abu sayyaf
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

51
(FIVE YEARS 12)

H-INDEX

4
(FIVE YEARS 1)

2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 327-361
Author(s):  
Satria Unggul Wicaksana Prakasa ◽  
Sholahuddin Al-Fatih ◽  
Abdurrahman Raden Aji Haqqi

This research aims to discuss ASEAN counter-terrorism policy and its impact on human rights protection. The terrorism act of Abu Sayyaf in the Philippines, the spread of terrorism in Indonesia by JAT and JAD, and the rebellion movement in Pattani-Thailand are the most heard of terrorism cases in Southeast Asian countries. The research focused on the regulatory through comparative approaches. The result found that ASEAN has an agreement known as ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) for combating terrorism. ACCT implementation in national legal regulations of ASEAN members in the midst of the spread of terrorism plays a crucial role in combating terrorism and its impact on human rights protection. However, the effort of eradicating terrorism in Southeast Asian countries is not in line with the principles of peace and regional integrity. The practice of authoritarianism and militarism has instead become most prominent as a result of perpetuating militarism-based legal regulations in resolving terrorism. Efforts for combating terrorism in Southeast Asia, therefore, leave a serious problem regarding the protection of human rights, the issue of impunity, attacks on civil society, and the involvement of the military which threatens territorial integrity. Those are at cross purposes with ACCT policies as well as national sovereignty, integrity, and security of ASEAN members. (Penelitian ini bertujuan membahas kebijakan anti-terorisme ASEAN dan dampaknya terhadap perlindungan hak asasi manusia. Aksi terorisme Abu Sayyaf di Filipina, penyebaran terorisme di Indonesia oleh JAT dan JAD, serta pemberontakan di Pattani-Thailand adalah kasus-kasus terorisme terpopuler yang terjadi di Asia Tenggara. Penelitian ini fokus pada peraturan perundang-undangan dengan pendekatan komparatif. Hasilnya menunjukkan bahwa ASEAN memiliki kesepakatan yang disebut Konvensi ASEAN tentang Kontra-Terorisme (ACCT) untuk memerangi terorisme. Penerapan ACCT dalam peraturan hukum nasional negara anggota ASEAN di tengah maraknya aksi terorisme sangat penting dalam upaya pemberantasan terorisme dan dampaknya terhadap perlindungan hak asasi manusia di ASEAN. Akan tetapi dalam praktiknya, pemberantasan terorisme di ASEAN masih belum sejalan dengan prinsip perdamaian dan keutuhan kawasan. Praktik otoritarianisme dan militerisme justru menjadi praktik paling menonjol yang dilakukan oleh negara-negara di ASEAN seiring dengan langgengnya regulasi hukum berbasis praktik militerisme dalam menyelesaikan kejahatan terorisme. Pemberantasan terorisme di Asia Tenggara menyisakan masalah serius terkait perlindungan hak asasi manusia, isu impunitas, serangan terhadap masyarakat sipil, dan keterlibatan militer yang mengancam integritas teritorial. Isu-isu tersebut bertentangan dengan Kebijakan ACCT serta kedaulatan, integritas nasional, dan keamanan anggota ASEAN.)


2021 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Joshua Joshua ◽  
Hasan Sidik
Keyword(s):  

Pada 26 Maret 2016, Indonesia dikejutkan dengan kabar disanderanya 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia oleh Kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Upaya Indonesia untuk membebaskan Warga Negara Indonesia yang disandera oleh Kelompok Abu Sayyaf menjadi persoalan yang tidak mudah mengingat lokasi penyanderaan berada di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Namun dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan, Indonesia berhasil membebaskan kesepuluh sandera tanpa adanya kontak senjata. Keberhasilan tersebut dicapai dengan dilibatkannya aktor non-negara oleh Indonesia untuk membebaskan sandera. Salah satu aktor non-negara yang terlibat, Yayasan Sukma, merupakan salah satu aktor yang signifikan dalam upaya membebaskan sandera WNI di Filipina Selatan. Riset ini berusaha menjelaskan aktivitas yang dilakukan oleh Yayasan Sukma hingga kesepuluh sandera WNI di Filipina Selatan dapat dibebaskan. Untuk menjelaskan aktivitas Yayasan Sukma dalam pembebasan 10 sandera WNI di Filipina Selatan, periset menggunakan konsep multi-track diplomacy, eskalasi konflik, serta negosiasi pembebasan sandera. Menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, studi pustaka, serta riset berbasis daring, periset menemukan bahwa penggunaan pendekatan kemanusiaan menjadi kunci Yayasan Sukma dalam membebaskan sandera.


2020 ◽  
Vol 21 (1) ◽  
pp. 214-226
Author(s):  
Nur Solehah Mohd Yazid ◽  
Mohd Hasrul Shuhari ◽  
Najihah Abdul Wahid

Islam is a religion that brings peace and harmony to all mankind, whether from a theoritical or practical point of view; wasattiyah in his practice. However, Islam has often been related to acts of violence especially in Southeast Asia such as the Bali bombings by the jemaah islam in 2002, the Paris bombing in 2015, the Abu Sayyaf movement in the Philippines and the nightclub bombings in Puchong in 2017. by extremist Islamic State groups (IS). Focus in Malaysia, this study explains the roles of the Selangor Islamic Religious Department (JAIS) in addressing issues of religious extremism and challenges in Selangor such as IS. This qualitative study uses interview method and documentation method. This study is expected to contribute to the development of an academic source and references to extremism-themed research especially on the roles and strategy of the Selangor Islamic Religious Department in addressing the critical issues of the current Ummah. Islam adalah sebuah agama yang mementingkan keamanan dan kedamaian kepada seluruh umat manusia sama ada dari sudut teoritikal yang bersumberkan nas-nas dan hukum syarak mahupun praktikal iaitu; wasattiyah dalam pengamalan. Namun begitu, Islam sering dikaitkan dengan aktiviti-aktiviti berbentuk keganasan khasnya di Asia Tenggara seperti pengeboman di Bali oleh Jemaah Islamiyah pada tahun 2002, pengeboman di Paris pada tahun 2015, gerakan Abu Sayyaf di Filipina dan pengeboman kelab malam di Puchong pada tahun 2017 yang didakwa dilakukan oleh kumpulan ekstremis Islamic State (IS). Secara fokusnya di Malaysia, kajian ini menjelaskan peranan Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS) dalam mendepani isu-isu teras agama dan cabaran ekstremis di Selangor contohnya IS. Kajian berbentuk kualitatif ini menggunakan kaedah temubual dan kaedah dokumentasi. Kajian dijangka dapat menyumbang kepada perkembangan sumber rujukan akademik yang bertema ekstremisme khususnya berkenaan peranan dan strategi Jabatan Agama Islam Selangor dalam mendepani isu-isu kritikal ummah masa kini.


2020 ◽  
pp. 203-240
Author(s):  
Andrew D. Henshaw
Keyword(s):  

2019 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 188
Author(s):  
Putu Ratih Kumala Dewi

Indonesia was again shocked by the events of ship hijacking and hostage-taking of 10 Indonesian ship crew by the Abu Sayyaf separatist group in the Southern Philippines. This is not the first time for Indonesia where its citizens are held hostage by separatists, but the success of the Indonesian government in releasing hostages from Abu Sayyaf's group is interesting to discuss because 10 Indonesian ship crew members who were hostages were able to be released less than 3 months after the hijacking, without ransom and without firing contact. So the question arises as to how Indonesia’s diplomacy strategy is in the release of 10 Indonesian ship crew from the Abu Sayyaf group? In answering the above questions, the writer used the concept of diplomacy, multi-track diplomacy, and peacemaking. The results of this study are the diplomacy strategy used by Indonesia is Total Diplomacy where in addition to running the first track diplomacy also runs second track diplomacy involving track two (non-governmental and professional actors) and track four (civilian population). Keywords: Indonesian Diplomacy, Abu Sayyaf, Multi-Track Diplomacy, Total Diplomacy


Significance Misuari’s faction of the MNLF has expressed little support for the Bangsamoro Transition Authority (BTA), the interim government of the fledgling Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao. Before end-December, Duterte will also decide whether to seek an extension of martial law on Mindanao to help combat the Islamic State (IS)-aligned Abu Sayyaf Group (ASG). Impacts Ending martial law on Mindanao would lead to an increase in local attacks by communist insurgents as well as Islamist militant groups. Within the Mindanao island group, the Sulu archipelago will be at the highest risk of militant attacks. A lack of progress in rebuilding Marawi city will make the ethnic Maranao more hostile to the Duterte administration and Philippine army.


2019 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 109
Author(s):  
Prakoso Permono

Filipina awal tahun 2019 diwarnai referendum di Filipina Selatan yang mengantarkan pada dibentuknya Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM). Konflik, instabilitas kawasan, dan perkembangan ancaman terorisme di Filipina Selatan khususnya dan umumnya di seluruh Filipina diharapkan berakhir dengan sebuah konsensus damai dan demokratis seiring terbentuknya pemerintahan transisi di BARMM. Harapan terciptanya perdamaian dengan keberadaan BARMM dalam tulisan ini dikaji secara spesifik dari salah satu kelompok teror yang berkembang di kawasan Filipina Selatan, Abu Sayyaf Group (ASG). Keberadaan ASG pada mulanya merupakan dampak kekecewaan usaha perjanjian damai yang diinisiasi pemerintah dan kelompok teror terbesar saat itu Moro National Liberation Front (MNLF), seiring dengan perkembangan waktu kelompok ASG bertransformasi menjadi sebuah kelompok kriminal dengan modus operandi penculikan dan permintaan tebusan, sekalipun tidak sepenuhnya meninggalkan posisi awalnya sebagai kelompok teror dengan kehendak separatis ideologis. Penelitian ini berusaha menjawab potensi dampak yang muncul pada ASG dengan dibentuknya BARMM di kawasan Filipina Selatan. Sayangnya opsi-opsi melemah dan bubarnya ASG yang disebabkan oleh keberadaan BARMM hanya dapat terjadi bila tercipta good governance dan penyelesaian persoalan dasar seperti kemiskinan dan potensi radikalisasi yang terus berkembang. Jawaban dari masa depan ancaman teror ASG di Filipina Selatan akhirnya tergantung seberapa besar penguasaan wilayah, penegakan hukum, dan pengentasan kemiskinan di Filipina Selatan.  Kata-kata kunci: Abu Sayyaf Group, Filipina Selatan, Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao. Early 2019 in the Philippines was marked by a referendum in Southern Philippines which led to establishment of Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM). Conflict, regional instability, and terrorism threats development especially in Southern Philippines and generally in all over Philippines are expected to end with a peaceful and democratic consensus as transitional government has formed already in the BARMM. The hope of creating peace with the presence of BARMM in this paper is specifically examined from one of terror group in the Southern Philippines region, the Abu Sayyaf Group (ASG). The existence of the ASG was initially a result of disappointment caused by peace agreement efforts initiated by Moro National Liberation Front (MNLF) the largest terror group at that time, along with its development the ASG Group transforming into a criminal group with kidnapping and ransom as their main modus operandi, but not completely abandoned its initial position as a ideological terror group with separatism agenda. This research seeks to address the potential impacts of BARMM establishment in the Southern Philippines region to the development of ASG Group. Unfortunately, the options to weaken and to liquidate ASG caused by the presence of BARMM can only occur if good governance is created and the basic problems such as poverty in the region are resolved. The answer to the future of ASG terror threat in the Southern Philippines ultimately depends on how much territorial control, law enforcement, and poverty alleviation process in the Southern Philippines. Keywords: Abu Sayyaf Group, Southern Philippines, Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao.


2019 ◽  
Vol 2 (5) ◽  
pp. 1723
Author(s):  
Hach Dhini Sekarwangi
Keyword(s):  

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Para tahun 2018, Warga Negara Indonesia yang merupakan Anak Buah Kapal menjadi korban pembajakan kapal dan penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf. Penyanderaan tersebut telah terjadi selama beberapa tahun terakhir, berawal dari tahun 2002 dengan permintaan uang tebusan untuk membebaskan para sandera. Berdasarkan ketentuan pada hukum nasional dan internasional, Indonesia memiliki tanggung jawab berupa perlindungan terhadap warga negaranya yang disandera kelompok Abu Sayyaf, baik sebelum penyanderaan terjadi maupun sudah terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada warga negaranya yang disandera di luar negeri. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan studi kasus. Kesimpulan yang didapat yaitu bahwa Indonesia telah berupaya dalam memberi perlindungan kepada warga negaranya di manapun mereka berada. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document