scholarly journals PENGARUH BERBAGAI TINGKAT FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.) dan DAUN BABADOTAN (Ageratum conyzoide) TERHADAP Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annum L.) SECARA IN VITRO

2013 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
Author(s):  
Intan Rahayu Ningtyas ◽  
Efri Efri ◽  
Titik Nur Aeny

Salah satu kendala untuk meningkatkan produktivitas cabai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas adalah penyakit antraknosa, yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai tingkat fraksi ekstrak daun sirih (Piper betle L.) dan daun babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap pertumbuhan C. capsici secara in vitro. Percobaan terdiri dari dua sub percobaan, masing-masing sub percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan sebelas perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan sub percobaan pertama terdiri dari kontrol (PDA tanpa perlakuan ekstrak daun sirih), ekstrak daun sirih dengan pelarut aquades, ekstrak daun sirih dengan pelarut alkohol 10% (daun sirih + alkohol 10%), pelarut alkohol 50% (daun sirih + alkohol 50%), pelarut alkohol 90% (daun sirih + alkohol 90%), pelarut etil asetat 10% (daun sirih + etil asetat 10%), pelarut etil asetat 50% (daun sirih + etil asetat 50%), pelarut etil asetat 90% (daun sirih + etil asetat 90%), pelarut  n-heksana 10% (daun sirih + n-heksana 10%), pelarut n-heksana 50% (daun sirih + n-heksana 50%), dan pelarut n-heksana 90% (daun sirih + n-heksana 90%). Sub percobaan kedua adalah ekstrak daun babadotan dengan perlakuan yang sama dengan ekstrak daun sirih.  Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah antar perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda (Duncan) pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun sirih pada fraksi ekstrak n-heksana 50%, n-heksana 90%, n-heksana 10% dan etil asetat 90% menunjukkan pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan C. capsici. Pada daun sirih, fraksi ekstrak n-heksana 50%, n-heksana 90%, nheksana 10% dan etil asetat 90 dapat berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan jumlah spora. Pada ekstrak daun babadotan, fraksi ekstrak n-heksana 10%, n-heksana 50%, n-heksana 90% dapat menghambat pertumbuhan C. capsici. Tetapi, pada jumlah spora daun babadotan, tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan spora.

2013 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
Author(s):  
Yanti Ningsih ◽  
Efri Efri ◽  
Titik Nur Aeny

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman semusim yang tergolong dalam famili solanaceae. Budidaya cabai seringkali menghadapi banyak kendala terutama dalam usaha meningkatkan produktivitas, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu penyakit yang menjadi kendala pada pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici dan pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fraksi ekstrak daun nimba dan daun jarak sebagai biofungisida terhadap pertumbuhan C. capsici secara in vitro penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun nimba fraksi alkohol 90% , ekstrak daun jarak fraksi alkohol 10%, fraksi alkohol 90%, fraksi etil asetat 10% dan fraksi n-heksana 90% berpotensi sebagai fungisida nabati yang dapat menghambat pertumbuhan koloni dan pembentukan spora C. capsici.


2013 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
Author(s):  
Weni Septiana ◽  
Efri Efri ◽  
Titik Nur Aeny

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici merupakan kendala utama dalam budidaya tanaman cabai. Mengkudu merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan penyakit antraknosa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh setiap tingkat fraksi senyawa ekstrak buah mengkudu pada pelarut alkohol terhadap pertumbuhan jamur C.capsici, penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai, secara in vitro. Buah mengkudu diekstraksi bertingkat menggunakan pelarut aquades, alkohol 10%, alkohol 20%, alkohol 30%, alkohol 40%, alkohol 50%, alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80% dan alkohol 90% sehingga diperoleh serbuk ekstrak buah mengkudu fraksi 1 sampai fraksi 10. Selanjutnya serbuk tersebut diuji untuk mengetahui aktifitas antifungi pada jamur C. capsici. Perlakuan dalam percobaan ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak buah mengkudu memiliki kemampuan yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan jamur C. capsici penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai secara in vitro. Fraksi ekstrak buah mengkudu yang berpotensi sebagai fungisida penghambat pertumbuhan jamur patogen adalah ekstrak yang terlarut dalam alkohol 30%, sedangkan fraksi ekstrak buah mengkudu yang mendorong pertumbuhan jamur C.capsici adalah ekstrak yang terlarut dalam aquades, alkohol 20%, alkohol 40%, alkohol 50%, alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80% dan alkohol 90%.


2015 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
Author(s):  
Shintya Wulandari ◽  
Titik Nur Aeny ◽  
Efri Efri

Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman cabai. Salah satu cara pengendalian penyakit antraknosa yang ramah lingkungan adalah penggunaan fungisida nabati atau fungisida yang berasal dari ekstrak daun atau bagian-bagian tanaman lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun babadotan yang difraksinasi dengan pelarut air, metanol, etil asetat dan n-heksana dalam menekan  pertumbuhan dan sporulasi C. capsici secara in vitro. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan September sampai dengan Desember 2014. Rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan 6 perlakuan dan 5 ulangan. Keenam perlakuan tersebut yaitu perlakuan tanpa menggunakan ekstrak, ekstrak tanaman uji dengan pelarut air, metanol, etil asetat dan n-heksana serta fungisida sintetik berbahan aktif propineb 70% . Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi ekstrak daun babadotan dengan pelarut metanol menunjukkan hasil yang paling baik dalam menghambat pertumbuhan dan sporulasi C. capsici secara in vitro. Namun, keefektivan fraksi ekstrak tersebut lebih rendah dibandingkan dengan fungisida sintetik berbahan aktif propineb 70%.


2013 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Septya Eka Prasetia Rani ◽  
Efri Efri ◽  
Joko Prasetyo

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai fraksi ekstrak daun mengkudu terhadap pertumbuhan dan perkembangan Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa pada cabai secara in vitro. Hasil analisis data menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun mengkudu yang terlarut dalam alkohol konsentrasi 10%, 30%, 50%, 60%, 70%, 90% dan ekstrak daun mengkudu yang terlarut dalam aquades efektif menghambat pertumbuhan diameter pada koloni C. Capsici. Selain menghambat pertumbuhan vegetatif, ekstrak daun mengkudu yang terlarut dalam alkohol konsentrasi 10% dan 30% juga menghambat pembentukan spora (sporulasi) koloni C. capsici.


2014 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
Author(s):  
Indah Fajar Wati ◽  
Efri Efri ◽  
Tri Maryono

Antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh Colletotrichum spp. merupakan penyakit penting pada saat tanaman di lapangan maupun pascapanen. Daun sirih (Piper betle L.) dan babadotan (Ageratum conyzoides L.) berpotensi sebagai fungisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan tingkat fraksi ekstrak daun sirih dan daun babadotan hasil seleksi untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan delapan perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas kontrol, propineb, fraksi ekstrak daun sirih+n-Heksana 10%, 50% dan 90%, fraksi ekstrak daun babadotan+n-Heksana 10%, 50%, dan 90%. Data dianalisis dengan sidik ragam dan diuji dengan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan perlakuan fraksi ekstrakefektif menekan antraknosa. Fraksi ekstrak daun babadotan 50% dan 90% paling efektif dalam menekan penyakit antraknosa.


Author(s):  
Maimunah Maimunah ◽  
Azwana Azwana ◽  
Cornelis Pandala

Effectiveness Kenikir and Betle Leaft Extraction as Biofungicide to Cause Disease Antraknosa (Colletotricum capsici) On Chili (Capsicum annuum) in In vitro. The research was done in the Laboratory Protection Plant Agriculture Faculty University of Medan Area, was held since Mei to July 2018. The research use Design Random Complete (RAL) Non Factorial with treatment F0 = negative control (PDA Media 100 %) F1 = Positive control (Synthetic fungicide 0.2%), F2 = 20% kenikir+ 10%betel, F3 = 30 % kenikir+ 10%betel,, F4 = 40% kenikir+ 10%betel, F5 = 20% kenikir+ 20%betel, F6 = 30 % kenikir+ 20%betel, F7 = 40% kenikir+ 20%betel, F8 = 20% kenikir+ 30%betel, F9 = 30% kenikir+ 30%betel, F10 = 40 % kenikir+ 30%betel. The results of the study: the tested extract of kenikir and betel leaf leaves showed the same results for inhibiting the growth of colony diameter and percentage of fungi growth.


2016 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 39
Author(s):  
MOKHAMAD IRFAN

The Loss of crop productivity can reach 30-35% if not use pesticide. The other hand, to use of pesticides can be caused environmental problems and human healthy. This research aims to develop biopesticides for pests and plant diseases. It was conducted at the PEM laboratory UIN Suska Riau and on land, from July to November 2015. The sourches were extracts from Andropogon nardus, Annona muricata leaves, Ageratum conyzoides, Piper aduncun fructus, Nicotiana tabacum leaves, Tinospora crispa, Azadirachta indica leaves, Allium sativum and Piper betle leaves. Each the source was macerated in alcohol 50% for 24 hours and then distilled at a temperature of 60 °C until all the alcohol evaporates. The experimental Design was complete random design with 7 treatments (control, 20%, 40%, 60%, 80%, 100% and chemical pesticides as positif control) and 3 replicates. Parameters of the test biopesticides to disease performed in vitro with measure the resistance zones and for mealybugs and Gryllus assimilis in vivo with the pest mortality. Biopesticide test in vitro for the bacteria that causes carrot root rot has not been able to kill microbes. The mortality rate mealybugs begins before 1 hour observation at the treatment biopesticide concentration of 80%, 100% and control positif.  Provision of different concentrations of biopesticides, does not the increased mortality of Gryllus assimilis. This shows that the power to kill biopesticide still well below chemical pesticides, but the pest is still alive no appetite as antifeedant effect of the biopesticide. So biopesticide application does not have to kill the target pest. Need  follow-up and development of this research and other pests.


2003 ◽  
Vol 28 (3) ◽  
pp. 229-235 ◽  
Author(s):  
Maria de Lourdes R. Duarte ◽  
Simon A. Archer

Fusarium solani f. sp. piperis (teleomorph: Nectria haematococca f. sp. piperis), causal agent of root rot and stem blight on black pepper (Piper nigrum), produces secondary metabolites with toxigenic properties, capable of inducing vein discoloration in detached leaves and wilting in transpiring microcuttings. Production of F. solani f. sp. piperis (Fsp) toxic metabolites reached a peak after 25 days of static incubation on potato sucrose broth at 25 ºC under illumination. Changes in the pH of the culture filtrate did not alter the effect of toxic metabolites. However, when the pH was changed before the medium had been autoclaved, a more intense biological response was observed, with an optimum at pH 6.0. Isolates that produced red pigments in liquid cultures were more efficient in producing biologically active culture filtrates than those which produced pink coloured or clear filtrates suggesting that these pigments could be related to toxigenic activity. Detached leaves of seven black pepper cultivars and Piper betle showed symptoms of vein discoloration after immersion in autoclaved and non-autoclaved Fsp culture filtrates indicating the thermostable nature of these toxic metabolites.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document