scholarly journals Pengaruh Ketorolac Dan Parecoxib Terhadap Ekspresi Sel T CD4+ Di Jaringan Luka Pada Tikus Wistar

2014 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
Author(s):  
Kurniaji Kurniaji ◽  
Dedy Fachrian ◽  
Witjaksono Witjaksono
Keyword(s):  
Cox 2 ◽  

Latar Belakang : Sel T CD4+ berperan dalam penyembuhan luka karena memproduksi sitokin dan faktor pertumbuhan. Nyeri pasca bedah dapat berpengaruh serius terhadap pemulihan pasien dan penyembuhan luka yang tertunda. Ketorolac dan parecoxib secara poten menghambat COX-1 dan COX-2 dengan potensi yang berbeda.Tujuan : Mengetahui perbedaan skor histologi sel T CD4+ di jaringan sekitar luka insisi pada tikus Wistar yang mendapatkan ketorolac dibandingkan parecoxib dengan dosis sebanding.Metode : Penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only design dilakukan pada 20 ekor tikus wistar jantan yang diinsisi subkutan sepanjang 2 cm pada punggungnya dan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan secara acak. Kelompok 1 (K1) dan Kelompok 2 (K2) masing-masing mendapatkan injeksi ketorolac dan parecoxib IM dengan dosis yang sebanding dosis manusia 30 mg/6 jam dan 40 mg/12 jam. Potongan jaringan diambil pada hari ketiga dan kelima pasca perlakuan untuk dilakukan pemeriksaan immunohistokimia sel T CD4+. Data ekspresi sel T CD4+ dianalisis dengan uji beda One-way ANOVA dan dilanjutkan dengan analisis Post Hoc.Hasil : Rerata skor histologi sel T CD4+ lebih tinggi pada kelompok yang mendapakan injeksi parecoxib IM dibandingkan ketorolac IM baik pada hari ketiga (8,36 ± 0,805 vs 7,28 ± 0,228, p=0,009) ataupun hari kelima (9,12 ± 0,672 vs 7,68 ± 0,415; p=0,001) pasca insisi. Skor tersebut tidak berbeda secara signifikan pada hari ketiga dan kelima dalam satu kelompok yang sama (p=0,288 dan p=0,053 masing-masing pada K1 dan K2).Kesimpulan : Skor histologi sel T CD4+ di jaringan sekitar luka yang mendapatkan injeksi parecoxib IM secara signifikan lebih tinggi dibandingkan injeksi ketorolac IM.

2019 ◽  
Vol 11 (1) ◽  
pp. 19
Author(s):  
Taufik Eko Nugroho ◽  
Datu Abdul Rahman Hakim ◽  
Hari Hendriarto Satoto

Latar Belakang: Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang memiliki kemampuan untuk mengatasi nyeri, sehingga dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri pasca bedah. Ketorolak dan deksketoprofen merupakan OAINS bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim siklooksigenase (COX) baik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) maupun enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sehingga sintesis dari prostaglandin (PG) juga terhambat. PG khususnya Prostlagandin E2 (PGE2) sebenarnya merupakan zat yang bersifat protektor untuk mukosa saluran cerna atas. Hambatan sintesis PG akan mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi akut mukosa lambung bentuk ringan sampai berat.10Tujuan: Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 14 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing- masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wistar yang diberi luka incisi. Kelompok I mendapat deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam selama 5 hari dan Kelompok II mendapat ketorolak dengan dosis 0,54mg intramuskuler tiap 8 jam selama 5 hari. Setelah itu dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan lambung dan dianalisis gambaran histopatologinya. Uji statistik normalitas data dengan menggunakan Saphiro wilk, uji beda dengan menggunakan Independent T Test.Hasil: Dari hasil uji Independent T Test didapatkan nilai p antara kelompok I terhadap kelompok II P = 0,029 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok IIKesimpulan: Terdapat perubahan gambaran histopatologis lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak, dimana perubahan gambaran histopatologi lambung tikus wistar pada pemberian deksketoprofen lebih sedikit dibandingkan dengan ketorolak.


2014 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
Author(s):  
Jerry Ferdinand ◽  
Nur Hajriya Brahmani ◽  
Himawan Sasongko

Latar Bekakang: Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) berperan dalam mengendalikan inflamasi melalui inhibisi COX 1 dan COX 2.Ketorolak merupakan salah satu non selektif inhibitor COX yang sudah luas penggunaannya. Parecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif yang lebih baru.Ketorolak dan parecoxib sebagai analgesik yang sering dipakai eliminasi metabolitnya di ginjal.Pada batas-batas tertentu ginjal tidak dapat melakukan fungsinya dalam eliminasi obat sehingga menyebabkan cedera sel ginjal, terutama daerah tubulus proksimal. Perubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran mikroskopis cedera sel yang dapat meliputi reaksi inflamasi, degenerasi, nekrosis bahkan fibrosis.Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak dan parecoxib intramuscular terhadap gambaran histopatogi tubulus proksimal ginjal tikus wistar.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 3 kelompok secara acak masing- masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wistar yangdiberi luka incisi.Kelompok kontrol (I) tidak mendapat ketorolak dan parecoxib,Kelompok I (K) mendapat ketorolak dengan dosis 0,54mg IM tiap 8 jam, Kelompok II (P) mendapat parecoxib 0,72mg IMtiap 12 jam selama 5 hari dan dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan ginjal.Analisa statistik data tidak normal menggunakan uji statistik Kruskal Wallis lalu dilanjutkan dengan uji statistik Mann-Whitney.Hasil: Nilai p antara kelompok I terhadap kelompok K = 0,002, terdapat perbedaan bermakna antara I dan K, nilai p antara kelompok I dan kelompok P = 0,007 terdapat perbedaan bermakna antara I dan P, sedangkan nilai p antara kelompok K dan P = 0,002 maka terdapat perbedaan bermakna antara K dan P.Kesimpulan: Ketorolak lebih merusak ginjal secara gambaran histopatologi tubulus proksimal dibandingkan dengan kontrol dan parecoxib. 


2018 ◽  
Vol 13 (1) ◽  
pp. 45
Author(s):  
Mira Wiji Lestari ◽  
Dr Isbandiah ◽  
Annisa Hasanah

Pengaruh Ekstrak Biji Anggur (Vitis vinivera) var Alphonso lavallee Terhadap Fungsi Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus) Model Hiperurisemia.Latar Belakang : Prevalensi hiperurisemia di Indonesia sebesar 18% populasi. Hiperurisemia dapat menyebabkan terjadinya disfungsi ginjal.Kreatinin merupakan salah satu parameter untuk mengukur fungsi ginjal.Terjadinya disfungsi ginjal dapat dicegah menggunakan biji anggur var Alphonso lavallee.Biji anggur ini memiliki kandungan polifenol tinggi terutama proanthocyanidin, flavonoid, dan resveratrol yang berfungsi sebagai antiinflamasi, antioksidan, inhibisi COX-2, dan meningkatkan produksi NO.Tujuan:Mengetahui pengaruh ekstrak biji anggur var Alphonso lavallee terhadap fungsi ginjal mencit jantan (Mus musculus) model hiperurisemia.Metode : Eksperimental, The Post Test Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 30 ekor mencit jantan yang dibagi menjadi 5 kelompok diantaranya kelompok kontrol -, kontrol + , dam 3 kelompok perlakuan. Semua kelompok kecuali kontrol – diinduksi dengan kalium oksonat 250 mg/kg/hari dan 3 kelompok perlakuan diberi ekstrak biji anggur var Alphonso lavallee dengan dosis 3.5 mg/ekor mencit/hari, 7 mg/ekor mencit/hari, dan 14 mg/ekor mencit/hari peroral selama 7 hari. Kreatinin serum diukur menggunakan spektrofotometer untuk menilai fungsi ginjal mencit.Analisis data menggunakan uji One way ANOVA, post hoc bonferroni, dan uji regresi.Hasil Penelitian : Ekstrak biji anggur var Alphonso lavallee dapat menurunkan kadar kreatinin serum secara signifikan dengan p < 0.001 pada dosis mulai dari 7 mg/ekor mencit/hari.Kesimpulan : Ekstrak biji anggur var Alphonso lavallee berpengaruh dalam mencegah terjadinya kerusakan fungsi ginjal pada mencit hiperurisemia. Kata kunci : Biji anggur var Alphonso lavallee, polifenol, fungsi ginjal, kalium oksonat


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 112
Author(s):  
MENTARI AMENDA SAPUTRI ◽  
HERIN SETIANINGSIH

<p class="Default">Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Gaya hidup masyarakat terutama dalam mengkonsumsi diet yang tidak sehat dapat meningkatkan kadar LDL yang dapat menyebabkan  penyakit kardiovaskular. Rumput laut merah (<em>Kappaphycus alvarezii</em>)<em> </em>yang banyak dibudidayakan di Indonesia mengandung flavonoid dan triterpenoid yang diduga dapat menurunkan kadar LDL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rumput laut merah (<em>Kappaphycus alvarezii</em>) <em> </em>terhadap kadar LDL pada tikus putih (<em>Rattus norvegicus</em>) jantan galur Wistar yang diberi diet tinggi lemak. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni laboratorik dengan rancangan penelitian <em>Post Test Control Group Design. </em>Sampel yang digunakan adalah 24 ekor tikus putih (<em>Rattus norvegicus</em>) jantan galur Wistar yang dibagi ke dalam tiga kelompok: kelompok yang diberi diet standar selama 28 hari (K1), kelompok yang diberi diet tinggi lemak selama 28 hari (K2), dan kelompok yang diberi diet tinggi lemak selama 28 hari dan pada hari ke-15 sampai hari ke-28 diberi ekstrak rumput laut merah (<em>Kappaphycus alvarezii</em>) dengan dosis 140mg/200grBB/hari (K3). Hasil analisis statistik <em>One Way Anova </em>menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar LDL yang signifikan antara ketiga kelompok pada penelitian ini (p&lt;0,001). Kadar LDL pada K2 (=16,00±3,29) meningkat secara bermakna dibandingkan dengan K1 (=10,62±1,77). Sedangkan kadar LDL pada K3 (=6,88±2,42) menurun secara bermakna dibandingkan dengan K2. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak rumput laut merah (<em>Kappaphycus alvarezii</em>) berpengaruh terhadap kadar LDL darah pada tikus putih (<em>Rattus norvegicus</em>) jantan galur Wistar yang diberi diet tinggi lemak.</p><p><strong>Kata kunci</strong> : diet tinggi lemak, LDL, <em>Kappaphycus alvarezii</em></p>


2020 ◽  
Vol 17 ◽  
Author(s):  
Deepak Kumar Singh ◽  
Mayank Kulshreshtha ◽  
Yogesh Kumar ◽  
Pooja A Chawla ◽  
Akash Ved ◽  
...  

Background: The pyrazolines give the reactions of aliphatic derivatives, resembling unsaturated compounds in their behavior towards permanganate and nascent hydrogen. This nucleus has been associated with various biological activities including inflammatory. Thiazolinone is a heterocyclic compound that contains both sulfur and nitrogen atom with a carbonyl group in their structure.Thiazolinone and their derivatives have attracted continuing interest because of their various biological activities, such as anti-inflammatory, antimicrobial, anti-proliferative, antiviral, anticonvulsant etc. The aim of the research was to club pyrazoline nucleus with thiazolinone in order to have significantanti-inflammatory activity. The synthesized compounds were chemically characterized for the establishment of their chemical structures and to evaluate as anti-inflammatory agent. Method: In the present work, eight derivatives of substituted pyrazoline (PT1-PT8) were synthesized by a three step reaction.The compounds were subjected to spectral analysis by Infrared, Mass and Nuclear magnetic resonance spectroscopy and elemental analysis data. All the synthesized were evaluated for their in vivo anti-inflammatory activity. The synthesized derivatives were evaluated for their affinity towards target COX-1 and COX-2, using indomethacin as the reference compound molecular docking visualization through AutoDock Vina. Results: Compounds PT-1, PT-3, PT-4 and PT-8 exhibited significant anti-inflammatory activity at 3rd hour being 50.7%, 54.3%, 52.3% and 57% respectively closer to that of the standard drug indomethacin (61.9%).From selected anti-inflammatory targets, the synthesized derivatives exhibited better interaction with COX-1 and COX-2 receptor, where indomethacin showed docking score of -6.5 kJ/mol, compound PT-1 exhibited highest docking score of -9.1 kJ/mol for COX-1 and compound PT-8 having docking score of 9.4 kJ/mol for COX-2. Conclusion: It was concluded that synthesized derivatives have more interaction with COX-2 receptors in comparison to the COX-1 receptors because the docking score with COX-2 receptors were very good. It is concluded that the synthesized derivatives (PT-1 to PT-8) are potent COX-2 inhibitors.


2007 ◽  
Vol 559 (2-3) ◽  
pp. 210-218 ◽  
Author(s):  
Masashi Nakano ◽  
Naoyuki Denda ◽  
Misako Matsumoto ◽  
Michiko Kawamura ◽  
Yasuaki Kawakubo ◽  
...  
Keyword(s):  
Cox 2 ◽  

2006 ◽  
pp. 483-485
Author(s):  
Irmgard Tegeder
Keyword(s):  
Cox 2 ◽  

2021 ◽  
pp. 153537022110124
Author(s):  
Burak Yazgan ◽  
Filiz Avcı ◽  
Gülsün Memi ◽  
Ebru Tastekin

Chronic kidney disease is a major global public health problem. The peptide hormones adropin and spexin modulate many physiological functions such as energy balance and glucose, lipid and protein metabolism. However, it is unclear whether these peptides may exert effects on renal damage, tissue remodeling, and inflammatory conditions. In view of the limited information, we aimed to investigate the effect of adropin and spexin on matrix metalloproteinase and inflammatory response genes a rat model of adenine-induced chronic kidney failure. Chronic kidney failure was induced in rats by administering adenine hemisulfate. Renal function was determined in an autoanalyzer. Histopathological modifications were assessed by H&E staining. mRNA expression levels of ALOX 15, COX 1, COX 2, IL-1β, IL-10, IL-17A, IL-18 IL-21, IL-33, KIM-1, MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-7, MMP-9, MMP-13, NGAL, TGFβ1, TIMP-1, and TNFα in kidney tissue were measured by qPCR. Our results showed an increase of 24-h urine volume, serum creatinine, BUN, and urine protein levels in group with adenine-induced CKF. Adropin and spexin treatments decreased urine protein and 24-h urine volume. Renal damage, TIMP-1, IL-33, and MMP-2 increased after CKF induction, while COX 1, MMP-9, and MMP-13 levels were significantly reduced. Furthermore, KIM-1, TIMP-1, IL-33, and MMP-2 were downregulated by spexin treatment. Renal damage, NGAL, TIMP-1 IL-17A, IL-33, MMP-2, and MMP-3 decreased after adropin treatment, while MMP-13 levels were upregulated. Treatment with adropin+spexin decreased KIM-1, NGAL, TIMP-1, IL-1β, IL-17A, IL-18, IL-33, ALOX 15, COX 1, COX 2, TGFβ1, TNFα, MMP-2, MMP-3, and MMP-7, but increased MMP-13 levels. Our findings revealed that inflammatory response and MMP genes were modulated by adropin and spexin. These peptides may have protective effects on inflammation and chronic kidney damage progression.


2006 ◽  
Vol 191 (1) ◽  
pp. 263-274 ◽  
Author(s):  
Simone Odau ◽  
Christoph Gabler ◽  
Christoph Holder ◽  
Ralf Einspanier

The aim of the present study was to investigate the enzymes for the local prostaglandin (PG) biosynthesis present in the bovine oviduct during the estrous cycle to influence early reproductive events. Bovine oviducts were classified into four phases: pre-ovulatory, post-ovulatory, early-to-mid luteal, and late luteal phase, subdivided further into ipsi- or contralateral site and separated into ampulla or isthmus. Oviductal cells were gained by flushing the oviductal regions. Quantitative real-time reverse transcriptase-PCR was performed for the secretory and cytosolic phospholipases A2 (sPLA2IB, cPLA2α, and cPLA2β) and cyclooxygenases (COX-1 and COX-2) as the first step enzymes of PG synthesis. COX-1 and cPLA2β showed significant highest mRNA expression around and before ovulation compared with the luteal phase respectively. sPLA2IB and cPLA2α mRNA expression was unregulated during the estrous cycle. Regional differences in mRNA content were found for sPLA2IB with higher mRNA expression in the ampulla than in the isthmus. Western blot analysis revealed the highest COX-1 protein content in the early-to-mid luteal phase. Immunohistochemistry demonstrated that COX-1 was localized in epithelial and smooth muscle cells, whereas COX-2 was only localized in epithelial cells. COX-2 showed a differential distribution within the epithelial cell layer suggesting a regulation on a cellular level, although the COX-2 mRNA and protein amounts did not vary throughout the estrous cycle. A COX activity assay of oviductal cells revealed that COX activity originated predominantly from COX-1 than from COX-2. Treatment of primary oviductal cells with 10 pg/ml 17β-estradiol or 10 ng/ml progesterone resulted in a higher expression of COX-2 and cPLA2α, but not of the other enzymes. The expression pattern of these enzymes suggests that an estrous-cycle dependent and region-specific PG synthesis in the bovine oviduct may be required for a successful reproduction.


2017 ◽  
Vol 10 (4) ◽  
pp. 50 ◽  
Author(s):  
Carla Fernandes ◽  
Andreia Palmeira ◽  
Inês Ramos ◽  
Carlos Carneiro ◽  
Carlos Afonso ◽  
...  

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document