The Accuracy of Smartphone Sound Level Meter Applications (SLMAs) in Measuring Sound Levels in Clinical Rooms

Author(s):  
Yula C. Serpanos ◽  
Janet R. Schoepflin ◽  
Steven R. Cox ◽  
Diane Davis

Abstract Background The accuracy of smartphone sound level meter applications (SLMAs) has been investigated with varied results, based on differences in platform, device, app, available features, test stimuli, and methodology. Purpose This article determines the accuracy of smartphone SLMAs with and without calibration of external and internal microphones for measuring sound levels in clinical rooms. Research Design Quasi-experimental research design comparing the accuracy of two smartphone SLMAs with and without calibration of external and internal microphones. Data Collection and Analysis Two iOS-based smartphone SLMAs (NIOSH SLM and SPL Meter) on an iPhone 6S were used with and without calibrated external and internal microphones. Measures included: (1) white noise (WN) stimuli from 20 to 100 dB sound pressure level in a sound-treated test booth and (2) sound levels in quiet in four nonsound-treated clinical rooms and in simulated background sound conditions using music at 45, 55, and 80 dBA. Chi-square analysis was used to determine a significant difference (p ≤ 0.05) in sound measures between the SLMAs and a Type 1 SLM. Results Measures of WN signals and room sound level measures in quiet and simulated background sound conditions were significantly more accurate at levels ≥ 40 dBA using the SLMAs with calibrated external and internal microphones. However, SLMA measures with and without calibration of external and internal microphones overestimated sound levels < 40 dBA. Conclusion The SLMAs studied with calibrated external or internal microphones are able to verify the room environment for audiologic screening at 1,000, 2,000, and 4,000 Hz at 20 dB hearing level (American Academy of Audiology and American Speech-Language-Hearing Association) using supra-aural earphones (American National Standards Institute S3.1–1999 [R2018]). However, the tested SLMAs overestimated low-level sound < 40 dBA, even when the external or internal microphones were calibrated. Clinicians are advised to calibrate the microphones prior to using measurement systems involving smartphones and SLMAs to measure room sound levels and to monitor background noise levels throughout the provision of clinical services.

PROMOTOR ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 338
Author(s):  
Nanda Fitriyani Ainiyyah ◽  
Anissatul Fathimah ◽  
Andi Asnifatima

Kebisingan merupakan salah satu faktor bahaya fisik yang sering di jumpai di lingkungan kerja, dimana kebisingan tersebut dapat menyebabkan gangguan psikologis serta stress kerja. Menurut NIOSH (2010), penyakit akibat kebisingan kerja ditemukan pada 17.00 kasus dari 59.100 kasus, yaitu sejumlah 1 dari 9 penyakit akibat kerja yang dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebisingan terhadap stress kerja pada pekerja di bagian <em>mixing </em>PT. ElangPerdana  tyre industry. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Teknik pengambilan sampel menggunakan <em>total sampling </em>dengan jumlah sampel 68 responden. Pengambilan data kebisingan dengan menggunakan alat <em>sound level meter </em>wawancara mendalam mengenai alat pelindung telinga serta penyebaran kuesioner. Analasis data penelitian menggunakan aplikasi statistik dengan menggunakan uji <em>Chi-Square. </em>Diketahui nilai <em>p-value </em>Beban kerja mental (<em>p-value=</em>0,022) artinya <em>p- value</em>&lt;0,05 menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara beban kerja mental terhadap stress kerja pada pekerja di bagian <em>mixing</em>. Hasil uji statistik <em>Chi-Square Test </em>diperoleh nilai kebisingan (<em>p-value=</em>0,575), usia (<em>p-value=</em>1,000), tingkat pendidikan (<em>p-value=</em>1,000), masa kerja (<em>p-value=</em>0,680) dari ketiga variable tersebut tidak ada hubungan yang signifikan terhadap stress kerja pada pekerja di bagian <em>mixing </em>PT. Elangperdana Trye Industry, dan hasil penelitian ini menunjukan  51 pekerja (75,0%) tidak mengalami stress kerja dan 17 pekerja (25,0%) mengalami stress kerja. Pengukuran kebisingan pada pekerja di bagian <em>mixing </em>PT. Elangperdana Tyre Industry terdapat 3 titik yang memiliki nilai ambang batas &gt;85 dBA yaitu Feeding CV MIX 2 (93,7 dBA), Mill 2 MIX 2 (89,1 dBA), Cement House (88,1 dBA). Kesimpulan dari penelitian yang memiliki hubungan antara kebisingan terhadap stress kerja yaitu beban kerja mental dan yang tidak memiliki hubungan yaitu, kebisingan, usia, tingkat Pendidikan, dan masa kerja. Saran Melakukan safety talk kepada pekerja sebagai bentuk sosialisasi tentang bahaya kebisingan di tempat kerja kepada pekerja, Tenaga kerja yang bekerja di area bising dapat saling mengawasi, mengingatkan dan menegaskan rekan kerja sehingga dapat membangun kedisiplinan dan konsisten dalam penggunaan Alat Pelindung Telinga.


2022 ◽  
pp. 1384-1394
Author(s):  
Vita Sari ◽  
Yuliati ◽  
Nurgahayu

Kebisingan menimbulkan beberapa dampak pada kesehatan. Selain berdampak pada gangguan pendengaran. intensitas bising yang tinggi juga dapat mengakibatkan hilangnnya konsentrasi, hilangnya keseimbangan dan disorientasi, kelelahan, gangguan komunikasi, gangguan tidur, gangguan pelakasaan tugas, gangguan faal tubuh, serta adanya efek visceral, seperti perubahaan frekuensi jantung atau peningkatan denyut nadi, perubahaan tekanan darah dan tingkat pengeluaran keringat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan pendengaran, gangguan psikologis dan gangguan komunikasi pada pekerja di PT. Maruki International Indonesia Makassar tahun 2020. Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional study, dengan sampel 32 pekerja secara sampling jenuh dari pekerja Factory 1 dan 2 di PT. Maruki International Indonesia Makassar. Teknik pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, alat sound level meter untuk pengukuran intensitas kebisingan. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05). Hasil penelitian yang diperoleh adalah ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan pendengaran dengan nilai p = 0.022, ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan psikologis dengan nilai p = 0.017, dan tidak ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan komunikasi dengan nilai p = 0.474. Disarankan kepada pimpinan untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan kerja dengan lebih meningkatkan upaya pengendalian kebisingan yang sudah dilakukan dan menambah preventif lainnya seperti pelatihan mengenai penggunaan APT (Alat Pelindung Telinga) pada saat bekerja di lingkungan yang bising.


2008 ◽  
Vol 122 (12) ◽  
pp. 1305-1308 ◽  
Author(s):  
M H Fritsch

AbstractPurpose:To determine the decibel sound pressure levels generated during extracorporeal lithotripsy for salivary stones, and if such lithotriptor noise levels have the potential for acoustic trauma.Patients and materials:Minilith SL-1 salivary gland lithotriptor, sound level meter; five patient survey.Methods:Decibel measurements were conducted on the lithotripter-generated sounds, using a sound level meter at specific distances from the active element. In addition, a patient survey was conducted as a cross-reference, to enable comparison of predicted results with actual human perception of sound levels.Results:Sound levels ranged between 68 and 80 dB during treatment sessions, for both the lithotriptor operator and the patient.Conclusion:During routine use, no acoustic trauma is incurred by either the lithotriptor operator or the patient.


Author(s):  
Hidayat Hidayat ◽  
Khiki Purnawaty Kasim ◽  
Alyza Syafitrah Dahliyani

ABSTRAKKeberadaan industri selain memberikan konstribusi besar juga memungkinkan timbulnya masalah, seperti gangguan pendengaran akbiat bising ditempat kerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko gangguan pendengaran pada pekerja di bagian produksi PT. Semen Tonasa Kab. Pangkep. Penelitian ini merupakan observasional analitik dengan desain cross sectional study, jumlah sampel sebanyak 50 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner, sound level meter dan audiometer. Data yang diperoleh akan diuji statistik dengan menggunakan uji chi-square yang diolah dengan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan dari 50 responden ada 8 responden yang mengalami gangguan pendengar dan 42 yang tidak mengalami gangguan pendengara. Serta adanya hubungan antara gangguan pendengaran dengan Lama Kerja (p = 0,02), Masa Kerja (p = 0,006) dan penggunaan APD (p = 0,03) yang dapat dikategorikan sebagai faktor risiko ganguan pendengaran. Hasil pengukuran kebisingan pada Rawmill 4 yaitu 93,92 dB dan Finishmill 4 yaitu 92,32 dB. Namun pengukuran intensitas kebisingan tidak dapat diuji karena semua titik pengukuran melebihi ambang batas. Kesimpulan dari penelitian ini tingkat kebisingan melebihi nilai ambang batas dan adanya hungan antara lama keja, masa kerja, penggunaan APD dengan gangguan pendengaran. Sebaiknya agar perusahaan membuat hasil pengukuran kebisingan secara berkala agar dikaitkan dengan lama kerja, memperhatikan rotasi pekerja dengan melihat masa kerja dan pemberian sanksi kepada pekerja yang tidak taat menggunakan APD dilingkungan kerja.Kata Kunci : Gangguan Pendengaran, Kebisingan, Masa Kerja, Lama Kerja, Penggunaan APD


PROMOTOR ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 137
Author(s):  
M Rafli Raya ◽  
Andi Asnifatimah ◽  
Rubi Ginanjar

<p>Keluhan gangguan pendengaran merupakan keluhan gangguan secara subjektif sering dirasakan oleh pekerja tanpa mempertimbangkan aspek patologis secara medis mulai yang bersifat ringan hingga berat (telinga berdengung sulit berkomunikasi,persepsi penurunan daya dengar). Keluhan gangguan pendengaran dipengaruhi oleh faktor pekerja seperti usia,masa kerja,durasi kerja, dan faktor lingkungan seperti kebisingan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan gangguan pendengaran pada pengemudi Bus PO Pusaka di Terminal Baranangsiang Kota Bogor tahun 2018.Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif<br />dengan studi deskriptif analitik dengan desain cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pengemudi bus pusaka yang berda di terminal baranangsiang dengan jumlah populasi sebanyak 50 supir bus. Pengukuran risiko ergonomi menggunakan sound level meter, Keluhan gangguan pendengaran serta pengumpulan data pekerja dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Cara analisis data penelitian ini menggunakan perangkat lunak aplikasi statistik (SPSS 20) dengan menggunakan uji statistik chi-square Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara durasi kerja dengan keluhan gangguan pendengaran (p= 0,059), durasi kerja (p= 0,006),<br />umur (p=0,041), faktor lingkungan (p=0,000) terhadap keluhan gangguan pendengaran. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pekerja yang memiliki tingkat risiko intensitas kebisingan tinggi, usia,masa kerja, memiliki peluang tinggi terhadap keluhan gangguan pendengaran. Disarankan kepada pemilik perusahaan bus dan pekerja untuk menerapkan tata cara bekerja yang ergonomis dan rutin melakukan pemeriksaan pendengaran agar tidak menimbulkan risiko terjadinya keluhan gangguan pendengaran.</p>


2021 ◽  
Author(s):  
NAHDHA SYARIFAH ◽  
Dwi Septiawati

Hipertensi adalah suatu peningkatan abnormal dari tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung dan memompa keseluruh jaringan dan organ-organ tubuh secara terus-menerus. Intensitas kebisingan dapat menjadi faktor risiko terjadinya kejadian hipertensi pada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara intensitas kebisingan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat di pemukiman Kelurahan 26 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Kota Palembang. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional dengan teknik pengambilan sampel secara Purposive Sampling sebanyak 105 responden. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mini InScience Pro SQ-100 Sound Level Meter dan Aneroid Sphygmomanometer. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji Chi Square, dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda dan model faktor risiko. Hasil bivariat menunjukan ada hubungan antara intensitas kebisingan (p-value 0,000), usia (p-value 0,032), aktivitas fisik (pvalue 0,038), jarak rumah (p-value 0,004), barrier (p-value 0,001), dan tidak ada hubungan antara riwayat keluarga (p-value 0,828), merokok (p-value 0,782), serta keberadaan tanaman hias (p-value 0,058) terhadap kejadian hipertensi, dan pada analisis multivariat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas kebisingan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat (p-value = 0,013) setelah dikontrol dengan variabel usia, riwayat keluarga, jarak rumah, dan barrier. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang terpapar kebisingan tinggi secara terus menerus dapat meningkatkan risiko untuk mengalami hipertensi. Saran yang dapat diberikan adalah diharapkan masyarakat rutin beraktivitas fisik setidaknya 10 menit setiap harinya, menambah barrier serta menanam tanaman hias.


Author(s):  
Tri Okta Ratnaningtyas ◽  
Nurwulan Adi Ismaya ◽  
Lela Kania Rahsa Puji ◽  
Nur Hasanah ◽  
Mirta Sepi Afriyani

Bising, salah satu masalah utama kesehatan di negara-negara industri dan merupakan sumber utama dari stres. Data WHO menyebutkan bising melebihi 90 dB di tempat kerja memapar tenaga kerja di negara industri dengan total hampir 14% dan bising lebih dari 85dB juga diperkirakan memapar 20 juta orang Amerika. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kebisingan dengan stres kerja pada pekerja di PT. X tahun 2020. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan kuantitatif serta desain studi cross sectional. Besar sampel penelitian berjumlah 82 pekerja. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dalam studi ini. Sound Level Meter dan kuesioner merupakan alat pengumpulan data dalam studi ini. Univariat dan bivariat (dengan uji chi square) adalah analisis data yang digunakan dalam studi ini. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan stres kerja (p-value = 0,018 < α = 0,05).


2019 ◽  
Vol 48 (2) ◽  
pp. 134
Author(s):  
Novi Primadewi ◽  
Putu Wijaya Kandhi ◽  
Zahroh Zuliana Azizah

Latar belakang: Alat musik drum merupakan alat musik yang memiliki nilai kebisingan. Instruktur drum dapat terpapar bising yang tinggi, sehingga dapat mengalami gangguan pendengaran. Tujuan: Mengetahui hubungan antara lama paparan bising terhadap gangguan pendengaran pada instruktur drum di Surakarta dan sekitarnya. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah obervasional non experimental dengan desain cross sectional pada 71 instruktur drum di 14 sekolah musik di Surakarta. Sampel berupa hasil pemeriksaan audiometri nada murni yang dilaksanakan di studio musik kedap suara dengan NAB kurang dari 40 Dba SPL. Data dianalisis menggunakan  uji statistik Chi Square. Hasil analisis statistik bermakna bila didapatkan nilai p=0,001<0,01. Hasil: Pada rerata tingkat kebisingan yang terukur dengan alat Sound Level Meter di 14 sekolah musik di Surakarta. Pada saat memainkan drum adalah sebesar 111,48±3,84 dB. Terdapat responden dengan durasi ≤2 jam tanpa GPAB sebanyak 10 orang (14,1%) dan paling banyak terjadi dengan GPAB pada durasi >4 sampai dengan 6 jam sebanyak 38 orang (51,2%). Nilai p=0,001<0,01 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara durasi dengan GPAB pada instruktur drum dengan coefficient of contingency CC sebesar 0,687 (68,70%). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara lama paparan bising terhadap gangguan pendengaran pada instruktur drum.  Background: Drum is one of musical instruments producing a high level of noise. Drum instructors are exposed to this loudness, which might give them a high risk of hearing impairment. Objective: To investigate the correlation between loudness exposure time and hearing impairment of drum instructors in Solo area. Methods: This was an observational non experimental research using cross sectional design on 71 drum instructors in 14 music schools in Surakarta. The samples were the result of pure tone audiometry examination conducted in a soundproof music studio with NAB less than 40 Dba SPL. Data were analyzed using Chi Square statistical tests. The results of statistical analysis were significant if  p = 0.001 <0.01. Result: The average noise level measured by a Sound Level Meter tool in 14 music schools in Surakarta, while playing the drum was 111.48 ± 3.84 dB. There were respondents with a duration of ≤ 2 hours without Noise Induce Hearing Loss (NIHL) as many as 10 people (14.1%), and the highest  occurence with NIHL was at a duration of  >4 to 6 hours as many as 38 people (51.2%). The value of p = 0.001 <0.01, revealed that there was a significant correlation between the duration of noise exposure and NIHL in drum instructors with coefficient of contingency (CC) of 0.687 (68.70%). Conclusion: Noise exposure time was correlated with hearing impairment in drum instructors.   


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document