Living Islam Journal of Islamic Discourses
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

67
(FIVE YEARS 51)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Al-Jami'ah Research Centre

2621-6590, 2621-6582

2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Ratno Ratno

The classification of Prophet’s actions is very important to understand. Misclassification will lead to wrong conclusions. One of the contemporary scholars who discuss this issue is Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn (d. 2001). This research will answer about how Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn classified the Prophet’s actions be five classifications? This research is library research with critical analytical descriptive method. The primary data sources are Ṣaroḥ al-Uṣul min Ilmi al-Uṣul and Manẓumah Uṣul Fiqh wa Qowāiduh. The secondary data sources are from letters, fatwas, etc from Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn. This study concludes that Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn divided the Prophet’s actions be five classifications. First, his action for reasons of human nature. Second, his action for socio-cultural reasons. Third, his action with special deed for his. Fourth, his action for worship reasons. Fifth, explain the global dalil. Of these five classifications, there are two classifications can be contextualized. They are his action for reasons of human nature and his action for socio-cultural reasons. Klasifikasi af’al (perbuatan-perbuatan) Nabi saw. sangat penting untuk dipahami. Salah klasifikasi maka akan menimbulkan salah kesimpulan. Salah satu ulama kontemporer yang membahas masalah ini adalah Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn (w. 2001). Penelitian ini akan menjawab tentang bagaimana Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn mengklasifikasikan af’al (perbuatan-perbuatan) Nabi saw. menjadi lima? Penelitian ini adalah penelitian library research dengan metode diskriptif analitis kritis dengan sumber data primer adalah Šaroḥ al-Uṣul min Ilmi al-Uṣul dan Manẓumah Uṣul Fiqih wa Qowāiduh. Sedangkan sumber data sekunder adalah dari tulisan, fatwa, dan yang semisalnya dari Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Muhammad Bin Ṣālih al-ʿUṯaimīn membagi af’al (perbuatan-perbuatan) Nabi saw. menjadi lima. Pertama, karena alasan tabiat manusia. Kedua, karena alasan sosial budaya dan adat masyarakat. Ketiga, karena alasan kekhususan. Keempat, karena alasan ingin beribadah. Kelima, karena alasan ingin menjelaskan dalil yang bersifat global. Dari kelima klasifikasi ini, ada dua yang mungkin dilakukan kontekstualisasi dalam dalil-dalil agama, yaitu perbuatan Nabi saw. yang dilakukan karena alasan tabiat manusia dan perbuatan Nabi saw. yang dilakukan karena alasan sosial budaya dan adat masyarakat.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Rahmad Danil

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan mitos di balik kisah mimpi Nabi Ibrahim yang terkandung dalam QS. Ash Shafat ayat 100-108. Ayat tersebut menjelaskan tentang kisah awal mula penyembelihan anaknya hingga digantikannya dengan seekor domba. Dari kisah tersebut terdapat makna lain berupa ideologi yang terkandung dalam kisah tersebut. Makna ini bisa dicari melalui pembacaan semiotic Roland Barthes karena dapat menggapai makna ideologi yang ada di balik kisah tersebut. Tulisan ini merupakan jenis penelitian kualitatif library-research dengan metode pencarian data dari kitab-kitab tafsir dan artikel sejenisnya. Penelitiani ini membagi ayat 100-108 menjadi empat bagian dan dari masing-masing pembagian tersebut peneliti menemukan ideologi dibalik ayat tersebut. Pertama, pada ayat 100-102 peneliti menemukan baahwa ayat ini menunjukkan siapa dan umur berapa anak yang disembelih. Tafsir mutakhir mengatakan bahwasanya anak tersebut bernama Ismail yang telah berumur baligh. Kedua, mimpi merupakan salah satu bentuk penyampaian firman Tuhan kepada utusan-Nya. Ketiga, agama Nabi Ibrahim disebut dengan hanif. Keempat, setiap orang yang melakukan pengorbanan kepada Allah akan diberi balasan yang setimpal.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Alfin Falah Fahrezy ◽  
Rizal Al Hamid

The Umayyad dynasty was an Islamic caliphate regime after the khulafa urrasydin which managed to maintain its power for 90 years before being overthrown by the Abbasids. This dynasty is famous for its political stability from the beginning of his reign to a systematized public administration and military. Nevertheless, this dynasty raised pros and cons in terms of morality which were considered to deviate from Islamic teachings at least during the political revolution and post-Caliph Mu'awiyah. The author tries to examine the practice of such government using the political theory of Niccolo Machiavelli in which there are also thoughts about the ethics of power. This study tries to answer several questions, namely what is the ideal government practice in the book "Il Principe" by Niccolo Machiavelli? and whether the practice of Umayyad dynasty government can be said to be ideal in terms of administration and ethics of power in Machiavelli's perspective? This research is a qualitative research with primary sources in the form of historical literature about the Umayyad Dynasty and the books by Machiavelli mainly on "Il Principe". This study shows that in making political policies, for the sake of government stability, moral values do not need to be considered except in a pragmatic context. The stability of the state is also influenced by the ability and luck of the leader in managing the government. This study shows that the practice of the Umayyad dynasty has a correlation with the main goal of Machiavelli's political theory, namely state stability.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Khairul Amri

Moderasi Beragama adalah sebuah cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menganggap penguatan moderasi beragama sebagai upaya strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Sebagai negara yang majemuk, cara pandang moderasi beragama sangat dibuthkan sebagai usaha untuk menjaga kerukunan dan kelestarian bangsa. Terminologi moderasi beragama sering diidentikkan dengan wasathiyah dalam Islam, namun seseungguhnya prinsip-prinsip moderasi beragama terdapat dalam setiap ajaran agama-agama, sebab sejatinya ajaran agama selalu menghendaki perdamain, keadilan, dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini penting untuk dipahami sebagai pengetahuan bahwa esensi setiap ajaran agama sejalan dengan prinsip-prinsip moderasi beragama


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Alfi Kamaliah
Keyword(s):  

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan peran imajinasi dalam pengalaman mi’raj yang dialami oleh Ibn Arabi. Ibn Arabi dikenal sebagai mistikus terkemuka di dunia Islam. Pemikiran mistiknya dapat ditemukan dalam kitabnya. Salah satu aspek mistik yang dialami oleh Ibn Arabi adalah mi’raj. Pengalaman mi’raj Ibn Arabi berbeda dengan mi’rajnya Nabi Muhamamd. Mi’rajnya Nabi dilakukan dengan cara jasad dan ruh dan mendapatkan syariat baru, sedangkan mi’raj yang dialami oleh Ibn Arabi dilakukan dengan ruh dan tidak mendapat syariat baru. Pengalaman mi’raj tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan imajinasi kreatif. Hasil penelitian ini menunjukkan tiga peran imajinasi dari pengalaman mi’rajnya Ibn Arabi. Pertama, imajinasi kreativnya dapat menciptakan alam antara atau yang disebut dengan alam imajinal. Di alam ini Ibn Arabi dapat bertemu dengan ruhaniah para nabi terdahulu. Kedua, imajinasi dimaknai oleh Ibn Arabi sebagai daya kreativitas berpikir. Ibn Arabi mengkombinasikan dua ilmu yakni ilmu nalar dan gnostik Islam untuk membuat pengetahuan baru tentang mi’raj. Ketiga, imajinasi tersebut memiliki fungsi bisosiatif. Ibn Arabi berani mengambil resiko dikatakan sufi yang aneh dengan pengetahuan barunya tentang mi’raj.Keyword: Ibn Arabi, Mi’raj, Imajinasi Kreatif, Fungsi Bisosiatif


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Deni Miharja ◽  
Endah Wahida ◽  
Yeni Huriani

Indonesia is a country that has many local cultures including one of them is Ajar pikukuh sunda (Sundanese Wiwitan) which is in Padepokan Bumi Dega Sunda Academy Bandung. In the teachings of Sundanese pikukuh there is a ritual that is always carried out, namely the offering. However, many people misinterpret the ritual offerings so that they are referred to as givers of demons and polytheists. The purpose of this study was to determine the meaning of offerings in Sundanese Pikukuh (Sunda Wiwitan) Teachings at Padepokan Bumi Dega Sunda Academy Bandung. This research methodology is descriptive qualitative with case studies. The results of this paper conclude that the ritual offerings carried out in Ajar Pikukuh Sunda (Sundanese Wiwitan) have a very high and noble meaning. The teaching materials / means in the ritual are all the same, namely water, earth, fire, and wind, animal elements, and plant elements. The meaning of offerings carried out by the Sundanese Pikukuh Teachers at Padepokan Bumi Dega Sunda Academy Bandung is a prayer ritual as a form of gratitude to our ancestors, the universe, to our parents, or to everything that has supported us so far, because without them we will never exist so that by using the means of sasajen from the natural elements it will be able to reconnect the energy of the past with the future.


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Salman Al Farisi

Artikel ini berusaha menguraikan tokoh ulama Nusnatara yang termasuk ke dalam jaringan ulama Timur Tengah yang dikenal dengan Ashabul Jawawyn yakni Syeikh Ahmad Khatib al-Sambasi, yang memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran ajaran Islam, ia dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang tasawuf dan disebut sebagai ahli Tsufi, ia juga dikenal sebagai pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah[1]. Dalam mengumpulkan data, Penulis merujuk kepada refrensi yang berupa buku-buku, Jurnal, artikel, dan lain-lainnya yang relevan dengan tujuan pada penulisan artikel ini, dan setelah data terkumpul penulis, memilah serta memilih data yang dijadikan sebagai sumber refrensi kemudian menguraikan data yang didapatkan sesuai dengan tujuan dari artikel pada tulisan ini, ditemukan bahwa Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd Ghaffar al-Sambasi adalah seorang ulama Nusantara yang berasal dari Kalimantan Barat yang mengembara mencari Ilmu Ke Negeri Haramyn pada usia 19 Tahun, dan  menetap di Mekkah hingga ia Wafat pada tahun 1875 [2], walaupun demikian Syeikh Ahmad Khatib al-Syambasi dikenal sebagai seorang yang memiliki peran yang Besar dalam dunia Islam, khususnya beberapa wilayah Nusantara dan Melayu, diantara peran Syeikh Ahmad Khatib al-Sambasi ialah menyebarkan ajaran Islam melalui tarekat Qadiryyah wa Naqsabandiyyah, dengan mengacu kepada kitab yang dijadikan sebagai rujukan di dalam tarekat ini ialah kitab Fath al-‘Arifinkitab yang tulis oleh para muridnya melalui pendiktian langsung  dari gurunya yakni Syeikh Ahmad Khatib al-Syambasi.[1] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial : Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukas Aspirasi, (Bandung : Mizan Pustaka, 2006), hlm. 426.[2]  Muhammad Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009),hlm.334.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
Author(s):  
Ahmad Baidowi

Sejarah Islam memperlihatkan bahwa keberhasilan dakwah Islam bukan dilakukan dengan cara-cara yang mempergunakan kekerasan. Alih-alih, Islam berhasil berkembang ke berbagai tempat karena disampaikan dengan cara-cara moderat,  sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sikap moderat dan anti-kekerasan dalam menyampaikan dakwah ini bukan hanya diajarkan oleh agama melalui Al-Qur’an ataupun dicontohkan Nabi Muhammad SAW, namun juga diperankan oleh para penyampai dakwah Islam ke masyarakat. Sebagian muncul dalam konsep-konsep anti-kekerasan yang berhasil diaplikasikan dalam berbagai modelnya kepada masyarakat yang menjadi subyek dakwah. Kajian ini  memperlihatkan bahwa adaptasi menjadi nilai yang penting dalam pendekatan dakwah yang moderat, sehingga mendukung keberhasilan dakwah yang dilakukan. Pendekatan psikologi-sosial-budaya dijadikan sebagai alternatif sehingga agama Islam menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.The history of Islam shows that the success of Islamic da'wa is not through the ways of violence. Instead, Islam has succeeded in expanding to the communities in most places because it has been preached moderately so that the communities can accept Islam more easily. Moderate and non-violent attitude in conveying da'wa is not only taught by Al-Qur'an or exemplified by Prophet Muhammad SAW, but also acted by the preachers of Islam within the communities. These concepts of non-violence have been successfully applied in various models and approaches for the sake of the people as the subject of Islamic da'wa. This study shows that adaptation is an important point in a moderate approach of da'wa that support the success of the da'wa to societies. In other words, the socio-cultural and psychological approach has been the alternative way in Islamic da’wa in order that Islam becomes more easily accepted by the communities.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
Author(s):  
Ahmad Asroni

This article discusses Abdullah Saeed's thought on contextual exegesis of the Quran. The background of Abdullah Saeed's thought on the importance of conducting contextual exegesis was based on the solid domination of literal (textual) commentary of the Quran, particularly regarding ethics-legal verses. Based on Saeed's point of view, ethic-legal verses commentary must account for social changes to support the close relationship between Quran and the current Muslims. Several intellectual figures influenced Abdullah Saeed's thoughts related to contextual exegeses, such as Fazlur Rahman, Ghulam Ahmad Parvez, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, Farid Esack, and Khaled Abou El Fadl. The theoretical foundations of the Quran contextual exegesis proposed by Abdullah Saeed can be traced back through his notion on revelation concept, the flexibility of meaning, and text meaning as a commentary.  


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
Author(s):  
Thiyas Tono Taufiq

Artikel ini berupaya menguraikan kontribusi pemikiran filsafat perdamaian Eric Weil bagi resolusi konflik menuju terciptanya budaya damai dalam bingkai masyarakat majemuk. Di tengah berbagai persoalan kekerasan dan konflik yang berkepanjangan yang melanda dunia, filsafat perdamaian Eric Weil mencoba menjelaskan tautan antara filsafat dan perjuangan untuk menciptakan perdamaian dunia. Bagi Weil filsafat harus mengakar dalam kehidupan keseharian masyarakat secara luas, sehingga bisa memberikan kontribusi secara nyata dan konkrit. Selain itu, Weil mengajak untuk terjun langsung dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat konflik dan kekerasan, sehingga diharapkan bisa menghargai pentingnya hidup damai secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Dalam kajian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka dengan pendekatan hermeneutik. Poin-poin penting dari uraian kontribusi filsafat perdamaian Eric Weil bagi resolusi konflik menuju terciptanya budaya damai dalam bingkai masyarakat majemuk dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, kontribusi nyata kontribusi filsafat untuk menjamin tetapnya perdamaian dan penyelesaian kekerasan dan konflik; Kedua, etika (moralty) secara universal harus ditaati oleh manusia dari berbagai konteks, karena melupakan konteks acap kali bisa tidak terwujudnya sebuah perdamaian; Ketiga, filsafat harus terbuka, kreatif dan dinamis; Keempat, Eric Weil mengajak untuk menggunakan filsafat di tengah kekerasan, sehingga dengan berfilsafat dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan kekerasan dan konflik untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng pada masyarakat mejemuk.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document