Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

254
(FIVE YEARS 50)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 1)

Published By Universitas Gadjah Mada

2443-0994, 0852-100x

2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 260
Author(s):  
Fajar Winarni

AbstractWildlife crimes committed by corporations cannot be charged with Act No. 5 of 1990 concerning The Conservation of Biodiversity and Its Ecosystem, because this Act does not regulate it. This research is a normative study by examining crimes that are formulated in laws whose mode is reasonably suspected of involving corporations. Crimes committed by corporations will have a major impact on the balance of the ecosystem, so it is very important to accommodate corporate criminal liability in a special law on conservation. The regulation of corporate criminal liability includes who is called a corporation, who can be sentenced to crime, what types of sanctions are appropriate for the corporation so that it will have a deterrent effectIntisariKejahatan satwa liar yang dilakukan oleh korporasi tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya (UUKH), karena UUKH tidak mengaturnya. Penelitian ini merupakan penelitian normative dengan mengkaji kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang yang modusnya patut diduga melibatkan korporasi. Kejahatan yang dilakukan korporasi akan menimbulkan dampak yang besar terhadap keseimbangan ekosistem, sehingga sangatlah penting untuk mengakomodasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam sebuah undang-undang khusus mengenai konservasi. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi siapa yang disebut sebagai korporasi, siapa saja yang dapat dijatuhi pidana, jenis sanksi apa yang tepat untuk korporasi sehingga akan menimbulkan efek jera.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 212
Author(s):  
Fitri Pratiwi Rasyid

AbstractLaw enforcement efforts against copyright infringement in Indonesia are regulated as a complaint offense under Article 120 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Complaint offense implementation had connected with one consideration suggested that the officials having difficulty to distinguish between an original work and a copy. Referring to normative study that has been conducted, the complaint offense is irrelevant since it restricts law enforcement capacity of providing copyright protection. Appropriately, to protect creators and/or copyright holders whose rights have been violated, the officials should take an action without waiting for a complaint about the presence of copyright infringement.IntisariUpaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta di Indonesia diatur sebagai delik aduan berdasarkan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Delik aduan berlaku dengan salah satu pertimbangan bahwa aparat penegak hukum kerap sulit membedakan ciptaan yang asli dengan tiruannya. Bersumber pada pengkajian normatif yang telah dilakukan, delik aduan tidak relevan diterapkan karena membatasi ruang gerak penegakan hukum dalam memberikan pelindungan hukum untuk berkarya. Sepatutnya, untuk melindungi pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang dilanggar haknya, aparat penegak hukum dapat bertindak tanpa harus menunggu aduan pada pelanggaran hak cipta yang terjadi.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 308
Author(s):  
Jane Elizabeth Priscillia Chendra ◽  
Nurfaidah Said ◽  
Kahar Lahae

AbstractThis research aims to analyze whether a husband/wife has the right to act by themselves in the case of land right purchase or mortgage, also the means that can be done to induce legal certainty in this matter. The purchase of land rights using money from the marital property should be done together by the husband and wife, or with a statement of approval from the husband/wife. The mortgage of a land right which is a part of a marital property or inheritance property must be done together by all the joint-owners; if an authority is required, it must be given in the form of Power of Attorney to Impose Mortgage. The means that can be done to induce legal certainty in this matter is by making some changes in the laws and regulations concerning marriage, land, and mortgage. IntisariPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah seorang suami/istri berwenang untuk bertindak sendiri dalam membeli dan/atau menjaminkan harta bersama berupa hak atas tanah serta upaya untuk mewujudkan kepastian hukum dalam hal tersebut. Pembelian hak atas tanah menggunakan uang dari harta bersama seharusnya dilakukan bersama-sama oleh suami-istri atau diberikan pernyataan persetujuan dari istri/suaminya. Penjaminan hak atas tanah yang merupakan harta bersama maupun harta warisan seharusnya dilakukan bersama-sama oleh para mede-eigenaar; jika menggunakan kuasa, harus dalam bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Upaya untuk mewujudkan kepastian hukum dalam hal ini adalah mengubah beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan, pertanahan dan Hak Tanggungan.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 193
Author(s):  
Ayup Suran Ningsih

AbstractProtection regarding intellectual property in domain names becomes an important thing that must be considered by the domain name’s holder or user. Domain names are by character quite similar to trademarks since they serve as source indicators. This article is written to analyse the Suitability of Indonesia Trademarks Law as Umbrella Law in Resolving Domain Names Dispute in Indonesia. The methodology used in writing this article is normative legal research. Through the comprehensive discussion, it can be concluded that Indonesia trademark law is not suitable to resolve domain name dispute in Indonesia. A domain name is different from a mark based on Indonesia Trademark Law.  IntisariPerlindungan terkait kekayaan intelektual dalam nama domain menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan oleh pemegang atau pengguna nama domain. Nama domain secara karakter sangat mirip dengan merek dagang karena mereka berfungsi sebagai indikator sumber. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis Kesesuaian Hukum Merek Dagang Indonesia sebagai Hukum Payung dalam Menyelesaikan Sengketa Nama Domain di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian hukum normatif. Melalui pembahasan yang komprehensif dapat disimpulkan bahwa hukum merek dagang Indonesia tidak cocok untuk menyelesaikan perselisihan nama domain di Indonesia. Nama domain berbeda dengan tanda yang diatur pada UU Merek Dagang Indonesia.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 294
Author(s):  
Mahfud Fahrazi

AbstractThis study examines the comparison of legal norms on trade safeguards measures between Indonesia and the United States. The purpose of this study is to analyze the comparison of legal norms on trade safeguards measures between Indonesia and the United States. This study uses a type of normative legal research (legal reseach) with the approach to the legislation and comparative approach. The results of this study explain that there are two components that provide a clear picture of the differences in Safeguards provisions in Indonesia and those in America, namely: (1) Form and Content of Safeguards legislation. (2). Head of State's involvement in implementing Safeguards. IntisariPenelitian ini mengkaji tentang perbandingan norma hukum Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguards) antara Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa perbandingan norma hukum safeguards antara Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif (legal research) dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini menejelaskan bahwa bahwa terdapat dua komponen yang memberikan gambaran jelas tentang perbedaan ketentuan safeguards yang terdapat di Indonesia dengan ketentuan yang terdapat di Amerika, yaitu: (1) Bentuk dan Isi perundang-undangan safeguards. (2). Keterlibatan Kepala Negera dalam safeguards.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 275
Author(s):  
Yafet Yosafet Wilben Rissy

AbstractThis article discusses the provisions of business judgment rule (BJR) in the company law and the application of BJR by the courts in the United Kingdom (UK), Canada and Indonesia. In the UK and Canada, the courts have been long examined the appropriateness of directors’ business decisions. Later, BJR was codified into the Canadian Business Corporations Act 2019, meanwhile, duty of care and fiduciary duties were codified into the UK 2006 Companies Law which implicitly regulates BJR. Indonesia adopts BJR in the Company Act 2007 but the courts rarely examine directors’ business decisions and the adoption needs to be rearranged systematically.IntisariArtikel ini membahas bagaimana dan kapan pengadilan menguji aturan penilaian bisnis (APS) dan bagaimana APS diatur dalam hukum perusahaan di Inggris Raya, Kanada, dan Indonesia. Pada pengadilan Inggris dan Kanada yang menganut tradisi hukum kebiasaan, APS telah lama diterapkan untuk menilai keputusan bisnis direktur. Baru-baru ini, APS dikodifikasikan ke dalam Undang-Undang Perusahaan Bisnis 2019. Sementara itu, tugas direktur untuk peduli dan tugas fidusia juga dikodifikasikan ke dalam Undang-Undang Perusahaan Inggris 2006 yang secara implisit mengatur APS. Indonesia juga mengadopsi APS dalam Undang-Undang PT 2007 tetapi pengadilan jarang menguji keputusan bisnis direktur dan adopsi ini perlu diatur ulang secara lebih sistematis.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 228
Author(s):  
Andy Omara

AbstractThis study aims to answer a question i.e. what are the implications on authority to determine geographical names after the dismissal of National Team on Standardization of Geographical Names. This study uses doctrinal approach. It analyses the relevant legislation to understand the authority of the BIG and the MOHA in determining geographical names. It concludes that there are two regulations which determine the authority to standardize geographical names which implicate the overlapping authorities between the BIG and the MOHA. The authority of the MOHA is originally from Law 32/2004. While the BIG obtains its power from Presidential Regulation 116/2016. This study suggests that it’s necessary to enact a Governmental Regulation to sincronize these two regulations to minimize overlapping authorities between these two institutions. IntisariPenelitian ini bertujuan untuk menjawab pertayaan bagaimana implikasi kewenangan pembakuan nama rupabumi pasca dibubarkanya tim nasional pembakuan nama rupabumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dengan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan, terkait kewenangan Kemendagri dan BIG untuk melakukan pembakuan nama rupabumi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dua regulasi yang menentukan kewenangan untuk melakukan standarisasi nama rupabumi antara Kemendagri dan BIG. Otoritas Kemendagri berasal dari UU 32/2004 sedangkan BIG memperoleh kewenangan dari Perpres 116/2016. Studi ini menyarankan perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah untuk menyelaraskan kedua peraturan pelaksanaan tersebut sehingga kewenangan tersebut dapat diselaraskan.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 175
Author(s):  
Hwian Christianto

AbstractRevenge porn victims experience prolonged and severe mental suffering due to defamation and negative stigma. Article 26.1 of Information and Electronic Transaction Act arranged a mechanism that victims shall request to the internet service provider to block or eliminate an information or content through a court decision. Juridical-normative research method was used through laws and regulations understandings related to victims’ rights complemented with understanding the form of victims as predisposed victims and participating victims. As a result, the right to be forgotten is a part of human rights as recognition of oneself as a victim, so that the elimination of violating electronic information that is detrimental to the victim becomes the fulfillment mechanism. IntisariKorban revenge porn mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan dan berat akibat pencemaran nama baik dan stigma negatif. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mekanisme korban harus memohon kepada penyedia jasa internet untuk memblokir atau menghapus informasi melalui penetapan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif digunakan melalui pemahaman peraturan perundang-undangan terkait hak korban dilengkapi pemahaman bentuk korban sebagai predisposed victims dan participating victims. Hasilnya, hak untuk dilupakan merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagai pengakuan diri sebagai korban sehingga penghapusan informasi elektronik yang melanggar yang merugikan korban menjadi mekanisme pemenuhanya.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 159
Author(s):  
Francisca Romana Harjiyatni

AbstractThere is a tendency that the PTUN verdicts on environmental disputes are less accommodating the community rights for a good and healthy environment. This study aims to determine the verdict of PTUN Makassar in providing environmental justice and juridical obstacles in realizing environmental justice through the State Administrative Court. The results of the study showed that: 1) PTUN Makassar Verdict Number: 30/G/LH/2017/PTUN.Mks. had not accommodated environmental justice because the considerations used in the verdict are formalistic in nature; 2) Juridical constraints: the differences in the meaning of the plaintiff's interests according to the PTUN Law and UUPPLH.IntisariPutusan PTUN dalam sengketa lingkungan ada kecenderungan kurang mengakomodir hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk dalam hal ini Putusan PTUN Makassar Nomor: 30/G/LH/2017/PTUN.Mks. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui putusan PTUN Makassar dalam memberikan keadilan lingkungan dan kendala yuridis dalam mewujudkan keadilan lingkungan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Hasil studi menunjukkan: 1) Putusan PTUN Makassar Nomor: 30/G/LH/2017/PTUN.Mks belum mengakomodir keadilan lingkungan, karena pertimbangan dalam putusan tersebut bersifat formalistik yang mendasarkan pada hukum acara tata usaha negara pada umumnya; 2) Kendala yuridis: perbedaan makna kepentingan penggugat menurut UU PTUN dan UUPPLH.


2020 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 243
Author(s):  
Haniah Ilhami

AbstractIdentifying the interrelation between the Principle of Equality of Justice in Islamic Inheritance Law and the Principle of Non-discrimination in Supreme Court Regulation Number 3 years 2017 concerning Guidance on Presecuting Legal Cases Involving Women, this normative research conducts legal comparisons using a conceptual approach. This research finds the independence the Principle of Equality of Justice, due to the application of the principle which is not determined by the Supreme Court Regulation No.3 / 2017. Furthermore, the principle does not substantially contradict with the Principle of Non-discrimination.IntisariPenelitian ini didasarkan pada adanya persinggungan antara Asas Keadilan Berimbang dengan konsep non diskriminasi yang diusung oleh PERMA No. 3/2017. Asas Keadilan Berimbang membedakan bagian antara ahli waris perempuan dan ahli waris laki-laki, sementara PERMA No.3/2017 melarang hakim untuk melakukan pembedaan ataupun pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak mengurangi hak-hak tertentu bagi para pihak yang berperkara di pengadilan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji kedudukan asas Keadilan Berimbang dalam penyelesaian perkara waris Islam pasca ditetapkannya PERMA No. 3/2017. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dalam bentuk perbandingan hukum dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) Penelitian menyimpulkan bahwa Asas Keadilan Berimbang merupakan asas yang independen karena penerapan dan penegakannya tidak bergantung serta tidak bertentangan dengan prinsip Non Diskriminasi yang diatur dalam PERMA No.3/2017.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document