scholarly journals Peran Perawat Tentang Insiden yang Terjadi dalam Keselamatan Pasien di Rumah Sakit

2020 ◽  
Author(s):  
Sri Raudatul Jannah

Patient safety merupakan prioritas, isu penting dan global dalam pelayanan kesehatan (Perry 2009). Keselamatan pasien memang menjadi isu yang terkini di kalangan masyarakat karna didasarkan atas meningkatnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) atau adverse event. Klasifikasi adverse event adalah kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian tidak cedera (KTC) dan sentinel (kematian atau cedera). Contoh dari KTD seperti medication error, flebitis, dekubitus, infeksi daerah operasi, dan pasien jatuh dengan cidera (Suhartono, 2013; Suryani et al., 2011). Rumah sakit adalah salah satu institusi pelayanan kesehatan memiliki fungsi penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga dituntut untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan.

2020 ◽  
Author(s):  
Tati Oktiana Tamba

Keselamatan pasien dan mutu pelayanan kesehatan yang tinggi adalah tujuan akhir yang selalu diharapkan oleh rumah sakit, manajer, tim penyedia pelayanan kesehatan, pihak jaminan kesehatan, serta pasien, keluarga dan masyarakat. Namun demikian, prinsip “First, do no harm” tidak cukup kuat untuk mencegah berkembangnya masalah keselamatan pasien. Hal ini tercermin dari tingkat dan skala masalah keselamatan pasien sejak terbitnya publikasi “To Err is Human” pada tahun 2000.Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan terhadap pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Pada prinsipnya keselamatan pasien bukan berarti harus tidak ada resiko sama sekali agar semua tindakan medis dapat dilakukan. Salah satu masalah umum yang terjadi dalam pemberian pelayanan di bidang kesehatan adalah masalah yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Rumah sakit membutuhkan pengakuan dari masyarakat. Departemen Kesehatan R.I telah mencanangkan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit sejak tahun 2005. Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) menjadi pemprakarsa utama dengan membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.Keselamatan pasien menjadi isu terkini dalam pelayanan kesehatan rumah sakit sejak tahun 2000 yang didasarkan atas makin meningkatnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) atau adverse event. Adverse event merupakan suatu peristiwa yang dapat menyebabkan hal yang tak terduga atau tidak diinginkan sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat kesehatan termasuk pasien atau orang lain. Klasifikasi adverse event adalah kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian tidak cedera (KTC) dan sentinel (kematian atau cedera). Contoh dari KTD seperti medication error, flebitis, dekubitus, infeksi daerah operasi, dan pasien jatuh dengan cidera (Suhartono, 2013; Suryani et al., 2011).Keselamatan Pasien (patient safety) merupakan isu global dan nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu (WHO, 2004). Ada 5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait kelangsungan hidup rumah sakit.Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah sakitan (Depkes RI, 2008).The Institute of Medicine (IOM mendefinisikan keselamatan sebaga freedom from accidental injury.Keselamatan dinyatakan sebagai ranah pertama dari mutudan definisi dari keselamatan ini merupakan pernyataan dari perspektif pasien (Kohn, dkk, 2000 dalam Sutanto, 2014). Pengertian lain menurut Hughes (2008) dalam Sutanto (2014), menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan pencegahan cedera terhadap pasien. Pencegahan cedera didefinisikan sebagaibebas dari bahaya yang terjadi dengan tidak sengaja atau dapat dicegah sebagai hasil perawatan medis. Sedangkan praktek keselamatan pasien diartikan sebagai menurunkan risiko kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan paparan terhadap lingkup diagnosis atau kondisi perawatan medis.Tujuan dari penelitian ini adalah dengan dibuatnya kebijakan keselamatan pasien dirumah sakit akan membuat Terciptanya suatu lingkungan kerja yang aman, sehat bagi pasien/keluarga pasien, masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit, sehingga proses pelayanan rumah sakit berjalan dengan lancar dan baik tidak menimbulkan masalah keselamatan dan keamanan pasien.Serta bertujuan untuk mengetahui kebijakan peningkatan mutu dan keselamatan pasien.


2020 ◽  
Author(s):  
Bintang Marsondang Rambe

Latar Belakang Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil yang dilakukan oleh perawat (Kemenkes, 2011).Salah satu kesalahan yang dapat merugikan pasien adalah medication error. Menurut WHO (2016) medication error adalah setiap kejadian yang dapat dicegah yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak tepat yang menyebabkan bahaya kepasien, dimana obat berada dalam kendali profesional perawatan kesehatan. proses terjadi medication error dimulai dari tahap prescribing, transcribing, dispensing,dan administration. Kesalahan peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep (transcribing erorr), kesalahan menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr), dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien (administration error). Medication error yang paling sering terjadi adalah pada fase administration / pemberian obat yang dilakukan oleh perawat.Administration error terjadi ketika pemberian obat kepada pasien tidak sesuai dengan prinsip enam benar yaitu benar obat, benar pasien, benar dosis, benar rute pemberian, benar waktu pemberian dan benar pendokumentasian. Secara global, kesalahan pemberian obat (medication errors) sampai saat ini masih menjadi isu keselamatan pasien dan kualitas pelayanan di beberapa rumah sakit (Depkes RI, 2015; AHRQ, 2015). Perawat sebagai bagian terbesar dari tenaga kesehatan di rumah sakit, mempunyai peranan dalam kejadian medication error. Perawat berkontribusi karena perawat banyak berperan dalam proses pemberian obat. Pemberian obat/ Medication Administration adalah salah satu intervensi keperawatan yang paling banyak dilakukan, dengan sekitar 5- 20% waktu perawat dialokasikan untuk kegiatan ini (Härkänen et al.,, 2019). Pemberian obat juga mencakup tugas-tugas lain, seperti menyiapkan dan memeriksa obat obatan, memantau efek obat-obatan, mengedukasi pasien tentang pengobatan, dan memperdalam pengetahuan perawat tentang obat – obatan sendiri (DrachZahavy et al., 2014 dalam Yulianti et al., 2019)Berdasarkan isu tersebut, penulis tertarik untuk melakukan literature review terkait faktor perawat dalam pelaksanakan keselamatan pasien terhadap kejadian medication administration error di Rumah Sakit.


Author(s):  
Noriko Morioka ◽  
Masayo Kashiwagi

Despite the importance of patient safety in home-care nursing provided by licensed nurses in patients’ homes, little is known about the nationwide incidence of adverse events in Japan. This article describes the incidence of adverse events among home-care nursing agencies in Japan and investigates the characteristics of agencies that were associated with adverse events. A cross-sectional nationwide self-administrative questionnaire survey was conducted in March 2020. The questionnaire included the number of adverse event occurrences in three months, the process of care for patient safety, and other agency characteristics. Of 9979 agencies, 580 questionnaires were returned and 400 were included in the analysis. The number of adverse events in each agency ranged from 0 to 47, and 26.5% of the agencies did not report any adverse event cases. The median occurrence of adverse events was three. In total, 1937 adverse events occurred over three months, of which pressure ulcers were the most frequent (80.5%). Adjusting for the number of patients in a month, the percentage of patients with care-need level 3 or higher was statistically significant. Adverse events occurring in home-care nursing agencies were rare and varied widely across agencies. The patients’ higher care-need levels affected the higher number of adverse events in home-care nursing agencies.


2018 ◽  
Vol 28 (2) ◽  
pp. 151-159 ◽  
Author(s):  
Daniel R Murphy ◽  
Ashley ND Meyer ◽  
Dean F Sittig ◽  
Derek W Meeks ◽  
Eric J Thomas ◽  
...  

Progress in reducing diagnostic errors remains slow partly due to poorly defined methods to identify errors, high-risk situations, and adverse events. Electronic trigger (e-trigger) tools, which mine vast amounts of patient data to identify signals indicative of a likely error or adverse event, offer a promising method to efficiently identify errors. The increasing amounts of longitudinal electronic data and maturing data warehousing techniques and infrastructure offer an unprecedented opportunity to implement new types of e-trigger tools that use algorithms to identify risks and events related to the diagnostic process. We present a knowledge discovery framework, the Safer Dx Trigger Tools Framework, that enables health systems to develop and implement e-trigger tools to identify and measure diagnostic errors using comprehensive electronic health record (EHR) data. Safer Dx e-trigger tools detect potential diagnostic events, allowing health systems to monitor event rates, study contributory factors and identify targets for improving diagnostic safety. In addition to promoting organisational learning, some e-triggers can monitor data prospectively and help identify patients at high-risk for a future adverse event, enabling clinicians, patients or safety personnel to take preventive actions proactively. Successful application of electronic algorithms requires health systems to invest in clinical informaticists, information technology professionals, patient safety professionals and clinicians, all of who work closely together to overcome development and implementation challenges. We outline key future research, including advances in natural language processing and machine learning, needed to improve effectiveness of e-triggers. Integrating diagnostic safety e-triggers in institutional patient safety strategies can accelerate progress in reducing preventable harm from diagnostic errors.


2017 ◽  
Vol 16 (4) ◽  
pp. 294-298 ◽  
Author(s):  
Sarah E. Tevis ◽  
Ryan K. Schmocker ◽  
Tosha B. Wetterneck

2020 ◽  
Vol 11 (4) ◽  
pp. 23
Author(s):  
Jennifer Mazan ◽  
Margaret Lett ◽  
Ana Quiñones-Boex

Background: Patient safety places emphasis on full disclosure, transparency, and a commitment to prevent future errors. Studies addressing the disclosure of medication errors in the profession of pharmacy are lacking. Objective: This study examined attitudes and behaviors of American pharmacists regarding medication errors and their disclosure to patients. Methods: A 4-page questionnaire was mailed to a nationwide random sample of 2,002 pharmacists. It included items to assess pharmacists’ knowledge of and experience with medication errors and their disclosure. The data was collected over three months and analyzed using IBM SPSS 22.0. The study received IRB exempt status. Results: The response rate was 12.6% (n = 252). The average pharmacist respondent was a 57-year old (+ 12.1 years), Caucasian (79.8%), male (59.9%), with a BS Pharmacy degree (73.8%), and licensed for 33 years (+ 12.8 years). Most respondents were employed in a hospital (26.4%) or community (31.0 %) setting and held staff (30.9%), manager (29.1%), or clinical staff (20.6%) positions.  Respondents reported having been involved in a medication error as a patient (31.0%) or a pharmacist (95.5%). The data suggest that full disclosure is not being achieved by pharmacists. Significant differences in some attitudes and behaviors were uncovered when community pharmacists were compared to their hospital counterparts.  Conclusion: There is room for improvement regarding proper medication error disclosure by pharmacists.


2019 ◽  
Author(s):  
Eva Eryanti Harahap

Keselamatan pasien itu sangat penting dan menjadi tuntutan bagi rumah sakit untuk melaksanakannya karena rumah sakit sangat berpotensi terjadinya risiko berupa kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event) dan nyaris terjadi (near miss). Untuk itu, , Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit tahun 2008 yang terdiri dari 7 standar, yaitu: 1) hak pasien, 2) mendidik pasien dan keluarga, 3) keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan, 4) penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program, 5) peningkatan keselamatan pasien, 6)mendidik staf tentang keselamatan kerja, dan 7) komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Dan agar tercapainya standar tersebut Panduan Nasional menganjurkan 7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit, yaitu: 1) bangun kesadaran akan keselamatan pasien, 2) pimpin staf, 3) integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, 4) kembangkan sistem pelaporan, 5) libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, 6) belajar dari berbagai pengalaman tentang keselamatan pasien, dan 7) cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien


2014 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 725-734
Author(s):  
Patrícia Ferreira ◽  
Anna Livia Dantas ◽  
Késsya Diniz ◽  
Kátia Regina Ribeiro ◽  
Regimar Machado ◽  
...  

2012 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 2-8
Author(s):  
Hetty Ismainar ◽  
Andaru Dahesihdewi ◽  
Iwan Dwiprahasto

Keselamatan pasien merupakan prioritas dalam aspek pelayanan di rumah sakit. Upaya penyelenggaraannya diharapkan meminimalkan risiko Kejadian Tidak Diinginkan (KTD). Komite Keselamatan Pasien di Rumah Sakit (KKP-RS) adalah wadah yang berinisitif mengajak semua stakeholder untuk memperhatikan keselamatan pasien. Karakteristik efektivitas kinerja tim harus memiliki prinsip leadership. Berbagai penelitian tentang patient safety teamwork ini terus dilakukan dan hasilnya komunikasi juga merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi efektivitas kinerja teamwork. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi efektivitas kepemimpinan dan komunikasi kinerja tim KP-RS di RSI Ibnu Sina Pekanbaru, Riau. Jenis penelitian ini observasional, deskriptif menggunakan mixed methods dengan rancangan sequensial eksploratory. Wawancara mendalam dan observasi digunakan untuk mengeksplorasi persepsi dan perilaku yang menggambarkan efektivitas kepemimpinan dan komunikasi pada tim KP-RS. Kemudian dilakukan survei pada 20 informan  untuk mengelompokkan persepsi efektivitas kedua aspek tersebut kedalam level kompetensi YAKKUM. Pengolahan data kualitatif menggunakan open code 3.6 dan data kuantitatif dengan distribusi frekuensi. Subjek penelitian adalah keseluruhan anggota tim. Hasil Penelitian menunjukan dari 42 kasus laporan insiden, terjadi 45.22%  medication error, 2.38% mengakibatkan kematian dan 50% kasus tidak dilakukan analisis. Tidak ada laporan internal dan eksternal yang dilakukan oleh tim KP-RS. Evaluasi efektivitas kepemimpinan dan komunikasi masih berada pada level 2 dan 3. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa evaluasi efektivitas kepemimpinan dan komunikasi pada tim ini belum optimal. Fungsi, perilaku dan gaya kepemimpinan di tim KP-RS adalah passive leadership. Ronde Keselamatan Pasien (RKP), The SBAR Tools, reward and punistment adalah program yang direkomendasikan pada penelitian ini. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document