Prevalence and Temporal Trends of Hepatitis B, Hepatitis C, and HIV/AIDS Co-infection During Pregnancy Across the Decade, 1998–2007

2012 ◽  
Vol 21 (1) ◽  
pp. 66-72 ◽  
Author(s):  
Hamisu M. Salihu ◽  
Laura Connell ◽  
Jason L. Salemi ◽  
Euna M. August ◽  
Hanna E. Weldeselasse ◽  
...  
2019 ◽  
Vol 14 (12) ◽  
pp. 791-798
Author(s):  
Ivailo Alexiev ◽  
Elitsa Golkocheva-Markova ◽  
Asya Kostadinova ◽  
Reneta Dimitrova ◽  
Lora Nikolova ◽  
...  

Aim: To evaluate hepatitis B virus (HBV) and hepatitis C virus (HCV) among individuals with HIV/AIDS in Bulgaria diagnosed between 2010 and 2015. Materials & methods: A total of 1158 individuals were diagnosed with HIV/AIDS during the study period. Different transmission groups were tested with ELISA and real-time PCR for HBV and HCV markers. Results: Hepatitis B surface antigen and hepatitis C virus antiboby were found in 9.3 and 23.2% of the tested. HBV DNA and HCV RNA has been found in 47.4 and 69.6%. Hepatitis B and C co-infections were predominant in multiple risk behavior groups, including people who inject drugs, men who have sex with men, prisoners and Roma individuals. Conclusion: HIV prevalence in Bulgaria is low but the rates of hepatitis B and C co-infections among these patients fall within the upper range reported in Europe.


2020 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
Author(s):  
Songxia Yu ◽  
Chengbo Yu ◽  
Jian Li ◽  
Shiming Liu ◽  
Haowen Wang ◽  
...  

2020 ◽  
Author(s):  
Bintang Marsondang Rambe

Latar Belakang Rumah sakit merupakan tempat kerja serta tempat berkumpulnya orang-orang sehat baik petugas, pengunjung dan orang-orang sakit (pasien) sehingga rumah sakit merupakan tempat kerja yang mempunyai risiko tinggi terhadap kesehatan maupun penyakit akibat kecelakaan kerja, dan juga karena kontak dengan agen penyakit menular, dengan darah dan cairan tubuh maupun tertusuk jarum, instrumen tajam yang dapat berperan sebagai tranmisi berbagai penyakit, seperti hepatitis B, HIV/AIDS, dan juga potensial sebagai media penularan penyakit yang lain (Sudarmo et al ., 2016).Berdasarkan hasil laporan National Safety Council menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan kerja di Rumah Sakit 41% lebih besar dari pekerja industri lainnya. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, tergores, dan penyakit infeksi. Salah satu penelitian yang dilakukan di RS Cianjur menyebutkan bahwa jumlah perawat yang mengalami luka tusuk jarum dan benda tajam lainnya cukup tinggi yaitu sebanyak 61,34%. Petugas kesehatan berisiko terpajan penularan penyakit infeksi melalui blood borne pada kecelakaan tertusuk jarum seperti infeksi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C (Putri et al ., 2017).Alat perlindungan diri (APD) adalah alat yang digunakan petugas kesehatan untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan, peralatan APD yang digunakan petugas kesehatan untuk melindungi diri selama bekerja termasuk pakaian yang harus di pakai pada saat bekerja seperti, pelindung kepala (helmet), sarung tangan (gloves), pelindung mata (eye protection), pelindung muka (face shield), pakaian yang bersifat reflektive, sepatu, pelindung pendengaran (hearing proctection) dan pelindung pernafasan (masker) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2012).Menurut World Health Organization (WHO) penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting untuk melindungi mukosa - mulut, hidung dan mata dari tetesan dan cairan yang terkontaminasi. Mengingat bahwa tangan dikenal untuk mengirimkan patogen ke bagian lain dari tubuh ataupun individu lainnya. Kebersihan tangan dan sarung tangan sangat penting baik untuk melindungi pekerja kesehatan dan untuk mencegah penularan kepada orang lain. Penutup wajah, pelindung kaki, gaun atau baju, dan penutup kepala yang juga dianggap penting untuk mencegah penularan ke petugas kesehatan.Namun, penelitian Zubaidah et al. (2015) menyatakan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat masih dikategorikan kurang dalam pelaksanaan dan penerapannya. Hal ini menunjukkan bahwa sikap perawat dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) masih kurang, ditunjukkan dengan sikap negatif sebanyak 53,30%. Menunjukkan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) perawat tidak signifikan yang ditunjukkan dengan mayoritas responden yang memiliki perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang kurang patuh berjumlah 44 perawat (52,4%).Berdasarkan masalah dan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan literature review terkait faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat terhadap penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD).


2019 ◽  
Vol 41 (1) ◽  
pp. 15-23 ◽  
Author(s):  
Behzad Dehghani ◽  
Ali Dehghani ◽  
Jamal Sarvari

Globally, high-risk illnesses including Hepatitis B, Hepatitis C, and human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) are major health problems causing considerable impact on health systems. Knowledge and awareness are very important factors for controlling these illnesses in society. Regarding the transmission routes of these viruses, young people are at the highest risk of infection. Therefore, our objectives were to determine the college students’ awareness of hepatitis B virus (HBV), hepatitis C virus (HCV), and HIV/AIDS with regard to basic information, transmission, and prevention. A total of 810 students from 7 universities, from September to March 2017, were included in the study. All participants were categorized into three groups (medical, biology, and other fields). The subjects were evaluated by a standardized questionnaire and results analyzed in SPSS software using the χ2 test. In total, 43% of respondents were male and the majority of them were 20 to 25 years old. Our results showed the suitable level of awareness about HBV and remarkable about HIV. In contrast, insufficient level of awareness was indicated about HCV. Given the low levels of awareness or knowledge about HCV, it can be suggested that educational programs for this important disease are necessary especially for university students. On the other hand, high awareness of participants about HBV and HIV/AIDS might be the results of the proper functioning of educational programs for students in Iran.


2020 ◽  
Author(s):  
Lidya Andriani Sihombing
Keyword(s):  

Rumah sakit sebagai tempat kerja mempunyai risiko bahaya kesehatan dan keselamatan kerja baik yang terjadi langsung terhadap pekerja, pasien dan pengunjung pasien. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit atau bagian dari rumah sakit yang tugasnya bertanggung jawab terhadap pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit. Upaya pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi potensi risiko yang ada. Risiko bahaya yang dapat teridentifikasi adalah bahaya biologi, fisika, kimia, dan psikososial.Menurut pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI (2015) tentang situasi kesehatan kerja tahun 2015, Jumlah kasus kecelakaan akibat kerja yang terjadi antara tahun 2011-2014 adalah sebesar 92.453 kasus dengan jumlah kasus paling tinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 35.917 kasus. Sedangkan data untuk kasus penyakit yang terjadi akibat kerja antara tahun 2011-2014 adalah 57.929 kasus tahun 2011, 60.322 kasus tahun 2012, 97.144 kasus tahun 2013, dan 40.694 kasus pada tahun 2014. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa situasi kesehatan kerja di Indonesia masih belum baik. Salah satu tempat kerja yang beresiko adalah Rumah Sakit, hal ini karena rumah sakit memiliki potensi terjadinya penyakit infeksi terhadap para karyawan, pasien, bahkan pengunjung. Beberapa contoh penyakit infeksi yang dapat terjadi di Rumah Sakit adalah TB, Hepatitis B, Hepatitis C, dan bahkan berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Selain penyakit-penyakit infeksi, di rumah sakit juga memiliki risiko atau bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, seperti kecelakaan (meliputi kejadian ledakan, kebakaran, kecelakaan yang diakibatkan adanya masalah pada instalasi listrik, serta faktor-faktor yang dapat menimbulkan cidera lainnya), radiasi, paparan bahan kimia beracun dan berbahaya, gas-gas, anastesi, gangguan terkait psikis dan ergonomi.Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas dapat mengganggu dan menimbulkan rasa kurang aman dan nyaman bagi pekerja di RS, pasien maupun pengunjung yang ada di lingkungan RS. (KEPMENKES N0.432 Tahun 2007.


2015 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 16-20
Author(s):  
Fuying Guo ◽  
Lingzhou Yang

Abstract Hepatitis B virus (HBV), hepatitis C virus (HCV), and human immunodeficiency virus (HIV) involve similar transmission routes, namely, blood, sexual contact, and mother-baby contact. Therefore, HIV infection is usually accompanied by HBV and HCV infections. This observation poses a great challenge to the prevention and treatment of HIV/human acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) accompanied by HBV and HCV infection. Highly active antiretroviral therapy (HAART) has been extensively applied. Hence, liverrelated diseases have become the main causes of complication and death in HIV-infected individuals. This paper summarizes the current epidemiology, mutual influence, and treatment of HIV/AIDS accompanied by HBV or HCV infection.


2017 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
pp. 126
Author(s):  
Joyce Bratanata ◽  
Rino Alvani Gani ◽  
Teguh Haryono Karjadi

Pendahuluan. Infeksi hati kronik merupakan penyebab penting morbiditas serta mortalitas di antara penderita HIV positif pada pemakaian highly active antiretroviral therapies (HAART). Penyakit hati kronik dapat terjadi mulai dari infeksi tersamar sampai karsinoma hepatoselular. Kejadian VHB tersamar sering ditemukan pada pasien dengan kondisi imunosupresi seperti HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi hepatitis B tersamar, hitung CD4+, transmisi IVDU, proporsi hepatitis C dan proporsi anti-HBc yang positif pada koinfeksi hepatitis B tersamar pada pasien HIV/AIDS di RSCM.Metode. Studi potong-lintang dilakukan pada pasien HIV yang berobat di Pokdisus dan ruang rawat inap RSCM dengan pengambilan sampel secara consecutive. Kriteria inklusi adalah pasien HIV dengan hasil HBsAg negatif dan belum pernah mendapat terapi antiretroviral. Subjek dengan hasil HBsAg negatif dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-HBc, anti-HCV dan HBV DNA dengan teknik double step (nested) polymerase chain reaction (PCR) secara kualitatif dengan sensitifitas mencapai 102 kopi genom per mililiter serum. Ekstraksi HBV DNA menggunakan High Pure Viral Nucleic Acid Kit ® (Roche Diagnostics). Primers yang digunakan pada nested PCR berasal dari HBV-DNA S gene. Amplifikasi nested PCR dilakukan sebanyak dua putaran.Hasil. Selama bulan Desember 2008 – Januari 2009 diperoleh 58 subjek HIV. Pada akhir penelitian didapatkan 57 pasien memenuhi kriteria inklusi (68,4% laki-laki, usia 26-35 tahun sebanyak 68,4%, penularan HIV/AIDS melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama 42,1%, hubungan seks 36,8%, dan keduanya 21,1%) dilakukan evaluasi adanya hepatitis B tersamar. Proporsi anti-HBc positif pada penderita HIV sangat tinggi (91,2%). Proporsi hepatitis B tersamar didapatkan pada 5 dari 57 subjek (8,8%). Proporsi hepatitis B tersamar lebih banyak didapatkan pada subjek dengan hitung CD4+ < 200 sel/μL (80%), risiko penularan IVDU (60%) dan hasil anti-HBc positif (80%). Proporsi koinfeksi hepatitis C dengan hepatitis B tersamar relatif lebih sedikit yaitu 40%.Simpulan. Proporsi hepatitis B tersamar didapatkan 8,8%. Proporsi hepatitis B tersamar lebih banyak didapatkan pada subjek dengan hitung CD4+ < 200 sel/μL (80%), risiko penularan IVDU (60%) dan hasil anti-HBc positif (80%). Proporsi koinfeksi hepatitis C dengan hepatitis B tersamar relatif lebih sedikit yaitu 40%. Keterbatasan penelitian ini adalah sensitivitas dari metoda PCR yang digunakan untuk mendeteksi DNA VHB dan dilakukan hanya satu kali pada setiap subjek. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sensitivitas PCR yang lebih tinggi dan jumlah sampel yang memadai untuk menentukan karakteristik dan hubungan berbagai faktor dengan kejadian infeksi virus hepatitis B tersamar pada pasien HIV.


2008 ◽  
Vol 26 (2) ◽  
pp. 196 ◽  
Author(s):  
A Mahajan ◽  
VR Tandon ◽  
S Verma ◽  
JB Singh ◽  
M Sharma

2017 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 23
Author(s):  
Lies Luthariana ◽  
Teguh H. Karjadi ◽  
Irsan Hasan ◽  
C. Martin Rumende

Pendahuluan. Hepatotoksisitas imbas antituberkulosis (OAT) banyak didapatkan pada pasien HIV/AIDS. Beberapa faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas obat seperti alkoholisme, infeksi hepatitis B maupun C, abnormalitas transaminase, status gizi kurang, penggunaan beberapa obat hepatotoksik secara bersamaan, banyak didapatkan pada pasien-pasien tersebut. Dengan karakteristik pasien HIV/AIDS yang berbeda dengan di negara lain maka diperlukan penelitian tersendiri tentang risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien tersebut di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV.Metode. Desain penelitian ini adalah studi retrospektif kasus-kontrol dengan matching usia, jenis kelamin, regimen OAT dan konsumsi alkohol. Faktor risiko yang diteliti adalah koinfeksi hepatitis C, hepatitis B, konsumsi obat hepatotoksik lainnya, dan abnormalitas nilai awal SGPT dan atau billirubin total.Hasil. Pada penelitian ini diperoleh 33 kasus dan 33 kontrol. Proporsi subjek dengan koinfeksi hepatitis C sebesar 82% pada kasus dan 76% pada kontrol, sedangkan proporsi subjek dengan koinfeksi hepatitis B sebesar 18% pada kasus dan 6% pada kontrol. Subjek dengan nilai SGPT awal meningkat didapatkan pada kelompok kasus sebesar 51,5% dan pada kontrol sebesar 12%. Sementara itu, proporsi subjek yang menggunakan obat hepatotoksik lainnya sebesar 54,5% pada kasus dan 42,4% pada kontrol. Pada analisis bivariat, hanya nilai SGPT awal yang meningkat yang berhubungan dengan kejadian hepatotoksisitas imbas OAT (OR=7,5; IK95% 1,72-32,80; p < 0,05).Simpulan. Nilai SGPT awal yang meningkat dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV/AIDS sebesar 7,5 kali. Tidak didapatkan hubungan koinfeksi hepatitis C, hepatitis B dan penggunaan obat hepatotoksik lainnya dengan kejadian hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV/AIDS.Kata Kunci: hepatotoksisitas imbas OAT, HIV/AIDS, tuberkulosis Risk Factors of Antituberculosis Induced-Hepatotoxicity among HIV/AIDS PatientsIntroduction. Antituberculosis (ATT) induced hepatotoxicity is commonly found among HIV/AIDS patients. Several risk factor related to drug-induced hepatotoxicity such as alcoholism, hepatitis B or hepatitis C infection, abnormal baseline aminotransferase/bilirubin, poor nutritional status and concomitant hepatotoxic drugs consumption, are usually found in these patients. This study was conducted to evaluate risk factor of ATT-induced hepatotoxicity in HIV/AIDS patients. Methods. This is a case control retrospective study with matching of age, sex, antituberculosis regimen, and alcohol consumption. Risk factors evaluated are hepatitis C and hepatitis B coinfection, concomitant hepatotoxic drugs consumption, abnormal baseline aminotransferase and or bilirubin.Results. We collected data of 33 cases and 33 controls We found 82% subjects in case group and 76% subjects in control group have hepatitis C coinfection; 18% subjects in case group and 6% subjects in control group have hepatitis B coinfection. Fifty four point five percent (54.5%) subjects in case group and 42.4% subjects in control group consume other hepatotoxic drugs. Elevated baseline ALT level was found in 51.5% subjects in case group and 12% subject in control group. Bivariate analysis showed that the risk of hepatotoxicity was higher in patients with elevated baseline ALT level (OR=7.5; 95% CI 1,7232,80; p < 0,05).Conclusions. Elevated baseline ALT level will increase antituberculosis drug induce hepatotoxicity risk up to 7.5 times. There were no association between hepatitis C, hepatitis B, concomitant hepatotoxic drugs consumption and antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in HIV/AIDS patients.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document