Ritornera - Jurnal Teologi Pentakosta Indonesia
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

14
(FIVE YEARS 14)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Pusat Studi Pentakosta Indonesia

2797-7676, 2797-717x

2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 61-87
Author(s):  
Sri Lina Betty Lamsihar Simorangkir ◽  
Andreas Marhain Sumarno

Abstract: The Bible is the word of God which teaches the truth by understanding it through comprehensive study. In following Jesus, believers must return to the correct understanding of materiality and wealth so as not to be trapped. In this study, it was found that living in abundance in the teachings of prosperity theology does not indicate that God's children must be prosperous and abundant in material things. This study uses qualitative methods with exposition and exegesis approaches. Thus, it can be concluded that the theological review of the concept of abundant life in the perspective of prosperity theology. First, it brings the congregation to understand the nature of Abundant Life in prosperity theology by looking at the background and teachings of Prosperity Theology. Furthermore, understanding in a comprehensive manner that a Bible review of several verses that are used as the basis for Abundant Life as a Prosperity Theology Teaching becomes an apologist who brings a new paradigm. And the last Bible review of abundance in a biblical perspective and educating believers' attitudes about wealth according to the Bible. Abstrak: Alkitab adalah firman Allah yang mengajarkan kebenaran dengan memahaminya melalui mempelajarinya secara konprihensif. Dalam mengikut Yesus, orang percaya harus kembali kepada pemahaman yang benar tentang materi dan kekayaan agar tidak terjebak. Dalam penelitian ini di dapatkan bahwa hidup berkelimpahan dalam ajaran teologi kemakmuran tidak menunjukkan bahwa anak Tuhan harus makmur dan berlimpah dalam materi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan eksposisi dan eksegesa. Demikian dapat disimpulkan bahwa tinjauan teologis konsep hidup berkelimpahan dalam perspektif teologi kemakmuran. Pertama membawa jemaat dapat mengerti hakikat Hidup berkelimpahan dalam teologi kemakmuran dengan melihat latar belakang berdiri dan Ajaran Teologi Kemakmuran. Selanjutnya memahami secara konfrernhensif bahwa tinjauan Alkitab tentang beberapa ayat yang dipergunakan sebagai dasar untuk Hidup Berkelimpahan Sebagai Ajaran Teologi Kemakmuran menjadi apologet yang membawa paradigma baru. Dan yang terakhir Tinjauan Alkitab tentang kelimpahan dalam perspektif Alkitab dan mengedukasi bagi Sikap orang percaya tentang kekayaan Menurut Alkitab.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 117-133
Author(s):  
John Henry King

Abstrak Seperti yang dikatakan oleh Pendeta David Platt, Pendeta Utama di Gereja Alkitab McLean di Washington, D.C., dengan tepat menyatakannya, “Injil adalah sumber kehidupan Kekristenan.” Di sinilah letak motif Kristen;” menyatakan Dewan Misionaris 1928, “sederhana. Kita tidak bisa hidup tanpa Kristus dan kita tidak tahan memikirkan manusia yang hidup tanpa Dia.” Bagi Dr. Platt tantangannya adalah “bagaimana menghidupi Injil itu dalam kehidupan kita, keluarga, dan gereja di zaman kebingungan seksual, aborsi legal, materialisme yang merajalela, rasisme yang kejam, meningkatnya krisis pengungsi, berkurangnya kebebasan beragama, dan sejumlah masalah sosial penting lainnya.” Dalam karyanya “From Christendom to Apostolic Mission” Uskup Kagan, Uskup Bismarck, North Dakota, melihat perlunya Gereja sekali lagi mengenakan jubah misionaris karena kita tidak lagi hidup dalam budaya kristen. Stanley Hauerwas, seorang teolog, ahli etika Amerika, dalam karyanya, "The Christian Difference, or Surviving Postmodernism," menyebut karya kita "perjuangan hidup dan mati dengan dunia." …menambahkan: “Saya pikir adalah kesalahan serius untuk tidak menganggap serius postmodernisme.” Hauerwas melihat orang-orang percaya sebagai “komunitas di pengasingan.” (Postmodernisme adalah intelektualisme yang melelahkan dunia yang tidak lagi memandang kehidupan dalam kerangka prinsip-prinsip absolut atau universal. Mereka melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa semua pemikiran sama-sama relevan (bahwa tidak ada batasan, tidak ada aturan, tidak ada hierarki, tidak ada realitas objektif). dan semua fakta hanyalah 'konstruksi sosial.') Seperti yang ditulis Dr. Platt, “Sebagai pengikut Kristus, kita membodohi diri sendiri jika kita tidak menghadapi kenyataan bahwa kepercayaan dan ketaatan kepada Alkitab di zaman anti-Kristen pasti akan membawa risiko dalam keluarga, masa depan, hubungan seseorang. , reputasi, karier, dan kenyamanan di dunia ini.” Dunia menaruh kepercayaan mereka pada kemajuan evolusioner bukan pada Tuhan. Menurut Kejadian 1 Tuhan adalah Pencipta kita yang pertama. Kreasionisme tidak memiliki kesamaan dengan teori evolusi. Teori evolusi menunjukkan bahwa kita sedang menuju dunia utopis di mana "survival of the fittest" adalah proses alami meninggalkan yang terbaik dari yang terbaik, bukan pemeliharaan ilahi yang merencanakan untuk mengakhiri dosa dan korupsi. Pemikiran postmodern dan teori evolusi menentang apa yang dimaksud dengan eskatologi Kristen. Allah sebagai Pencipta kita menciptakan kita, untuk kemuliaan-Nya. Jika ini tidak benar, Roma 3:23 akan menjadi omong kosong, karena kita tidak dapat mengabaikan hubungan yang menurut postmodernisme materialistis tidak ada. Dosa dan penghakiman Tuhan sekarang diejek oleh doktrin bahwa pengetahuan, kebenaran, dan moralitas hanya ada dalam kaitannya dengan budaya. Susunan Kristen telah digantikan dengan realitas materialistis. Kami, dalam kebenaran sederhana, misionaris untuk perubahan budaya. Apologet Kristen J. F. Baldwin mengakui pentingnya kehidupan yang heroik dan dipenuhi Roh, sebagai argumen paling kuat yang memberi isyarat kepada orang-orang yang tidak percaya kepada iman. “Manusia modern lebih bersedia mendengarkan saksi daripada guru,” Paus Paulus Keenam mengamati. Kita sekarang, sebagai Peter, harus menyelesaikan masalah ini di dalam hati kita. Upaya untuk membungkam kita harus gagal. Ketika sampai pada pesan Injil tentang Salib, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29) Abstract As Pastor David Platt, Lead Pastor at McLean Bible Church in Washington, D.C., so aptly states it, “The Gospel is the lifeblood of Christianity.” Herein lies the Christian motive;” states the 1928 Missionary Council, “it is simple. We cannot live without Christ and we cannot bear to think of men living without Him.” To Dr. Platt the challenge is “how to live out that gospel in our lives, families, and churches in an age of sexual confusion, legal abortion, rampant materialism, violent racism, escalating refugee crises, diminishing religious liberties, and a number of other significant social issues.” In his work “From Christendom to Apostolic Mission” Bishop Kagan, the Bishop of Bismarck, North Dakota, sees the necessity for the Church to once again don the mantle of the missionary since we are no longer living in a christian culture. Stanley Hauerwas, an American theologian, ethicist, in his work, “The Christian Difference, or Surviving Postmodernism,” called ours ”a life and death struggle with the world.” …adding: “I think it is a serious mistake not to take postmodernism seriously.” Hauerwas saw believers as “a community-in-exile.” (Postmodernism is a world-weary intellectualism that no longer views life in terms of absolutes or universal principles. They go so far as to say that all thought is equally relevant (that there are no boundaries, no rules, no hierarchies, no objective reality and all facts are just ‘social constructs.’) As Dr. Platt writes, “As followers of Christ, we are fooling ourselves if we don’t face the reality that belief in and obedience to the Bible in an anti-Christian age will inevitably lead to risk in one’s family, future, relationships, reputation, career, and comfort in this world.” The world puts their faith in an evolutionary progress not in God. According to Genesis 1 God is first our Creator. Creationism has nothing in common with evolutionary theory. Evolutionary theory suggests we are heading toward a utopian world where “survival of the fittest” is a natural process leaving the best of the best instead of a divine providence that plans an end to sin and corruption. Postmodern thought and evolutionary theory counters what Christian eschatology is all about. God as our Creator made us, for His glory. If this were untrue, Romans 3:23 would be nonsense, since we cannot fall short of a relationship that a materialistic postmodernism says doesn’t exist. Sin and God’s judgment is now mocked by the doctrine that knowledge, truth, and morality only exist in relation to culture. Christendom has been replaced with a materialistic reality. We are, in simple truth, missionaries to cultural change. Christian apologist J. F. Baldwin recognizes the importance of heroic, Spirit-filled living, as the most powerful argument beckoning nonbelievers to the faith. “Modern man listens more willingly to witnesses than to teachers,” Pope Paul the Sixth observed. We now, as Peter, must settle the matter in our hearts. The effort to silence us must fail. When it comes to the Gospel message of the Cross, “ We must obey God rather than people” (Acts 5:29)


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 37-60
Author(s):  
Stefanus Agus Budi Yanto ◽  
Paulus Kunto Baskoro

The life of a believer is a process that continues until the end of his life. Because believe in the Lord Jesus, everyone faces a process to live a more beautiful life in Christ. Living like Jesus is the ultimate goal for every believer. But many are faound in the lives of believers, their lives are not optimal in following Jesus. Even though they have been to church for a long time and have even served, many Christians when facing life’s challenges, struggles, problems and suffering, are quicker to grumble and leave the Lord Jesus. This ia a sign of the spiritual immaturity of the believer. Not because believres do not understand, but not serious in following Jesus. In order to obtain accurate and accountable data, in this study the authors used the method of writing is Frist, to provide an understanding to every believer that perseverance is one the characteristics of spiritual maturity; Second, perseverance will make every believer experience a strong spiritual life process; Third, today’s beliavers can be witnesses for everyone who is facing life’s challenges. Kehidupan orang percaya merupakan proses yang terus berjalan sampai akhir hidupnya. Sebab percaya Tuhan Yesus, setiap orang menghadapi proses untuk hidup makin indah dalam Kristus. Hidup menjadi serupa dengan Yesus adalah tujuan utama bagi setiap orang percaya. Namun banyak ditemukan dalam kehidupan orang percaya, hidupnya tidak maksimal dalam mengikuti Yesus. Meskipun sudah lama ke gereja bahkan sudah melayani, namun banyak orang Kristen ketika menghadapi tantangan hidup, pergumulan, persoalan dan menderita, lebih cepat bersunggut-sungut dan meninggalkan Tuhan Yesus. Ini adalah sebuah tanda ketidakdewasaan rohani orang percaya. Bukan karena orang percaya tidak memahami, namun ketidakseriusan dalam mengikut Yesus. Untuk mendapatkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan deskriptif literatur. Tujuan penulisan ini adalah Pertama, memberikan pemahaman kepada setiap orang percaya bahwa ketekunan adalah salah satu ciri kedewasaan rohanit; Kedua, ketekunan akan membuat setiap orang percaya mengalami proses hidup rohani yang kuat; Ketiga, orang percaya masa kini bisa menjadi saksi bagi setiap orang yang sedang menghadapi tantangan hidup.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 134-145
Author(s):  
Yakub Hendrawan Perangin Angin ◽  
Tri Astuti Yeniretnowati

Dr. Rick Warren adalah Gembala pendiri Gereja Saddleback di California dengan anggota jemaat 30.000 dan pengajar di berbagai kampus seperti Oxford, Cambridge, Harvard, University of Judaism. Buku ini sudah terjual lebih dari 32 juta dan merupakan Bestselling Author disematkan oleh #1 New York Times. Di Indonesia diterbitkan oleh Immanuel, Jakarta di tahun 2021 dengan cetakan 15, jumlah halaman 419. Dengan lisensi lebih dari 85 bahasa, The Purpose Driven Life memandu pembaca untuk menjalani perjalanan rohani selama 42 hari yang akan mengantar pada tiga isu yang terpenting dalam kehidupan seorang Kristen, yaitu: Pertama, Mengapa aku hidup?. Kedua, Apakah hidupku penting?. Ketiga, Untuk apa aku ada di dunia ini?. Buku ini sangat relevan bagi orang yang terus mencari jawaban untuk apa tujuan hidup selama menumpang di bumi ini, terlebih pada siatuasi kondisi masa pandemic Covid-19 ini, bagi orang yang merindukan jawaban arti makna hidupnya setelah membaca buku ini paling tidak akan mendapatkan lima manfaat, yaitu: Pertama, Akan mendapatkan penjelasan arti dari hidup. Kedua, Akan mendapat tuntunan bahwa hidup ini sederhana. Ketiga, Akan membuat hidup menjadi fokus yang benar. Keempat, Akan membuat hidup dijalani dengan semakin termotivasi. Kelima, Akan membantu orang percaya untuk memasuki kekekalan yaitu kehidupan yang finishing well. Dr. Rick Warren is the founding Pastor of Saddleback Church in California with a congregation of 30,000 members and teaches at various campuses such as Oxford, Cambridge, Harvard, University of Judaism. The book has sold over 32 million copies and is the #1 New York Times Bestselling Author. In Indonesia, published by Immanuel, Jakarta in 2021 with concrete 15, the number of pages 419. With licenses of more than 85 languages, The Purpose Driven Life guides readers to undergo a spiritual journey for 42 days that will lead to the three most important issues in the life of a Christian, namely: First, Why am I alive?. Second, is it important?. Third, why am I in this world? This book is very relevant for people who continue to look for answers to what is the purpose of living while on this earth, first in the current situation of the Covid-19 pandemic, for people whose answers to the meaning of life after reading this book will at least get five benefits, namely : First, Will get an explanation of the meaning of life. Second, Will get guidance that life is simple. Third, Will make life the right focus. Fourth, Will be a life lived by sales. Fifth, Will help believers to enter eternity i.e. a well-finished life.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 13-36
Author(s):  
Yonatan Alex Arifianto

Abstract: Evangelism as a means of bringing people together with God through testimony or example must continue to be echoed. However, there are many different paradigms and concepts of evangelism. Moreover, churches and believers are reluctant to do evangelism because they do not consider it their duty and responsibility. Indeed, believers do not escape the actualization of the mandate of the Great Commission of the Lord Jesus in preaching the gospel to humans. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that the study of mission theology in Romans 10:13-15 on the actualization of Christian missions studied through exegesis can be concluded, First, evangelism must be carried out as part of the actualization of the mandate of the Great Commission by giving oneself to preach the news to others so that People who don't know Jesus can hear salvation only in Jesus. Second, the task of the believer is continued as a person who continues to preach by listening and proclaiming the gospel of salvation for humans. The three churches or leaders are obliged to send messengers of evangelists for the sake of saving souls. Abstrak:Penginjilan sebagai sarana mempertemukan manusia dengan Tuhan lewat kesaksian ataupun keteladannan harus terus digaungkan. Namun banyaknya perbedaan paradigma dan konsep pengijilan. Terlebih gereja maupun orang percaya enggan melakukan penginjilan karena bukan mengangap bahwa tugas dan tanggung jawabnya. Sejatinya orang percaya tidak luput dari aktualisasi mandat Amanat Agung Tuhan Yesus dalam melakukan pemberitaan Injil kepada manusia. Mengunakan meotode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi literature bahwa kajian Teologi misi dalam Roma 10:13-15 terhadap aktualisasi misi Kristen yang dikaji melalui eksegesa dapat disimpulkan, Pertama Penginjilan harus terus dilakukan sebabgai bagian aktualisasi mandat Amanat Agung dengan memberi diri untuk memberitakan kabar bagi sesama sehingga orang yang belum mengenal Yesus dapat mendengar keslematan hanya didalam Yesus. Kedua, Tugas orang percaya dilanjutkan sebagai pribadi yang terus menerus melakukan pemberitaan dengan Memperdengarkan dan memberitakan Injil keselamatan bagi manusia. Ketiga Gereja atau pemimpin wajib mengirimkan utusan Pemberita Injil demi jiwa jiwa diselamatkan.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
John P. Lathrop

Abstrak Apa yang menyebabkan orang-orang Pentakosta melakukan hal-hal yang mereka lakukan? Apa yang memotivasi mereka? Mengapa mereka melayani dengan cara yang mereka lakukan? Ini semua adalah pertanyaan bagus yang pantas mendapatkan jawaban. Untungnya, Alkitab memberi kita beberapa wawasan tentang hal-hal ini. Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi praktik Pentakosta adalah pola pikir Pentakosta. Artikel ini akan berfokus terutama pada satu bagian Alkitab yang akan membantu pembaca dalam memahami pikiran Pentakosta. Kita akan melihat pengalaman orang Kristen abad pertama di kota Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 4:23-31. Abstract What causes Pentecostals to do the things they do? What motivates them? Why do they minister in the ways that they do? These are all good questions that deserve answers. Fortunately, the Bible supplies us with some insight into these matters. One of the key factors that impacts Pentecostal practice is the Pentecostal mindset. This article will focus primarily on one biblical passage that will help the reader in understanding the Pentecostal mind. We will be looking at the experience of the first-century Christians in the city of Jerusalem in Acts 4:23-31.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 88-116
Author(s):  
Fati Aro Zega

Abstrak: Gambaran kebejadan dan apostasi manusia itu terlihat dengan jelas di dalam Kitab Hakim-hakim. Kitab ini menjadi catatan sejarah dan metafora tentang tendensi di setiap zaman dan setiap generasi terhadap fenomena apostasi. Apostasi terjadi bukan karena tidak mengakui adanya Tuhan tetapi memercayai sesuatu selain Tuhan. Ternyata satu-satunya yang dipelajari dari sejarah adalah tidak mempelajari sejarah. Mengunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi literatur didapatkan kesimpulan bahwa dosa kemurtadan membuat semua prestasi manusia sia-sia. Semua hasil kerja keras tidak dapat dinikmati. Dosa merampas apa pun yang diperoleh. Bahkan akan mendatangkan bencana kemanusiaan, sampai mereka bertobat. Tetapi, jika mereka sungguh-sungguh bertobat, mencari Tuhan, dan berdoa memohon belas kasihan-Nya, maka sesuai dengan wahyu di Kitab Hakim-hakim, Tuhan akan mendatangkan kelegaan, kesembuhan. Hakim yang definitf, Yesus Krustus, akan turun tangan mengatasi apa pun yang tidak bisa dilakukan manusia. Prinsip penting yang muncul dalam Kitab Hakim-hakim sebagai sebuah kebenaran alkitabiah, “dosa apostasi mengasilkan sengsara, doa dan pertobatan melahirkan kesejahteraan. Allah di tambah ketaatan akan mengasilkan kuasa, kasih karunia Tuhan lebih besar dari segala dosa. Abstract: The description of human depravity and apostasy can be seen clearly in the Book of Judges. This book is a historical record and a metaphor for the tendency in every age and every generation to the phenomenon of apostasy. Apostasy occurs not because of not acknowledging the existence of God but believing in something other than God. It turns out that the only thing to learn from history is not to study history. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it is concluded that the sin of apostasy makes all human achievements in vain. All the results of hard work cannot be enjoyed. Sin takes whatever is gained. It will even bring disaster to humanity, until they repent. However, if they truly repent, seek God, and pray for His mercy, then according to the revelation in the Book of Judges, God will bring relief, healing. The definitive Judge, Jesus Christ, will intervene in anything that humans cannot do. An important principle that appears in the Book of Judges as a biblical truth, “the sin of apostasy produces suffering, prayer and repentance beget prosperity. God plus obedience will produce power, God's grace is greater than all sin.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 1-9
Author(s):  
John Henry King
Keyword(s):  

Tiga ribu saksi tertusuk dalam hati mereka oleh Roh pada hari pertama itu sementara Petrus berbicara tentang peristiwa-peristiwa tetapi tujuh minggu sebelumnya. Pentakosta Alkitabiah adalah kisah Gereja yang dibakar oleh nyala api yang turun dari surga, dinyalakan pada hari Pentakosta dan yang tidak dapat padam. Itu telah berkobar sepanjang sejarah, mungkin kadang-kadang berkedip sangat rendah, tetapi selalu, dihembuskan oleh penganiayaan sampai berkobar terang seperti pada awalnya. Ini adalah kisah tentang Roh yang melayang-layang, menciptakan, bekerja di dalam dan di antara umat-Nya seperti dulu ketika Dia menciptakan langit dan bumi.Three thousand witnesses were pricked in their hearts by the Spirit that first day while Peter spoke of events but seven weeks earlier. Biblical Pentecost is the story of the Church set ablaze by a flame descending from heaven, ignited at Pentecost, and which could not be extinguished. It has blazed throughout history, perhaps at times flickering alarmingly low, but always, fanned by persecution until it raged brightly as at the beginning. This is the story of the Spirit hovering, creating, working in and among His people as once before when He created the heavens and the earth.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 78-80
Author(s):  
John P. Lathrop

News of spiritual stirrings in the Christian church attract attention. Believers around the world are encouraged by such reports. These accounts hold out the hope that it can happen in other places and may prompt some to pray for just such a divine visitation. In the later part of the twentieth century Indonesia was the setting for one of these moves of God. A number of people have written about this revival, George W. Peters is one of them. In his book, Indonesia Revival Focus On Timor, he looks at the factors that he believes contributed to it as well as its strengths and weaknesses.Berita tentang gejolak rohani di gereja Kristen menarik perhatian. Orang-orang percaya di seluruh dunia didorong oleh laporan semacam itu. Kisah-kisah ini memberikan harapan bahwa hal itu dapat terjadi di tempat lain dan mungkin mendorong beberapa orang untuk berdoa untuk kunjungan ilahi seperti itu. Di bagian akhir abad kedua puluh, Indonesia adalah tempat untuk salah satu gerakan Tuhan ini. Sejumlah orang telah menulis tentang kebangkitan ini, George W. Peters adalah salah satunya. Dalam bukunya, Indonesia Revival Focus On Timor, ia melihat faktor-faktor yang menurutnya berkontribusi terhadapnya serta kekuatan dan kelemahannya.


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 21-36
Author(s):  
Yakub Hendrawan Perangin Angin ◽  
Tri Astuti Yeniretnowati

The question of what it means to be baptized with the Holy Spirit and how it happens, has created many great dividing lines and even endless debates from the past until now among Christians. Also the debate regarding the time and way of being baptized in the Holy Spirit also often becomes a polemic at the time of repentance or after? To answer this problem, this research was carried out using a qualitative method with a library approach, namely by collecting information from various textbooks and journals, then the researchers analyzed the concept of baptism and the concept of the baptism of the Holy Spirit as a conceptual framework that can provide a theological frame for how the baptism of the Holy Spirit is carried out. in Pentecostal Theology and its implications for believers. The conclusion of this study is how the implications of the baptism of the Holy Spirit which are agreed upon and experienced by people who believe in the Lord Jesus Christ increasingly give power and a very strong commitment to service for believers in their devotion to God.Pertanyaan tentang arti dibaptis dengan Roh Kudus dan bagaimana hal itu terjadi, sudah banyak membuat garis pemisah besar bahkan perdebatan yang tiada ujung dari dulu sampai saat ini di kalangan umat kristiani. Juga perdebatan terkait waktu dan cara seseorang dibaptis Roh Kudus juga sering kali menjadi polemik saat bertobat atau setelahnya?. Untuk menjawab permasalah ini maka dilakukan tinjauan pustaka, yaitu dengan cara menganalisis tentang konsep baptisan dan konsep baptisan Roh Kudus sebagai sebuah kerangka konsep yang dapat memberikan bingkai teologis bagaimana baptisan Roh Kudus dalam Teologi Pentakosta dan implikasinya bagi orang percaya. Implikasi dari baptisan Roh Kudus yang diamini dan dialami orang percaya semakin memberi kuasa dan komitmen pelayanan yang sangat kuat bagi orang percaya dalam pengabdiannya kepada Allah.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document