scholarly journals Analisis Yuridis Konsep Omnibus Law dalam Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 1-18
Author(s):  
Nyoman Nidia Sari Hayati ◽  
Sri Warjiyati ◽  
Muwahid

ABSTRAK Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law memiliki banyak sekali peraturan perundang-undangan mulai pusat sampai daerah. Dampaknya banyak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Untuk menata peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih diperlukan adanya harmonisasi. Konsep omnibus law telah berhasil diterapkan di beberapa negara yang kebanyakan menganut sistem common law, namun Indonesia yang menganut sistem hukum civil law masih baru mengenal istilah ini. Dengan demikian permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimna konsep omnibus law dalam membangun harmonisasi perundangan dan apa saja hambatan yang dialami apabila konsep ini diterapkan di Indonesia.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Kemudian dilakukan analisis terhadap semua bahan dengan metode deskriptif. Hasil dari penilitian ini menunjukkan bahwa harmonisasi perundang-undangan sangat penting dilakukan untuk pembangunan hukum dan demi terciptanya kepastian hukum di Indonesia. Namun untuk membuat Undang-Undang dengan konsep omnibus law memerlukan kajian mendalam dan melibatkan banyak pihak demi transparansi pembentukannya dupaya tidak menimbulkan permasalahan- permasalahan dan merugikan publik.  Kata kunci: Omnibus Law, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.  

FIAT JUSTISIA ◽  
2017 ◽  
Vol 10 (4) ◽  
pp. 697
Author(s):  
Sutarman Yodo

AbstractThe differences of the legal system that patent scope protection in various countries, not only importing for new investment but determine the process of transfers of the technology of a state. Widespread protection cause transfers of technology become not easy eventhought less protection cause patent owner quit being lost. Both difference intention results in the need of comparative study on protection scope of the patent in countries. There are two problems should be explored, first what is the difference and similarity scope patent protection in the state's regulation and the second how legal system influenced to the differ occurrence? These problems used research methods that are statute approach and comparative approach, case approach, and conceptual approach. Result research found patent protection in Europe countries, United State, Japan, and Indonesia had similarity in protection requirement regulated such novelty, inventive step, and industrial applied. However, United State protection base on first to invent meanwhile other state based on first to file. Then scope of patent protection there has Germany applied the widest protection, then United State, and Japan, then Netherland. Mean England as the limited protection country. The difference patent protection is influenced by the legal system such common law that more referred to the precedent than civil law system with its codification. Germany is the only one country applied rigid codification on patent protection. Means, Indonesia formulated the of patent protection that is still limited related to the limited cases resolved in court. Keywords: Patent Right, Scope Protection, Comparative Law.AbstrakPerbedaan sistem hukum perlindungan lingkup paten di berbagai negara, tidak hanya mengimpor investasi baru namun juga menentukan proses transfer teknologi suatu negara. Perlindungan yang meluas menyebabkan transfer teknologi menjadi tidak mudah walaupun kurangnya perlindungan karena pemilik paten mengalami kerugian. Kedua perbedaan niat tersebut menghasilkan perlunya studi komparatif tentang cakupan perlindungan paten di negara-negara. Ada dua masalah yang harus dijajaki, pertama apa perbedaan dan kesamaan cakupan perlindungan paten dalam peraturan negara dan yang kedua bagaimana sistem hukum mempengaruhi kejadian yang berbeda? Masalah ini akan menggunakan metode penelitian pendekatan statuta menyeluruh dan pendekatan komparatif, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menemukan perlindungan paten di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia memiliki kesamaan dalam persyaratan proteksi yang mengatur hal baru, langkah inventif, dan penerapan industri. Namun, perlindungan di Amerika Serikat pada awalnya untuk menciptakan sementara basis negara lain berdasarkan berkas pertama. Kemudian ruang lingkup proteksi paten di sana telah ada Jerman menerapkan proteksi terluas, kemudian Amerika Serikat, dan Jepang, lalu Belanda. Berarti Inggris sebagai negara perlindungan terbatas. Perbedaan proteksi paten dipengaruhi oleh sistem hukum common law yang lebih mengacu pada precedent daripada civil law dengan kodifikasinya. Jerman adalah satu-satunya negara yang menerapkan kodifikasi yang kaku terhadap perlindungan paten. Berarti, Indonesia merumuskan cakupan proteksi paten yang masih terbatas yang terkait dengan terbatasnya kasus yang diselesaikan di pengadilan. Kata kunci: Hak Paten, Perlindungan Ruang Lingkup, Hukum Komparatif


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 164-179
Author(s):  
Khairunnisa Noor Asufie ◽  
Yulia Qamariyanti ◽  
Rachmadi Usman

A notary is a public official appointed by an authorized official who plays a role in the field of civil law. The authority of the Notary is regulated in Article 15 of Act Number 2 of 2014 concerning Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning Acts of Notary Position. Regarding the authority of the Notary as a public official (openbaar ambtenaar) who has the authority to make authentic deeds can be burdened with responsibility for the authentic deed he made. The need for legal protection for Notaries against these risks, it is necessary to have an insurance / notary position insurance as a way of transferring risk. The legal problems that occur are the absence of an insurance product / Notary position insurance and the form of insurance / notary position insurance. The purpose of this study is to identify the urgency and form of insurance / coverage of the Notary Position. Legal research conducted is normative legal research by conducting research on the legal system. Legal research conducted by the author using a legislative approach, conceptual approach, and comparative approach. The urgency of the use of insurance protection / coverage of the Notary position is an important one as a way of transferring the risks faced by Notaries and as a form of maximum legal protection for Notaries in the execution of positions. The use of insurance / coverage against the risk of implementing a Notary can be in the form of Professional insurance more specifically in the form of Notary insurance which is part of insurance / general coverage which is insurance / loss coverage in the form of new products made by insurance companies / insurance as fulfillment of insurance / insurance needs for Notary in carrying out the position of Notary


Wajah Hukum ◽  
2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Nella Octaviany Siregar

Plea Bargaining System is widely interpreted as a statement of guilt of a suspect or defendant. Plea Bargaining practised in many countries that have embraced the Common Law legal system. Plea Bargaining that was developed in the common law "legal system" has inspired the emergence of "mediation" in the practice of the judiciary based on the criminal law in the Netherlands and France, known as "transactie". Plea Bargaining is categorized as a settling outside the hearing and their users is also based on specific reasons. Even in the renewal of law criminal justice events in Indonesia, has also picked up the basic concept of plea bargaining that was adopted in the RUU KUHAP with the concept of "Jalur Khusus". That with the presence of the concept of "Jalur Khusus", is also a concern when viewed can enactment back recognition of guilt of the defendant as the basis of the judge's verdict is dropping. The purpose of this paper is to find out, analyze the plea bargaining in some countries. The type of research used is the juridical normative research, using a conceptual approach, comparative approach, historical approach.


2019 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 55
Author(s):  
Rida Halimah , ◽  
Pranoto ,

<p>Abstract<br />This article aims to determine the Comparison of the Binding Strength of Pre-Contract in Contract Laws <br />in Indonesia with Contract Laws in European Countries. This research is prescriptive normative legal <br />writing using the source of legal materials, whether in the form of primary legal materials and secondary <br />legal materials. The technique of collecting legal materials in this research is by way of literature study <br />through the collection of legislation, books, and other supporting documents. In the writing of this law, the <br />authors use case approach, comparative approach and conceptual approach and using the technique of <br />legal source analysis by syllogistic method through deductive thinking pattern. Based on the results of the <br />research that the authors did, it was found that the contract law in Indonesia related to the pre-contract <br />arrangement is still unclear while in Europe it is clearer and more assertive, Indonesia tends to still follow <br />the classical theoretical view that good faith should be applied at the stage of contract implementation, <br />countries in Europe have embraced the modern contract theory’s view that good faith must already exist <br />in the pre-contract stage. Pre-contract is not specifically regulated in Indonesian legislation, especially in <br />the Civil Code the absence of regulation on pre-contract making the binding of preband contracts vague, <br />there is a prominent difference in the jurisprudence of pre-contract. The results of this study suggest that <br />the law of Indonesia more firmly in regulating the pre-contract should refer to European countries because <br />Indonesia and Europe have in common that is the civil law law system. Thus, although Indonesia does <br />not specifically have written rules in legislation but Indonesia can expressly decide on pre-contract based <br />on the principles of justice and trust.<br />Keyword: Good Faith; Classical Theory; Modern Theory; Pre-contract.</p><p>Abstrak<br />Artikel ini bertujuan untuk mengetahui Perbandingan Kekuatan Mengikat Pra kontrak Dalam Hukum <br />Kontrak  Di  Indonesia  Dengan  Hukum  kontrak  di  Negara-negara  Eropa.  Penelitian  ini  merupakan <br />penulisan hukum normatif yang bersifat preskiptif dengan menggunakan sumber bahan-bahan hukum, <br />baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum <br />dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan melalui pengumpulan peraturan perundang-<br />undangan, buku, dan dokumen lain yang mendukung. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan <br />pendekatan  kasus,  pendekatan  komparatif  dan  pendekatan  konseptual  serta  menggunakan  teknik <br />analisis sumber hukum dengan metode silogisme melalui pola pemikiran deduktif. Berdasarkan hasil <br />penelitian yang penulis lakukan, ditemukan bahwa Hukum kontrak di Indonesia terkait pengaturan pra <br />kontrak masih belum jelas sedangkan di eropa sudah lebih jelas dan lebih tegas, Indoesia cenderung <br />masih mengikuti pandangan teori klasik bahwa itikad baik harus diterapkan pada tahap pelaksanaan <br />kontrak sedangkan pada negara-negara di Eropa sudah menganut pandangan teori kontrak modern <br />yakni itikad baik harus sudah ada pada tahap pra kontrak.. Pra kontrak tidak diatur secara khusus dalam <br />peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata <br />(KUH Perdata) tidak adanya pengaturan mengenai pra kontrak membuat kekuatan mengikat pra kontrak <br />menjadi samar, terdapat perbedaan yang menonjol dalam yurisprudensi mengenai pra kontrak. Hasil <br />penelitian ini menyarankan agar hukum Indonesia lebih tegas dalam mengatur pra kontrak sebaiknya <br />mengacu pada negara-negara Eropa karena Indonesia dan Eropa mempunyai kesamaan yakni menganut <br />sistem hukum civil law. Dengan begitu meskipun Indonesia tidak secara khusus memiliki aturan tertulis <br />dalam perundang-undangan namun Indonesia bisa secara tegas memutuskan mengenai pra kontrak <br />dengan berlandaskan asas keadilan dan kepercayaan.  <br />Kata Kunci: Itikad Baik; Teori Klasik; Teori Modern; Pra kontrak</p>


LAW REFORM ◽  
2017 ◽  
Vol 13 (1) ◽  
pp. 28
Author(s):  
Aristo Evandy A.Barlian ◽  
Barda Nawawi Arief

Substansi Buku 1 Kuhp saat ini merupakan pedoman induk dalam sistem pemidanaan di Indonesia, namun pedoman dalam perumusan pidana saat ini hanya terpaku pada ketentuan adanya tindak pidana dan kesalahan tanpa memasukan tujuan dan asas dari pemidanaan.Oleh karena itu hukum pidana saat ini dirasa kaku dan tidak berkemanusiaan dalam aplikasinya pada kasus-kasus kecil yang dipandang memerlukan keadilan sosial. Rumusan sistem induk yang tidak memilki tujuan dan asas dalam pedoman pemidanaan tidak akan melahirkan hukum yang efektif, saat ini telah hadir sebuah ide yaitu Rechterlijk Pardon sebagai salah satu konsep dalam pembaharuan pidana yang telah digunakan oleh pelbagai negara yang menerapkan civil law sistem. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ide Rechterlijk Pardon dalam tahap formulasi dan aplikasi yang ada pada saat ini dan dalam formulasi sistem induk pidana yang akan datang di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan penulis adalah penelitian hukum kualitatif normatif, yaitu dengan pendekatan perundang-undangan (statute appproach), pendekatan konseptual (conceptual approach), Pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Analisis kualitatif normatif terhadap data yang disajikan secara kuantitatif, berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif. Hasil analisa pada penelitian ini ditemukannya 6 (enam) pasal yang berkaitan dengan nilai permaafan dalam formulasi kuhp saat ini namun bukanlah nilai permaafan yang murni dan ditemukannya 5 (lima) aplikasi peradilan pidana yang telah memiliki nilai permaafan namun masih belum dapat diterapkan dengan baik karena tidak adanya formulasi permaafan dalam pidana saat ini. Diformulasikannya ide permaafan hakim “Rechterlijk Pardon” dengan memasukannya tujuan dan asas pemidanaan dalam syarat pemidanaan yaitu pada Pasal 55, 56 dan 72 RUU KUHP 2015, nantinya akan menjadikan sistem hukum pidana di Indonesia yang akan datang dapat lebih integral, fleksible, humanis, progress dan nasionalis. Disarankan kepada anggota Parlemen untuk dapat membuat dan melegitimasi rancangan perumusan sistem hukum pidana yang telah ada sampai sekarang. Mereformasi sistem hukum pidana merupakan bagian penting dalam perkembangan sistem peradilan pidana di masa depan. sistem peradilan pidana sangat membutuhkan reformasi yang signifikan seperti masuknya tujuan dan asas hukum pidana sehingga terwujudnya sistem peradilan pidana yang efektif di Indonesia.


2015 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Ratna Artha Windari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam sistem common law dan civil law, serta bentuk pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam common law system, strict liability merupakan transformasi dari pertanggungjawaban atas dasar perjanjian (contractual liability), yang sama sekali tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, sedangkan konsep pertanggungjawaban dalam civil law system keberadaan unsur kesalahan masih terkandung didalamnya, akan tetapi dilakukan pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan tersebut dari penggugat kepada tergugat (shifting the burden of proof). Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut strict liability sebagai derivasi dari pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum (tortious liability), dimana terjadi pengalihan beban pembuktian kesalahan dari konsumen kepada pelaku usaha. Kata Kunci: Strict liability, perlindungan konsumen.


2018 ◽  
Vol 22 (1) ◽  
pp. 55-85
Author(s):  
Hendrik L E Verhagen

This article critically examines the merit of the policy reasons against leapfrogging one's contractual counterparty in unjust enrichment. Where the benefit of a performance, which is rendered by someone (C) pursuant to a contract with his counterparty (T), ends up with someone (D) who is not a party to that contract, will the law of unjust enrichment then allow the performer (C) to recover that benefit directly from its recipient (D)? The utility of allowing the leapfrog arises where recovery by C from T under general rules of contract becomes impossible (mainly) due to the insolvency of T. The most important policy reasons brought forward against leapfrogging are insolvency-related. These policy reasons are assessed in this article with reference to Dutch and English cases in particular. In past decades the comparative approach has proven to be extremely fruitful for unjust enrichment. As I hope to illustrate with this contribution, also after ‘Brexit’ it will continue to be important and exciting to examine legal problems on a comparative basis in common law and civil law (and mixed) jurisdictions.


2019 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 83 ◽  
Author(s):  
Enrico Simanjuntak

Karakteristik sistem hukum common law adalah hukum yang berorientasi kepada kasus (case-law), sedangkan sistem civil law, hukum berorientasi kepada undang-undang (codified-law). Namun peraturan perundang-undangan sebagai basis legalitas hukum dalam tradisi Rechtstaats, memiliki keterbatasan tersendiri. Peraturan perundang-undangan tidak pernah mengatur secara lengkap dan detail bagaimana pemenuhan aturan hukum dalam setiap peristiwa hukum, oleh karenanya yurisprudensi lah yang akan melengkapinya. Selain untuk mengisi kekosongan hukum, yurisprudensi merupakan instrumen hukum dalam rangka menjaga kepastian hukum. Tulisan ini berusaha mengkaji kedudukan yurisprudensi dikaitkan dengan tugas dan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi, bukan sebagai penegak undang-undang. Metode analisis yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan perbandingan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam tradisi civil law. Setiap diskursus tentang yurisprudensi dalam tradisi civil law mengisyaratkan bahwa tradisi civil law mengakui hukum selain yang tertuang dalam bentuk undang-undang, juga terdapat hukum yang bersumber dari hukum hakim (judge made law) (rechtstersrecht) yang lebih dikenal dengan nama yurisprudensi (jurisprudentierecht).The characteristics of the common law legal system are case-law, whereas the civil law system, the law is codified-law. However, legislation as the basis of legal legality in the tradition of Rechtstaats, has its own limitations. Legislation never regulates in full and detail how compliance with the laws in every legal circumtances, therefore it is jurisprudence that will complement it. In addition to filling a legal vacuum, jurisprudence is a key legal instrument in order to maintain legal certainty. This paper seeks to examine the position of jurisprudence associated with the duties and functions of the Constitutional Court as a guardian of the constitution, not merely as statute enforcement. The analytical method used is a literature study with a comparative approach. The conclusion obtained in this study is that jurisprudence is an important source of law in the civil law tradition. Any discourse on jurisprudence in the civil law tradition implies that the civil law tradition recognizes law other than those contained in statutes, there is also a law that comes from judge made law (rechtstersrecht) better known as jurisprudence (jurisprudentierecht).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document