Notaire
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

92
(FIVE YEARS 82)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Airlangga

2655-9404

Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 399
Author(s):  
Nahdlotul Fadilah

Developer as seller and/or marketing agency often promising everything to buyers related to the flats settlement process, can be regulated in Sale and Purchase Engagement Agreement (hereinafter referred as “PPJB”) accordance with Article 43 of Law Number 20 of 2011 concerning Flats (hereinafter referred as “Flat Law”) and Regulation of Minister of Public Works and Public Housing Number 11/PRT/M/2019 concerning the Preliminary House Sale and Purchase Agreement System (hereinafter referred as “Ministerial Regulation of PUPR No. 11/PRT/M/2019”). The purpose of this research is to analyse the basis of validity of the Akta Pemberian Hak Tanggungan (Security Title Provision Deed, hereinafter referred as “APHT”) on the Building Rights Certificate of the Flats (hereinafter referred as “HGB”) after the PPJB has been implemented, and to analyse legal protection for buyers when the certificate of HGB is guaranteed after PPJB is carried out. The research has been determined that PPJB has classified as a conditional engagement because it has regulated the points of the agreement and has a legal consequences. The seller/developer who will enact the object of PPJB as a guarantee, basis of validity an APHT at certificate of HGB’s Flats after regulated a PPJB have to qualify Article 11 of UUHT and pay attention to the provisions of Article 10 paragraph (3) alphabet d of Ministerial Regulation of PUPR No. 11/PRT/M/2019. Legal protection for buyers is a preventive legal protection and repressive legal protection.Keywords: Validity an APHT; Certificate of HGB’s Flat; PPJB; Legal Protection for Buyers.Developer sebagai penjual dan/atau agen pemasaran sering kali menjanjikan segala sesuatu kepada pembeli terkait proses penyelesaian rumah susun, dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sesuai Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun) dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar keabsahan akta pemberian hak tanggungan (APHT) atas sertipikat hak guna bangunan (HGB) pada rumah susun yang telah dilakukan PPJB dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi pembeli apabila sertipikat HGB pada rumah susun dijaminkan setelah dilakukan PPJB. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa PPJB digolongkan sebagai perjanjian bersyarat karena sudah menyentuh pokok-pokok perjanjian dan telah menimbulkan akibat hukum. Penjual/developer yang akan menjadikan objek PPJB sebagai jaminan, dasar keabsahan pembuatan APHT atas sertipikat HGB pada rumah susun yang telah dilakukan PPJB harus memenuhi ketentuan Pasal 11 UUHT dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) huruf d Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019. Bentuk perlindungan hukum bagi pembeli satuan rumah susun dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.Kata Kunci: Keabsahan APHT; Sertipikat HGB Pada Rumah Susun; PPJB; Perlindungan Hukum Pembeli.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 489
Author(s):  
Wimba Roofi Hutama

The Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia recently issued Ministerial Regulation of ATR No. 18 of 2019 concerning Procedures for Administration of Customary Land Community Units of Customary Law. However, the reality is that until now there are still ulayat lands of customary law community units whose management, control and use are based on local customary law provisions and are recognized by the members of the customary law community unit concerned. The research uses normative research, namely normative juridical research, namely research based on applicable laws and legal norms and has binding power to answer the legal issues faced. The results obtained are that the characteristics of customary rights of customary law communities, that customary rights to land are controlled by customary law communities, namely people who live in groups, hereditary based on ties of origin/ancestor or similarity of residence, have the same culture, live in a certain area, have customary property that is jointly owned, have customary institutions containing sanctions, as long as they are still alive according to developments and do not conflict with national law.Keywords: Existence; Customary Rights; Minister of Agrarian Regulation.Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia baru-baru ini menerbitkan Permen ATR No. 18 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Namun kenyataannya hingga kini masih terdapat tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Penelitian dengan menggunakan penelitian normatif, yaitu penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian didasarkan peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat guna manjawab isu hukum yang dihadapi. Diperoleh hasil bahwa Karakteristik hak ulayat masyarakat hukum adat, bahwa hak ulayat atas tanah tersebut dikuasai oleh masyarakat hukum adat, yakni masyarakat yang hidup berkelompok, turun menurun berdasarkan ikatan asal usul/leluhur atau kesamaan tempat tinggal, berbudaya sama, hidup dalam satu wilayah tertentu, memiliki harta benda adat milik bersama, mempunyai pranata adat mengandung sanksi, sepanjang masih hidup sesuai perkembangan dan tidak bertentangan dengan hukum nasional.Kata Kunci: Eksistensi; Hak Ulayat; Peraturan Menteri Agraria.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 467
Author(s):  
Trisadini Prasastinah Usanti ◽  
Xavier Nugraha ◽  
Dita Elvia Kusuma Putri

In Article 7 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage it is stated that in the event of a deviation from the minimal age of marriage, a marriage dispensation may be requested from the court or other official appointed by both male and female parents. However, there are no indicators related to the conditions for marriage dispensation to be proposed in Law Number 1 of 1974 making the legal politics of granting marriage dispensations focus on judges. In its development, was born Law Number 16 of 2019 replaced Law Number 1 of 1974. This article is a legal article with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. Through this article, it was found that there was a political change in the marriage dispensation law in Law Number 16 Year 2019, where the politics of marriage dispensation law was stricter than Law Number 1 of 1974 and had the spirit not to easily provide marriage dispensation. This can be seen from the existence of two conditions for filing a dispensation in Law Number 16 of 2019, namely (1) having urgent reasons and (2) Having sufficient supporting evidence.Keywords: Marriage Dispensation; Marriage Law; Politics Of Law.Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa dalam hal terjadi penyimpangan batas usia minimal perkawinan, maka dapat dimintakan dispensasi perkawinan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Namun, tidak ada indikator terkait kondisi dapat diajukannya dispensasi perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membuat politik hukum pemberian dispensasi perkawinan, benar-benar menitikberatkan pada hakim. Dalam perkembangannya, lahir Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Artikel ini merupakan artikel hukum dengan pendekatan peraturan perundang-Undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Melalui artikel ini, ditemukan bahwa terjadi perubahan politik hukum dispensasi perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 , dimana politik hukum dispensasi perkawinan bersifat lebih ketat daripada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan memiliki semangat untuk tidak dengan mudah memberikan dispensasi perkawinan. Hal ini dapat terlihat dari adanya dua syarat diajukannya dispensasi di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yaitu (1) memiliki alasan mendesak dan (2) Memiliki bukti-bukti pendukung yang cukup.Kata Kunci: Dispensasi Perkawinan; Perkawinan; Politik Hukum.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 373
Author(s):  
Muhammad Setya Ady Syarifuddin

There are several factors that can cause problems in the land sector in Indonesia, one of which is inheritance. This study aims to determine: 1) the legal position of the heirs of foreign citizens in the object of inheritance in the form of land rights obtained from inheritance with Indonesian citizenship; and 2) The validity of the control of land rights by foreign countries on objects originating from the inheritance of Indonesian citizens. The research method uses a normative juridical approach to the law (statute approach), conceptual approach (conceptual approach), and case study approach (case study). The results of the study are heirs who have changed their status to foreign citizens can also be proven by their lineage or have blood relations so that if they acquire property in the form of land originating from inheritance while those who control the property are foreign nationals, if possible, do so to discuss the object. through an exchange, grant, or auction within a maximum period of 1 (one) year, the status will automatically switch. If the land has been turned into state land, then the owner is considered to have relinquished his rights but the owner is still given the opportunity by law to be able to apply for the Right to Use the land.Keywords: Inheritance Law; Legality Of Ownership Of Land Rights; Foreign Nationalilty.Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan permasalahan di bidang pertanahan di Indonesia, salah satunya adalah pewarisan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Kedudukan hukum ahli waris warga negara asing dalam pewarisan obyek waris berupa hak atas tanah yang diperoleh dari pewarisan berkewarganegaraan Indonesia; dan 2) Keabsahan penguasaan Hak Atas Tanah yang dilakukan oleh warga negara asing atas obyek yang berasal dari Pewarisan berkewarganegaraan Indonesia. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan studi kasus (case study). Hasil penelitian yaitu ahli waris yang telah berubah status kewarganegaraan menjadi warga negara asing juga dapat menjadi ahli waris yang dibuktikan dengan adanya garis keturunan atau memiliki hubungan darah sehingga jika memperoleh harta berupa tanah yang berasal dari pewarisan sedangkan yang menguasai harta tersebut sudah menjadi warga negara asing maka sebaiknya dilakukan peralihan terhadap obyek tersebut melalui jual beli, tukar menukar, hibah, atau lelang dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun karena jika lebih dari jangka waktu tersebut maka status tanah akan beralih secara hukum menjadi tanah negara. Jika tanah tersebut telah beralih menjadi tanah negara maka si pemilik dianggap telah melepaskan haknya tetapi si pemilik masih diberi kesempatan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan permohonan Hak Pakai atas tanah.Kata Kunci: Hukum Waris; Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah; Warga Negara Asing.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 355
Author(s):  
Fatria Hikmatiar Al Qindy

Notary is a general official authorized to make authentic deed, one of which is making the deed of auction document in accordance with the Notary Position Act, but in other provisions, the Auction Regulation states that the authorized to make the deed of auction is the Auction Officer which raises the issue of who is authorized to make the deed of the auction minutes. This study aims to find out the legal consequences if the notary makes the minutes of auction document and the authority of the notary in making the deed of the auction according to Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to the Notary Position Act. This research is a normative research, the approach used is the legislation approach and conceptual approach. Based on the results of this study that the authorized to make the auction minutes is the Auction Officer not a Notary but the Notary can make the auction minutes if the notary concurrently serves as an Auction Officer, namely as Class II Auction Officer. Notary makes the deed of auction document in his capacity as an Auction Officer not as a Notary, then the legal consequence if the Notary makes the deed of auction document is the deed is null and void, the cancellation is done through the court and if any party is harmed by the deed, the Notary can be sued for an act against the law which is a compensation claim.Keywords: Notary; Minutes of Auction; Auction Officer.Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik salah satunya adalah membuat akta risalah lelang sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, namun dalam ketentuan lain yakni Peraturan Lelang menyebutkan bahwa yang berwenang membuat akta risalah lelang adalah Pejabat Lelang sehingga menimbulkan masalah siapakah yang berwenang untuk membuat akta risalah lelang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum apabila notaris membuat akta risalah lelang dan kewenangan notaris dalam membuat akta risalah lelang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris. Penelitian ini adalah penelitian normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa yang berwenang membuat risalah lelang adalah Pejabat Lelang bukan Notaris namun Notaris dapat membuat risalah lelang apabila notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Lelang yakni sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Notaris membuat akta risalah lelang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Lelang bukan sebagai Notaris, kemudian akibat hukum apabila Notaris membuat akta risalah lelang adalah akta tersebut batal demi hukum yang pembatalannya dilakukan memalui pengadilan dan bila ada pihak yang dirugikan atas dibuatnya akta tersebut maka Notaris dapat digugat melakukan perbuatan melawan hukum yang merupakan gugatan ganti rugi.Kata Kunci: Notaris; Risalah Lelang; Pejabat Lelang.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 333
Author(s):  
Alya Adelina

Duty on the Acquisition of Land and Building Rights or BPHTB is a tax on the acquisition of rights to land and building. It is likely that in the future there will be an overpayment of BPHTB; in the case study of the Supreme Court Decision Number 1154/B/PK/PJK/2017, there was an overpayment of non-payable tax in 2009 by PT Bumi Sawit Permai to KPP Pratama Prabu Mulih which had just been filed at in 2012. There was a difference in authority in returning the BPHTB overpayment, considering that Law No. 20 of 2000, Amendment to Law Number 21 of 1997 on Duty on the Acquisition of Land and Building Rights, which classified BPHTB under Central Tax, was revoked and declared no longer valid since January 1st, 2011, replaced by Law No. 28 of 2009 on Regional Taxes and Retribution (UU PDRD) that classified it under Regional Tax. According to article 23 paragraph (1), (1a) and (2) Law Number 20 of 2000 on Amendment to Law Number 21 of 1997 on Duty on the Acquisition of Land and Building Rights, it was KPP Pratama Prabumulih’s obligation to return the overpayment of the non-payable tax. Keywords: Tax Overpayment; BPHTB; Tax Office.Bea Perolehan Hak Atas Tanah atau BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari terjadi kelebihan pembayaran BPHTB, dalam studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1154/B/PK/PJK/2017 terjadi kelebihan pembayaran pajak tidak terhutang pada tahun 2009 oleh PT Bumi Sawit Permai kepada KPP Pratama Prabu Mulih yang baru diajukan pada tahun 2012. Terjadi perbedaan kewenangan dalam pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB, mengingat undang-undang No 20 Tahun 2000, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 1 januari 2011 yang awalnya BPHTB diklasifikasikan dalam Pajak Pusat, kemudian diganti dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menjadi pajak Daerah. Berdasarkan pasal 23 ayat (1), (1a) dan (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, maka sudah menjadi kewajiban KPP Pratama Prabumulih untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak tidak terhutang tersebut. Kata Kunci: Kelebihan Pajak; BPHTB; Kantor Pelayanan Pajak.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 425
Author(s):  
Ragil Kusnaning Rini
Keyword(s):  

The principle of reasonableness and fairness (redelijkheid en billijkheid) is a pair of principles that are closely related and constitute an interpretation of the principle of good faith. So that the terms used in NBW are no longer good faith, but rather reasonableness and fairness. In the Netherlands, this principle is mandatory not only at the time of contract execution, but also at the pre-contract stage, giving rise to pre-contractual liability. Whereas to judge whether or not a preliminary agreement is binding, what must be observed first is the substance and not just based on the title. The importance of applying the principles of reasonableness and fairness in the preliminary agreement is to realize contractual justice and provide protection for weak parties when the expectations of the promises offered cannot be fulfilled. In essence, the principle of reasonableness and fairness requires proportionality among the parties. A preliminary agreement if the clauses are made without paying attention to the principles of reasonableness and fairness will have the potential to cause disputes. Furthermore, the party who feels aggrieved can file a lawsuit on the basis of an unlawful act and demand compensation for the costs that have been incurred.Keywords: Preliminary Agreements; Good Faith; Redelijkheid en Billijkheid.Prinsip kepatutan dan keadilan (redelijkheid en billijkheid) merupakan sepasang prinsip yang saling terkait erat dan merupakan penafsiran dari makna prinsip itikad baik. Sehingga istilah yang digunakan pada NBW tidak lagi itikad baik (good faith), melainkan kepatutan dan keadilan (reasonableness and fairness). Di Belanda, prinsip ini tidak hanya diwajibkan pada saat pelaksanaan kontrak saja, namun juga pada tahapan pra kontrak sehingga menimbulkan adanya pra-contractual liability. Bahwa untuk menilai mengikat atau tidaknya suatu perjanjian pendahuluan, maka yang harus dicermati terlebih dahulu adalah substansinya dan bukan hanya didasarkan pada judulnya saja. Pentingnya penerapan prinsip kepatutan dan keadilan dalam perjanjian pendahuluan adalah untuk mewujudkan keadilan berkontrak dan memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah manakala harapan dari janji-janji yang ditawarkan tidak dapat terpenuhi. Pada hakikatnya prinsip kepatutan dan keadilan menghendaki adanya proporsionalitas diantara para pihak. Suatu perjanjian pendahuluan jika klausul-klausulnya dibuat tanpa memperhatikan prinsip kepatutan dan keadilan akan berpotensi menimbulkan perselisihan. Selanjutnya terhadap pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum dan menuntut ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya.Kata Kunci: Perjanjian Pendahuluan; Itikad Baik; Redelijkheid en Billijkheid.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 441
Author(s):  
Safirah Oktavihana ◽  
Nindia Putri Prameswari

Marriage is one of the process of human life as regulated in Article 28B paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and also regulated in Article 10 of the Human Rights Law. Marriages conducted by Believers are regulated and protected in the Adminduk Law and the implementing Government Regulations, but not accommodated in Law Number 1 of 1974 on Marriage which is the lex specialist of the regulations governing Marriage in Indonesia. This research uses normative legal research method whose main object is the legal substance of legal protection for Believers on the basis of recognition of belief according to the mandate of the 1945 NRI Constitution, due to incomplete norms and exclusive interpretation of the meaning of the words “God Almighty” and “and trust that”. This research is expected to provide an understanding to stakeholders regarding the validity of marriages conducted by Believers and provide administrative legal protection to Believer. The Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 provides legal solutions and protection for Believers for administrative legal arrangements that have not fully protected the existence of believers in the God Almighty. After the issuance of Constitutional Court’s decision, the marriage of Believers was recognized as a legal marriage and brought good legal consequences for their offspring.Keywords: Legal Protection; Believer; Marriage; Law of Administration.Perkawinan adalah salah satu proses kehidupan manusia yang diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan diatur pula dalam Pasal 10 UU HAM. Perkawinan yang dilakukan oleh Penghayat Kepercayaan diatur dan dilindungi dalam UU Adminduk dan Peraturan Pemerintah pelaksananya, namun tidak diakomodir dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan lex specialis dari peraturan yang mengatur tentang Perkawinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang obyek utamanya adalah substansi hukum atas perlindungan hukum bagi Penghayat Kepercayaan atas dasar pengakuan Kepercayaan sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945, akibat kekuranglengkapan norma dan penafsiran eksklusif makna kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “dan kepercayaannya itu”. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para stakeholder terkait Keabsahan Perkawinan yang dilakukan oleh Penghayat Kepercayaan dan memberi perlindungan hukum secara administratif kepada Penghayat Kepercayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 hadir memberikan solusi dan perlindungan hukum bagi Penghayat Kepercayaan atas pengaturan hukum administratif yang belum sepenuhnya melindungi dari keberadaan pemeluk Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Pasca terbitnya Putusan MK tersebut, perkawinan Penghayat Kepercayaan diakui sebagai perkawinan yang sah dan membawa akibat hukum yang baik bagi anak turunannya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Penghayat Kepercayaan; Perkawinan; Hukum Administrasi.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 217
Author(s):  
Nailu Vina Amalia

The deed of the purchase and sale agreement (PPJB). The deed of the sale and purchase agreement is a preliminary agreement prior to the sale and purchase of land. PPJB is used only once. If what is agreed in the PPJB has been fulfilled then the signing of the sale and purchase deed can be carried out, by signing the sale and purchase deed, the ownership of land rights has been transferred. There are still many people who think that when the PPJB is signed, there will be a transfer of land rights, even though the PPJB is not an evidence of a transfer of land rights. This thesis discusses graded PPJB or recurring PPJB made by a Notary on a plot of land based on ownership rights over land use rights of former customary land based on the quotation of the Decree of the Governor of East Java Region Serial Number I/Agr/117 XI/HM/01.G/1970 issued November 4, 1970, or uncertified land. Whether it contradicts the concept of buying and selling in agrarian law and the legal consequences of the PPAT who made the sale and purchase deed based on the graded PPJB.Keywords: Graded PPJB; Recurring PPJB: Proof of Prior Rights.Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (akta PPJB). Akta PPJB merupakan perjanjian pendahuluan sebelum diadakannya jual beli tanah. Akta PPJB digunakan untuk sekali saja, namun prakteknya masih ditemukan Akta PPJB bertingkat. Masih banyak masyarakat yang menganggap apabila sudah ada akta PPJB sudah ada peralihan hak atas tanah, padahal akta PPJB bukan bukti adanya peralihan hak atas tanah. Akta Jual Beli (AJB) yang merupakan bukti adanya peralihan hak atas tanah. AJB dibuat apabila syarat-syarat yang ada dalam akta PPJB sudah terpenuhi. Dalam tesis ini membahas tentang akta PPJB bertingkat atau akta PPJB berulang yang dibuat oleh Notaris atas sebidang tanah berdasarkan Hak Milik atas tanah Hak Pakai bekas Gogolan tidak tetap berdasarkan Kutipan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor I/Agr/117/XI/HM/01.G/1970 tertanggal 4 Nopember tahun 1970 atau tanah yang belum bersertipikat apakah akta PPJB bertingkat tersebut bertentangan dengan konsep jual beli dalam hukum tanah dan akibat hukum dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membuat AJB berdasarkan akta PPJB bertingkat.Kata Kunci: PPJB Bertingkat; PPJB Berulang; Bukti Hak Lama.


Notaire ◽  
2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 285
Author(s):  
Raden Ajeng Cendikia Aurelie Maharani

In the Marriage Agreement to bind the third party, then the marriage agreement must meet the principle of publicity, that is, by registered or recorded. Registration of marriage agreement for Muslims at KUA Kecamatan / PPN LN, while for non-Muslims are recorded at the Department of Population and Civil Registration. One of the conditions for recording a marriage agreement is the marriage agreement act. The form of marriage agreement for Muslims is regulated in Article 22 paragraph (2) Permenag RI No. 20/2019, the word “done in front of a notary” in question is an authentic act. As for non-Muslims, the form of marriage agreement is regulated in Circular Letter 472.2 / 5876 / Dukcapil which does not follow MK Decision No. 69 / PUU-XII / 2015 which states that the marriage agreement is made in the form of a Notary deed, this is stated in the first point in the circular. In the making of marriage agreements there is often a misunderstanding by making an affirmation act from a letter under hand. The result of the research obtained is that the marriage agreement made under hand and then made a affirmation act by a notary then the affirmation act does not meet the principle of publicity as determined in the Marriage Law, because in one of the conditions of validity of the marriage agreement must be registered with the registrar bind the third party until the act of affirmation of the marriage agreement does not bind the third party. This research is a study of normative juridical law with the method of Legislative approach and conceptual approach.Keywords: Affirmation Deed; Marriage Agreement; Publicity Principle.Dalam Perjanjian perkawinan agar mengikat pihak ketiga, maka perjanjian perkawinan harus memenuhi prinsip publisitas, yaitu dengan didaftarkan atau dicatatkan. Pencatatan perjanjian perkawinan bagi yang beragama Islam pada KUA Kecamatan/PPN LN, sedangkan bagi yang beragama Non-Islam dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Bentuk perjanjian perkawinan bagi yang beragama Islam diatur dalam Pasal 22 ayat (2) Permenag RI No. 20/2019 dilakukan dihadapan notaris yang dimaksud adalah akta autentik. Sedangkan bagi yang beragama non-Islam bentuk Perjanjian perkawinan diatur dalam Surat Edaran 472.2/5876/Dukcapil yang menindaklanjuti Putusan MK No. 69/PUU-XII/2015 yang menyebutkan bahwa Perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta Notaris, hal ini tercantum dalam point kesatu dalam surat edaran tersebut. Dalam pembuatan perjanjian perkawinan masih seringkali terdapat kesalahpahaman dengan dibuatkannya akta penegasan atas perjanjian perkawinan yang dibuat di bawah tangan. Adapun hasil penelitian yang diperoleh bahwa Perjanjian perkawinan yang dibuat di bawah tangan kemudian dibuatkan akta penegasan oleh notaris maka akta penegasan tersebut tidak memenuhi prinsip publisitas sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU Perkawinan, karena dalam salah satu syarat keabsahan perjanjian perkawinan harus dilakukan pendaftaran pada pegawai pencatatan perkawinan agar mengikat pihak ketiga sehingga akta penegasan perjanjian perkawinan yang tersebut tidak mengikat pihak ketiga. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.Kata Kunci: Akta Penegasan; Perjanjian Perkawinan; Prinsip Publisitas.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document