani dengan tepat dapat menyebabkan kebutaan, atau bahkan kematian. Sejalan dengan itu, telaah kepustakaan mengenai Methanol-induced Toxic Optic Neuropathy dapat di- katagori-kan juga sebagai kegawat daruratan mata. Kedua keadaan ini, tidak jarang kita jumpai, secara tidak langsung menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat kita; dan tentunya merupakan bagian dari tugas kita dalam memberikan penyuluhan kesehatan mata. Kedua makalah ini, perlu kita pahami dan dalami dengan sebaik-baik nya, sehingga kita mampu melakukan penanganan dan tindakan dengan tepat dan cepat untuk menghindari terjadi nya kebutaan pada pasien kita. Prinsip dasar dan tujuan suatu teknologi baru adalah “lebih baik (better), lebih cepat (faster), dan lebih murah (cheaper)” dari teknologi baku yang telah digunakan selama ini. Di bidang kedokteran maka penerapan teknologi tentunya harus di dasari dengan prinsip “saver (aman, tidak merugikan pasien)”. Oleh karena itu, semakin canggih suatu teknologi, maka akan tampak semakin sederhana; namun sebagai pengguna (user) seharusnya sebelum diterapkan, kita harus terlebih dahulu memper-luas dan mendalami pengetahuan dasar dan terapan yang terkait dengan teknologi baru tsb. Sedikitnya terdapat beberapa prinsip yang harus kita sadari; suatu teknologi akan berhasil guna secara optimal bila diterapkan pada suatu sistem (techno-system) dan infra-struktur (techno-structure) yang sesuai, karena teknologi dikembangkan oleh seorang pemikir (techno-logist) sesuai dengan filosofi yang di anut-nya (techno- sophy). Pada suatu kebaharuan yang bersifat keterampilan, diperlukan pelatihan tindakan (wetlab); asistensi tindakan dan supervisi untuk memastikan keamanan tindakan dan optimalisasi hasil tindakan. Sesuai dengan tingkat kesulitan dan keamanan tindakan, maka diperlukan pengakuan keterampilan tsb (sertifikat kompetensi). Secara ilmiah, suatu evaluasi/publikasi hasil teknologi baru harus di-dasar-kan pada metodologi yang benar sehingga didapatkan kesimpulan yang sahih, dan dapat dipertanggung jawabkan....


2019 ◽  
Vol 44 (2) ◽  
pp. 60
Author(s):  
Theresia Yinski ◽  
Syntia Nusanti

Introduction : Methanol-induced toxic optic neuropathy (TON) is defined as a visual impairment due to optic nerve damage by methanol poisoning. Not only is this disease entity underdiagnosed at times, this sudden blindness is also often diagnosed at a stage where recovery of vision is no longer possible. Materials and Methods : A literature search was conducted using PubMed, ClinicalKey, Google Scholar and ScienceDirect by combining the keywords ‘methanol’ or ‘methyl alcohol’, ‘intoxication’ or ‘poisoning’, ‘toxic optic neuropathy’, and ‘visual acuity’ with ‘high-dose steroid’. Results : The total amount of subjects in each article varied from 2 to 37, with mean age distribution of 26.34 to 55 years old, where most patients were male. The follow up duration varied from 1 week to 1 year. Four articles do not mention high-dose steroids treatment as therapy while the other four mention use of 1000 mg of intravenous methylprednisolone per day with divided doses of either 2x500 mg or 4x250 mg. Improvement percentages show 100% improvement in all studies that used high-dose steroids, while in the non-high-dose steroids studies the improvement percentages range from 33.33% to 90%. Summary : High-dose steroids are showing efficacy in improving visual acuity and reducing the inflammation in methanol-induced TON. The period of how fast the therapy takes effect is inconclusive, as the mean follow-up time differs widely per study. However, because most of the reviewed studies here are retrospective case series, a larger, more comprehensive study is required to acknowledge more of the efficacy profile.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document