JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

211
(FIVE YEARS 52)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Institute Of Research And Community Services Diponegoro University (Lppm Undip)

2089-970x, 2337-5124

2021 ◽  
Vol 13 (3) ◽  
pp. 153-164
Author(s):  
Widya Istanto Nurcahyo ◽  
Ari Kurniawan ◽  
Yulia Wahyu Villyastuti ◽  
Taufik Eko Nugroho ◽  
Satrio Adi Wicaksono ◽  
...  

Latar belakang:Postoperative cognitive dysfunction atau POCD adalah gangguan fungsi kognitif akibat inflamasi pasca prosedur pembedahan. Angka kejadian POCD pasca pembedahan kardiak lebih tinggi dibandingkan pembedahan non-kardiak. POCD diduga diakibatkan oleh respons inflamasi sistemik. Prokalsitonin menjadi salah satu mediator inflamasi yang berperan terhadap peningkatan risiko inflamasi saat operasi yang memicu kejadian POCD pascaoperasi ganti katup jantung. Inflamasi disebabkan oleh pelepasan protein fase akut yaitu prokalsitonin dan sitokin proinflamasi lainnya yang menyebabkan terganggunya sawar darah otak dan mengganggu neurotransmisi sehingga terjadi POCD.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pada pasien yang menjalani operasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi.Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani operasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Juni 2020- Desember 2020. Sampel penelitian sebanyak 19 subjek didapatkan dengan teknik consecutive sampling. Pada subjek penelitian dilakukan pengukuran kadar serum prokalsitonin sebelum pembedahan dan hari pertama pasca pembedahan, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan montreal cognitive assessment-indonesia (MoCA INA) pada hari ketiga pasca pembedahan. Data dianalisis dengan uji korelasi spearman.Hasil: Dari 19 subjek penelitian, terdapat 13 responden (68,4%) yang mengalami POCD. Rerata peningkatan prokalsitonin pada pasien POCD adalah 5,22 dengan standar deviasi 12,50 sedangkan peningkatan prokalsitonin pada pasien non POCD adalah 0,21 dengan standar deviasi 0,45. Berdasarkan uji korelasi spearman, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar prokalsitonin terhadap POCD pascaoperasi ganti katup jantung (p=0,004).Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pascaoperasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi.


2021 ◽  
Vol 13 (3) ◽  
pp. 174-182
Author(s):  
Purwoko Purwoko ◽  
Chairi Rusydi ◽  
Rizki Fitria Febrianti

Latar belakang: Megacolon congenital atau hirschprung disease merupakan penyebab umum obstruksi usus neonatal di mana segmen dari saluran usus bagian distal tidak memiliki elemen sistem saraf enterik yang normal. Transanal endorecral pull-through (TAERPT) merupakan salah satu prosedur operasi sebagai tatalaksana megacolon congenital yang sering dipakai karena metodenya yang invasif minimal dan memberikan efek kosmetik yang lebih baik daripada metode transabdominal.Kasus: Kami melaporkan seorang anak perempuan usia 1 tahun dengan berat badan 9,2 kg dengan megacolon congenital, patent ductus arteriosus (PDA) 0,3 cm dan TR mild yang akan menjalani prosedur TAERPT. Pemeriksaan fisik preoperatif didapatkan pasien sadar dan aktif, tanda vital lain dalam batas normal, SpO2 95-97% dalam posisi supine. Pemeriksaan fisik lain dan laboratorium dalam batas normal.Pembahasan: Tujuan anestesi selama tindakan pada pasien dengan kelainan jantung bawaan asianotik PDA adalah menjaga keseimbangan aliran agar tidak terjadi peningkatan aliran darah pulmonal yang menyebabkan hipertensi pulmonal. Pilihan obat dan tindakan anestesi pada pediatri didasarkan pada anatomi, fisiologi, dan farmakologi pada anak yang berbeda dengan pasien dewasa.Kesimpulan: Pengelolaan perioperatif pasien dengan PDA yang menjalani TAERPT pada anak perempuan usia 1 tahun dalam laporan ini menuliskan pentingnya pemahaman terkait patofisiologis penyakit dan pendekatan anestesi pediatri untuk mendapat hasil yang baik.


2021 ◽  
Vol 13 (3) ◽  
pp. 165-173
Author(s):  
Madonna Damayanthie Datu ◽  
Jokevin Prasetyadhi

Latar belakang:Nyeri pascaoperasi payudara dapat memperburuk keluaran klinis jika tidak ditangani dengan optimal. Modalitas analgesia yang biasa digunakan untuk nyeri pascaoperasi payudara meliputi pemberian opioid dan anestesi regional. Namun, kedua modalitas ini dapat menimbulkan efek samping atau komplikasi yang signifikan. Blok serratus anterior plane (SAP) merupakan prosedur baru yang relatif lebih mudah dilakukan dan aman bila dibandingkan dengan modalitas lainnya.Kasus: Kami melaporkan 2 pasien yang menjalani prosedur blok SAP pada operasi modified radical mastectomy (MRM). Pasien 2 diberikan rescue analgesia selama masa intraoperatif. Pemberian opioid pascaoperasi tidak melebihi 24 jam pada kedua pasien. Penilaian nyeri menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) menunjukkan nyeri pascaoperatif yang minimal. Tidak ada efek samping yang ditemukan selama masa pemantauan 24 jam.Pembahasan: Blok SAP relatif mudah dilakukan, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dan komplikasi minimal jika dibandingkan dengan prosedur lain. Blok SAP memberikan efek analgesia pada thoraks bagian lateral yang dapat bertahan hingga 12 jam pascaoperasi. Studi-studi terdahulu telah melaporkan kegunaannya dalam mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dan pascaoperatif, yang sesuai dengan hasil yang ditemukan pada laporan kasus ini.Kesimpulan: Blok SAP dapat menjadi salah satu modalitas yang efektif dan aman dalam mengelola nyeri pasien yang menjalani operasi MRM.


2021 ◽  
Vol 13 (3) ◽  
pp. 1-9
Author(s):  
Bhimo Priambodo ◽  
Mohammad Sofyan Harahap ◽  
Taufik Eko Nugroho

Latar Belakang: Imunitas bawaan adalah lini pertahanan pertama dan mengacu pada mekanisme perlindungan yang ada bahkan sebelum adanya luka / infeksi. Komponen yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan imunitas antara lain sitokin (IL-6) dan neutrofil. Anestesi umum dapat diberikan dengan menggunakan anestesi inhalasi, obat intravena, atau sebagian besar sering kombinasi keduanya. Semua bentuk obat anestesi ini dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan memberikan efek pada imunitas bawaan.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh sevofluran dan propofol terhadap sistem imun dinilai dari kadar IL-6 dan neutrofil pada operasi bedah saraf.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental terhadap 34 subjek (17 subjek kelompok sevofluran dan 17 subjek kelompok propofol) yang menjalani operasi kraniotomi yang memenuhi kriteria penelitian. Kelompok I (17 subjek) menggunakan sevofluran 1 minimum alveolar concentration (MAC) dan kelompok II (17 subjek) menggunakan propofol maintenance infusion 100 μg/kg/menit. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar IL-6 dan neutrofil saat sebelum operasi dan 2 jam setelah insisi operasi. Data dianalisa secara statistik menggunakan Wilcoxon dan Mann-Whitney test, dianggap bermakna bila p < 0,05.Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar neutrofil pada kelompok sevofluran sebesar 0,02 ± 7,54 % dibanding kadar awal (berbeda tidak bermakna p= 0,205) sedangkan pada kelompok propofol didapatkan peningkatan kadar neutrofil sebesar 5,07 ± 7,01% dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,002). Pada perbandingan selisih kedua kelompok didapatkan perbedaan kadar neutrofil yang bermakna (p=0,003). Kadar IL-6 pada kelompok sevofluran didapatkan peningkatan sebesar 4,86 ± 6,87 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,017) dan pada kelompok propofol juga didapatkan peningkatan sebesar 15,87 ± 16,12 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=<0,001). Pada perbandingan selisih kedua kelompok didapatkan perbedaan kadar IL-6 yang bermakna (p=0,009).Kesimpulan: Sevofluran lebih menurunkan kadar IL-6 dan jumlah neutrofil dibandingkan dengan propofol pada operasi kraniotomi.


2021 ◽  
Vol 13 (3) ◽  
pp. 183-191
Author(s):  
Ahmad Feza Fadhlurrahman ◽  
Rudy Vitraludyono ◽  
Taufiq Agus Siswagama ◽  
Arie Zainul Fatoni

Latar belakang: Pasien kritis dengan infeksi coronavirus disease 2019 (COVID-19) memiliki kecenderungan untuk perawatan ventilasi mekanik dalam waktu yang lama. Perawatan dengan translaryngeal intubasi dalam waktu lama beserta penggunaan sedasi dan tindakan lainnya di intensive care unit (ICU) dapat memunculkan beberapa komplikasi lebih lanjut.Kasus: Pasien perempuan pascaoperasi sectio caesaria dengan gagal napas akibat infeksi COVID-19.  Pasien mendapat support high flow nasal canule (HFNC) di awal perawatan di ICU. 4 hari perawatan, kondisi distress napas pasien memberat dan dilakukan intubasi translaryngeal. Dari evaluasi kondisi pasien selama 4 hari perawatan dengan ventilasi mekanik, tim ICU memutuskan melakukan tracheostomy melalui pendekatan dilatasi perkutan. Prosedur dilakukan di ruang bertekanan negatif dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) level 3. Kondisi pasien berangsur mengalami perbaikan selama 7 hari perawatan dengan tracheostomy. Support ventilasi yang minimal, kebutuhan fraksi oksigen yg menurun dan perbaikan kondisi umum menjadi pertimbangan dilakukan dekanulasi. 3 hari pasca dekanulasi pasien dipindah rawat ke ruangan dengan kondisi stabil.Selama perawatan di ICU, pasien mendapat standar terapi berupa antiviral, antibiotik, antikoagulan, analgesik, steroid, dan obat penunjang lainnya.Pembahasan: Tindakan tracheostomy berhubungan dengan insiden pneumonia yang lebih rendah, penurunan penggunaan obat sedasi dan percepatan masa lepas rawat dari ventilasi mekanik. Early tracheostomy dilakukan sebelum hari ke-10 intubasi. Teknik dilatasi perkutan memiliki kelebihan atas efektifitas dan efisiensi biaya dan alat pendukung. Tindakan percutaneous dilatational tracheostomy (PDT) pada pasien COVID-19 harus dilakukan dengan proteksi tenaga medis yang optimal.Kesimpulan: Early tracheostomy dapat dipertimbangkan dalam tatalaksana pasien kritis COVID-19. Penilaian kondisi klinis pasien dan proteksi tenaga medis merupakan faktor utama menentukan tindakan early tracheostomy pada pasien COVID-19.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 134-143
Author(s):  
Sonny Lesmana Surya ◽  
Yudi Hadinata

Cardiopulmonary bypass (CPB) merupakan alat penunjang fungsi sirkulasi dan pernapasan pasien yang biasa digunakan ketika menjalani pembedahan jantung atau pembuluh darah besar. Selama prosedur CPB, kondisi hipotermia dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan oksigen dan laju metabolisme. Kondisi hipotermia akan mempengaruhi keseimbangan asam-basa pada tubuh. Manajemen asam-basa selama prosedur CPB dicapai dengan menggunakan metode a-stat atau pH-stat. Pada metode a-stat, manajemen asam-basa dilakukan dengan menjaga pHa 7.4 dan PaCO2 40 mmHg pada suhu 37oC tanpa penambahan CO2 oksigen untuk menjaga total CO2 tetap konstan. Sedangkan, pada metode pH-stat, diberikan CO2 oksigen untuk menjaga PaCO2 40 mmHg dan pHa 7.4 secara in vivo. Masih banyak perdebatan terkait waktu penerapan masing-masing metode. Pada level mikrosirkulasi, manajemen a-stat terbukti memberikan keuntungan pada otak dan mengurangi insidensi postoperative cerebral dysfunction. Sedangkan, metode pH-stat dilaporkan meningkatkan risiko emboli otak, sehingga tidak disarankan untuk pasien yang memiliki risiko tinggi gangguan aliran darah otak. Namun, terdapat pula laporan yang menyatakan pH-stat bermanfaat pada operasi bedah jantung anak. Berdasarkan hal itu, usia pasien dapat menentukan waktu penggunaan metode a-stat dan pH-stat. Satu indikasi primer penggunaan pH-stat adalah selama proses pendinginan saat deep hypothermic circulatory arrest (DHCA), sedangkan metode a-stat lebih baik digunakan selama selective cerebral perfusion (SCP) dan rewarming.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 114-124
Author(s):  
Andi Taufik Amiruddin ◽  
Haizah Nurdin ◽  
Syafri Kamsul Arif ◽  
Andi Muhammad Takdir Musba ◽  
Andi Salahuddin ◽  
...  

Latar Belakang: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan penyebaran dari coronavirus disease 2019 (COVID-19). Faktor risiko terhadap mortalitas pasien COVID-19 rawat intensive care unit (ICU) belum banyak diteliti.Tujuan: Mengetahui hubungan penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko lainnya terhadap mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia.Metode: Penelitian retrospektif dilakukan di ICU Infection Centre RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada April – Agustus 2020. Sampel penelitian adalah data pasien COVID-19 dengan pneumonia yang dirawat di ICU. Pasien dibagi ke dalam dua kelompok survivor grup (SG) dan non-survivor (NSG). Variabel penelitian berupa penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko yang didapatkan dari rekam medis pasien. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap semua variabel penelitian.Hasil: Dari 92 pasien didapatkan 46 NSG dan 46 SG. Perbandingan jenis kelamin dan indeks massa tubuh antara kedua kelompok tidak signifikan bermakna secara statistik. Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik pada level c-reactive protein (CRP) antara kelompok NSG dengan median 91,1 (IQR 32,3-200,45) dan SG 88,95 (IQR 33,50-177,80), p= 0,899. Faktor risiko usia tua, diabetes mellitus (DM), dan peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) berdasarkan klasifikasi cut-off signifikan secara statistik pada mortalitas antar kedua kelompok.  Pada NSG didapatkan median usia 60,5 (IQR 53-67,25) vs SG 56 (IQR 35-61,25), p= 0.02. Komorbid DM SG 8 dari 46 pasien (17,4%) dan NSG 17 dari 46 pasien (37%), p = 0,035. Pemeriksaan kadar RNL berdasarkan klasifikasi cut-off > 3,4 NSG 42 dari 46 pasien (91,3%) dan NS 11 dari 46 (23,9%), p= 0,048.  Analisis multivariat regresi logistik didapatkan rasio P/F merupakan faktor risiko independen. Mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia (OR 0,99 95% CI 0,988-1,00, p = 0,043).  Kesimpulan: Umur di atas 60 tahun, DM, RNL, dan indeks oksigenasi bermakna secara signifikan terhadap kejadian mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia, dimana pada indeks oksigenasi yang rendah didapatkan kejadian mortalitas yang tinggi.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 125-133
Author(s):  
Iradewi Karseno ◽  
Reza Sudjud

Latar Belakang: Penggantian lebih dari satu katup jantung digolongkan sebagai operasi risiko tinggi dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi penggantian satu katup jantung.Kasus: Seorang wanita usia 35 tahun dengan stenosis katup aorta berat, regurgitasi katup aorta moderat dan stenosis katup mitral berat disertai atrial fibrilasi menjalani operasi double-valve replacement. Komplikasi yang ditemukan di intensive care unit (ICU) berupa perdarahan yang signifikan, fibrilasi atrial, cedera ginjal akut dan perdarahan intrakranial.Pembahasan: Komplikasi yang mungkin ditemukan setelah penggantian dua katup jantung meliputi koagulopati, cedera ginjal akut, aritmia dan gangguan serebrovaskular. Koagulopati dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan dan instabilitas hemodinamik sehingga harus diberikan tatalaksana yang tepat. Aritmia dapat disebabkan oleh imbalans elektrolit. Cedera ginjal akut sering ditemukan pascaoperasi jantung terbuka dan sebaiknya dilakukan hemodialisis sesegera mungkin.  Tatalaksana gangguan serebrovaskular dapat bersifat konservatif atau operasi. Keputusan tatalaksana gangguan serebrovaskular harus disesuaikan menurut kondisi klinis pasien.Kesimpulan: Deteksi dini dan tatalaksana yang cepat dan tepat sangatlah penting untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pascaoperasi yang signifikan.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 67-77
Author(s):  
Wilesing Gumelar ◽  
Hamzah Hamzah ◽  
Christijogo Sumartono

Background: Inadequate management of intraoperative pain poses a risk of postoperative chronic pain complications. The use of preemptive analgesia before the onset of surgical incision stimulation was considered to prevent central sensitization. Clinical research around the terms of preemptive analgesia needs to be proven by nociception-based intraoperative monitoring. An objective modality with EEG guidance can provide information on noxious stimuli.Objective: To determine the effectiveness of ketamine and fentanyl administration as preemptive analgesia measured by qNOX scores through the CONOX tool.Methods: This study is a single-blinded randomized experiment with the division of two groups: control and treatment. The control group received preemptive fentanyl, and the treatment group received preemptive ketamine and fentanyl. Then the qNOX score was assessed during operation.Result: The qNOX score of the treatment group in minute-15 and 30 was lower than the control group (p = 0.007; p = 0.025), while in the minute-90 it was higher than the control group (p = 0.001). The mean first 1-hour qNOX score was lower in the treatment group (p <0.001), while in the second 1-hour was higher in the treatment group (p = 0.003). The mean total dose of fentanyl supplementation in the treatment group was lower than in the control group (71.3 ± 25.1 grams vs. 92.0 ± 28.3 grams; p = 0.044).Conclusion: The administration of combined ketamine and fentanyl as preemptive analgesia is more effective in the first hour of surgery compared to single preemptive fentanyl measured by qNOX score. Preemptive ketamine and fentanyl decrease the total dose of intraoperative fentanyl supplementation compared with single-dose preemptive fentanyl administration.


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 88-98
Author(s):  
Buyung Hartiyo Laksono ◽  
Arie Zainul Fatoni ◽  
Vilda Prasastri Yuwono ◽  
Aswoco Andyk Asmoro

Latar belakang: Pengukuran central venous pressure (CVP) merupakan salah satu metode guiding deresusitasi pada pasien dengan kasus tertentu. Kenaikan nilai CVP 1 mmHg dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian acute kidney injury (AKI). Namun sebagai sebuah metode yang invasif, pemasangan CVP memiliki risiko yang perlu diperhatikan. Di sisilain, pengukuran diameter dan indeks IVC yang bermuara di atrium kanan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) non-invasif dinilai mampu untuk memprediksi nilai CVP pada pasien. Namun beberapa penelitian hubungan antara CVP dengan diameter dan indeks IVC memberikan hasil yang kontroversial.Tujuan: Penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai CVP dengan diameter dan indeks IVC.Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional pada 30 pasien yang dilakukan ventilasi mekanik dan pemasangan CVC di unit perawatan intensif. Parameter CVP, diameter minimum dan maksimum inferior vein cava (IVC mak, IVC min), distensibillity index (DI-index), dan aortacaval index (Cava/Ao index) diukur. Data dianalisis menggunakan uji korelasi pada SPPS 18.0 (p<0.05).Hasil: Didapatkan korelasi signifikan antara CVP dan semua variabel yang diuji (IVC mak, IVC min, DI-index, dan Cava/Ao index) (p<0.05), dengan korelasi terkuat antara CVP dan IVC min (R= 0,908). Korelasi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.Kesimpulan: Parameter IVC min, IVC mak, Cava/Ao- index, dan DI-index signifikan berkorelasi kuat dengan CVP. Korelasi terjadi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document