scholarly journals Elucidation of the biochemical and molecular basis of the differential disease expression in two cultivars of chili (Capsicum annuum) in response to Colletotrichum capsici infection

2021 ◽  
Vol 43 (12) ◽  
Author(s):  
Jayeeta Bijali ◽  
Tanmoy Halder ◽  
Krishnendu Acharya
2013 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Kristina Hayu Herwidyarti ◽  
Suskandini Ratih ◽  
Dad Resiworo Jekti Sembodo

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan di lahan cabai di Kecamatan Kemiling, Kelurahan Langkapura Bandar Lampung pada bulan Juni hingga Agustus 2012. Penelitian ini disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari (a) cabai, (b) Cleome rutidosperma, (c) Cyperus kyllingia, (d) Synedrella nodiflora, (e) Paspalum distichum, dan (f) Ageratum conyzoides yang diinokulasi dengan jamur Colletotrichum capsici pada saat tingginya berkisar antara 9-12 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, pada cabai 0,3% hingga 44,0% %, Cleome rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%, Cyperus kyllingia dan Paspalum distichum 0%, Synedrella nodiflora 9,3% hingga 47,0%. dan Ageratum conyzoides 12,8% menjadi 9,1%, (2) Masa inkubasi jamur Colletotrichum capsici berbeda-beda yaitu tersingkat pada gulma Cyperus kyllingia (0 hari), dan masa inkubasi terpanjang pada dan Paspalum conjugatum (27 hari). Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma yang diinokulasi dengan Colletotrichum capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma Ageratum conyzoides sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma Cleome rutidosperma. Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai dan Persentase jumlah daun paling kecil pada Cyperus kyllingia.


2013 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
Author(s):  
Yanti Ningsih ◽  
Efri Efri ◽  
Titik Nur Aeny

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman semusim yang tergolong dalam famili solanaceae. Budidaya cabai seringkali menghadapi banyak kendala terutama dalam usaha meningkatkan produktivitas, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu penyakit yang menjadi kendala pada pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici dan pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fraksi ekstrak daun nimba dan daun jarak sebagai biofungisida terhadap pertumbuhan C. capsici secara in vitro penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun nimba fraksi alkohol 90% , ekstrak daun jarak fraksi alkohol 10%, fraksi alkohol 90%, fraksi etil asetat 10% dan fraksi n-heksana 90% berpotensi sebagai fungisida nabati yang dapat menghambat pertumbuhan koloni dan pembentukan spora C. capsici.


2013 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
Author(s):  
Edy Sarwono ◽  
Muhammad Nurdin ◽  
Joko Prasetyo

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa (C. capsici) pada buah cabai (C. annuum L.). Hipotesis yang diajukan ialah bahwa aplikasi kitosan dan Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, terdapat perbedaan pengaruh antara perlakuan kitosan, dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, dan kitosan tidak berbeda jauh dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Penelitian inidilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei hingga Agustus 2012. Percobaan ini terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol (P1), kitosan (P2), kitosan+Trichoderma sp. (P3), Trichoderma sp. (P4), dan fungisida berbahan aktif kaptan (P5). Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan masing-masing perlakuan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam kemudian untuk melihat perbedaan antar perlakuan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan, kitosan+Trichoderma sp. dan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Trichoderma sp. saja tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, dan pengaruh kitosan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai sebanding dengan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan.


2018 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
Author(s):  
Cicih Sugianti ◽  
Dwi Dian Novita ◽  
Diana Mustika

Penyakit antraknosa salah satu penyakit penting pada tanaman cabai yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Hot water treatment (HWT) merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan dalam penanganan pascapanen untuk menekan perkembangan penyakit antraknosa pada cabai merah. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari perlakuan pelilinan dengan ekstrak jahe terhadap umur simpan cebe merah. Faktor pertama adalah suhu HWT dengan 3 taraf (45°C, 50°C, dan 55°C) selama 15 menit, dan faktor yang kedua adalah pelilinan menggunakan ekstrak jahe dengan 2 taraf (30% v/v dan 40%v/v). Hasil penelitian menunjukkan analisis sidik ragam dengan taraf 5% perlakuan suhu pencelupan berpengaruh nyata terhadap susut bobot, kekerasan, dan kadar air. Faktor konsentrasi ekstrak jahe berpengaruh nyata terhadap kekerasan dan kadar air. Sedangkan interaksi faktor suhu pencelupan dan konsentrasi jahe berpengaruh nyata terhadap kekerasan dan kadar air. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan interaksi terhadap parameter kekerasan, kadar air, dan penampakan cabai merah pada hari ke-18 penyimpanan didapatkan perlakuan terbaik yaitu perlakuan dengan temperatur 45°C dan konsentrasi ekstrak jahe 30%.Kata kunci: cabai merah, antraknosa, hot water treatment, pelilinan antimikroba.


Author(s):  
J. E. M. Mordue

Abstract A description is provided for Colletotrichum capsici. Information is included on the disease caused by the organism, its transmission, geographical distribution, and hosts. HOSTS: On Capsicum annuum, C. frutescens, Aristolochia, Cicer, cotton, Eggplant, jute, tomato, turmeric and many others from a wide range of families. DISEASE: Dieback, stem break, anthracnose, leaf spot, seedling blight, fruit rot (dieback of young fruits and ripe rot). GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION: Tropics and subtropics of Africa, Asia, America and Australasia; has been recorded occasionally in Southern Europe. TRANSMISSION: Seed-borne; persists in decayed fruits and other plant debris from which conidia are dispersed locally by water and air currents. No extensive growth in soil reported.


2014 ◽  
Vol 42 (4) ◽  
pp. 437-444 ◽  
Author(s):  
Madhavan Srinivasan ◽  
Satya Vijayalakshmi Kothandaraman ◽  
Paranidharan Vaikuntavasan ◽  
Velazhahan Rethinasamy

2010 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 52-58
Author(s):  
Efri Efri

Effect of extraction from some parts of Mengkudu (Morinda citrifolia) to suppress anthracnose disease on chili (Capsicum annuum L). The research was conducted to study the effect of extract from some parts of Mengkudu on the growth of anthracnose disease on chilli (Capsicum annuum L).  Some extraction of mengkudu parts such as from leaves, flowers and fruits and propineb fungicide were used in this research. Spore suspension of Colletotrichum capsici (108 spore/ml) used to inoculate chili plant one week before extraction of mengkudu (33 day after planting) was applicated. The result showed that application of leaf and flower extraction were effective to suppress disease incidence and severity, but fruit extraction was not effective.  However, leaf and flower extraction did not significantly differ with propineb fungicide.


Plant Disease ◽  
1997 ◽  
Vol 81 (6) ◽  
pp. 693-693 ◽  
Author(s):  
K. W. Roy ◽  
J. F. Killebrew ◽  
S. Ratnayake

Anthracnose (ripe rot) of bell pepper (Capsicum annuum L.), caused by Colletotrichum capsici (Syd.) E. J. Butler & Bisby, was observed in seven home gardens in Copiah, DeSoto, and Oktibbeha counties in Mississippi in 1994. Falcate conidia measuring 20.5 × 4.0 μm were produced on lesions of fruits in moist chambers. Conidial size and other distinguishing features agreed with the description of C. capsici (1). Pure cultures of the pathogen were obtained by aseptic transfer of conidia to agar. Occurrence of symptomatic fruits in gardens ranged from 15% in Starkville to 3% near Crystal Springs, MS, but nine of the gardens inspected had no fruit rot. The most severe disease occurred on ripening fruits. Lesions similar to those observed were produced by inoculating sterilized toothpick tips infested with C. capsici into fruits, followed by incubation in a moist chamber. Koch's postulates were completed by reisolation of the fungus from inoculated fruits. Reference: (1) J. E. M. Mordue. 1971. No. 317 in: Descriptions of Pathogenic Fungi and Bacteria. Commonw. Mycol. Inst., Kew, England.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document