Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

35
(FIVE YEARS 6)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

2503-5134, 2502-0447

2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 69-78
Author(s):  
RHEZKA IMANIAR FITRANTO ◽  
Andri Dwi Hernawan ◽  
Mardjan Mardjan
Keyword(s):  
P Value ◽  

Berdasarkan peraturan dari Pemerintah Indonesia, pemberian vaksinasi Meningitis Meningokokus bagi calonjamaah umroh wajib dilakukan minimal 30 hari sebelum keberangkatan, hal ini dilakukan agar antibody para jamaah dapat terbentuk dengan sempurna pada saat keberangkatan umroh. Namun dalam praktiknya, proporsi jamaah umroh yang melakukan vaksinasi tidak tepat waktu di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pontianak cukup tinggi dan semakin meningkat setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan waktu vaksinasi pada calon jamaah umroh di KKP Kelas II Pontianak, penelitian dilakukan dengan desain Cross Sectional dan teknik Accidental Sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap 84 responden, yang selanjutnya dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan (p-value=0,028), sikap (p-value=0,002) dan keterpaparan informasi (p-value=0,043), serta tidakterdapat hubungan antara kondisi kesehatan (p-value=0,427) dan dukungan travel (p-value=0,283) dengan ketepatan waktu vaksinasi Meningitis Meningokokus pada calon jamaah umroh di KKP Kelas II Pontianak. Diseminasi informasi tentang pentingnya pelaksanaan vaksinasi yang tepat waktu melalui berbagai media cetak dan elektronik hendaknya dapat lebih ditingkatkan, sehingga calon jamaah umroh dapat mengetahui dan menyadari pentingnya ketepatan waktu dalam pemberian vaksinasi Meningitis Meningokokus.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 62-68
Author(s):  
Wening Widjajanti

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira dan ditularkan oleh tikus. Penyakit ini kebanyakan ditemukan di wilayah tropis dan sub tropis pada musim penghujan. Leptospirosis terjadi karena adanya interaksi yang kompleks antara pembawa penyakit, tuan rumah/pejamu dan lingkungan. Bakteri Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui luka yang ada di kulit dan mukosa tubuhnya. Manusia dengan perilaku kesehatan yang buruk berpotensi untuk terinfeksi bakteri ini. Demikian juga dengan sanitasi yang buruk mendukung terjadinya kasus leptospirosis pada manusia. Diagnosis leptospirosis dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test, Polymerase Chain Reaction, MicroscopicAgglutination Test, dan lainnya. Pengobatan leptospirosis berupa doksisiklin dan penisilin G intravena. Hemodialisis dan pemberian ventilasi pernafasan mekanis diberikan jika terjadi gagal ginjal dan perdarahan pada paru-paru. Pencegahan leptospirosis dilakukan dengan pencegahan pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan dan manusia.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 54-61
Author(s):  
Gusti Meliyanie ◽  
Nita Rahayu ◽  
Harninda Kusumaningtyas
Keyword(s):  

Beberapa upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu untuk menurunkan angka APIantara lain mass blood survey dan pengendalian malaria pada pekerja hutan di Kabupaten Tanah Bumbu. Pencegahan penyakit malaria yang telah dilakukan oleh pekerja hutan pada saat berada di lokasi belum diketahui secara jelas. Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong peneliti untuk meneliti pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap malaria pada pekerja hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perilaku pekerja hutan terhadap malaria di Desa Miing Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu. Metode penelitian menggunakan kuantitatif desain potong lintang, jenis penelitian analitik, populasinya seluruh pekerja hutan. Sampel yang dianalisa adalah bersedia diwawancarai dan diambildarahnya untuk diperiksa parasit malaria. Penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 110  responden, sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil Mass Blood Survei dari 110 slide tidak ditemukan positif malaria. Karakteristik pekerja terdiri dari 84% laki-laki, 36% berusia 15-25 tahun, tidak bersekolah 52%. Hasil wawancara pengetahuan, sikap, dan perilaku responden yang berhasil di wawancara sebanyak 25 responden, karena sebagian besar responden tidak bersedia diwawancara, hanya bersedia diambil darahnya dengan alasan masih bekerja. Sebagian besar 84% tidak tahu penyebab malaria, 80% setuju penyakit malaria itu berbahaya, 80% memilih berobat sendiri dengan ramuan tradisional. Upaya pengendalian malaria telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu melalui penemuan penderita secara dini dan pengobatan. Hasil Upaya lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pekerja tambang adalah dengan penyuluhan dan sosialisasi dan menjadikan ketua kelompok pekerja sebagai kader malaria.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 49-53
Author(s):  
Kasman Kasman ◽  
Yeni Riza ◽  
Mia Rosana

Ada beberapa cara untuk mengendalikan jentik diantaranya dengan penggunaan insektisida. Untuk mendapatkan bahan kimia yang ramah lingkungan adalah memanfaatkan potensi alam yaitu tanaman yang mengandung bioinsektisida. Salah satu tanaman yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida adalah Dioscorea hispida Dennst atau dikenal dengan nama gadung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak tanaman gadung dalam mengendalikan jentik nyamuk. Jenis penelitian yang digunakan yaitu true eksperimental dengan desain posttest only control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah jentik instar III yang tersedia di Laboratorium Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Jumlah pengulangan untuk setiap kelompok sebanyak 9 kali dan setiap pot percobaan diisi 15 jentik instar III. Setiap pos berisikan air 100 ml dengan konsentrasi ekstrak umbi dan daun gadung 0,20%. Untuk melihat perbedaan rerata kematian jentik antara kelompok intervensi dilakukan analisis Uji Kruskal Wallis. Kematian jentik terjadi pada seluruh kelompok intervensi. Kelompok intervensi yang efektif adalah ekstrak umbi gadung 0,2% karena dapat mematikan rata-rata 45% jentik selama 24 jam waktu perlakuan. Ada perbedaan yang bermakna dari ekstrak tanaman gadung terhadap kematian jentik, p value= 0,000  (0,05). Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan ekstrak tanaman yang berbeda dan berpotensi sebagai insektisida alami dalam mengendalikan jentik.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 30-39
Author(s):  
Risqa Novita
Keyword(s):  

Lingkungan memberikan kontribusi terbesar sebesar 45% terhadap status kesehatan seseorang dibandingkan faktor lainnya seperti perilaku sebesar 30%, pelayanan kesehatan sebesar 20% dan keturunan sebesar 5%. Kondisi kesehatan lingkungan di Indonesia masih rendah, yang dibuktikan dengan rendahnya pencapaian indikator kesehatan lingkungan dan masih menjadi masalah kesehatan tertinggi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Perubahan iklim menimbulkan peningkatan mosquito borne diseases terutama penyakit Limfatik Filariasis yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp, Anopheles sp, Culex sp dan Mansonia sp. Tujuan penulisan review artikel ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan iklim dengan kejadian mosquito borne diseases, terutama Limfatik Filariasis. Studi ini berupa review dari literatur di Google dan Pubmed yang dicari melalui pencarian kata kunci yaitu kesehatan lingkungan, perubahan iklim, mosquito borne diseases dan Limfatik Filariasis. Berdasarkan analisis terhadap literatur diketahui bahwa kesehatan lingkungan merupakan suatu standar yang harus dicapai untuk terciptanya kesehatan manusia. Variabel perubahan iklim yang berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk perantara Limfatik filariasis adalah temperatur dan presipitasi. Temperatur sebesar 33.50C dan presipitasi 600 mm optimal untuk perkembangan nyamuk. Kesimpulan. Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kejadian penyakit mosquito borne diseases terutama Limfatik Filariasis. Nyamuk perantara Limfatik filariasis bersifat ektoterm yang bergantung dengan perubahan iklim. Kata kunci : Kesehatan lingkungan, Limfatik Filariasis, mosquito borne diseases, perubahan iklim


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 23-29
Author(s):  
Rika Mayasari ◽  
Maya Arisanti ◽  
Rizki Nurmaliani ◽  
Hotnida Sitorus ◽  
Lasbudi Pertama Ambarita

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan penularannya melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini telah berkembang di seluruh dunia dan lebih dari 100 negara endemik DBD termasuk Indonesia. Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) merupakan salah satu daerah endemis di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kejadian DBD kaitannya dengan faktor iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan) serta karakteristik penderitanya (umur dan jenis kelamin) di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan OKU dan Badan Pusat Statistik (BPS) OKU tahun 2015. Pola kejadian kasus DBD dengan curah hujan dan jumlah hari hujan dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa jumlah kasus DBD di tahun 2015 sebanyak 83 kasus. Pada tahun 2016 terjadi penurunan kasus menjadi 43 kasus. Peningkatan curah hujan tidak serta merta diikuti dengan peningkatan kasus. Kejadian demam berdarah tahun 2015 dan 2016 di Kabupaten OKU menunjukkan pola jumlah dan kemunculan kasus DBD sedikit berbeda.


2019 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 40-48
Author(s):  
Indah Margarethy ◽  
Yahya Yahya ◽  
Milana Salim

Malaria merupakan masalah kesehatan di Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan. Pada tahun 2015 angka Annual Paracite Insidence di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 0,26. Penelitian ini bertujuan menganalisis data penggunaan tumbuhan obat untuk malaria pada Suku Teloko, Daya, Pegagan, Meranjat dan Lintang di Provinsi Sumatera Selatan. Data diperoleh dari hasil penelitian Riset khusus Tanaman obat dan Jamu tahun 2015 melalui tim manajemen data Badan Litbang Kesehatan. Informan penelitian ini sebanyak 14 battra dari Suku Taleko, Daya, Pegagan, Meranjat dan Lintang. Jenis tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan malaria pada Suku Teloko, Daya, Pegagan, Meranjat dan Lintang terdiri dari 21 jenis. Brotowali (Tinospora crispa (L)) merupakan tumbuhan yang paling banyak digunakan battra sebagai ramuan pengobatan malaria. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun. Battra memperoleh tumbuhan obat dengan mencari di sekitar tempat tinggal, namun masih ada beberapa tumbuhan yang harus didapatkan di dalam hutan. Tidak ada upaya melestarikan tumbuhan obat yang sudah langka dan sulit didapatkan dari dalam hutan seperti daun Tedimfuk (Claoxylon indicum (Reinw. Ex Blume) Hassk) dan Lengkenai duduk (Unidentiified). umbuhan obat yang masih bisa didapatkan di dalam hutan seperti daun Belidang seni (Unidentiified) dilestarikan battra dengan menanam di perkarangan/kebun. Simpulan dari tulisan ini bahwa tumbuhan obat untuk malaria yang habitatnya di hutan dan sudah sulit ditemukan menjadi alasan battra tidak dapat melestarikannnya maka perlu pemberdayaan masyarakat pada suku-suku di Sumatera Selatan tentang manfaat apotik hidup, sehingga masyarakat termotivasi memanfaatkan kebun dengan ditanami tumbuhan obat dan mewariskan pengetahuan mengenai tumbuhan obat ke generasi selanjutnya.


2019 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 16-22
Author(s):  
Frans Yosep Sitepu

Dengue fever (DF) infection continues to present a seriuos public health problem in North Sumatera, Indonesia. A DF outbreak was reported in Merek Sub-district, Karo District which is one tourist destination in North Sumatera during April-May 2017. An epidemiological investigation was conducted to identify the risk factors and recommend control measures. An observational study with a matched case control design was conducted. A case was defined as any resident of Merek sub-district who had suffer major clinical symptoms of DF such as fever, severe headache, pain behind eyes, muscle and joint pains, and rash from April – May, 2017. A control was defined as neighbors of cases who did not have clinical signs and symptoms of DF and were matched for age and sex. We interviewed 37 cases and 37 controls. Age cases ranged from 2 year to 37 years (median= 12 years). The multivariate analyses showed that presence of mosquito breeding sites (OR=4.87, 95%CI=1.33-17.85) and habit of hanging worn clothes (OR=5.12, 95%CI=1.25-21.03) were significant risk factors. It is recommended to eliminate mosquito breeding sites routinely, avoid habit of hanging worn clothes, and conduct strict surveillance of DF continously.


2019 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 1-8
Author(s):  
Abdullah Fadilly ◽  
Wulan Sari Rasna Giri Sembiring ◽  
Besral Besral ◽  
Akmad Rosanji ◽  
M Rasyid Ridha ◽  
...  

Filariasis in South Kalimantan is still a problem, especially in rural areas, this is possible because there are still many potential places for vector breeding such as rice fields, forests and swamps. In Tanah Bumbu District, filariasis cases were reported as many as 38 cases where as many as 35 cases were found in Batulicin and Kusan Hilir Sub-districts, while as many as 3 recent cases in 2015 in Angsana District. The purpose of this study was to determine various types of mosquitoes, density, age, and habitat characteristics of potential mosquitoes as filariasis vectors in Binawara Village, Tanah Bumbu District. The study was carried out with descriptive observasional design and cross sectional approach in May 2018. Entomological surveys conducted included habitat surveys, mosquito capture by human bait, and surgery. The results showed the dominance of the habitat found was swamp. There were 12 species of mosquitoes caught i. e.  Ma. uniformis, Ma. dives, Ma. bone, An. barbirostris, An. maculatus, Ae. linnetaopenis, Ae. albopictus, Ae. aegypti, Cx. sitiens,, Cx. crasipes, Cx. quinquefasciatus, and Cq. crassipes. The density of mosquitoes sucks the highest blood, Ma. dives, with a value of 4 mosquitoes / person / hour (MHD) and 3 mosquitoes / person / night (MBR). The results of surgery are high parity  for Ma.dives, Ma.uniformis and Cx. quinquefasciatus shows that the mosquito has undergone a gonothrophic cycle with a relative age of mosquitoes that have the opportunity to be filariasis vectors. Longevity of mosquito age that should be suspected as filariasis vectors are 42.43 days for Ma.uniformis and 47.96 days for Cx. quinquefasciatus. Although filariasis transmission has not been proven in this study, but with the discovery of potential vectors and the discovery of positive patients, the awareness of filariasis transmission needs to be increased. In terms of increasing vector control of PHBS and self protection from mosquito bites (repellent and the use of closed clothing) can be a form of control in order to avoid filariasis transmission.


2019 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 9-15
Author(s):  
Semuel Sandy ◽  
Irawati Wike

Penyakit malaria di kabupaten Jayapura merupakan penyakit yang endemic karena penyakit ini telah ada sejak lama dan hampir sebagian masyarakat di Kabuapten Jayapura pernah menderita penyakit malaria. letak geografis dimana banyaknya rawa-rawa dan pengaruh lingkungan seperti iklim juga berkontribusi terhadap peningkatan kasus malaria. Penelitian ini bersifat studi retrospektif, menggunakan data sekunder berupa data curah hujan, kelembapan udara, suhu, kecepatan dan arah angin dari Badan Pusat Statistik Provinsi Papua dan serta data angka Annual Parasite Incidence (API) malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura selama kurun waktu tahun 2011-2016. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin memiliki korelasi yang lemah namun tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan angka API malaria. Kesimpulan menunjukkan bahwa kecenderungan perubahan variabel iklim tidak mempengaruhi secara langsung terjadinya peningkatan kasus malaria


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document